Update cookies preferences

Unnamed Memory Vol 2; 6 Bagian 4

Konfigurasi mantra raksasa, dipasang tinggi-tinggi dari cengkeraman penyihir, selesai mengalihkan energi dari danau sihir dan larut ke udara terbuka di atas.









Saat ini mantra panjangnya akhirnya berakhir, Tinasha menatap ke bekas medan perang dengan mata tenang.

Bau darah dan daging hangus melekat kuat dalam hembusan angin. Tubuh yang terbakar dan tak bergerak berbaring telungkup. Tinasha dengan hati-hati mengambil bagian dari pemandangan brutal itu. Tangisan penderitaan dan kematian masih tertinggal di telinganya, atau mungkin suara itu berada dalam benaknya.

Akan sangat mudah untuk menangis,,,,,

Tinasha enggan. Membiarkan emosinya bangkit berisiko meluap dan hilang kendali. Tidak peduli apa yang dia rasakan, Tinasha tahu itu tidak akan mengubah fakta bahwa setiap kematian hari ini adalah kesalahannya —bebannya.

Mereka yang selamat menatap Tinasha dengan kegembiraan yang aneh. Itu adalah jenis emosi mendalam yang dimiliki oleh rekan-rekan yang berjuang bahu membahu dalam satu tujuan.

Ada banyak —terutama mereka yang masih meringkuk di dalam penghalang yang dibentuk Tinasha dengan potongan obsidian —yang menatapnya dengan ketakutan. Pamyra dan Renart bergerak untuk melindungi Lady mereka dari tatapan permusuhan itu.

Mereka penuh luka dari ujung kepala sampai ujung kaki, dan Tinasha menatap mereka seolah berkata, Tidak apa-apa sekarang.

Mata gelapnya tertuju pada Nark, yang akan kembali. Pria yang turun dari naga merah itu melihatnya dan tidak membuang waktu untuk bergegas menghampirinya. Tinasha menunggunya dalam diam.

Seorang jenderal dari Gandona menghentikan Oscar sebelum dia bisa meraih penyihir itu. "Sebagai pembawa Akashia, aku yakin Kau tahu apa yang perlu dilakukan," katanya.

Riak gugup mengalir melalui kerumunan. Semua yang ada disana tahu bahwa Oscar diberi peran untuk membunuh penyihir itu.

Oscar mengangguk erat, lalu melangkah ke Tinasha. Dia berhenti di depan Pamyra dan Renart, yang penuh dengan permusuhan. Sebelum salah satu dari mereka bisa membuat pertahanan untuk Lady mereka, penyihir itu membujuk mereka.

“Terima kasih, kalian berdua. Biarkan dia lewat.”

Meski enggan, mereka mematuhi perintah Lady mereka dan menyingkir.

Oscar lewat di antara keduanya dan akhirnya berdiri di hadapan penyihir itu.

Tinasha hendak memanggil nama Oscar tapi menahan kata itu.

Dia tahu dia telah dinobatkan sebagai raja Farsas. Itu membuat semakin tidak pantas untuk menguak fakta bahwa dia memiliki hubungan dengan seorang penyihir didepan publik. Dia adalah seseorang yang akan berjalan di jalan kebajikan dan mencatat sejarah sebagai penguasa bijak.

Mengetahui hal itu, Tinasha berpikir bahwa hal terbaik adalah dia menghilang dan menjadi tidak lebih dari batu loncatannya. Dia berdoa agar dia menemukan kebahagiaan di masa depan yang akan datang.

"Kumohon,,,," katanya, permohonan pelan tanpa sadar tumpah darinya. Menyadari dia telah bicara dengan keras, Tinasha menutup rapat bibirnya.

Dia tidak tahu apa yang akan dia katakan. Semua yang dia buat selama ini begitu tertekan entah bagaimana meleset sedikit. Panas yang tersisa di tenggorokannya terasa manis. Tinasha berpikir lebih dari dia pantas mati sambil menikmati sensasi itu.

Penyihir itu menarik napas dalam-dalam, lalu menutup matanya dengan tersenyum.

Mengalihkan danau sihir telah menguras kekuatannya. Butuh semua kekuatan yang dia miliki untuk berdiri tegak.

Jika dia ingin mencapai akhir hari ini, dia ingin menyapanya dengan kakinya —dengan kakinya dan dengan mata kering.

Danau-danau itu hilang, Lanak sudah mati, dan sekarang dia akan mati.

Dengan kematiannya, hantu Tuldarr akan menghilang. Setelah empat ratus tahun, nasib yang mereka ubah akhirnya akan benar.

Tinasha sedikit memiringkan kepalanya, seolah-olah dia mengharapkan ciuman. Dia menunggu Akashia melewatinya.

Oscar mengulurkan tangan ke wajahnya. Dia membelai pipi mulusnya.

“Apakah kamu ingat apa yang aku katakan ketika kamu merusak mantra Lucrezia?”

Tidak ada jawaban.

Dengan sangat lembut, dia meletakkan pedang Akashia di leher pualamnya. Tubuh Tinasha merosot kedalam pelukan Oscar.

__________



Aeti, kemarilah.

Dia bisa mendengar suara yang datang dari jauh. Itu memanggil namanya, dan dia membuka matanya.

Tinasha sedang mengintip ke koridor batu yang seperti membentang selamanya.

“Datanglah padaku, aku merindukanmu.”

Suara itu datang dari suatu tempat di belakangnya. Itu milik anak yang sangat Tinasha rindukan. Dia tersenyum. Tinasha teringat bagaimana dia dulu merasa terbiasa dengan kesendirian tetapi masih ingin berpegang teguh pada kehangatan tangan seseorang. Sesuatu yang tidak terlalu merendahkan diri dan tidak terlalu kesepian memenuhi hatinya.

Aeti.

Nama mendefinisikan orang.

Nama yang dipanggil menjadi diri mereka sendiri.

Tidak peduli betapa manisnya suara dalam ingatannya yang memanggil nama itu, Tinasha tahu dia tidak akan pernah lagi kembali. Aeti adalah seorang anak kecil yang sudah lama mati.

“Selamat tinggal, Lanak.”

Dengan mata terfokus pada apa yang ada di depan, Tinasha mulai berjalan ke depan.

Batu itu terasa sejuk di bawah kaki telanjangnya dan tidak menceritakan apa pun tentang masa depan yang menantinya.

__________



Saat terbangun, Tinasha menyadari bahwa dia tidak tahu di mana dia berada.

Sebenarnya, dia tahu. Lebih dari itu dia tidak mengerti. Otaknya terasa berat dan lambat saat dia menggelengkan kepala. Duduk tegak di tempat tidur, dia mengedipkan mata ke langit biru yang bisa dilihat sekilas melalui jendela di dekatnya.

Saat dia melakukannya, pintu terbuka tanpa suara. Tinasha menoleh dan melihat seorang wanita di sana. “Pamyra…?”

"Lady Tinasha, anda sudah bangun!" Pamyra berseru, bergegas untuk menunduk di depan tempat tidur dan meraih tangan Tinasha. Dia meletakkannya di dahinya, menguji kehangatannya. "Anda sudah tertidur lebih dari sepekan.... Saya sangat khawatir."

"Aku masih hidup?"

"Tentu saja!" Pamyra menegurnya, tapi itu tetap tidak terasa nyata. Tinasha menemukan dirinya mengenakan gaun tidur, dan dia meletakkan kakinya di lantai. Dia mencoba berdiri, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk berdiri. Dia terhuyung, dan Pamyra memapahnya.

“Terima kasih... Jadi mengapa aku di Farsas?”

“Banyak masalah yang terjadi. Tapi untuk sekarang, anda tidak boleh bangun. Kembali beristirahatlah. ”

Mereka berada di kamar istirahat Tinasha di Kastil Farsas. Dia telah mengosongkan tempat itu, tetapi semuanya tampak sama seperti ketika dia pergi. Tinasha membiarkan Pamyra mendorong punggungnya ke bawah dan duduk di tepi tempat tidurnya.

Dia bertanya tentang mage lain. “Di mana Renart?”

"Laboratorium. Haruskah saya memanggilnya?”

"Tidak, aku hanya ingin memastikan dia aman," kata Tinasha. Dia punya perasaan bahwa dia baik-baik saja jika Pamyra baik-baik saja, tetapi itu masih memberinya rasa lega.

Tinasha menarik napas, lalu menatap Pamyra, yang sedang memeriksa denyut nadi penyihir itu.

“Pamyra, aku punya permintaan....”

"Apa itu?"

"Aku ingin keluar dari ruangan ini.. Bantu aku mandi dan ganti pakaian."

Lady-nya baru saja pulih, jadi Pamyra menarik wajah pada permintaan ini tetapi mengangguk dengan enggan.

Mandi ternyata sedikit melelahkan tetapi juga terasa begitu luar biasa sehingga menyingkirkan apa yang telah menumpuk di dalam dirinya. Itu membangunkan kesadarannya sampai tingkat tertentu dan menjernihkan pikirannya. Kembali ke kamar tidurnya, Tinasha menggunakan sihir untuk mengeringkan rambutnya dan mengenakan gaun panjang yang dibawakan Pamyra.

“Rasanya kakiku melemah... Aku tidak bisa berjalan dengan baik.... Mungkin lebih mudah terbang atau teleportasi untuk berkeliling.”

“Anda perlu istirahat dengan benar!” Pamyra praktis berseru, dan seseorang di luar pintu menganggap itu sebagai isyarat untuk masuk. Pemilik kastil masuk, tampak cemberut.

“Jangan keluar jika kamu tidak dalam kondisi terbaik.”

“Oscar....”

Dia memberinya peringatan yang sama seperti Pamyra, yang membungkuk saat dia melewatinya dan meninggalkan ruangan.

Tinasha menggunakan sihir untuk melayang dan mendarat di depannya. Dia kehilangan sedikit berat badan, dan dia menggendongnya seperti yang akan dia lakukan dengan seorang anak kecil. Dia menyentuh pipinya saat dia bertanya, "Mengapa aku masih hidup?"

“Langsung to the point, ya? Jika Kau merasa begitu baik, ku kira Kau tidak akan keberatan jika aku mengepalkan tanganku ke kepalamu untuk sejenak."

“Itu sangat menyakitkan. Tolong jangan."

Oscar membawanya ke ranjang dan mendudukkannya di tepi. Kemudian dia menyeret kursi terdekat dan duduk. “Aku tidak pernah berniat membunuhmu. Dan rasanya menjijikkan karena kau ingin membuatku melakukannya. "

"Maafkan aku."

“Ngomong-ngomong, aku punya banyak hal yang ingin kuberitahukan padamu. Kemungkinan akan memakan waktu setengah hari, jadi persiapkan dirimu.”

"Maaf," ulang Tinasha, menundukkan kepalanya seperti anak kecil yang tengah ditegur. Oscar mengulurkan tangan dan memasukkan jari-jarinya ke rambut hitam halusnya yang panjang. Karena baru dikeringkan, masih sedikit hangat.

Penyihir itu menatap matanya. Mereka berwarna biru tua, dan dia menatapnya sama serius seperti sebelumnya. Mengucapkan kata-kata kasarnya adalah tatapan penuh kekaguman yang dia curahkan padanya.

Rasa nostalgia yang tak terlukiskan muncul di dalam diri Tinasha saat dia melihatnya. “Bolehkah aku menyentuhmu?” pintanya.

"Lakukan apa yang kamu inginkan."

Dia melayang ke udara dan berlutut di antara kedua kakinya di kursi. Sambil melingkarkan lengannya di lehernya, dia mendekat.

Dia selalu berpikir bahwa kesepian adalah hal yang wajar baginya.

Ketika dia akhirnya menemukan jalan keluar, dia terjun lebih dulu, tapi kemudian meninggalkannya.... Satu setengah bulan dia telah pergi terasa seperti selamanya.

Semua orang menganggap Tinasha membahayakan, dan dia tidak pernah mengindahkannya. Yang dia pedulikan hanyalah menunggu saat yang tepat untuk tiba. Setelah itu terjadi, dia yakin dia akhirnya bisa menebus semua orang yang tidak bisa dia selamatkan. Karenanya, dia berusaha keras tidak memperhatikan apa yang orang lain pikirkan, bahkan jika itu melelahkan.

Itu sebabnya Tinasha menahan semuanya —semua yang ingin dia teriakkan. Tidak peduli bagaimana rasa kesal dan kebencian pada diri sendiri mencabiknya, dia tidak pernah membiarkannya muncul ke permukaan. Bahkan ketika luapan emosi itu membakarnya dari dalam dan dia pikir dia akan menjadi gila, dia masih mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia tidak berhak untuk mengungkapkan perasaan itu.

Pun dengan masa kecilnya yang ia habiskan hidup dalam kesendirian di beranda kastil yang terpisah.

Tidak ada yang bersamanya. Dia menyalahkan dirinya sendiri atas segalanya. Itu sudah lama menjadi kenyataan.

Penerimaan seharusnya sudah diterima, namun anehnya Tinasha selalu mendapati dirinya.. kesepian.

“Kamu membawaku kembali.”

“Tentu saja aku membawamu.”

Tinasha membenamkan wajahnya di bahu Oscar. Dia tetap tenang dan hangat seperti saat dia pergi.

Sesuatu mulai muncul dalam dirinya, menggodanya untuk terbuka, tetapi penyihir itu tidak tahu harus berkata apa. Hanya ada rasa panas menenangkan di dadanya. Begitu tenang hingga dia merasa siap untuk tenggelam dalam pelukan Oscar.

Tinasha tersenyum, bulu mata basahnya gemetar. “Banyak yang telah.... terjadi. Dulu dan sekarang."

“Mm-hmm.”

"Tetapi aku...."

Setelah sejauh itu, Tinasha mendapati dirinya tidak dapat melanjutkan. Dia yakin Oscar sudah tahu.

Dia bernapas dengan berat, dan saat Oscar membelai rambutnya, dia bergumam, "Oh benar..... Kamu tunanganku sekarang."

"Mengapa?!"

“Tanpa mengatakannya, aku tidak bisa membawamu kembali bersamaku. Sudah cukup buruk saat seseorang menyuruhku membunuhmu, tetapi pertunjukan kekuatan besarmu membuatmu mendapatkan seluruh daftar pelamar."

“Kamu harus menghormati pendapatku!”

“Kau sudah di sini; lakukan yang terbaik untuk setengah tahun yang tersisa,” Oscar menginstruksikan —bersikap angkuh seperti biasa.

Tinasha menarik diri untuk menghela napas dalam-dalam, tapi dia tidak bisa menghentikan seringai di wajahnya. Dia menatapnya dari balik bulu matanya yang panjang. "Terserah padamu, ya, pemegang kontrak."

Oscar mengangguk dengan sungguh-sungguh, dan dia memberinya senyum malaikat. Kemudian dia memeluknya lagi, membisikkan "Terima kasih" di telinganya.

_________



Setelah pertempuran di reruntuhan, Oscar segera duduk dengan semua anggota tingkat tinggi dari masing-masing negara.

“Baiklah, mari kita langsung mulai dan membahas diskusi tentang apa yang harus dilakukan setelah pertempuran. Rencananya adalah untuk menutupi segala yang kita bisa, termasuk bagaimana mengurus dia,” kata raja Farsas, udara tak tertahankan otoritas memungkiri sikap tenang. Wakil negara lain, termasuk Reust, menangkap ancaman yang melekat dalam kata-katanya dan menelan ludah.

Konferensi, yang diadakan di Kastil Tayiri segera setelah rombongan kembali, berjalan tepat waktu. Penyihir, yang kehabisan kekuatan dan diborgol dengan gelang segel Farsas, diistarahatkan di ruang terpisah. Jika mereka tidak memutuskan bagaimana menanganinya sebelum dia bangun, tidak ada yang bisa mengatakan bagaimana keadaannya.

Semua orang mengerti bahwa memasuki diskusi ini, meskipun semuanya dimulai dengan lapisan ketenangan. Fokus utama terarah pada Reust, kelompok tersebut membuat pengaturan mengenai kompensasi untuk pasukan yang dikirim Tayiri dan mage Cuscull diambil sebagai tawanan perang. Ketika pembicaraan akhirnya beralih ke apa yang harus dilakukan dengan penyihir itu, seorang jenderal Cezar —salah satu Empat Bangsa Besar— dengan sedia menawarkan diri sebagai yang pertama angkat bicara.

“Tentang penyihir itu... Apapun alasannya, dia memihak Cuscull dan dia sangat bersalah. Tidak ada waktu yang lebih baik untuk mengakhiri ancaman yang dia miliki selain saat ini... Akan ada satu ancaman yang lebih sedikit terhadap negeri kita.”

Di antara lima penyihir yang menjadi simbol zaman mereka, Tinasha tidak diragukan lagi adalah yang terkuat.

Pertempuran melawan Lanak telah menunjukkan sejauh mana kekuatannya. Selain itu, dia sekarang mengendalikan dua belas iblis tingkat tinggi. Dia bukanlah seseorang yang bisa mereka abaikan begitu saja.

Perwakilan Gandona, Negeri Hebat lain, sependapat. Keheningan konsensus implisit terjadi di seluruh ruangan.

Oscar mengamati kelompok itu, lalu meletakkan tangan yang terlipat di atas meja. “Masih ada ruang untuk diskusi tentang apakah dia bersalah. Kita dapat memastikan bahwa semua orang yang menghilang dari kota besar dan desa di Farsas dipulihkan tanpa cedera sebelum pertempuran."

"Apa...?"

“Sepertinya dia menggunakan semacam sihir tembus pandang hanya demi menyembunyikan mereka. Aku ingin tahu apakah ini sama untuk kota-kota yang 'diserang' di negara lain,” kata Oscar, meskipun dia tahu apa jawabannya. Kebingungan pecah di antara hadirin.

Satu-satunya hadirin yang tidak terkejut mendengarnya adalah Reust. Dia mengangkat tangan dengan lemah untuk menjawab, “Tayiri juga telah mengkonfirmasi apa yang terjadi di kota kami. Memang benar —tidak ada korban di mana pun dia terlibat. Aku tidak bisa mengatakan hal yang sama untuk kota pertama yang terbakar habis, tapi.. mungkin saja dia belajar dari insiden itu dan campur tangan dalam Cuscull untuk mengurangi kerusakan di masa mendatang.”

Tinasha dengan sukarela melakukan pekerjaan kotor demi memastikan tidak ada lagi korban.

Mereka yang berkumpul di konferensi itu telah melihat dengan mata kepala mereka sendiri apa tujuan Tinasha yang sebenarnya.

Ratu negara yang hancur. Penyihir yang hidup untuk itu telah tiada.

Oscar dan yang lainnya memikul kepentingan negara masing-masing di punggung mereka. Mereka semua merasa sangat tersentuh oleh kecantikan yang sangat canggung dan tulus dari wanita itu.

Pangeran ketiga Gandona bicara dengan gugup. “Dia pewaris Tuldarr, bukan? Bukankah itu berarti dia memiliki wawasan sihir yang telah hilang selama berabad-abad? Menurutku terlalu terburu-buru untuk mengeksekusinya saat dia tidak sadarkan diri,,,,,”

“Tapi kita tidak akan bisa menghentikannya begitu dia bangun. Dia seorang penyihir,” bentak Jenderal Cezar memperingatkan, dengan ekspresi masam di wajah.

Oscar segera memotong. “Jika dia bersamaku, aku bisa menghentikannya. Dia sangat masuk akal sebagai seorang penyihir. Dan aku yakin aku tidak perlu menjelaskan mengapa Farsas paling cocok untuk mengurusnya.”

“Akashia.”

Pedang kerajaan Farsas adalah satu-satunya senjata yang bisa membunuh penyihir.

Saat ini, gelang penyegel, yang terbuat dari bahan yang sama dengan Akashia, mengekang Tinasha. Saat ini, dia bukanlah ancaman. Raja Farsas adalah satu-satunya orang di negeri itu dengan barang-barang yang bisa melucuti senjata penyihir itu.

Agak ragu-ragu, jenderal Gandona memprotes, “Tapi bukankah itu berarti Farsas memiliki monopoli atas kekuatan penyihir? Jika dia masuk akal seperti yang Kau katakan, aku pikir banyak negara yang ingin meminjam kekuatannya."

“Jika yang harus kamu lakukan hanyalah meminta bantuannya, dia tidak akan tinggal di menara. Selama kita tidak melakukan apa-apa, dia sama sekali tidak berbahaya — hanya mondar-mandir membaca buku sepanjang hari. Tapi buatlah satu langkah salah dan dia akan menolakmu. Utusan Cuscull membuat kesalahan itu, dan dia menolak seruannya."

“Menolak utusan Cuscull? Bagaimana Kau tahu tentang itu?”

“Karena awalnya akulah yang membawanya turun dari menaranya,” Oscar mengakui. Mata Reust membelalak.

Yang lain bereaksi dengan cara yang sama. Semua orang tampak ingin mengatakan sesuatu tapi tidak dapat menemukan kata-kata. Perlahan, Oscar menatap setiap anggota konferensi secara bergantian. Duduk tegak dengan sempurna di kursi, dia berkata, “Aku yakin dia punya alasan tersendiri dalam insiden Cuscull, tapi pada akhirnya kesalahannya adalah kelalaianku. Aku minta maaf untuk itu dan bersumpah hal seperti ini tidak akan terjadi lagi."

Suaranya yang rendah dan resonan mengirimkan riak ke seluruh dewan. Perwakilan dari negara-negara besar lainnya saling bertukar pandang, tidak yakin bagaimana merespon apa yang dikatakan raja Farsas. Meskipun dia membuat posisinya sendiri sangat genting, Oscar melanjutkan tanpa basa-basi, “Mengingat hal itu, aku bermaksud menjawab kekhawatiran kalian hingga kalian sepenuhnya puas. Tanya saja."

Oscar memberikan beberapa alasan dalam debat tersebut, tetapi niat teguhnya masih terlihat jelas dalam sikapnya. Dengan keraguan jelas dalam nadanya, jenderal Cezar bertanya,

“Maaf, tapi kenapa anda begitu repot-repot demi dia?”

Penyihir itu adalah bencana hidup, keanehan yang keji. Mengapa dia, seorang bangsawan, mengambil langkah untuk melindunginya? Itu pertanyaan yang sangat wajar, dan Oscar menyeringai. "Mudah. Karena dia akan menjadi istriku."

"Apa........?"

Gelombang yang terlihat jelas dari berbagai tingkat keterkejutan mengalir melalui ruangan saat kepala semua orang berputar untuk melihat Oscar.

Raja muda Farsas hanya memberikan senyuman ringan pada kelompok yang sebagian besar tidak mengerti itu. Dia akhirnya mengambil cangkir teh dan menyesapnya.

Pada akhirnya, keputusan sudah dibuat; penyihir itu akan tinggal bersama Oscar.





“Aku hanya tahu dia melakukan sesuatu yang gegabah sehingga dia bisa membawaku.... Hmm, apa tidak apa-apa…?” Tinasha mengomel di antara suapan penuh sup di tempat tidur.

“Saya tidak akan khawatir tentang bagian itu. Dia juga berbaik hati membiarkan Renart dan saya tinggal bersama anda,” kata Pamyra sambil tersenyum lebar.

Itu jelas tidak mudah —Oscar tidak punya pilihan selain memaksakan pendapatnya pada poin-poin tertentu— tetapi dia berhasil meyakinkan perwakilan lain untuk menarik perhatian mereka tentang penyihir itu. Usai mendengarnya, Tinasha memutuskan bahwa dia harus menunjukkan perilaku terbaiknya setiap kali meninggalkan Farsas.

Pamyra kemudian menjelaskan satu hal lagi yang dia tahu wanita itu pikirkan. “Tayiri awalnya menahan para mage Cuscull yang menyerah, tapi kemudian mereka diizinkan pulang. Pangeran Reust telah menyatakan bahwa Tayiri mengakui Cuscull sebagai dominasi mage yang memerintah diri sendiri dan tidak dapat diganggu gugat."

“Wow, itu tidak terduga....”

“Tampaknya dia memasukkan orasi anda ke dalam hati. Terinspirasi oleh kejadian baru-baru ini, sejumlah warga Tayiri mulai angkat bicara tentang penganiayaan terhadap para mage. Beberapa anggota elit Tayiri memiliki anak yang terlahir dengan sihir yang dibunuh oleh negara."

“Ah..... aku mengerti sekarang. Itu akan bakal membantu banyak."

Korban tewas Tayiri pada akhirnya terdiri dari mereka yang tewas di desa pertama yang dihancurkan dan para prajurit yang gugur selama pertempuran di Dataran Asdra. Keduanya adalah tragedi tetapi mungkin menandai akhir dari sesuatu yang bahkan lebih besar. Hanya perjalanan waktu yang akan mengatakan dengan pasti.

Tinasha samar-samar merasakan perannya dalam perubahan baru-baru ini. Mengembalikan mangkuk kosongnya ke Pamyra, dia membicarakan subjek tentang satu orang terakhir yang dia khawatirkan. “Tahukah kamu apa yang terjadi dengan Tris?”

“Saya tidak tahu di mana dia sekarang, tapi.. saya yakin dia baik-baik saja dimanapun dia berada. Saya hanya tahu itu."

“Oh....”

Sepertinya Tinasha tidak berhasil menyelamatkan semua orang.

Dengan semua kekuatannya, prestasi seperti itu tidak mungkin. Seperti memutar ulang waktu atau membangkitkan kembali orang yang telah mati, ada beberapa hal yang tidak bisa dia lakukan.

Bahkan jika dia memiliki kemampuan, tidak mungkin mengharapkan satu orang membantu semua orang. Itulah sebabnya Tinasha sudah lama memutuskan bahwa dia tidak akan terlibat. Keputusannya untuk hidup sebagai penyihir adalah pilihan untuk hidup bagi mereka yang telah meninggal, bukan yang hidup.

Meski begitu, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berduka. Entah itu kemunafikan atau kepuasan diri, dia masih bebas melakukannya.

Tinasha menatap kanopi tempat tidurnya dan mendesah.

Semua yang dia usahakan sudah berakhir sekarang. Tidak ada lagi yang ingin dia lakukan. Jika dia meninggal keesokan harinya, dia tidak akan menganggapnya tidak pantas.... kontraknya dengan Oscar masih tetap ada.

Tinasha memutuskan untuk hidup lebih lama. Dia akan hidup untuk pria yang tidak membunuh dirinya.

Ketika dia berpikir seperti itu.... dia merasa sedikit senang karena masih hidup.

Post a Comment