Update cookies preferences

Unnamed Memory Vol 2; 10. Moon Fragments

Langit biru pucat yang luas terbentang di atas kepala.









Awan mengalir melewati dan membawa panas matahari, melindungi orang-orang di bawahnya.

Di tengah siang yang sepoi-sepoi ini, dentang logam yang berbenturan dengan logam bergema di seluruh halaman kastil. Suara jernih terdengar cerah. Kadang-kadang, itu akan datang dengan staccato[1] cepat, sementara di sisi lain, itu akan menjadi legato[2] yang lambat.

"Jangan langsung mundur, Tinasha."

"Urgh."

Dengan pedang di tangan, penyihir itu menangkis pukulan dari senjata serupa. Dia maju ke arah kiri lawannya. Mencondongkan tubuh ke depan dengan ringan, dia berusaha menjatuhkannya.

Namun, pedangnya dipukul mundur dengan dentingan lembut. Pedang terbang dari tangannya, berputar beberapa kali di udara, dan mendarat agak jauh.

"Oh, hampir saja," katanya, memegangi pergelangan tangan yang mati rasa saat dia melihat pedang yang jatuh.

Oscar meletakkan telapak pedangnya di bahu Tinasha saat dia menariknya, “Buatlah penghalang untuk mengusir siapa pun yang mungkin mendekat. Aku tidak ingin pedang liar menusuk seseorang."

"Baiklah," Tinasha menyetujui, dan dia berlari untuk mengambil senjata itu. Setelah memeriksa pergelangan tangan, dia memegang gagangnya dan kembali mengambil posisi bertarung.

xxxxx



“Apakah Yang Mulia di sini?” tanya Als saat dia masuk ke ruang tunggu. Dia telah mencari rajanya ke sana-sini, dan ini adalah tempat terakhir dalam daftar. Dia memiringkan kepalanya ke samping ketika dia gagal menemukan Oscar di sana.

Kav mendongak dari esai yang dia tulis dan menjawab, "Dia di luar."

"Di luar?" Als mengulangi sambil melirik ke jendela di belakang. Para mage yang sering mengunjungi ruang tunggu itu berdiri di sana, mengawasi halaman di bawah.

Als bergabung dengan mereka dan mengintip ke bawah juga. Di sana dia menemukan tuannya dan penyihir sedang beradu pedang. "Apa yang terjadi di sini?" dia bertanya.

Pamyra menjawabnya dengan meringis. "Yang Mulia berkata refleksnya melambat dan menyeret Lady Tinasha ke sana."

"Aku mengerti."

Penyihir itu cukup jago dengan berpedang, tetapi keterampilan superior Oscar cukup terlihat jelas, bahkan dari jauh. Als, yang berada di antara keduanya dalam hal teknik pedang, mempelajari latihan mereka dengan penuh minat.

“Keduanya benar-benar akur,” komentar Sylvia.

"Aku kira begitu," jawab Doan dari tempat di sebelahnya. Kemudian dia teringat sesuatu, dan seringai jahat melintas di wajahnya. “Kontrak mereka tinggal empat bulan lagi. Bagaimana kalau kita bertaruh apakah mereka akan menikah sebelum kedaluwarsa?”

"Apa?" teriak Sylvia. Alisnya berkerut tidak setuju.

Dari belakang mereka, Kav menyatakan, "Aku berani bertaruh bahwa itu tidak akan pernah terjadi," bahkan tanpa mengangkat muka dari tulisannya.

Doan tertawa terbahak-bahak setelah mendengar tantangannya begitu mudah diterima.

“Aku yakin mereka akan menikah!” Sylvia membalas dengan terengah-engah. Pipinya menggembung.

Dengan sisi ditarik, penghasut taruhan bergabung dan berkata, "Aku sependapat dengan Kav. Itu takan terjadi. ”

Als menggelengkan kepalanya dengan putus asa saat dia mendengarkan ketiga mage itu. Namun, ketika ketiganya menatapnya dengan penuh harap, dia mengakui, “Aku pikir mereka akan melakukannya. Bagaimanapun, itu harapanku."

Suara dibagi dua, dan semuanya tampak termenung. Pamyra, yang belum memasang taruhan, menambahkan, "Menurutku masalah terpenting yang mereka hadapi bukanlah perasaan mereka sendiri, tetapi situasi politik di sekitar mereka."

"Cukup masuk akal," Doan setuju dengan mengangguk.

Als menyela. “Tapi jika membahas seseorang yang akan menjadi aset langsung, tidak ada ratu yang lebih baik dari Nona Tinasha. Dia kuat, dan dia adalah pewaris Tuldarr. Dia memiliki wawasan dan teknik yang ingin dimiliki negara lain."

"Dia membawa hampir semua artefak dari gudang harta pusaka Tuldarr ke Farsas," Pamyra mengungkapkan.

"Kau tidak mengatakannya," jawab Als. Dia menatap penyihir di halaman dengan cukup kaget. Dia menangkis dan menghunus pedangnya dalam diam, bentuknya yang luwes dan lentur.

Pamyra memperhatikan wanita itu dengan tenang. “Aku yakin mereka akan menikah. Aku ingin dia segera menemukan kebahagiaan."

Tidak menyadari bahwa dia menjadi subjek banyak spekulasi, Tinasha menerjang lagi dan sekali lagi menemukan pedangnya terlempar.

xxxxx



Oscar kembali ke ruang kerjanya, merasa puas karena dia sekarang telah meregangkan otot-ototnya. Tinasha, bagaimanapun juga, menjatuhkan diri ke sofa dekat dinding begitu dia melewati pintu. Dia merosot ke kursinya seperti kucing tanpa tulang.

"Kau baik-baik saja?" Oscar bertanya dengan cemberut.

“Aku akan baik-baik saja setelah punya satu jam istirahat. Aku tidak punya banyak stamina...”

“Kamu harus menambah berat badanmu.”

"Aku tidak berpikir aku bisa membuat otot lebih dari ini," jawabnya, menatap lengan dan kaki kurusnya. Jika diamati lekat-lekat, tubuh mage rendah lemak dan otot.

Yang lebih aneh adalah dia bahkan bisa menggunakan pedang dengan fisik seperti itu, tapi mungkin pengalamannya selama bertahun-tahun telah memberikan teknik yang cukup untuk mengimbanginya. Pada kenyataannya, tidak ada yang bisa memegang sesuatu seberat pedang tanpa terlebih dahulu memperkuat bentuk fisik dengan cara tertentu.

“Kamu tidak lelah?” Tinasha bertanya.

“Bagiku itu hanya pemanasan. Akhir-akhir ini aku merasa seperti akan membusuk di belakang meja.”

Ketika dia memikirkannya, Tinasha menyadari bahwa dia tidak melihat Oscar melakukan apa pun selain pekerjaan administrasi selama tiga pekan terakhir. Terakhir kali raja itu menikmati udara segar dan olahraga adalah selama insiden lagu pengundang kematian.

Bagi Tinasha, Oscar sepertinya tipe orang yang berada di tengah-tengah pertempuran. Sebenarnya, bagaimanapun, dia dulu menghabiskan hampir seluruh waktunya berhadapan dengan dokumen. Dia bahkan tidak pernah mengambil cuti. Tinasha merasa sedikit kasihan padanya.

Oscar masih muda.

“Bagaimana jika mengunjungi rumah bordil?” penyihir itu tiba-tiba menyarankan.

“Apakah kamu menggodaku?” Oscar bertanya, tidak percaya.

"Aku tidak mencoba untuk...," kata Tinasha, melayang ke udara dan meluncur ke sampingnya. Dia sangat lelah sehingga lebih mudah menggunakan sihir daripada berjalan.

Dengan tangannya yang bebas, Oscar menarik seikat rambutnya. "Aku lebih suka kamu membawaku ke laut lagi."

"Itu cukup mudah," jawab penyihir itu, menjatuhkan diri ke tepi meja dan mengambil kertas-kertas yang tersisa. Dia merasa itu tidak sebanyak biasanya. Memeriksa jam, dia melihat bahwa itu baru tengah hari. “Lalu bagaimana kalau aku membantumu dengan ini, dan kita pergi ke suatu tempat pada malam hari? Kita bisa pergi ke laut atau ke mana pun Kau mau."

Mata Oscar sedikit membelalak atas sarannya. “Kita bisa pergi kemana saja?”

“Selama itu di daratan. Kota, gunung, danau, di mana saja.”

"Danau, kalau begitu," Oscar memutuskan.

"Danau ya," ulang Tinasha dengan senyum lembut.

Oscar merasakan jantungnya menari-nari kegirangan seperti saat ia masih kecil.

Setelah semua kerja kerasnya, dia mendapatkan sedikit kesenangan. Selama dia bersama penyihirnya, dia tidak akan meminta apa-apa lagi.

xxxxx



Dengan bantuan Tinasha, dokumen Oscar yang tersisa diselesaikan dalam waktu kurang dari setengah jam. Dia kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap dan berganti dengan gaun yang tipis dan ringan.

“Biasanya kalian berdua sibuk saat pergi keluar bersama, jadi santai saja dan nikmatilah,” kata Pamyra riang sambil membantu ladynya ganti baju.

Tinasha mengangguk tetapi menangkap sesuatu yang aneh yang tidak bisa dia abaikan. “Sesuatu tentang apa yang kamu katakan membuatnya terdengar seolah kami adalah sepasang kekasih...”

“Persis seperti itu.”

"Tunggu......," bantah Tinasha, merasa ada yang tidak beres.

Pamyra memberikan senyum tenang kepada penyihir itu sebagai balasannya. “Dilihat di permukaan, kalian berdua sangat dekat.”

Ini jelas-jelas peringatan. Ketika Tinasha merenungkan bagaimana dia dan Oscar biasanya berinteraksi, dia pasti bisa melihat mengapa segala sesuatu tampak seperti itu. Tinasha mengakui faktanya dan menghela nafas. “Kurasa itu karena aku sudah terbiasa dia menyentuhku sepanjang waktu... dan akhirnya aku juga menyentuhnya. Jika ini terus berlanjut selama seratus tahun lagi, aku mungkin akan menikahinya secara tidak sengaja. Mengerikan!"

“Akankah itu benar-benar membutuhkan seratus tahun lagi...? Dan bahkan kemudian, 'tidak sengaja'...? ” Pamyra bergumam, merasa sangat kecewa. Dia berharap melihat wanita itu menikah dengan bahagia.

Oscar dan Tinasha meninggalkan kastil sebelum matahari terbenam. Pertama, mereka menggunakan array transportasi Tinasha untuk melompat ke menaranya; lalu mereka terbang lebih jauh ke barat di punggung Nark. Oscar dalam mode liburan, membawa pedang panjang biasa, bukan Akashia.

“Danau mana yang akan kita tuju?” dia bertanya.

“Danau Soknas di selatan Old Tuldarr. Sekarang itu bagian dari Magdalsia, aku yakin. Kita hampir sampai.”

Magdalsia adalah negara kecil di barat daya. Peternakan sapi berkembang pesat di sana, dan pegunungan serta hutan mendominasi sebagian besar wilayahnya.

Saat mereka terbang melintasi langit malam di atas punggung Nark, warna merah perlahan mulai mewarnai langit. Matahari terbenam di atas puncak gunung. Tinasha menunjuk ke puncak yang tumpang tindih.

"Itu dia, lihat."

Hamparan tanah datar Terselip di antara pegunungan. Tepinya dikelilingi pepohonan, dan danau di tengahnya berkilauan dengan pantulan matahari sore. Nark secara bertahap menurunkan ketinggian.

“Aku datang ke sini berkali-kali ketika aku masih kecil. Dahulu kala, Kau bisa mengumpulkan kristal kebiruan yang disebut moonstones di tepi sungai, tetapi aku dengar hampir tak pernah ditemukan sekarang. Aku merindukannya,” jelas Tinasha.

“Begitu,” jawab Oscar.

Jarang sekali penyihir itu membicarakan masa lalunya, dan Oscar mengamati wajahnya dengan saksama. Dia hanya melihat nostalgia di wajahnya, tidak ada kesuraman, dan itu menenangkannya.

Nark turun lebih rendah dan lebih rendah. Pada saat naga itu berada sekitar tiga tingkat di atas tanah, naga itu sudah terbang langsung di atas danau. Penyihir itu bersandar ke satu sisi dari punggung naga dan menatap ke bawah. Airnya jernih tapi cukup dalam, karena dasarnya tidak terlihat.

“Di mana kita mesti mendarat?” Tinasha bertanya-tanya dengan keras.

“Oke, let’s go!” Oscar menyatakan.

"Apa?"

Dia memeluknya dan melompat dari naga.

Jeritan panjangnya bergema di seberang danau, diikuti oleh percikan raksasa.

Beberapa saat kemudian, Oscar melayang ke permukaan dengan Tinasha di pelukannya. Dia tertawa terbahak-bahak karena keterkejutan di wajahnya.

“K-kamu membuatku takut... Lau pikir apa yang kamu lakukan?”

“Aku pikir itu akan menyenangkan dan menyegarkan.”

“Itu lebih seperti menakutkan!” Tinasha berseru. Dia meraba seluruh tubuhnya untuk memeriksa apakah ada luka. Dia melindunginya dari benturan, jadi dia baik-baik saja. Kemungkinan besar karena perisai pelindung, bahkan pedangnya masih ada di sarungnya. Semuanya baik-baik saja.

Mendongak, Oscar melihat Nark mengitari danau sambil menyusut menjadi lebih kecil; dia menyadari tuannya telah pergi. Masih tertawa, Oscar menyesuaikan kembali cengkeramannya pada Tinasha. "Itu pertama kalinya aku mendengarmu berteriak."

"Sudah lama sejak aku sendiri mendengarnya....," gerutunya, meletakkan tangannya di bahu Oscar dan mendorongnya ke udara. Dia memeras air dari ujung gaunnya. Dia tidak berencana untuk berenang hari ini, jadi kainnya basah dan berat. Melihat ke bawah, Tinasha melihat Oscar sudah mulai berenang. Untungnya, suhu airnya sempurna. Dia bersenang-senang sehingga dia benar-benar terlihat seusianya, dan Tinasha menyeringai. “Sepertinya ini akan menjadi istirahat yang bagus untukmu. Aku senang."

“Terima kasih. Apakah ada yang hidup di danau ini?”

“Dulu, hanya makhluk laut biasa, tapi sekarang tidak ada yang tahu. Kau mesti selalu berhati-hati.”

"Dimengerti."

Setelah terbang di sekitar area tersebut, Nark mendarat di bahu penyihir. Dia menurunkan dirinya ke permukaan air dan duduk di sana.

Tepi timur danau berkilauan dengan warna merah tua, sedangkan di barat gelap karena keteduhan pepohonan. Bulan pucat mulai mencakar ke atas. Langit masih sedikit lebih terang dari warna mata Oscar.

Tinasha menyisir rambut basahnya ke belakang. Dia bisa menggunakan sihir untuk mengeringkannya, tapi itu tidak terlalu diperlukan, karena bisa kembali basah dengan mudah. Oscar berenang ke arahnya dan meletakkan dagu di atas lutut. “Kamu terlihat seperti roh air saat melakukan itu.”

“Benarkah? Mungkin sebaiknya aku tidak duduk di atas air."

"Eh, menurutku tidak apa-apa," kata Oscar. Dia menarik rambutnya untuk mendekatkan wajah dan mencium pipinya.

Mata Tinasha menyipit seperti mata kucing, dan dia balas menatapnya dengan ekspresi rumit di wajahnya. “Kamu tahu, Pamyra bilang kita seperti sepasang kekasih.”

“Apa kamu keberatan dengan itu?” Balasan Oscar datang begitu cepat sehingga penyihir itu harus mengambil waktu sejenak untuk mempertimbangkan pertanyaan itu. Bahkan jika mereka tampak seperti itu bagi orang lain, itu tidak berarti ada yang benar-benar berubah.

"Tidak juga."

"Tapi kurasa kita akan," komentar Oscar, tersenyum pada Tinasha saat dia menyibakkan rambutnya. Sebagian besar senyumannya lebih pada sesuatu yang mengintimidasi —seringai masam atau seringai geli— jadi ketika dia menunjukkan seringai sederhana seperti ini, itu benar-benar menawan.

Tinasha mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajahnya. Mata birunya memantulkan langit gelap. Saat mata itu, dia pikir dia juga bisa melihat bulan di dalamnya, dan mencondongkan tubuh lebih dekat untuk melihat lebih baik.

Saat itulah Oscar menarik Tinasha ke dalam air, memeluknya dan menariknya ke arahnya. Tidak beberapa saat kemudian, sesuatu melesat di udara. Sesuatu terbang dari pantai dan bertabrakan dengan penghalang Oscar.

"Apa itu tadi?!" Tinasha berseru.

“Anak panah....,” jawab Oscar.

Tinasha bergegas menangkap Nark di pelukannya saat makhluk itu menghantam air. Sedikit menghindari tenggelam, dia meronta-ronta di pelukannya. Oscar berdiri di depan mereka dengan protektif, memelototi pantai.

xxxxx



“Apakah kamu berhasil?”

“Aku tidak tahu. Dia pergi ke air."

Lima pria menatap permukaan danau dari hutan di tepi air.

Tampak seperti ada seseorang sedang duduk di atas air, tapi itu pasti ilusi optik. Satu pria menyerah dan mengangkat bahu, menurunkan busurnya.

"Akan sangat menyenangkan bisa mendapatkan pusaka roh air."

“Jika itu benar-benar roh air, jangan memprovokasi. Dan bahkan jika Kau membunuhnya, itu hanya akan tenggelam ke dalam danau dan Kau tidak akan pernah mendapatkannya.”

“Apapun itu terlihat seperti manusia, tapi itu mungkin ikan atau semacamnya.”

Orang-orang itu saling bertukar komentar kecewa dan lega saat mereka berbalik untuk pergi.

Saat itu, percikan keras datang dari belakang mereka.

Ada seorang wanita berdiri di pantai yang bisa mereka lihat melalui pepohonan. Kakinya tenggelam, dan ujung gaun hitamnya tertinggal di air. Rambut hitam legam panjang dan kulit putih berkilau melukis potret kecantikan yang sangat menawan.

Orang-orang itu membeku, tetapi salah satu yang lebih muda mengeluarkan anak panah. Menganggapnya sebagai sinyal, anggota regu lainnya melakukan hal yang sama.

"Tunggu. Kami manusia," desak wanita itu. Orang-orang itu menyipitkan mata padanya.

"Manusia? Sungguh?"

“Ya, benar. Kami datang dari Farsas.”

"Aku tahu kalian melihat sesuatu seperti roh air," terdengar suara baru. Terkejut, regu pemburu yang malang mengamati hutan. Mereka melihat seorang pemuda bersandar di pohon dengan pedang menggantung di pinggul. Dia meneteskan air dari ujung kepala sampai ujung kaki, seolah-olah dia baru saja berenang. “Dia temanku. Dia seorang mage."

“Ah....,” pria itu pun bergumam, akhirnya menerima penjelasannya. Penyihir merupakan pemandangan langka di pedesaan, meski di Farsas pun ada banyak orang yang tidak mengetahui pengguna sihir.

Seorang pria yang kelihatannya paling tua dari regu itu melangkah maju. “Kami sangat menyesal. Kami tadi yakin dia adalah roh air dan bertindak sangat buruk. Apakah anda terluka?”

"Aku baik-baik saja," kata wanita itu dengan senyum cerah, berdiri di samping temannya. Orang-orang itu menundukkan kepala, malu.

“Biasanya, kami sangat takut menyentuhnya roh air, tapi kami panik....”

“Apakah ada masalah baru-baru ini?” tanya penyihir itu.

“Tidak, hari ini ada festival di kota kami,” seorang pemburu menjelaskan.

"Festival? Eliminasi roh air?" Tinasha mengulangnya, merasa penasaran. Dengan cepat, dia mengeringkan pakaiannya dan Oscar. Orang-orang itu sangat terkesan dengan trik itu.

Seorang pria di tengah regu tertawa saat dia menjelaskan, “Itu festival pernikahan. Saat ini, festival itu hampir tidak pernah menyertai pernikahan sungguhan, tetapi seluruh kota masih terlibat. Orang-orang dari kota dan desa tetangga juga datang untuk ikut ambil bagian. Apakah kalian berdua ingin bergabung?”

“Apa maksudnya itu?” Tinasha menekan.

“Wanita hanya menunggu di kota. Para pria mengelilingi danau dan berebut hadiah —dari alam, begitulah. Mereka lalu membawanya ke wanita yang ingin mereka lamar."

"Aku mengerti."

Daerah pedesaan memiliki festival yang menarik. Dusun pegunungan yang tidak memiliki banyak hiburan mungkin harus bekerja keras sepanjang tahun untuk mempersiapkan festival seperti ini. Meskipun Tinasha terkesan, dia tidak berniat berpartisipasi. Tidak lama setelah dia membuka mulut untuk menolak undangan itu, Oscar menepuk kepalanya dengan ringan.

“Kedengarannya menarik. Ayo lakukan."

"Apa?! A-apa yang merasukimu?” dia memprotes.

“Kita di sini dan ini ada didepan kita, jadi mengapa tidak? Kau pergi ke kota.”

“Kamu tidak serius kan..... Kamu bahkan tidak membawa Aka—”

Tinasha hendak mengatakan Akashia saat Oscar meletakkan buku-buku jarinya di pelipisnya.

"Aku akan baik-baik saja. Pergilah sekarang," desak Oscar.

“Aku tidak lupa kau melakukan ini padaku! Aduh! "

Oscar menepuk kepala pelindungnya yang tengah khawatir. Bersandar sedikit, dia berbisik di telinganya, “Kita berada di tempat yang aman. Tidak ada bahaya, jadi santai saja dan tunggu aku. Sesuatu semacam ini terkadang menyenangkan.”

"Baiklah. Kita sejak awal memang datang ke sini untukmu..."

Oscar masih memiliki pelindung Tinasha, tetapi di atas segalanya, dia sendiri adalah petarung yang kuat. Orang-orang kota melihat bahwa mereka telah menyelesaikan diskusi mereka dan menunjukkan kepada Tinasha jalan ke kota. Rupanya, meski sekarang hanya ada lima orang, lebih banyak lagi yang akan segera datang untuk menjelajahi hutan.

Oscar melambai pada penyihir itu dengan riang. “Jangan ikuti pria yang tidak kamu kenal.”

“Aku bukan anak hilang!” Tinasha membalas. Meskipun masih merasa sedikit tidak nyaman, dia tidak punya pilihan selain bangkit dan pergi ke kota.

Hanya butuh beberapa menit berjalan sebelum dia tiba di pemukiman. Tempat itu dalam mode festival penuh. Orang-orang berdesakan di jalan-jalan sempit, dengan alkohol dan makanan ditawarkan di mana-mana. Itu benar-benar gelap, tetapi cahaya lembut bersinar dari segala arah, membuat seluruh tempat itu bersinar hangat. Suara nyanyian anak-anak terdengar dari suatu tempat di dekatnya.

Saat Tinasha berdiri dan berhenti di pintu masuk untuk menjajal semuanya, seorang wanita paruh baya yang tidak dikenal menepuk pundaknya. “Kamu di sini untuk festival, bukan? Dari mana asalmu? ”

“Farsas.”

“Lagi-lagi tempat yang jauh... Yah, selamat datang di sini. Apakah kamu di sini sendirian?”

"Aku datang dengan seseorang, tapi dia keluar mengumpulkan barang-barang di hutan."

“Ah, jadi kamu punya pacar. Maka Kau harus mengganti pakaian."

"Apa?"

Bahkan sebelum Tinasha sempat bertanya mengapa dia perlu mengganti pakaian, dia dibawa pergi.

Wanita paruh baya itu membawa Tinasha ke balai pertemuan kota, di mana dia membimbing penyihir yang bingung ke dalam ruangan yang penuh dengan wanita yang berganti pakaian. Rangkaian teriakan mengagumi terdengar dari para wanita di dekat pintu masuk.

“Wow, cantik banget.”

“Kudengar dia berasal dari Farsas. Sangat hebat."

Para wanita yang bersemangat mengantar Tinasha ke kursi sebelum dia bisa bicara dengan tenang dan mulai merias wajahnya.

“Um…”

“Jangan bicara! Aku sekarang memakaikanmu lipstik.”

Semua wanita di sekitar Tinasha yang malang tampaknya sudah menikah. Mereka dengan gembira mengecat wajahnya. Wanita yang lebih muda, sebaliknya, sibuk mempersiapkan diri. Tinasha berpikir mengapa dia repot-repot datang ke tempat yang begitu jauh padahal dia bisa mengalami perlakuan yang sama di kastil. Dia ingin melarikan diri tetapi tahu bahwa itu akan membuat marah orang-orang yang melayaninya.

Di tengah sedikit desahan, mata Tinasha tiba-tiba membelalak. Sesuatu telah melakukan kontak dengan pelindung Oscar. Sedikit fluktuasi dalam sihir bergema di dalam dirinya.

"Apa ada yang salah?" tanya wanita yang membedaki wajah Tinasha setelah melihat ekspresi gelapnya.

"Tidak ada.... Aku hanya mengkhawatirkan rekanku."

"Dia baik-baik saja. Kamu harus lebih mempercayai pacarmu!” wanita itu meyakinkannya sambil menyeringai, menepuk punggung Tinasha dengan riang. Namun, kekhawatiran sudah meresap, dan Tinasha tidak bisa menghilangkannya.

Akhirnya, para wanita selesai bersiap-siap dan berbaris ke alun-alun kota. Tinasha mengikuti, mengenakan pakaian yang dengan paksa dipinjamkan padanya.

Pusat desa sekarang dipenuhi oleh para wanita dengan kostum cantik, mengisi tempat itu dengan riuh rendah masa muda. Saat para wanita menunggu pelamar mereka, para pria kembali dari hutan satu demi satu, menemukan pasangan mereka, dan memberi mereka hadiah. Setiap penyerahan mendapatkan paduan suara desahan kekaguman, yang pada gilirannya hanya meningkatkan keseluruhan kegembiraan.

Tinasha menyaksikan tontonan itu, berdiri di salah satu sudut alun-alun dengan tudung menutupi wajahnya.

Dia benar-benar memiliki kesadaran tentang bagaimana paras perawakannya membuatnya menonjol di antara orang banyak. Yang harus dia lakukan sekarang adalah bertemu dengan Oscar dan pulang, tetapi tidak peduli berapa lama dia menunggu, dia tidak muncul. Tinasha tidak mendeteksi gangguan lebih lanjut pada penghalang, tapi itu tidak meyakinkannya.

Penyihir itu menatap ke langit dari celah tudung. Bulan bersinar terang di langit.

Dia berpikir apakah dia harus mengejarnya atau tidak.

Bukan karena Tinasha tidak mempercayai Oscar, tetapi mengetahui bahwa dia sendirian membuatnya sulit untuk tenang. Dia menatap ke tanah, terganggu oleh keraguan, ketika tudungnya tiba-tiba terangkat. Karena terkejut, Tinasha mendongak.

“Apakah aku membuatmu menunggu?” tanya suara yang familiar.

Tinasha mengenali Oscar dan menghela napas lega. Ketika mereka berpisah, pakaiannya kering, tetapi entah bagaimana, dia kembali basah. Saat dia mengulurkan tangan untuk mengeringkan pakaiannya, dia tersenyum sambil mengakui, "Aku khawatir."

“Sama sekali tidak percaya padaku, ya? Ulurkan tanganmu."

Bingung, Tinasha mengulurkan kedua tangannya. Oscar menjatuhkan sesuatu yang dia pegang padanya. Lima kristal bulat diwarnai dengan warna biru paling samar.

“Ini kan....”

"Aku yakin kamu sudah lama tidak melihat mereka, kan?"

Penduduk kota yang mengelilingi pasangan itu tersentak saat melihat batu bulan yang langka.

Untuk sesaat, Tinasha hanya menatap kumpulan batu yang berada di telapak tangannya yang terbuka. Dia ingat yang dulu pernah ia kumpulkan. Itu sudah lama tiada sekarang.

Kehangatan merasuki dada penyihir itu. Berkedip cepat, dia merasa hampir menangis. Ketika dia menatap Oscar, dia menawarkan senyum malu-malu padanya.

"Terima kasih. Aku sangat.... sangat senang,” kata Tinasha sambil tersenyum padanya. Meskipun masa kecilnya sudah lama berlalu, seringai di wajahnya masih tampak polos. Dia yakin dia tidak tersenyum dengan baik, tapi dia benar-benar sangat bahagia.

Oscar membungkuk di dekatnya. Dia menutup matanya dan menerima ciumannya.

Tidak masalah jika mereka terlihat seperti sepasang kekasih meskipun sebenarnya bukan. Dia tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.

Dia berada disampingnya pun sudah cukup baginya, menyentuhnya.

Semuanya terasa sangat alami, dan itulah yang membuatnya nyata.

Setelah Tinasha ganti baju, dia dan Oscar meninggalkan kota. Dari punggung Nark, mereka menyaksikan danau itu semakin mengecil di kejauhan.

Tinasha memegangi moonstones dengan protektif. "Dimana kau dapatkan?"

“Dasar danau. Aku mengambil roh air dan membuatnya menunjukkan kepadaku. "

Rahang penyihir itu ternganga; dia tidak bisa berkata-kata. Pria ini memiliki bakat langka dalam membuat masalah kemanapun dia pergi.

Namun, Tinasha tidak ingin mengomelinya saat ini. Batu bulan itu hangat karena panas tubuhnya.

“Saat kita kembali ke kastil, maukah kamu mengubah bentuknya dan membuatnya menjadi kalung atau semacamnya?” Oscar bertanya.

“Tidak... aku akan menyimpannya seperti ini.”

"Oke," dia menerima, menepuk kepalanya. Dia menutup matanya, senang.

Sentuhan Oscar terasa hangat dan menyenangkan, dan Tinasha meninggalkan dirinya pada kenangan yang membasahi dirinya.




[1] Masing-masing dilakukan terpisah.


[2] Legato; Mengalir tanpa jeda

Post a Comment