2. Duri Orang buangan
Farsas memiliki iklim yang sejuk sepanjang tahun, tetapi akan menjadi lebih dingin selama dua hingga tiga bulan dalam setahun.
Pada suatu hari yang menyenangkan, angin sejuk berhembus dari jendela yang terbuka.
Di tempat kerja di ruang kerjanya, Oscar mendengar suara samar seseorang bernyanyi di sela-sela angin dan berhenti. Itu adalah suara si penyihir wanita.
Lazar mendongak dari tumpukan kertas yang telah dia rapikan. “Itu Nona Tinasha. Tumben dia bernyanyi.”
"Aku penasaran dengan apa yang terjadi," kata Oscar.
Dia pernah mendengar Tinasha bernyanyi berkali-kali sebelumnya, tapi itu selalu memiliki suatu tujuan. Dia ingin tahu apakah sekarang dia juga punya alasan.
Raja bingung tentang hal itu saat dia melakukan pekerjaannya dengan nada suara wanita itu sebagai suara latar. Oscar mengerutkan kening ketika dia melihat Lazar pergi dengan setumpuk kertas hanya untuk kembali dengan sepiring permen. "Apa yang kamu lakukan dengan itu?"
“Ah, yah, aku bertemu Pamyra... Kami berbicara tentang nyanyian, dan dia memberikan ini padaku.”
"Aku tidak mengerti... Apa kembali dia merencanakan sesuatu?" Oscar bertanya.
Yang dikatakan "dia," itu bukanlah Pamyra, tetapi penyihir yang Pamyra layani. Lazar memiringkan kepalanya dengan bingung, meletakkan hidangan manisan di atas meja Oscar. Sepuluh menit kemudian, piring itu kosong.
____________
“Dan begitulah caramu merapal lagu kutukan,” Tinasha menyimpulkan. Lagunya selesai, dia melihat ke Als dan Meredina dengan senyum tegang di wajahnya.
Regu mage yang biasa berkumpul di ruang tunggu, hari ini kedua perwira militer itu ikut bergabung. Bisa dibilang, mereka dibawa untuk bertindak sebagai subjek uji.
Para mage memperhatikan Als dan Meredina dengan napas tertahan, tetapi keduanya tidak tahu mengapa semua orang menatap mereka dengan saksama. Sama sekali tidak menyadarinya, Als menyesap teh. Itu sangat penuh dengan gula sehingga tidak semuanya larut.
Renart si mage berbalik dengan jijik. "Aku bisa mual hanya dengan melihat itu..."
“Namun dia tidak. Luar biasa.”
"Begitulah cara kerjanya," jelas si penyihir wanita, membasahi tenggorokan dengan seteguk teh, tanpa pemanis. Setelah mengambil napas dalam-dalam dan melakukan beberapa peregangan, dia melanjutkan kuliahnya. “Namun, lagu kutukan tidak pernah terlalu kuat, karena pada dasarnya sama seperti kutukan. Menempatkannya pada orang banyak akan melemahkan kemanjuran, dan para mage dapat menahan pengaruhnya tanpa terlalu banyak kesulitan.”
Setelah mendengar itu, Doan menjawab dengan penuh ketertarikan, "Berapa banyak manusia yang bisa dikendalikan secara realistis?"
“Hmm, itu tergantung pada kemampuan perapal, tapi lagu kutukan seharusnya bisa memanipulasi suasana hati dan tindakan sederhana manusia. Namun, sulit untuk membuatnya melakukan sesuatu yang secara langsung akan merugikan orang lain atau diri mereka sendiri jika pada awalnya mereka tidak ingin melakukannya. Keunggulan lagu kutukan adalah kekuatannya untuk memaksa seseorang mengambil tindakan spontan tanpa menyadari bahwa mereka sedang dimanipulasi. Korban dalam keadaan sadar dan terang.”
Semua orang menatap Als. Dia mengambil sisa gula di cangkirnya dan memakannya.
Sylvia menatapnya dengan simpati. “Apa lagu kutukan bisa dibatalkan...?”
“Hanya jika itu sudah didesain. Itulah mengapa lagu kutukan yang paling berbahaya adalah lagu yang dinyanyikan oleh orang yang tidak menyadarinya. Meski hal itu kadang-kadang terjadi, penyanyi tersebut biasanya tidak memiliki sihir dalam jumlah yang signifikan, jadi lambat laun efeknya akan hilang secara alami. Cara lain untuk menyembuhkan efeknya adalah dengan membersihkan sihir yang masuk ke tubuh pendengar,” jawab Tinasha.
Sylvia mengangguk, dan kemudian giliran Kav yang mengajukan pertanyaan. "Jadi bagaimana jika kutukan itu ditempatkan dengan sengaja oleh penyihir yang kuat?"
"Itu akan sangat sulit untuk dibatalkan," penyihir itu mengakui, sedikit menghela napas dan memiringkan kepala dengan serius ke satu sisi, lalu ke sisi lain, lalu kembali lagi. “Kalian akan membutuhkan waktu dan upaya untuk merusak lagu kutukan dengan konfigurasi mantra yang solid dijalin ke dalamnya. Salah satu komplikasi dasar dari lagu kutukan adalah bahwa itu harus dinyanyikan dengan baik agar efektif. Itu harus membuat pendengar fokus pada lagu. Jika hanya memberikan perhatian parsial, efeknya tidak akan meresap. Si perapal harus memiliki bakat sihir dan musik, yang menjadi standar tinggi dalam hal prasyarat.
"Aku mengerti," jawab Kav. Semua mage menggelengkan kepala, meskipun Als dan Meredina tidak. Tidak banyak orang yang bisa menyanyikan lagu kutukan, jadi ini adalah pengalaman belajar yang baik bagi para penyihir. Dalam sejarah, banyak kasus yang belum terpecahkan yang telah melahirkan catatan kaki yang mengakui bahwa berbagai keadaan aneh bisa jadi diakibatkan oleh lagu-lagu kutukan. Namun, tidak ada insiden seperti itu yang tercatat dalam tiga ratus tahun terakhir.
Meredina diam; dia tahu mereka sedang mendiskusikan musik, tapi dia tidak bisa memahami nuansanya. Dia mengambil gula batu dari toples dan mengunyahnya. Semua mata tertuju padanya, dan penyihir wanita itu mengerutkan kening. "Itu akan tidak sehat, jadi aku akan membatalkan mantranya."
“Tinasha!”
Teriakan namanya datang dari ambang pintu, dan dia tersentak secara refleks. Hanya ada satu orang di kastil yang memanggil dirinya dengan nama langsung. Dia berbalik dengan gugup untuk melihat Oscar berdiri di sana tampak sangat tidak senang.
“A-ada apa...?” dia bertanya.
“Kamu baru saja melakukan sesuatu dengan lagumu, bukan?”
“Kau mendengarnya?!” serunya kaget.
“Sepertinya dia mendengarnya, dan saya memberinya sepiring permen....,” kata Pamyra dengan ekspresi sedih di wajahnya.
Penyihir wanita itu terdiam.
"Aku merasa sakit," keluh Oscar.
"Maafkan aku...," jawab penyihir wanita, menundukkan kembali kepalanya. Dia telah membatalkan kutukannya. Als merosot di atas meja, mengerang karena sakit perut. Oscar sedang menenggak teh kental. Seumur hidupnya dia belum pernah mengonsumsi permen sebanyak itu. Dia merasa mual. Meredina, bagaimanapun juga, tidak terlalu lemah dengan makanan manis. Dia diam-diam menyesap secangkir teh.
Oscar mengalihkan pandangannya ke Tinasha. “Mungkin kamu seharusnya memanggil beberapa orang lainke kastil ini.”
“Aku mengaturnya agar hilang dalam tiga puluh menit... Aduh, aduh, aduh!” dia berseru. Oscar menggiling tinjunya ke pelipisnya saat memelototi para mage lain. Mereka semua menunjukan wajah bersalah, menundukkan kepala saat sang raja menegur mereka.
"Aku senang atas suguhan langka lagumu, dan di sini Kau tidak melakukannya dengan baik," kata Oscar.
“Aku percaya bahwa demonstrasi praktis akan menjadi yang paling mudah untuk dipahami...,” jawab Tinasha.
Oscar merasa aneh melihat dia bernyanyi tanpa alasan, tetapi tujuannya ternyata lebih mengerikan daripada yang bisa dia duga. Tidak hanya itu, lagunya juga diresapi dengan sihir, seperti lagu yang barusan itu membawa seseorang ke kematian. Oscar mengingat kembali apa yang telah dia pelajari selama insiden itu. “Jika lagu itu dilakukan dengan baik, itu bisa mengendalikan hati seseorang sampai tingkat tertentu bahkan jika tidak ada keajaiban di baliknya, kan?”
“Kalau ditulis dengan bagus, ya. Itu sebenarnya sangat jarang,” jawab Tinasha.
"Anehnya kau mahir menyanyi," tuduhnya.
“Aku pernah mencari nafkah sebagai penyanyi,” jawabnya.
Semua orang terkejut mendengar cerita Tinasha yang tak terduga itu. Dia dulu tinggal di istana Tuldarr sebagai calon ratu sampai dia berusia tiga belas tahun dan menjadi penyihir wanita. Oscar tiba-tiba menyadari bahwa dia tidak tahu kapan tepatnya dia pindah ke menara. Dia melepaskan pandangan ragu pada Tinasha, dan dia mengernyit.
“Seratus tahun pertama aku menjadi penyihir wanita, aku melakukan banyak hal berbeda. Aku tidak tahu cara hidup sendiri. Tetap saja, aku pada saat itu membenci manusia, jadi aku fokus pada aktivitas yang bisa aku lakukan tanpa perlu berbicara dengan siapa pun.”
"Jadi bernyanyi," Oscar menyimpulkan.
“Tepat setelah aku meninggalkan negaraku, aku berubah menjadi semacam pengembara. Aku kemudian sedikit belajar berpedang. Senang mencoba segala macam hal,” kata Tinasha sambil tersenyum damai. Tidak terbayangkan menganggapnya sebagai seseorang yang pernah membenci manusia. Namun, ketika seseorang menganggap peristiwa yang membuatnya menjadi penyihir wanita, itu praktis tidak dapat dihindari.
Tinasha tumbuh besar di istana kerajaan Tuldarr sejak bayi, tidak tahu apa pun selain tembok. Kemudian dia tiba-tiba kehilangan segalanya dan mendapati dirinya terdesak menjadi sendirian. Apa yang telah dia lalui untuk sampai ke sini? Memikirkan kesulitannya selama empat ratus tahun, Oscar hanya bisa membelai rambut penyihir wanita itu. Dia menutup matanya dengan gembira seperti dirinya.
Oscar tidak berpikir dirinya akan pernah mengerti semua hal yang telah dia rasakan. Akan sangat arogan untuk percaya bahwa dia mampu merasakannya.
Tinasha telah menempuh jalannya sendiri, dan dia ada di sini sekarang.
Menyadari bahwa semua orang menatapnya dengan iba, penyihir wanita itu bergegas mengabaikan kekhawatiran mereka. “Oh tidak, ini tidak seperti yang kalian bayangkan. Aku cukup liar.”
"Kamu liar, ya?" kata Oskar.
“Ya... Ya...,” jawab Tinasha dengan mengangguk, memberinya senyum ragu-ragu.
Penyihir wanita cenderung menjadi sosok yang berubah-ubah yang mendatangkan petaka, tetapi Tinasha sekarang tidak seperti itu. Mengistirahatkan dagunya di satu tangan, Oscar menatapnya.
“Kedengarannya seperti kamu menyanyikan satu atau dua lagu kutukan.”
“.....”
“Jangan bilang kau benar-benar melakukannya......”
“Tidak—ya... Mm...,” jawab Tinasha, coba mengelak. Dia menyesap teh saat semua orang menatapnya. Dia menekan jari ke pelipis. “Jujur, hampir semua insiden lagu kutukan yang terjadi tepat setelah jatuhnya Tuldarr adalah ulahku. Itu mungkin adalah batas dari sihir semacam itu.”
"Apa?"
Semua terdiam membisu. Bahkan Oscar tidak bisa berkata-kata.
Peristiwa yang dimaksud Tinasha adalah semua misteri sejarah kuno. Salah satunya melibatkan sebuah kota di Gandona yang tiba-tiba lepas landas dan mendarat di tempat yang berbeda. Ada juga yang melibatkan anggota komplotan besar pencuri senjata yang saling serang sambil mempersiapkan serangan berikutnya. Satu hal yang sama dari semua saksi dari setiap kasus adalah bersaksi bahwa mereka mendengar seorang wanita bernyanyi, yang membuat orang menyimpulkan bahwa itu adalah ulah lagu kutukan.
Setelah mengungkapkan bahwa dia adalah si pembuat ulah, Tinasha menyesap teh dengan canggung. Oscar menatapnya dengan sedikit putus asa. "Kau pikir apa yang kau lakukan...?"
“Saat itu, aku masih muda dan bersumbu pendek,” jelasnya.
"Kau sekarang juga cukup bersumbu pendek," balasnya.
"Aku sekarang benar-benar sudah jauh lebih baik!" Tinasha keberatan, dan itu adalah akhir topik pembicaraan.
________
Menteri Dalam Negeri Nessan, beberapa magistrat lain, dan Kepala Penyihir Kumu berkumpul untuk sebuah pertemuan. Mereka membawa serta laporan tahunan dari kota-kota besar, yang disusun untuk jaminan.
Seorang raja baru telah naik takhta. Namun, bahkan sebelum penobatannya, Oscar telah memikul hampir semua tugas ayahnya, jadi tidak ada masalah khusus dalam urusan dalam negeri Farsas. Para magistrat mengikatkan tali pada tumpukan laporan dan berhenti sejenak untuk istirahat.
Tahun telah berakhir bulan depan. Meskipun ada banyak masalah dalam beberapa hari terakhir, sepertinya semuanya akan selesai tanpa masalah signifikan. Sekelompok politisi merasa seperti beban telah terangkat dari pundak mereka saat mereka berjalan menyusuri lorong menuju lemari besi.
“Sekarang, jika kita bisa mendapatkan ahli waris, semua masalah kita akan terselesaikan,” kata seorang magistrat dengan acuh tak acuh. Nessan dan Kumu meringis. Butuh waktu lima belas tahun untuk bisa memenuhi harapan seperti itu. Kutukan seorang penyihir wanita telah merampas garis keturunan kerajaan Farsa dari suksesi masa depan, tetapi seorang penyihir wanita lain baru-baru ini telah mematahkan kutukan itu. Namun, hanya beberapa orang terpilih yang mengetahuinya.
“Tidak akan lama jika Nona Tinasha setuju.”
"Dia mungkin menjadi ratu tercantik dalam sejarah kita."
“Tapi dia kan penyihir wanita. Aku tidak bisa menyetujui itu.”
Komentar singkat itu mengakhiri pembicaraan ringan. Magistrat bermuka masam yang menyela pembicaraan itu adalah kepala bidang keuangan, Norman. Dalam hal usia, dia mendekati masa primanya, dan dia tidak merahasiakan rasa jijiknya saat dia menyalak, “Ada kandidat yang jauh lebih cocok. Bahkan jika kalian tidak serius, ide mengambil penyihir wanita itu untuk menjadi ratu kita sama sekali tidak lucu.”
"Yah... Ya, dia memang seorang penyihir wanita, tapi dia ratu Tuldarr," salah satu magistrat menekankan dengan lembut.
Tinasha adalah penerus sah dari Kerajaan Sihir sejak empat ratus tahun yang lalu. Itulah mengapa dia mewarisi dua belas roh mistik kuno Tuldarr, serta berbagai warisan lainnya. Pengetahuan luasnya adalah kekayaan dalam segala sesuatu yang dianggap hilang selama berabad-abad.
Namun Norman tetap bersikukuh. "Ratu? Negaranya sudah lama tidak ada. Sangat tidak pantas untuk seseorang yang telah bertahan empat abad setelah kehancuran negaranya.”
“Tidak, dia—,” Kepala Penyihir Kumu angkat bicara, mulai memberi tahu Norman mengapa dia keliru. Tapi dia ragu.
Mengapa Tinasha hidup sebagai penyihir wanita begitu lama? Itu demi membebaskan jiwa rakyatnya, terjebak oleh kutukan terlarang ketika Tuldarr jatuh. Meskipun tidak ada yang bisa menandingi kekuatannya, butuh empat ratus tahun lamanya untuk melihat tujuan itu selesai. Sungguh menyayat hati membayangkan betapa menderitanya dia saat itu. Tetap saja, kumu tidak memiliki tempat untuk memberi tahu orang lain tentang keadaannya tanpa izin.
Dan selain itu —orang-orang di dunia ini menghindari para penyihir wanita.
Keyakinan yang telah bertahan selama berabad-abad tidak akan berubah dengan cepat. Bahkan jika Kumu memberi tahu Norman kebenaran tentang Tinasha, itu tidak berarti Norman akan berpikir baik tentangnya.
Setelah beberapa saat merenung, Kumu melihat seseorang berdiri di bayang-bayang persimpangan lorong. Saat dia bertemu dengan tatapannya, dia menawarkan senyum canggung sambil menekan jari ke bibirnya. Di sebelahnya adalah mage wanita yang melayaninya, matanya membara karena marah saat dia memelototi seluruh regu.
“Oh...,” gumam Nessan dari tempatnya di sebelah Kumu saat dia melihatnya di sana. Itu membuat semua orang berhenti di tempat; mereka menyadari bahwa orang yang mereka bicarakan telah mendengar setiap penggal kata-kata mereka.
Meski sebagian besar magistrat tampak malu, Norman berdiri teguh melawan penyihir wanita itu. “Jika anda mendengar kami berbicara, maka itu menyederhanakan banyak hal. Apakah anda mengakui bahwa anda adalah wanita lacur yang merusak negara kami?”
“Wanita lacur yang merusak negara? Aku tidak mencoba melakukan sesuatu semacam itu,” jawab Tinasha.
"Itu terlalu berlebihan, Norman," tegur Nessan, tapi si penyihir wanita mengangkat tangan untuk menghentikannya.
"Tidak apa-apa. Aku pernah mendengar yang lebih buruk sebelumnya, dan aku sudah terbiasa. Tolong jangan merasa khawatir atas namaku,” katanya.
"Tapi...," bantah Nessan, jelas tercabik-cabik.
Norman mendorongnya ke samping dan melangkah maju. “Selama Yang Mulia terobsesi denganmu, negara kami tidak akan memiliki ratu. Aku percaya beberapa hari yang lalu Kau terlibat dalam pembicaraan pernikahan dengan putri Duke Soanos?”
“Ah, itu.... Yah, ya. maafkan aku...,” Tinasha meminta maaf, malu.
“Aku senang kamu tampak menyadarinya. Tentu saja, tidak ada banyak waktu tersisa dalam kontrakmu, jadi aku percaya Kau akan menyelesaikan perhitunganmu dengan benar.”
Pernyataan Norman yang menantang membuat mata gelap Tinasha melebar.
Seketika itu, dia mengernyit.
"Aku bisa menghapus ingatan Oscar."
“Nona Tinasha, itu tidak akan—,” protes Kumu, dengan wajah paling datar terhadap saran santai itu. Selain Norman, magistrat-magistrat lain juga tampak terguncang. Mereka semua sangat menyadari betapa raja mereka menghargai penyihir wanita itu. Sejak lahir, Oscar telah dibebani dengan kewajiban yang tak terhindarkan; ketertarikan padanya adalah satu-satunya keterikatan pribadi yang dia tunjukkan. Apakah dia akan membiarkan seseorang mengambilnya hanya karena itu menghalangi tugasnya?
Tinasha mengangkat bahu, memahami bagaimana semua orang terperangah. “Tapi Oscar akan sangat marah jika dia tahu, jadi kita harus melanjutkan dengan hati-hati. Dia menakutkan ketika marah... aku tidak ingin membuatnya marah..."
"Menakutkan? Kau, seorang mage, menganggapnya menakutkan? Sungguh tidak masuk akal,” dengus Norman. “Maksudnya, sepertinya kamu menyadari makhluk hina seperti apa dirimu. Bagus sekali. Sadarilah posisimu.”
"Beraninya kau—"
“Pamyra, tenang,” Tanasha menenangkannya dengan tepukan ringan di bahu Pamyra. "Tidak apa-apa. Apapun itu, penyihir wanita adalah pembawa petaka. Kami menggunakan terlalu banyak kekuatan untuk dimiliki oleh satu individu. Aku senang bahwa ada yang tidak melupakan itu. Itu hanya fakta bahwa penyihir wanita harus dihina.”
Perkataannya yang mencela diri membuat Norman dan magistrat lainnya tercengang.
Selama sembilan bulan sejak dia datang ke istana, Tinasha telah mengabdikan diri sebagai pelindung Oscar dan membantunya dalam banyak hal. Meskipun tidak ada yang bisa menyangsikan itu, penyihir wanita itu juga mendapati dirinya berada di pusat berbagai peristiwa kontroversial, seperti perang baru-baru ini. Dan bahkan jika Tinasha bersahabat dengan Farsas, penyihir wanita lain tidak —yaitu Penyihir Keheningan, yang telah mengutuk keluarga kerajaan.
Secara naluriah, Kumu menghela nafas. Mungkin karena dia sering bergaul dengan Tinasha, dia setengah melupakan itu. Para birokrat lain mungkin merasakan hal yang sama. Tinasha tersenyum pada mereka seperti bunga di bawah sinar rembulan, lalu membawa Pamyra pergi.
Regu itu melihat mereka pergi. Hanya Norman yang memelototinya dengan sedih saat dia berjalan pergi.
"Aku ingin merobek mulut kasarnya itu!" gerutu Pamyra, masih mendesis marah. Dia dan lady-nya sekarang sedang berjalan di tengah koridor yang menghadap ke taman.
"Tenang," desak Tinasha, bibirnya tersenyum masam. Sebenarnya, dia menderita pelecehan yang jauh lebih buruk selama hidupnya. Pernyataan Norman berada di sisi yang lebih dewasa... dan sepenuhnya sudah diperkirakan. Tinasha membalik kepang panjangnya. “Dia tidak salah.”
"Jangan katakan itu!" seru pamyra.
Penyihir wanita itu membeku dengan kaget. Di luar, matahari baru saja mulai terbenam. Tinasha menatap ke langit dan menepuk tangannya seolah mengingat sesuatu. "Pamyra, ayo jalan-jalan."
"Apa?"
Segera setelah itu, mereka berdua melayang ke langit. Pamyra tidak terbang sendiri. Penyihir wanita itu memakai sihir untuk melayangkan mereka berdua. Dengan Pamyra melebarkan matanya di belakang, Tinasha melayang lebih tinggi ke langit. Seketika, kastil itu tampak seperti miniatur, dikelilingi oleh kota di sekitarnya.
Begitu kedua wanita itu hampir menyentuh awan, Tinasha akhirnya menghentikan penerbangan ke atas mereka. "Ayo, lihat pemandangan dan bersantailah," Tinasha menginstruksikan dengan riang, menyilangkan kaki di udara dan mengambil posisi itu.
Pemandangan kota terbentang jauh di bawah mereka. Pemandangan itu seperti berlangsung selamanya, dan Pamyra mau tak mau membeku ketakutan. Meskipun dia bisa menggunakan sihir untuk terbang, dia belum pernah naik setinggi ini sebelumnya. Untungnya, tidak dingin atau sulit untuk bernapas, karena Tinasha telah membuat penghalang di sekitar mereka.
Mengambil napas dalam-dalam, Pamyra menenangkan diri. Saat ketakutan begitu pula amarahnya, memudar.
Melihat ke barat, dia melihat garis-garis merah samar sudah mulai muncul di cakrawala. Gradien lambat dari merah tua ke biru tua dibuat untuk pemandangan yang sangat menakjubkan.
Pamyra melirik lady-nya. “Kamu sangat toleran.”
“Tidak, kupikir. Aku hanya berpikir aku tidak boleh melupakan siapa diriku,” jawab Tinasha, tersenyum seperti gadis lugu. Ekspresinya yang jelas dan sekilas memberi Pamyra gagasan bahwa seluruh keberadaan Tinasha adalah ilusi. Dia khawatir jika dia memalingkan muka, penyihir wanita itu akan menghilang.
“Apakah anda serius dengan apa yang anda katakan di sana, Nona Tinasha? Tentang merusak ingatan Yang Mulia...”
“Ya, jika memang diperlukan. Sihir psikologis bekerja padanya.”
"T-tapi jika anda melakukan itu, dia akan melupakan semua hal tentang anda!"
Penyihir wanita itu telah hidup dalam kesendirian selama empat ratus tahun, menyendiri dengan pikirannya.
Untuk orang seperti dia, kehidupan di kastil pastilah menjadi kedamaian pertamanya yang diperoleh dengan susah payah. Raja telah menganugerahkan itu kepadanya dengan segenap cinta. Jika ingatan Oscar tentang semua itu terhapus, Tinasha harus kembali ke kesendiriannya. Itulah yang dimaksud Pamyra ketika dia memprotes.
“Bahkan jika dia lupa, aku akan mengingatnya. Jadi tidak apa-apa,” kata Tinasha dengan bisikan mendayu.
Dia tersenyum cerah pada Pamyra. “Aku hanya ingin dia menemukan kebahagiaan secara normal. Itu sudah cukup untuk membuatku turut bahagia.”
“Nona Tinasha.....”
Mata penyihir wanita itu tidak mengkhianati kebohongan. Tapi dia menginginkan Oscar bahagia, bahkan jika dia melupakannya —itu jelas bukan cinta romantis.
Menelan kembali apa yang ingin dia katakan, Pamyra menatap wajah cantik wanita itu. Tinasha meliriknya dan menyeringai lebar. “Tapi aku yakin dia akan menjalankan tugasnya dengan baik, bahkan jika aku tidak melakukan apa pun. Dia sangat kuat. Pria itu percaya diri, dan dia tidak ragu-ragu. Aku, di sisi lain, aku selalu—”
Tinasha berhenti, memejamkan mata.
Penyihir kesepian yang tinggal menyendiri di menara.
Kebenarannya adalah bahwa Tinasha telah mengucapkan selamat tinggal kepada setiap orang yang sebelumnya telah membuat kontrak dengannya dan kembali ke rumahnya yang terisolasi. Memanglah wajar jika sosok seperti dirinya hidup dalam kesepian tidak seperti manusia lain.
Namun, sekarang alasan dia hidup selama ini telah sirna. Saat ini, satu-satunya tujuan Tinasha adalah bertindak sebagai pelindung raja. Dan itu akan berakhir dalam tiga bulan.
Dia telah menebus masa lalu, namun dia tetap bertahan.
Ratu tanpa tahta itu menatap ke barat laut, ke arah dimana- tanah airnya dulu berdiri. “Kenapa aku masih hidup?”
"Apa yang anda katakan?!" seru Pamyra tajam, seruan itu membuat Tinasha sedikit tersentak. Dia tanpa sadar membiarkan pertanyaan itu keluar, dan sekarang Pamyra tampak hampir menangis.
Tinasha bergegas untuk meraih wanita itu. "A-aku minta maaf."
“Jangan katakan hal konyol seperti itu! Jika anda ingin mati, hiduplah membaur dengan manusia lain dan temui ajalmu sebagai salah satu dari mereka! Saya takan mendukung hal lain!”
“Kamu tidak mungkin serius...,” kata Tinasha, sama sekali tidak tahu bagaimana harus merespon. Pamyra berusaha keras untuk menahan isak tangisnya.
Jika semuanya berjalan sesuai rencana, Tinasha akan menjadi ratu Kekaisaran Sihir dan menjalani kehidupan yang mewah dan nyaman. Lalu mengapa dia sekarang berpikir untuk mengakhiri hidupnya? Tidakkah dia pantas berharap akan kebahagiaan untuk mengimbangi penderitaan panjangnya?
Sambil menahan isakan, Pamyra menatap mata Tinasha secara sejajar. "Anda harus membiarkan diri anda bahagia... Itu keinginan saya untuk anda."
Tinasha sedikit tersentak sebelum membungkus Pamyra di lengan rampingnya. Di telinganya, penyihir wanita itu berbisik, “Aku sudah cukup puas. Terima kasih."
Suaranya indah menawan, diwarnai dengan kebaikan yang menunjukkan kesedihan.
Dalam kehangatan lengan penyihir wanita itu, Pamyra menutup mata sembabnya. Lebih dari siapa pun di dunia, dia menginginkan lady-nya bahagia. Namun yang dia lakukan malah membuat Tinasha menenangkannya seperti anak kecil. Itu membuat Pamyra teringat bahwa dia tidak berdaya dibandingkan dengan wanita itu dan hanya satu yang bisa mencapai penyihir itu.
Orang yang setara dengannya, pria yang menyepakati kontrak dengannya.
Ketika Tinasha melihat bahwa Pamyra sudah tenang, dia tersenyum tenang. Penyihir wanita itu melonggarkan pegangan pada pelayannya dan menunjuk jauh ke kejauhan. "Lihat, langitnya indah."
Matahari telah terbenam, dan hanya ujung cakrawala yang berwarna merah.
Langit berwarna biru cerah —tidak sepenuhnya gelap atau terang, hanya warna persisnya.
Saat Tinasha melihat rona yang memikat, sesuatu terjadi padanya, dan dia mengambil bola kristal dari kantong pinggangnya. Tanpa menggunakan mantra, dia melafalkan mantra dan mengalirkannya ke dalam bola.
"Apa yang sedang anda lakukan?" tanya Pamyra.
"Aku sedang membuat salinan warna itu."
Bahkan saat Tinasha berbicara, bola kristal itu berubah persis menjadi bayangan langit. Setelah setengah menit, bola itu berisi dunia seutuhnya dengan matahari terbenam.
Pamyra mengeluarkan suara heran kecil.
Rona cerah awal senja persis seperti warna mata Oscar.
Tinasha memegang bola dunia kecil di depan wajahnya. “Warnanya cantik sekali,” komentarnya.
Penyihir wanita itu mengingat ketika dia pertama kali bertemu dengannya —dan semua yang telah terjadi sejak saat itu.
Tidak ada yang bisa mempertanyakan bahwa dia menghargainya.
Seperti seorang anak kecil.
Seperti seorang wanita.
Tinasha belum pernah mendengar seseorang menjaga pelindung mereka sendiri. Dia takut betapa alami dia membuat itu terlihat.
Dia menatap bola kristal itu.
“Kurasa setahun adalahwaktu yang lama....”
Mengapa mengakui sejauh itu membuat hatinya sakit? Dia tidak tahu.
Post a Comment