Update cookies preferences

Unnamed Memory Vol 2; 7 Teatime

“Semua danau ajaib benar-benar telah sepenuhnya dibersihkan. Luar biasa.”









“Itulah tujuanku sejak awal.”

Satu pekan setelah Tinasha terbangun, Raja Oscar telah menangani hampir semua pembersihan pasca-pertempuran yang tersisa, dan Kastil Farsas benar-benar kembali normal. Di tengah latar belakang itu, dua penyihir sedang minum teh di ruang kastil.

Itu adalah sore yang cerah, dan Sylvia berbisik kepada Kav di meja sebelah, "Rasanya tidak aneh lagi melihat Nona Tinasha dan Nona Lucrezia di kastil ini.... Kurasa indraku tumpul...”

“Punyaku juga,” jawabnya.

Dua dari lima penyihir di daratan datang dan pergi dengan bebas dari kastil satu negara tertentu. Ini mungkin pertama kalinya hal seperti itu menjadi hal biasa selama Zaman Penyihir. Pada umumnya, mereka adalah personifikasi dari kekuatan dan ketakutan. Tingkat kekuatan tersebut baru-baru ini telah muncul untuk dilihat semua orang. Namun, pemandangan dua penyihir wanita yang dengan tenang menyesap teh ternyata sangat manusiawi.

Dengan cangkir teh di tangan, Lucrezia menunjuk ke Tinasha. “Aku juga mendengarmu mewarisi roh? Kau benar-benar siap untuk yang terburuk.”

"Jangan bicarakan itu," kata Tinasha dengan cemberut kesal.

Di belakangnya, Pamyra bicara dengan heran. “Mengapa anda tidak mewarisi mereka sebelum ini?”

Itu pertanyaan yang wajar. Penyihir yang seharusnya menjadi ratu Tuldarr meringis. “Aku tidak pernah merasa butuh akan kekuatan lebih dari yang sudah aku miliki, dan roh adalah simbol tahta Tuldarr. Bukankah konyol memiliki kuasa tetapi tidak memiliki negara? Negara dan penguasa adalah konsep yang ada untuk melindungi kesejahteraan rakyat."

Tinasha tersenyum, seolah mengatakannya, bahkan saat ini, dia tidak menggunakan kedua belas murid itu.

Apa yang dia katakan sangat masuk akal, dan Pamyra hanya mengangguk. Sylvia, Doan, Kav, Renart, dan mage lain semuanya tampak serius.

Meski begitu, dia adalah ratu tanpa tahta, pikir Pamyra.

Penyihir itu mengabaikannya sebagai sesuatu yang dia lakukan karena alasan pribadi, tetapi dia telah memilih untuk hidup selama empat ratus tahun untuk membebaskan jiwa-jiwa Tuldarr yang telah meninggal. Jika ada yang layak untuk memerintah, itu adalah dia.

Lucrezia meletakkan dagu ditangan dan menatap penyihir itu. Kemudian matanya menyipit penuh simpati. Sebelum Tinasha menyadarinya, penyihir lain itu menyeringai cerah dan sempurna. “Ngomong-ngomong, aku membawa kue jenis baru untuk kamu coba.”

"Sungguh? Jenis apa?" tanya Tinasha, matanya berbinar, dan Lucrezia membuat piring berisi banyak permen menakai sihir.

“Ini dia. Jadilah penguji rasa, kalian semua."

Kue itu dipotong menjadi bentuk bunga dan ditaburi gula di atasnya, tetapi membukanya mengungkapkan tiga lapisan dalam warna berbeda. Tinasha mencicipi yang pertama, diikuti oleh Sylvia, Pamyra, dan kemudian para pria. Mungkin Renart tidak terlalu suka makanan manis, karena dia ragu-ragu. Namun, setelah beberapa saat, dia menyerah dan ikut ambil bagian. Matanya membelalak. "Ini bagus."

Tampak senang, Sylvia mengambil yang kedua. “Itu benar-benar enak! Aku berada di surga!"

“Mm, terima kasih. Ambil sebanyak yang kamu suka.”

Sebagian besar dari mereka terpesona, tetapi Tinasha tampak tidak yakin setelah makan satu. Dia tampak sangat ragu, dan Lucrezia memiringkan kepalanya.

"Ada apa?" dia bertanya. “Apa kamu tidak suka rasanya?”

“Tidak, rasanya enak. Apakah kamu menaruh sihir di dalamnya?”

“Mm-hmm. Karena aku membuatnya dengan tiga jenis adonan, aku menggunakan sihir untuk menyesuaikan waktu memanggang."

"Begitu," kata Tinasha. Dengan keraguannya hilang, dia kembali mengambil kue. Saat dia menikmatinya, dia menyesap teh yang dia seduh. Kue Lucrezia selalu luar biasa. Tinasha telah terpesona akan rasa hasil masakan temannya sejak dia pertama kali menjadi penyihir. Lucrezia menatapnya sambil tersenyum saat Tinasha menyeringai bahagia.

Pada saat Tinasha mengambil yang ketiga, para mage lain sudah makan sebagian besar piring. Dia mengambil yang keempat dan memutarnya saat dia bertanya dengan polos, “Apakah sihir yang kamu gunakan itu baru? Kamu bilang kita menguji rasanya."

"Tidak, aku membubuhkan afrodisiak di dalamnya," aku Lucrezia, menyeringai gembira.

Semua orang membeku. Doan meletakkan kue yang setengah ia santap. Kav tersedak saat menenggak teh.

Tidak dapat dipercaya. Otot di wajah Tinasha bergerak-gerak. “Apa sebenarnya yang kamu mainkan di sini...?”

“Aku menguburnya dalam-dalam dalam mantera sehingga kamu tidak akan menyadarinya, tapi kamu masih menangkap sihirnya. Kurasa aku cukup naif saat berharap kau tidak mengendusnya."

"Aku memintamu untuk memberi tahuku mengapa Kau melakukan itu!"

Sihir mulai berderak dan berkilau di udara di atas meja. Seluruh mage memucat saat melihatnya.

"Mungkin kita harus memanggil Yang Mulia....." Kav bergumam kepada teman-temannya dengan suara rendah.

“Oh, mungkin.”

Tidak ada yang menyukai gagasan untuk menjelaskan bagaimana kastil jatuh ke ketidaksenonohan.

Saat Kav mencoba keluar dari ruangan tanpa disadari, Lucrezia menghalangi jalannya dengan penghalang.

Penghasut kekacauan ini mengamati semua orang dengan mata percaya diri. “Setidaknya dengarkan dulu apa yang harus aku katakan. Kalian akan mulai merasakan efeknya kira-kira dua jam dari sekarang. Itu datang dengan cukup kuat, jadi aku akan merahasiakan detailnya. Juga, itu akan berlangsung sekitar tiga hari, jadi kalian tidak bisa begitu saja mengurung diri di dalam kamar.”

Penjelasan itu lebih buruk dari yang diharapkan, dan Tinasha membenamkan wajahnya di satu telapak tangan, benar-benar jengkel. Sylvia memohon kepada Tinasha dengan mata berlinang, "Bisakah kamu mematahkan mantranya?"

“Ini adalah buah karya Lucrezia, jadi dua jam tidak akan cukup...”

“Oh tidak.... Apa yang akan kita lakukan....?”

Cemas tidak akan berguna. Menjatuhkan tangan, Tinasha menyilangkan lengan dan bersandar di punggung kursi. Sambil mendesah, dia menatap temannya. “Baiklah, apa yang kamu ingin kami lakukan?”

“Instingmu tepat.”

"Kau pikir sudah berapa ratus tahun aku mengenalmu?"

Keduanya telah berbagi percakapan yang tak terhitung jumlahnya yang serupa dengan ini. Dengan senyum cerah di bibir, Lucrezia mengulurkan tangan kanannya di atas meja. Di atas telapak tangannya melayang gambar sebuah cincin.

Itu adalah pita perak bertuliskan mantra sigil dan bertatahkan garnet kecil.

“Aku kehilangan ini beberapa waktu lalu. Aku ingin Kau mencarinya."

“Kapan dan di mana hilangnya?” Tinasha menekan.

“Lima ratus tahun yang lalu di rumah.”

“Itu sebelum aku lahir! Bersihkan rumahmu!” bentak Tinasha.

“Sudah tidak ada lagi di rumah aku, aku yakin itu,” jawab Lucrezia.

Tinasha mengeluarkan erangan frustasi. Lucrezia suka teka-teki dan menggunakan trik untuk meminta bantuan orang lain. Namun, tidak ada cukup petunjuk untuk melanjutkan. Tentunya, Lucrezia tidak begitu kejam untuk menyangkal kesempatan terbaik mereka.

“Beri aku informasi sedikit lebih banyak. Tidak mungkin aku dapat menemukannya dengan begitu sedikit hal yang ku miliki untuk melakukannya,” pinta Tinasha.

"Aku yang membuatnya, jadi itu diwarnai dengan sihirku."

“Kamu tidak bisa melacaknya?”

"Nggak. Aku tidak bisa melihatnya,” jawab Lucrezia.

Ada beberapa skenario di mana penyihir tidak bisa melacak sihirnya sendiri. Itu bisa jadi menempatkan objek di belakang penghalang yang sangat aman atau pada orang dari seorang pengguna sihir yang kuat. Gudang pusaka adalah satu-satunya tempat di kastil dengan penghalang seperti itu. Tinasha sendirilah yang memperkuatnya setelah insiden dengan Miralys.

Setelah memikirkannya, Tinasha menatap temannya. "Dua jam?"

"Dua jam. Jika Kau berhasil tepat waktu, aku akan membatalkan mantranya."

"Dan jika aku tidak berhasil?"

"Kalau begitu aku akan terhibur."

"Aku akan meledakkanmu ke langit," gerutu Tinasha, bangkit berdiri. Dia melihat sekeliling pada mage lain. “Yah, kurasa sebaiknya aku mulai bekerja.” Dan begitulah, suaranya terdengar lelah.

xxxxx



"Jadi aku perlu akses ke ruang harta pusaka."

“Kamu belum memberitahuku kenapa. Jelaskan dulu,” desak Oscar, tidak mengangkat muka dari kertasnya. Tinasha tiba-tiba berteleportasi ke ruang kerjanya.

Dia sekarang adalah raja, tetapi dia masih menggunakan ruang yang sama dengan yang dia miliki sebelum dinobatkan. Memindahkan semuanya nyatanya terlalu merepotkan.

Tinasha telah meramalkan responnya, dan ia menyatukan kedua telapak tangannya di depan wajahnya dan memohon, "Aku benar-benar lebih suka tidak membahasnya. Tidak ada waktu. Kumohon."

"Tidak. Katakan padaku. Aku sudah berencana untuk mengomelimu nanti tentang kerahasiaanmu."

“Urgh....”

Kegagalan Cuscull telah merampas kepercayaan Oscar pada Tinasha. Dengan sangat menderita, dia berhasil menyampaikan inti dari situasinya saat ini. Pada saat selesai, Oscar tertawa terbahak-bahak.

“Aku bisa melihat kau tidak bersimpati atas penderitaan kami,,,,,”

“Kau tidak bisa mengharapkanku untuk tidak tertawa. Apa yang kalian para penyihir pikirkan?"

Sebagai sosok dengan sihir paling hebat dari kelimanya, Tinasha tidak bisa berkata apa-apa. Sebaliknya, dia menundukkan kepala dengan sedih. Oscar bangkit dari kursi dan menepuk kepalanya. "Yah, menurutku itu sangat menghibur, jadi aku tidak keberatan jika kau tak menemukan cincin itu."

“Ini sama sekali tidak menghibur! Pikirkan baik-baik inti permasalahannya!”

“Kau menuai apa yang Kau tabur. Jangan makan makanan yang mencurigakan,” oceh Oscar dengan tenang saat dia menuju pintu. Dia membukanya dan berbalik untuk memberi isyarat bahwa dia harus mengikutinya. “Baiklah, ayo. Kamu tidak punya banyak waktu, kan?” Tinasha bangkit dan mengejarnya.

xxxx



Saat Oscar dan penyihir itu berjalan menyusuri koridor menuju gudang harta pusaka, Oscar membahas setiap detail kesulitan Tinasha.

“Jadi ini benar-benar akan mempengaruhimu, huh? Aku pikir ramuan sihir biasa tidak mengganggumu."

"Yang dibuat Lucrezia adalah pengecualian...... Dulu dia memberiku berbagai macam ramuan aneh."

“Namun kamu kembali makan sesuatu yang dia buat. Aku tidak mengerti."

“Karena rasanya enak.”

Tak lama setelah melewati sekelompok penjaga, mereka melihat pintu lemari besi. Oscar mendekat dan mendorong benda raksasa itu hingga terbuka. Begitu masuk, Tinasha mengulurkan sihirnya untuk mencari di tempat itu.

Tidak mengherankan baginya bahwa dia mendeteksi beberapa objek tak dikenal yang beresonansi dengan kekuatan aneh, tetapi tidak satupun dari mereka membawa tanda sihir Lucrezia.

“Tidak ada di sini... Hmm, jadi tebakanku salah....?”

"Sayang sekali," ujar Oscar, tidak terdengar seperti dia benar-benar khawatir. Tinasha memelototi pria yang tampak sangat puas hanya dengan melihat segala sesuatunya berjalan lancar.

“Apakah Kau punya ide lain?” Oscar bertanya.

“Aku punya satu yang cukup aku yakini. Gudang harta pusaka Tuldarr."

“Itu masih ada?!”

“Sudah lama disegel, tapi sekarang setelah naik takhta, aku mestinya bisa membukanya. Aku akan memeriksanya,” kata Tinasha. Dia lalu mulai menyusun array transportasi.

Oscar menghentikannya. “Kedengarannya menarik. Bawa aku bersamamu."

Tinasha terkejut tetapi dengan cepat menyeringai dan mengambil tangannya, mengatur ulang array untuk membuka gerbang.

xxxxxx



Keduanya berteleportasi ke tengah hutan belantara yang lengang. Di kejauhan reruntuhan katedral terlihat —pemandangan pertempuran baru-baru ini. Setelah berkeliling untuk sesaat, Tinasha melihat sesuatu dan berhenti.

Perlahan, dia mengangkat tangannya ke atas tanah.

“Aku adalah ratu. Buka jalanmu.”

Merespon keputusan penguasa, mantra sigil putih melayang dari permukaan. Beberapa detik kemudian itu lenyap, meninggalkan tangga batu yang turun di bawah tanah sebagai gantinya.

“Wah, apa ini? Luar biasa,” komentar Oscar.

“Pintu masuknya memiliki sihir. Kemungkinan besar tidak ada yang datang ke sini sejak Tuldarr jatuh,” kata Tinasha, memanifestasikan bola cahaya di tangan kanannya dan dengan sigap menuju ke bawah tangga bayangan. Oscar mengikutinya.

Setelah menuruni dua anak tangga menuju udara yang semakin stagnan, mereka memasuki ruangan batu yang luas.

Begitu mereka menginjak tanah, tempat lilin di dinding berkedip-kedip hidup. Cahaya itu menyinari tumpukan benda ajaib yang berantakan di rak dan meja batu. Itu tampak seperti kamar penyihir di menaranya.

“Mulai sekarang aku harus memastikan untuk menata di sini.”

“Wow.. Lihat semua alat sihir ini,” kata Oscar, mengambil bola kristal di dekatnya. Di dalamnya melayang gambar pantai yang tidak dikenal.

Matanya terfokus ke depan, Tinasha memperingatkan, “Beberapa dari benda-benda ini bisa diaktifkan dengan sentuhan. Itu berbahaya, jadi cobalah untuk tidak menyentuh apapun.”

"Dimengerti. Aku akan berhati-hati,” kata Oscar, mengembalikan bola kristal ke tempatnya. Tinasha berbalik dan menggunakan sihirnya untuk mencari di sekitar, seperti yang dia lakukan di Farsas. Karena hampir setiap objek di lemari besi itu memiliki sihir, Tinasha butuh waktu lebih lama untuk membedakan satu benda dari benda lain. Dengan hati-hati, dia memilah-milah setiap sudut dan celah, berhati-hati agar tidak melewatkan detail kecil apa pun.

Setelah dia berkeliaran di seluruh lemari besi, Oscar kembali ke sisi Tinasha. "Apakah itu disini?" Dia bertanya.

"Tidak!" Tinasha berseru ngeri. Berdasarkan cerita dari Lucrezia, bagaimanapun juga, seharusnya begitu. Tinasha memeriksa waktu dan merasakan sesuatu di perutnya saat dia menyadari hanya satu jam yang tersisa. Penyihir itu berpikir apakah mungkin lebih baik untuk kembali ke Farsas dan mengaku kalah pada temannya.

Saat Tinasha panik, Oscar menjatuhkan tangan di atas kepalanya. “Pikirkan sekali lagi. Pasti ada petunjuk. Apa bedanya hari ini dibandingkan dengan saat-saat kamu bertemu dengan Lucrezia?”

“Hmm... Yang paling jelas adalah aku telah merebut tahta Tuldarr. Yang lainnya adalah aku punya Pamyra dan Renart, tapi Lucrezia tidak tahu tentang mereka sampai dia tiba di kastil hari ini, jadi kurasa bukan itu. Hal terakhir yang terpikir olehku adalah kau sekarang adalah raja."

“Itu mengingatkanku, aku pernah melihat Lucrezia sekali setelah dinobatkan.”

“Kamu melihatnya?” Tinasha bertanya. Dia tertarik untuk mengetahui situasi pertemuan mereka, tetapi sekarang bukan waktunya untuk bertanya tentang itu. “Aku benar-benar berpikir itu ada hubungannya dengan Tuldarr, karena dia kehilangan cincinnya lima ratus tahun yang lalu. Tidak banyak yang tersisa dari zaman itu. Bagaimanapun juga, itu adalah Abad Kegelapan. "

“Apakah tidak ada bangunan lain yang masih berdiri?”

“Terkait fasilitas bawah tanah, hanya ini dan Spirits 'Hall.”

Saat itu juga, Tinasha dan Oscar saling tatap. Oscar mengacak-acak rambut penyihir itu. “Sepertinya kita tahu kemana tujuan kita selanjutnya. Bisakah kita sampai ke sana dari sini?”

“Tidak, keduanya tak terhubung. Aku harus mendapatkan koordinatnya setelah kita berada di atas permukaan tanah. Aula pasti terletak tepat di bawah puing-puing katedral.”

Keduanya kembali ke reruntuhan katedral, lalu dari sana berpindah ke bawah tanah.

Aula Roh adalah ruang bulat dan kosong yang dilapisi batu sejauh mata memandang.

Normalnya, salah satu dari dua belas roh yang belum diklaim bersemayam di sini sebagai patung. Tinasha mewarisi semuanya, bagaimanapun, bahkan tidak meninggalkan kerikil di tempat itu.

Sengan lampu sihir di tangan, mereka masing-masing mengambil sisi aula yang luas dan mulai menjelajah. Di tengah perjalanan, Oscar menemukan sebuah pintu di dinding luar.

“Apakah ini terhubung ke suatu tempat?”

“Ini sebenarnya terhubung ke kastil, tapi mungkin sudah lama tidak runtuh.”

Selain pintu, mereka tidak menemukan apapun. Mereka berpencar untuk memutari ruangan dan bertemu kembali di tengah.

"Sepertinya tidak ada di sini," Oscar mengamati.

“Tidak, tidak. Aku tidak bisa merasakan apapun. Aku pikir aku akan memanggil salah satu dari mere berdua belas dan bertanya kepada mereka ... Raja Zayurk memerintah lima ratus tahun yang lalu, jadi aku akan meminta salah satu roh lamanya."

Tinasha mengangkat bahu, lalu memanggil dengan santai, "Senn, kemarilah." Sebagai tanggapan, roh muncul di hadapan mereka.

“Ratuku. Apa yang anda butuhkan?" tanya roh dalam rupa seorang pria berusia pertengahan dua puluhan. Rambut putihnya pendek dan agak kebiruan. Matanya merah padam. Seringai licik terlihat di wajah tampannya.

Tinasha menyilangkan lengan dan bicara dengan jelas. “Apa kau tahu Penyihir Hutan Terlarang?”

“Saya kenal dengannya.”

“Aku mencari cincin yang dia buat. Cincin garnet perak.”

Karena roh ini telah aktif ketika cincin itu hilang, Tinasha mengira dia mungkin memiliki pengetahuan tentang itu. Itulah kenapa Tinasha memanggilnya, tapi jawabannya jauh melebihi apa yang diharapkan Tinasha.

"Saya memilikinya," katanya.

“Kamu apa?! Mengapa?!" dia menjerit liar sebelum dia bisa menahan diri. Dia tidak pernah membayangkan bahwa roh itu memiliki benda yang dimaksud. Kepalanya berputar ketika dia berpikir keras apa yang sedang terjadi, tetapi Oscar menyodok punggungnya untuk mengingatkannya tentang batas waktu. Mengingat urgensi kesulitannya, Tinasha bertanya, “Maukah kamu memberikannya padaku? Dia menginginkannya."

"Itu milik saya. Tapi jika ratu menginginkannya, saya akan menurut,” katanya, tampak sedikit ragu tapi tetap tersenyum.

Tinasha merasa agak bimbang. Dia menolak pemikiran untuk menyita properti seseorang hanya karena dia adalah tuannya. Dalam keadaan seperti itu, Tinasha hanya memiliki sedikit jalan lain selain menerima kejahatan yang lebih ringan. Tampak masam, Tinasha mengangguk. “Lalu aku akan memberi perintah. Berikan cincin itu padaku. Setelah aku memberikannya kepada Penyihir Hutan Terlarang, aku bisa mencoba bernegosiasi untuk mengembalikannya padamu."

“Itu tidak diperlukan. Jika dia menginginkannya, itu saja jawaban yang aku butuhkan,” jawab Senn sambil mengulurkan tangan. Tinasha mengulurkan tangan. Sebuah cincin muncul dari udara tipis dan jatuh ke telapak tangannya. Dia memeriksanya dan memastikan bahwa semua sigil dan batunya adalah yang digambarkan Lucrezia.

Untuk memastikan dia tidak kehilangannya, Tinasha meletakkan cincin itu di jarinya sendiri. Itu sangat longgar padanya, seperti cincin pria. Dia menutup tangan satunya di sekitar perhiasan kecil itu.

"Terima kasih. Aku merasa tidak enak tentang ini,” akunya.

“Itu tugas yang mudah. Saya undur diri, "kata Senn dan menghilang secepat dia tiba.

Penyihir itu berbalik dan menunjukkan cincin itu pada Oscar. Dia menatap bagaimana itu praktis jatuh dari jari rampingnya. “Kau berhasil tepat waktu,” katanya.

"Terima kasih atas bantuanmu" jawab Tinasha, menghela napas lega. Kemudian dia meraih lengannya dan mengucapkan mantra transportasi kembali ke kastil.

xxxxxx



Setelah Oscar memberikan kesan tentang petualangan kecilnya —“Itu menyenangkan”- dan kembali bekerja, Tinasha kembali ke ruang tunggu tempat Lucrezia dan mage yang mabuk afrodisiak menunggu.

Mereka masih menyesap teh seperti saat dia pergi, dan Tinasha menatap mereka dengan jengkel. "Aku senang kalian semua menerimanya dengan tenang."

Doan mendongak dari buku mantra, kelelahan terlihat di wajahnya. “Aku merasa kami harus beradaptasi dengan segala hal belakangan ini. Sebagai perbandingan, hal seperti ini sepertinya tidak perlu diributkan...”

Ekspresi orang lain hampir sama; tampaknya mereka setuju dengannya. Di sisi lain, wanita yang menjadi penyebab semua ini menyeringai senang. "Apakah kamu menemukannya?"

"Ya," jawab Tinasha, melepaskan cincin itu dan melemparkannya ke temannya yang berseri-seri. Lucrezia menyambarnya saat melayang di udara. Para mage menatap mereka, dengan saraf tegang.

Penyihir Hutan Terlarang memutar cincin di jarinya, memeriksanya, lalu tersenyum. “Mm-hmm, terima kasih.”

Semua orang menghela nafas lega. Tinasha memijat pelipisnya, benar-benar kelelahan karena hari lain yang dihabiskannya melilit jari kelingking Lucrezia. "Lain kali, tanyakan saja seperti biasa," desaknya.

“Oh, tapi di mana kesenangannya?”

“Yang paling penting. Pergi dan batalkan mantranya,” desak Tinasha. Lucrezia mengulurkan tangan kirinya. Seketika, desain mantra muncul di sana sebelum menghilang dari pandangan. Pada saat yang sama, mereka yang terkena sihir tiba-tiba merasa bebas dari efek sihir yang berbahaya. Sebagai pembuat mantera, Lucrezia hanya butuh beberapa saat untuk membatalkannya. Orang lain pasti membutuhkan mantera panjang dan itu dengan asumsi mereka bisa memecahkannya sama sekali.

"Luar biasa ... Kamu selalu menyia-nyiakan begitu banyak sihir," keluh Tinasha.

“Itu yang terbaik yang bisa aku lakukan, oke? Aku tidak seperti kamu." Lucrezia mendengus.

"Inilah mengapa mereka menyebutnya Zaman Penyihir...," gerutu Tinasha sambil melayang ke arah temannya. Setelah semua masalah itu, dia menginginkan penjelasan yang layak.

Tinasha duduk dan meletakkan dagu di tangannya, terlihat sangat tidak senang. “Jadi, apa-apaan itu tadi?”

Dengan cincin besar di jarinya, Lucrezia mengangkat alis. Senyum meleleh dari wajah cantiknya, dan dia cemberut seperti anak kecil. Melirik Tinasha sekilas, dia bergumam dengan kesal, "Aku memberikannya kepada kekasih lamaku."

"Apa?" Kata Tinasha, matanya membulat dan lebar. Dia tidak percaya akan apa yang dia dengar.

Mengabaikannya, Lucrezia melambaikan tangan. "Selamat, aku harus pergi!" Dengan itu, dia mengedipkan mata keluar dari pandangan.

Tertinggal di dalam debu, Tinasha menatap kosong ke arah tempat duduk temannya sampai beberapa saat yang lalu. “A-apa-apaan ini...?”

Sesuatu jelas-jelas terjadi antara Lucrezia dan roh Senn bahkan sebelum Tinasha lahir.

Ternyata, masih ada banyak hal yang tidak dia mengerti, bahkan setelah hidup selama ratusan tahun.

Tinasha menatap tangan telanjangnya. Dia merasa bahwa cincin perak itu berisi cinta dan kasih sayang seseorang.

Post a Comment