Hidup Skuadron Spearhead sialan
6
Tidak kenal takut.
Pertama kali dia berdiri di medan pertempuran, dia tidak merasakan sedikit pun rasa takut.
Tidak takut dari deru intens meriam yang menggelegar. Tidak takut dari wujud mengerikan Löwe—tangki drone polipedal seberat lima puluh ton itu. Tidak takut dari aroma logam cair yang menjalar ke kokpitnya atau getaran konstan dari sistem jelajah unitnya yang bergemuruh sampai ke perut.
Tidak takut dari keberadaan ratapan yang tidak ada habisnya.
Tidak takut dari dari pembidik unit pengiring terdekat yang sayapnya diledakkan peluru piercing-armor segera setelah bertemu musuh dan menjadi berantakan paduan aluminium, darah, dan isi perut.
Itu adalah teman terdekatnya dari fasilitas pelatihan.
Pelatihan mereka telah berlangsung kurang dari sebulan, tetapi pada saat itu, nada suara ceria dan senyum cerah mereka meninggalkan kesan abadi di benaknya.
Hanya butuh sedetik. Proyektil APFSDS Löwe bergerak dengan kecepatan awal 1.650 meter per detik. Itu mencapai target sebelum deru meriam mencapai telinga mereka. Akselerasi yang mendorong proyektil uranium yang terkuras memberinya bobot yang kuat dan energi ledakan, dan itu dengan mudah menembus armor lemah Juggernaut. Tubuh lemah manusia di dalamnya terkoyak dengan mudahnya.
Mereka kemungkinan besar mati seketika. Bahkan sebelum mereka bisa mengerti apa yang telah terjadi. Pada saat itu, dia tidak tahu apakah itu menghibur atau tidak.
Mungkin itu warna api yang berderak atau aroma darah hangus. Mungkin itu bau kulit panggang yang tercium di medan perang. Apa pun itu, itu telah membalik tombol di benaknya. Tombol yang dia tak tahu keberadaanya, yang tidak pernah dia sadari selama hidupnya yang singkat dan damai hingga saat itu.
Tombol yang mengganti insting tempurnya.
Dia bisa merasakan pembidik musuh bergeser. Dia tahu, entah bagaimana, bahwa mekanisme pengisian ulang otomatis internal Löwe telah selesai menyiapkan peluru berikutnya. Pada saat laras mulai berputar beberapa saat kemudian, dia sudah menarik kembali stik kendali dan mulai menggerakkan unitnya dalam lintasan mengelak.
Meriam itu meraung.
Peluru meluncur melewatinya, gelombang kejut menghantam armornya. Lapisan tipis aluminium-alloy itu melengking, tetapi bahkan selemah itu, ini tidak cukup untuk menghancurkannya. Sebuah bangunan di belakangnya cukup disesalkan terjebak dalam baku tembak. Itu mengeluarkan teriakan kesakitan dan gemuruh saat isi perut betonnya tumpah ke tanah.
Pembidik unitnya —Juggernautnya— sejajar. Setelah menghindar ke belakang secara diagonal, sayap Legiun yang tak berdaya berdiri terbuka di hadapannya.
Melihat ke depan, Prosesor muda berusia sebelas tahun—yang dulunya dikenal sebagai Shinei Nouzen ketika dia masih dianggap sebagai manusia—menarik pelatuk.
__________________
Setelah mengalahkan Löwe dengan menyerangnya empat lawan satu sebagai skuadron, regu lain yang terdiri dari dua Juggernaut yang masih muda bertemu dengan Löwe lain dan segera meledak.
“Kurusu?! Ah... Ah tidak...”
Seolah melihat membaca tirai salju halus dan barisan Legiun, kapten skuadron Halberd, satuan pertahanan pertama dari kawasan ketiga puluh lima front timur, mendecakkan lidah. Alice Araish.
Teito Kurusu, yang baru saja terbunuh, adalah Prosesor menjanjikan di antara pemula yang dilemparkan ke medan tempur dengan pelatihan tidak memadai. Dia cepat tangkap, memiliki nyali dan keberanian, dan mampu mengambil keputusan dengan jelas dan meyakinkan. Dia menjabat sebagai pemimpin di antara para Prosesor muda.
Alice berharap dia setidaknya bisa beroperasi di belakang dalam posisi tembak supresif. Akan tetapi dia keliru. Bahkan dalam situasi di mana skuadron kekurangan staf dan di bawah kapasitas penuh dua puluh empat anggota, dia seharusnya tidak memasangkan anak-anak muda itu bersama-sama.
Legiun mengungguli mereka dalam semua bidang, dan melawan mereka selalu merupakan tugas yang sangat berat. Dikatakan bahwa hanya satu dari seribu Prosesor yang bertahan di tahun pertama pengabdian mereka. Ke neraka itulah mereka dilemparkan.
Juggernaut lain yang masih hidup tidak bisa bergerak. Memikirkan anak laki-laki dewasa dan pendiam yang duduk di kokpit Juggernaut itu membuat Alice menggertakkan gigi dengan pahit. Prajurit bawah umur ini seumuran dengan Teito, tapi dia sangat bertolak belakang dengannya—seorang anak laki-laki, kecil bahkan di antara teman-temannya. Beberapa bagian dingin dari pikirannya menduga dia tidak akan bertahan lama.
Juggernaut-nya tetap diam. Dengan persepsi tentang waktu yang melambat dan menegang karena adrenalin yang berpacu didalam pembuluh darahnya, Alice menyaksikan saat itu berdiri, tampaknya meringkuk di hadapan mesin yang telah membunuh rekannya dengan kejam.
Tidak ada unit pengiring di dekatnya untuk membantu. Dan meskipun dia ingin membantunya, Alice sendiri dikepung kawanan musuh.
Sudah terlambat. Tidak ada yang membantu. Dan meskipun mengetahui hal ini, dia berteriak:
“Nouzen! Awas—”
Tapi saat itu, Juggernaut-nya bergerak.
__________
5
Peluru tank 57 mm secara akurat mengenai bagian belakang turret Löwe... dan dibelokkan dengan antiklimaks spektakuler.
"Gawat….," bisik Shin sambil melihat rekaman di layar optiknya.
Armor di sekitar turret tank sangat tebal. Dia telah belajar sejauh itu, tetapi tampaknya, persenjataan utama Juggernaut bahkan tidak dapat dengan andal menembus armor yang relatif tipis di bagian belakang turret.
Sensor optik Löwe dan pembidik meriamnya berbelok ke arahnya. Melihat ini, Shin beralih ke persenjataan sekunder, sepasang senapan mesin berat 12,7 mm...yang tentu saja juga tidak berguna. Tetapi setelah mengalami kerusakan pada salah satu sensornya, Löwe itu membeku sesaat, memberi Shin waktu yang dia butuhkan untuk menyingkir dari lintasan tembakannya.
Senapan mesin berat yang berada di turret Löwe berputar untuk mengejarnya. Tidak seperti Löwe, armor depan Juggernaut bahkan tidak bisa menahan peluru senapan mesin berat. Shin mundur untuk menghindari serangan itu. Dia kemudian menembak secara horizontal, menghindari peluru dari meriam 120 mm-nya.
Shin berhenti, mengambil satu napas tajam. Senapan mesin tidak berguna. Mereka tidak memiliki senjata yang diperlukan untuk menimbulkan kerusakan, setidaknya pada Löwe. Dalam hal kecepatan operasi, waktu reaksi Juggernaut lamban. Itu senjata yang dibangun dengan tergesa-gesa, lambat dalam melompat dan berputar-putar, dan bahkan tidak memiliki sistem penguncian yang baik.
Saat ini, dia tidak mungkin menebas musuh dan mengambil posisi di mana dia bisa membidik bagian atas turretnya—atau di punggungnya, yang memiliki armor relatif tipis. Melihat raksasa unit musuh, wujud mengerikan yang membuat tatapan dewasa Shin yang merah darah menjadi dingin. Matanya entah bagaimana menangkap rasa dingin tak berperasaan yang sama dari sensor optik Löwe.
Dalam hal itu...
__________
Ketika dia menghindari tembakan meriam pertama Löwe, Alice mengira itu hanya keberuntungan atau kebetulan. Akan tetapi ketika dia menghindari rentetan tembakan dari senapan mesin berat dan peluru meriam kedua, harus dia akui itu bukan hanya sekedar keberuntungan.
Meski secara teknis menjadi Feldreß, senjata polipedal canggih, mobilitas Juggernaut rendah. Dan unit Shin menghindari Löwe dengan gerakan lambat dan lamban. Dia kemudian mulai meluncur ke arah itu.
Setelah menyadari apa yang dia pikirkan, Alice hanya bisa bergidik ketakutan. Meriam 57 mm Juggernaut terlalu lemah. Itu mungkin bisa menghadapi Legiun tipe armor ringan seperti tipe Scout Ameise atau tipe Dragoon Grauwolf, tetapi target kelas berat seperti tipe Tank Löwe adalah sepenuhnya masalah yang berbeda. Persenjataan utama Juggernaut tidak dapat merusak armor depannya, dan tergantung pada jarak, bahkan armor belakangnya terlalu sulit untuk ditembus oleh pelurunya.
Tetapi jika dia mendekatinya, dia akan mempertahankan energi kinetik palurunya saat tumbukan dengan meminimalkan jarak yang harus ditempuhnya. Secara teoritis, itu masuk akal. Tetapi Löwe memiliki turret tank 120 mm berdaya tembak tinggi, pelat baja bertekanan 650 mm, dan kemampuan manuver tidak masuk akal yang dimiliki oleh sebagian besar unit Legiun. Menantang unit semacam ini dalam pertempuran jarak dekat sendiri terasa seperti tindakan bunuh diri.
Lebih-lebih mengingat dia adalah tentara dibawah umur yang baru pertama kali melangkah ke medan perang di hari itu.
Löwe itu mengubah arah. Mesin besar seberat lima puluh ton itu dalam diam melesat ke depan, seolah-olah mengejek Juggernaut yang lamban karena upaya tengilnya untuk menantang. Legiun dilengkapi dengan aktuator berperforma tinggi dan peredam kejut yang meredam gerakan mereka. Melompat dari posisi statis ke kecepatan tertingginya dalam sekejap, unit Legiun mendekati Juggernaut.
Tipe Tank mengacungkan kaki yang seperti pasak, coba menghalau serangga tengil itu, tepat saat Juggernaut Shin menembakkan jangkar kawat ke tanah secara diagonal di depannya.
Menggulung kawat, Juggernaut tergelincir di tanah, melewati tendangan yang ditujukan padanya dan meluncur ke bagian belakang Löwe.
Dan kemudian dia menembakkan meriam. Di jarak dekat.
Kali ini, dia membidik bagian belakang badan pesawat—area yang memiliki armor tipis dibandingkan dengan turret. Dan dia melepaskan tembakan pada jarak pendek yang biasanya tidak dimasuki turret tank, dengan timing yang terlalu tepat untuk musuh hindari.
Peluru APFSDS mencapai target, akhirnya menembus armor. Peluru itu menghancurkan mekanisme internal Löwe, menyebabkan logam besar itu terbakar. Sesaat kemudian, sekering pada inti uraniumnya yang terkuras padam. Itu membuat amunisi di dalam turret Löwe meletus dalam serangkaian ledakan induksi, menghancurkan meriam dengan ledakan spektakuler.
"Apa...?!"Dia mendengar salah satu rekan seregunya berseru kaget melalui Sensor Resonasi.
Dia tidak bisa menyalahkannya. Alice sendiri hanya bisa menatap pemandangan itu dengan tidak percaya. Legiun lain, meskipun merupakan mesin pembunuh yang dipasang hanya untuk membantai, juga tampak membeku, seolah mereka tidak dapat mengerti apa yang baru saja terjadi.
Api hitam mengepul dari bentuk logam Löwe, mencairkan salju di sekitar mereka. Cahaya api itu membuat bayangan merah di atas armor Juggernaut yang berdiri tanpa bergerak. Itu adalah unit baru, lapisannya masih berwarna coklat muda.
Itu seperti kerangka yang tidak menyenangkan, merangkak di medan perang mencari-cari kepalanya yang hilang.
_________________________
4
Lima tahun silam, perang melawan drone tempur otonom yang dikenal dengan Legiun pecah. Dan ketika itu terjadi, Alice, dan orang-orang seperti dirinya, berhenti menjadi manusia.
xxx
Tanah air mereka, Republik San Magnolia, sebagian besar dihuni oleh Alba bermata perak dan berambut perak. Rupanya, itulah alasan di baliknya. Alice benar-benar tidak mengerti. Bagaimanapun juga, Alice dan kelompoknya diusir dari delapan puluh lima Sektor administratif yang aman dan tembok benteng mereka. Diasingkan dari surga yang dibuat hanya untuk Alba—untuk manusia.
Dan mereka dibuang ke Sektor Eighty-Six yang tidak ada. Mereka dipaksa untuk tinggal di kamp-kamp konsentrasi dan di medan perang sebagai babi dalam wujud manusia—sebagai Eighty-Six.
Kemurahan hati menjadi salah satu kebijakan nasionalnya, Republik tidak merasa pantas untuk mengirim warga sipilnya ke medan pertempuran. Dan meski begitu, mereka gagal mengembangkan drone yang mampu membendung kekuatan Legiun. Pertahanan nasional mereka dan idealisme mereka bentrok, tetapi mereka segera menemukan solusi yang terlalu sederhana.
Eighty-Six tidak dianggap sebagai manusia, dan setiap mesin yang mereka piloti tidak dianggap sebagai unit berawak, tetapi sebuah pesawat nirawak.
Maka, drone tempur berawak, Juggernaut, pun lahir. Eighty-Six dimuat ke mereka sebagai "Prosesor." Juggernaut dipuji Republik sebagai senjata manusia mutakhir yang menciptakan medan perang tanpa korban. Dan bahkan sekarang, Alice dan sesama Eighty-Six setiap harinya mempertaruhkan nyawa mereka untuk melawan Legiun.
_____________________
Eighty-Six, Prosesor dan lain, semuanya cukup muda. Selama beberapa tahun pertama pertempuran, sebagian besar Eighty-Six dewasa telah gugur, hanya menyisakan anak-anak dibawah umur.
Alice melihat sekeliling satuan tentara dibawah umurnya. Berumur tujuh belas tahun, dia termasuk tertua di sini. Mereka berada di pangkalan garis depan front timur, dipisahkan oleh jarak seratus kilometer dan ladang ranjau anti-personil, anti-tank dari tembok benteng Gran Mur. Di dalam barak mereka, sebuah bangunan yang memudar karena paparan sinar matahari dan hujan, mereka berkumpul di dalam ruang pertemuan yang berdekatan dengan hanggar.
“Kerja bagus hari ini, semuanya... Meskipun disayangkan, aku tidak bisa katakan kita bisa melewati hari ini tanpa kekalahan, tapi kalian semua bertarung habis-habisan.”
Rambut hitam lurus panjang. Mata gelap dan miring. Alice berdiri di ruang pertemuan, sosok petarungnya mengisi seragam kamuflasenya. Dia adalah Prosesor di tahun ketiga pengabdian. Syal biru langit diikatkan di lehernya, menonjolkan kecantikan naturalnya.
Dia mengarahkan pandangan ke sudut ruangan, melengkungkan bibirnya yang pucat dan tanpa riasan.
“Shinei Nouzen. Kamu, dari semua orang, tidur ditengah briefingku?Kamu punya nyali.”
Pada omelannya, sosok kecil yang terkantuk-kantuk di kursi pipa di belakang ruangan tersentak tegak. Dia menatapnya dengan mata merah darahnya yang khas dalam gerakan muda yang sesuai dengan usianya yang masih belia. Rambutnya bahkan lebih hitam gelap dari rambut Alice, kontras dengan wajahnya yang seperti marmer. Dia melihat ke bawah ke lehernya, matanya tertuju pada pemandangan tidak menyenangkan dari perban yang mencuat dari bawah kerahnya.
"Maafkan aku."
Nada suaranya agak tinggi. Suaranya belum dalam. Nadanya benar-benar melemahkan niatnya untuk memarahinya lebih jauh, yang hanya membuat senyum sinisnya melebar. Sesuatu tentang dirinya mengingatkannya pada seorang anggota keluarga—seseorang yang suaranya akan selamanya tetap bernada tinggi dan tak terputus.
“Yah, tidak apa-apa. Hari ini pertempuran pertamamu, jadi kamu pasti lelah... Kita semua pada akhirnya hanyalah bagian dari drone. Babi seperti kita dapat meniru tentara muliaRepublik sebanyak yang kita inginkan, tetapi itu tidak lebih dari dagelan.”
Sebagai drone, Juggernaut tidak terlalu memperhatikan Prosesornya yang inhuman. Kokpitnya sempit. Kursi Bakelite-nya sangat tidak nyaman dan keras hingga hampir terasa seperti penghinaan terhadap ergonomi. Dan pelat aluminium tipis yang berfungsi sebagai alasan untuk armor tidak banyak membantu pilotnya dari sisa panas paket daya atau getaran kuat dari keempat kakinya.
Manusia bisa beradaptasi dengan apa saja, tetapi memiloti Juggernaut untuk beberapa kali pertama sangat membebani para pemula, dengan tubuh pra-remaja mereka yang belum berkembang. Manuver pertempuran membuat anggota badan mereka sakit, membuat banyak anak tidak mampu bertarung lagi, yang akibatnya berakhir dengan dibuang. Dan semua ini diperburuk dengan intensitas tidak masuk akal pertempuran yang harus mereka ikuti.
“Yah, aku yakin banyak dari kita yang hampir pingsan, jadi briefing hari ini sampai disini dulu... Nouzen, kamu bebas tidur; pastikan kamu kembali ke kamar.”
Lelucon ringan Alice memungkinkan rekan satu regu yang masih hidup untuk mengeluarkan tawa pertama mereka dalam beberapa waktu. Beberapa anak muda yang terpaksa melihat teman mereka mati masih memiliki ekspresi yang agak kaku, tetapi bibir mereka sedikit melengkung.
Tetapi bahkan di antara mereka, dia melihat laki-laki bermata merah itu menundukkan kepala, tanpa ekspresi emosi berlebih. Ini mengkhawatirkannya.
________________________
“Bisakah aku bertanya sesuatu padamu, Alice? Kapten?"
Meskipun pangkalan itu sebagian besar ditempati oleh remaja laki-laki dan perempuan, awak maintenance Juggernaut adalah pengecualian untuk aturan itu. Kebanyakan dari mereka berusia di atas dua puluh tahun. Banyak dari mereka adalah mantan tentara yang tetap berada di medan perang atau Eighty-Six yang cedera dan diturunkan ke pekerjaan pemeliharaan. Tidak seperti Prosesor, yang umumnya dapat dibuang dan diganti, pengetahuan maintenance profesional dianggap penting dan berharga. Dan bahkan Eighty-Six yang tidak bisa terus bertarung tidak disingkirkan begitu saja.
“Tentang rig ini. Yang memilotinya bocah songong pada pertempuran pertamanya, kan? Bisakah aku bertanya seperti apa aksi yang dilakukan anak kecil itu sampai-sampai mengacaukan sistem suspensi seburuk ini meski baru sekali tempur?”
Guren, kepala maintenance, menanyakan hal ini pada Alice dengan ekspresi masam saat dia meletakkan tangan pada Juggernaut yang siaga. Dia adalah pemuda berambut merah, tujuh tahun lebih tua darinya.
Dia telah bertugas selama tiga tahun sebagai mekanik satuan pertahanan pertama kawasan ketiga puluh lima. Dia tahu betapa ganas pertempuran di sini, dan jika dia ekspresinya sampai sejauh itu, unit itu pasti dalam kondisi yang buruk.
“Buruk banget ya?”
“Aktuatornya berantakan. Bahkan memperbaikinya tidak banyak berguna; harus kita ganti semuanya,” katanya, lalu mengarahkan mata biru ke arahnya, seolah mendesaknya menjawab pertanyaannya.
"Well, percaya atau tidak, dia berhadapan langsung dengan Löwe," katanya.
Mulut Guren menganga.
"Yang benar…?"
"Ya. Dan dia melumpuhkan semuanya seorang diri. Mesinnya tidak berfungsi setelahnya, jadi kami harus memberinya cover... Tapi itu pertempuran pertamanya. Seorang pemula—dan yang sangat kecil pada saat itu. Membuatku merinding.”
Kekesalannya memang wajar. Kebanyakan pemula di pertempuran pertama mereka beruntung jika mereka tidak menembak rekan secara tidak sengaja. Dan dengan tingkat kematian yang tinggi di Sektor Eighty-Six, sebagian besar dari mereka kemungkinan besar akan kehilangan makan siang mereka dalam skenario terbaik dan hidup mereka dalam skenario terburuk. Kembali hidup-hidup adalah pekerjaan yang dilakukan dengan baik untuk para pemula.
Kesenjangan kinerja antara unit Legiun rata-rata dan Juggernaut sangat besar. Kekaisaran Giadian telah menjadi raksasa teknologi dan negara adidaya militer, dan mereka membangun Legiun sambil melengkapi mereka dengan teknologi tercanggih dan keganasan tempur yang bisa mereka kumpulkan. Sebagai perbandingan, Juggernaut adalah rongsokan rusak.
Daya tembaknya payah, armornya lemah, dan mobilitasnya yang terbatas tidak memungkinkannya untuk melompat dengan benar. Membangunnya sangat sembrono; itu adalah senjata yang dimaksudkan untuk mengubur Eighty-Six yang bisa dibuang, dan satu-satunya kelebihan adalah kemampuan untuk menembak.
Bahkan melawan tipe ringan Grauwolf menjadi tantangan bagi Juggernaut. Jadi berhadapan dengan Löwe, unit pusat dan simbol kekuatan ofensif Legiun, tidak masuk akal... Bahkan Alice, sebagai veteran, tidak yakin apakah dia bisa melakukan itu dengan piawai.
“Aku akui aku salah tentang itu. Kebanyakan anak seperti dia biasanya tidak berumur panjang, tapi...”
Dia telah melihat semakin banyak anak-anak seperti itu datang di antara para pemula. Anak-anak yang sepertinya kehilangan sesuatu yang vital. Yang tampaknya telah membunuh emosi mereka dan menumbuhkan ketidakpedulian terhadap segala sesuatu di sekitar mereka. Anak-anak yang menghindari interaksi.
Anak-anak semacam itu adalah yang pertama mati di Sektor Eighty-Six. Mereka gagal untuk mendapatkan rekan-rekan untuk memberi mereka cover dan tampaknya mengabaikan kelangsungan hidup mereka sendiri. Dalam kebanyakan kasus, mereka tidak selamat dari pertempuran pertama mereka. Dan bahkan jika mereka selamat dari...mereka tidak kembali dari yang pertempuran kedua.
Alice tidak bisa menyalahkan mereka karena menjadi seperti itu, tentu saja. Ketika perang dimulai, dan dia dikirim ke kamp konsentrasi bersama anggota Eighty-Six lain, Alice berusia tiga belas tahun. Dia memiliki beberapa pemahaman tentang dunia sekitar dan telah mengembangkan rasa dirinya sendiri pada saat itu.
Tapi anak-anak seperti Shin baru berusia tujuh atau delapan tahun saat itu. Mereka tiba-tiba menodongkan senjata ke kepala mereka dan dibawa ke kamp-kamp konsentrasi yang dikelilingi ladang ranjau dan kawat berduri, di mana mereka dipaksa hidup seperti ternak. Dalam waktu dua tahun, mereka kehilangan orang tua, kakek-nenek, dan saudara kandung mereka... Tidak ada anak yang bisa memikul penderitaan sebanyak itu dan keluar tanpa cedera mental.
Namun, yang Shin alami lebih buruk. Dia jelas memiliki darah Kekaisaran bangsawan mengalir didalam nadinya—menghubungkannya ke Kekaisaran yang sama yang sejak awal telah menciptakan Legiun. Orang-orang seperti dia disalahkan atas perang dan dibenci di kamp-kamp konsentrasi. Itu jenis garis keturunan yang pasti akan menyulut diskriminasi parah.
Eighty-Six menjadi sasaran diskriminasi, tetapi mereka belum tentu korban tidak bersalah. Dunia selalu memiliki cara untuk bersikap sangat dingin bagi pihak yang kalah jumlah dan lemah.
“Jadi anak itu, Shin bukan?” Guren mendengus. “Kamu harus menjaganya.”
Perkataan itu membuat Alice berkedip dengan bingung.
“Yah...aku kapten regunya, jadi tentu aku akan menjaganya. Tapi kenapa?"
Guren mengalihkan pandangan darinya, mengarahkan pandangan pada Juggernaut di depannya.
“Aku tidak bisa melihatnyadengan jelas, tapi...Kupikir dia takut pada anak-anak yang lebih besar. Anak-anak seusiamu. Mereka semua lebih tinggi, dan suara mereka lebih dalam...”
“...?”
Ternyata, Guren memiliki kemampuan supranatural untuk “membaca” emosi manusia. Dia pasti mewarisinya dari garis keturunan ayahnya yang berambut merah, dan itu termanifestasi agak samar dalam dirinya. Tapi kemampuannya untuk membaca perasaan orang lain telah menjadi anugerah bagi Alice di masa lalu. Dia sekarang tidak akan meragukannya.
“Tapi untungnya, kamu wanita. Sepertinya dia belum takut padamu. Jadi kupikir aku harus memberitahumu.”
“Yah, apakah...apakah beberapa pria melakukan sesuatu padanya di fasilitas pelatihan kamp? Apakah mereka ... memukulinya atau semacamnya?”
Konsep ketertiban umum telah lama runtuh di dalam kamp konsentrasi, dan semua prajurit Republik yang berinteraksi dengan Eighty-Six—baik itu di fasilitas pelatihan, saat pengangkutan, atau ketika memimpin mereka dalam pertempuran—adalah sepenuhnya sampah, secara halus.
“Yah, aku tidak melihat yang seperti itu, jadi aku tidak tahu, tapi...Aku yakin ada cerita di balik apa yang terjadi pada lehernya. Ada emosi yang melingkar di tenggorokannya...seperti kalung, atau rantai, mencekiknya di balik perban itu.”
“...”
Semua Prosesor memiliki Perangkat RAID yang dipasang di bagian belakang leher mereka untuk Para-RAID. Itu sangat diperlukan untuk bertahan di Sektor Eighty-Six, tetapi cara Republik menanamkannya cukup kasar dan menyakitkan.
Kristal saraf-semu tertanam di bawah kulit, tetapi ada kasus yang jarang terjadi di mana Prosesor mengalami kerusakan pada tulang belakang mereka, yang mengakibatkan kelumpuhan. Prosesor ini telah dihapus, tentu saja. Dan seluruh prosedur dilakukan tanpa anestesi atau desinfektan, jadi luka yang tertinggal akibat kecelakaan itu tidak selalu sembuh.
Alice selalu menganggap Shin mengenakan perban di leher karena luka dari implan belum sembuh, tapi ternyata, bukan itu masalahnya...?
"Dimengerti. Aku akan menjaganya.”
__________
Post a Comment