Update cookies preferences

Eighty Six Vol 10; Chapter 2; Bagian 2

Menghadapi idiot memang mudah, tapi tidak terlalu menyenangkan. Segera setelah Sensor Resonasi diputus, Isuka mendecakkan lidah dan berjalan menjauh dari dinding hanggar tempat dia bersandar. Berinteraksi dengan Handler mereka adalah tugasnya sebagai kapten. Dan setiap kali terjadi, itu menjengkelkan.

Sama seperti barak, mereka lalai membersihkan hanggar. Itu dipenuhi dengan suku cadang dan kontainer kosong, dan udaranya jelas berdebu. Jumlah Juggernaut yang berbaris di hanggar telah berkurang drastis selama beberapa pertempuran terakhir. Unit Shin meringkuk di sudut, diwarnai dengan bintik-bintik cat merah yang ditemukan rekan seregu di suatu tempat.

Tapi meskipun bertarung di medan perang perkotaan dengan warna-warna absurd di rignya, Shin hari ini juga selamat. Mereka memaksakan peran paling mematikan padanya, seperti bertugas sebagai umpan atau penjaga belakang, dan dia terus menggunakan gaya bertarung serampangan yang mendorong sistem suspensi Juggernaut yang sudah buruk hingga batasnya.

Sejak awal, skuadron Stiletto bertanggung jawab atas kawasan yang sangat diperebutkan. Di medan perang tanpa korban di mana manusia meninggal di kiri dan kanan mereka, ini adalah salah satu sektor yang menonjol dalam jumlah nyawa Eighty-Six yang direnggutnya. Dan meski demikian, Shin selamat.

Dan seolah-olah untuk melawan kecenderungan Shin untuk bertahan hidup, rekan seregu lain tampaknya mulai lebih sering mati sejak dia bergabung dengan skuadron. Ini adalah sedikit sumber sakit kepala bagi Isuka. Baik karena potensi tempur skuadron menurun, membuat pertempuran lebih sulit...dan karena suasana di skuadron menjadi bertambah buruk.

Tatapan dan bisikan yang diarahkan pada Shin secara bertahap menumpuk dan berubah menjadi permusuhan yang jelas. Dasar hama, kata mereka. Pembawa sial. Kamu memanggil kematian untuk rekan-rekanmu. Penindasan meningkat hari demi hari, dan itu mendekati titik di mana Isuka merasa harus turun tangan untuk anak itu.

Jika seorang Prosesor memilih untuk mati sendiri atau cukup bodoh untuk dibunuh oleh Legiun, itu adalah satu hal. Tapi Prosesor yang saling bunuh adalah di mana garis harus ditarik. Itu adalah pengekangan terakhir yang tidak pernah bisa dibiarkan terlepas. Jika itu terjadi, semua komando dalam skuadron tidak akan lagi ada gunanya.

Dia menjebaknya untuk menjadi kambing hitam sehingga Prosesor akan bertahan, tetapi sebagai hasilnya, itu hanya membuat mereka mati lebih cepat.

Tapi saat dia meringis, dia merasakan sesuatu melewatinya dengan dalam diam.

"Oh."

Dia tidak tersadar dia ada di sana. Melihat ke bawah dengan sedikit terkejut, dia melihat seseorang dengan rambut hitam khas, mengenakan syal biru dan seragam yang kedodoran untuk tubuh kecilnya.

Shin.

Sama seperti binatang yang berkeliaran, dia berjalan tanpa jejak kaki. Mendengar reaksinya, Shin menjentikkan mata merah darah tanpa emosi ke arahnya, menyiratkan bahwa dia juga tidak menyadari Isuka ada di sana. Isuka telah bersandar pada dinding yang horizontal dari pintu masuk hanggar; yang sulit dikenali saat berjalan masuk. Shin menyipitkan mata, tatapannya tertuju pada dinding.

Cara dia menatap Isuka menjadi jauh lebih suram dan lebih dingin dibanding dengan kemarahan yang dia perlihatkan saat Isuka menegurnya karena mencoba membantu si idiot yang kakinya patah. Dia menatap Isuka seolah dia adalah serangga jahat atau kerikil yang menghalangi jalan dan kemudian berbalik.

Rupanya, dia berniat mengabaikan kapten berhati dingin yang menembak rekan seregu mana pun yang menjadi beban. Sama seperti bagaimana dia mengabaikan rekan seregu lain, yang meski didiskriminasi, Eighty-Six mengeroyok siapa pun yang lebih lemah dari mereka.

Mata dingin itu sepertinya memandang rendah dirinya, seolah-olah mengutuk... seolah-olah dia adalah orang yang telah merendahkan dirinya menjadi status yang menyedihkan.

"Hei."

Isuka memanggilnya tanpa dia sadari. Dia tahu dia memiliki senyum miring di wajahnya. Seringai yang sama yang selalu ia miliki saat berinteraksi dengan teman seregunya. Seringai tidak menyenangkan yang mengintimidasi, mendorong, dan memaksa.

“Apa itu potongan logam rig Mirei? Kamu benar-benar mengambilnya?”

Dia menanyakan pertanyaan itu sambil menatap potongan logam kecil yang dipegang Shin di tangannya. Itu memiliki warna pelapis Juggernaut, seperti tulang kering. Bahkan skuadron Stiletto telah mendengar bagaimana Shin merekam nama-nama yang telah gugur dengan potongan-potongan ini. Dia biasanya mengandalkan potongan kayu atau logam apa pun yang bisa dia temukan. Tapi dia menggunakan sisa-sisa armor Juggernaut mereka ketika dia cukup beruntung untuk menemukan itu. Itu tidak terlalu sering, karena Juggernaut rapuh sering hancur berkeping-keping.

Dia memiliki beberapa potongan dengan nama yang terukir di kokpit rignya. Itu tampak seperti rongsokan, tapi ada saatnya ketika rekan seregu mengeluarkan mereka dari Juggernaut-nya dan melemparkannya ke dalam lumpur, hanya untuk membuat Shin memukuli mereka sampai wajah mereka tidak dapat dikenali lagi. Dilihat dari itu, potongan-potongan ini tampaknya penting baginya.

Ini adalah bagian dari alasan, meskipun dia menjadi kambing hitam, seseorang harus mengangkat topi kepada Shin.

Rekan seregu lainnya dan awak maintenance tampaknya percaya dia melakukannya dengan nada yang sama tentang bagaimana bangsawan Kekaisaran yang gila perang akan mengambil kepala musuh mereka yang terpenggal sebagai hadiah. Shin, sebagai dewa wabah, malah menyombongkan jumlah rekan yang dia bunuh daripada musuh yang dia bunuh.

Tapi Isuka tahu bukan itu masalahnya. Sebelumnya, beberapa rekan regu yang relatif bersimpati pada Shin dan sekarang sudah mati mengatakan bahwa dia melakukannya karena janji yang dia buat dengan kapten regu pertamanya. Orang terakhir yang selamat akan mengingat rekan seperjuangannya yang telah gugur dan membawa mereka. Begitulah bagaimana dia menepati janji itu.

Akankah dia akhirnya membawa Isuka bersamanya juga...?

Itu bodoh.

“Aku yakin kamu tidak cukup cerdas untuk melupakan apa yang Mirei lakukan padamu. Dan kau masih membawanya?”

Air yang dia cipratkan padanya, hinaan yang dia lemparkan setiap hari, bagaimana dia selalu menggunakannya sebagai umpan untuk menghentikan musuh. Dan dia malah membawanya?

“Apakah kamu benar-benar sebodoh itu? Antara ini dan bagaimana kamu terus berusaha menyelamatkan yang sekarat... Apakah kamu berhenti menjadi pahlawan atau semacamnya?”

“Bukan itu.” Balasan Shin acuh tak acuh, seolah dia bahkan tidak sepenuhnya mengakui Isuka ada di sana.

Dia mungkin melihat kembali ke seseorang yang memaksakan janji itu padanya, seseorang yang sudah tiada. Orang tidak bertanggung jawab yang memaksanya untuk membuat janji itu sebelum maju dan mati terlebih dahulu.

“Itu karena Eighty-Six tidak memiliki pemakaman. Jika seseorang tidak mengingat orang yang telah gugur, mereka akan menghilang begitu saja. Jadi aku hanya ingin mengingat semuanya.”

“Oh,” kata Isuka dengan seringai tipis. “Jadi pria macam apa Mirei itu? Pengganggu kecil yang menyerang dan meneriaki siapa pun yang lebih kecil darinya setiap hari, hanya untuk mati seperti jalang?”

Tidak ada orang yang ingin dikenang seperti itu.

Tapi Shin tampaknya tidak menyadari ejekan Isuka, mata merahnya malah tenggelam dalam kenangan.

“Dia badut yang selalu tertawa, selalu memasang wajah berani bahkan ketika sulit, dan selalu berusaha membuat teman-temannya ceria.”

Seringai menghilang dari wajah Isuka.

“Dia tidak pernah mengarahkan perilaku itu padaku, tetapi hanya dengan melihat dari kejauhan, aku tahu begitulah dia memperlakukan orang lain... dan itu adalah sesuatu yang cukup baik untuk aku bawa.”

“...”

Isuka mengerutkan wajah dengan getir. Pada saat itu, akhirnya tersadar mengapa anak ini sangat membuatnya kesal.

“Kamu pikir kamu semacam santa, Nak? Di sini, di medan perang di mana tidak ada manusia?”

Sektor Eighty-Six adalah neraka. Tidak ada yang bisa tetap normal di tempat seperti ini. Dan Shin masih mempertahankan martabatnya, gambaran manusia yang waras dan layak. Itu adalah sesuatu yang telah Isuka buang, dan dia tidak tertarik untuk mengambilnya kembali, tapi rasanya seperti Shin sedang memamerkannya.

"Aku hanya melakukan apa yang ingin aku lakukan dan tidak melakukan apa yang tidak ingin aku lakukan."

Karena aku tidak ingin berakhir sepertimu.

“Bocah sialan—,” geram Isuka.

"Selain itu," Shin menyela.

Dia akhirnya menghindari matanya yang jernih dan merah darah, menunjukkan sedikit kepahitan untuk pertama kalinya.

“Bahkan aku memiliki hal-hal yang tidak aku lakukan, terlepas dari kenyataan bahwa aku bisa... Bahkan jika aku memberitahumu, tidak ada seorang pun di skuadron ini yang akan mempercayaiku. Jadi tidak ada gunanya mengatakan apa pun.”

__________

0

Satu Löwe tiba-tiba muncul di depan Juggernaut Isuka.

Performa absurd Goliath seberat lima puluh ton memungkinkannya untuk mendarat dari lompatan dengan keheningan yang tidak akan pernah dibayangkan manusia mengingat ukurannya. Itu mengayunkan bagian kiri depan dari keempat kaki tebalnya ke bawah ke arahnya. Karena Isuka terlalu dekat dengan turretnya, ia memilih untuk mengusir serangga yang tidak sedap dipandang itu daripada menembaknya hingga mati.

“Oh, siala—”

Kemudian meledak.

________________________

Ketika Isuka kemudian membuka mata, dia menyadari bahwa dia telah terlempar dari Juggernaut dan ke beton di luar. Melihat sekeliling, dia menemukan Juggernaut-nya terguling dalam jarak yang cukup dekat, rangkanya pecah. Jejak darah merah memanjang dari Juggernaut, mengarah ke tempat Isuka terbaring.

Itu adalah darahnya.

Aku mengacau.

Sambil mendesah, Isuka melihat ke langit, punggungnya bersandar pada beton. Kain tebal dan kedap air dari seragam lapangan menyembunyikannya, tapi dia bisa merasakan bagian dalam perutnya memanas. Organ dalamnya telah pecah. Dan tidak ada dokter militer di Sektor Eighty-Six, jadi dia tidak bisa berharap menerima perawatan medis. Ini luka yang fatal.

Cedera perut tidak seperti luka di kepala atau dada. Bahkan jika seseorang tidak mendapatkan bantuan, luka itu tidak akan membunuh secepat itu. Dan dia tidak ingin menggeliat tersiksa, tidak bisa mati di sudut medan perang entah berantah saat jeritan dan tembakan bergema di sekelilingnya. Isuka meraih paha kanannya untuk menggenggam pistol yang ada di sana...

...tapi jari-jarinya melewati udara kosong.

Dia tidak bisa merasakan cengkeraman pistolnya, tapi lebih buruk lagi...dia sama sekali tidak bisa merasakan kakinya.

Melihat ke bawah, dia melihat bahwa di bawah atasan seragamnya, kakinya sepenuhnya hilang.

“...?!”

Berbalik dengan ketakutan, dia melihat separuh tubuhnya yang hilang keluar dari kokpit terbuka Juggernautnya yang terguling. Pistol itu hampir tidak ada di sarungnya, tergantung sedikit di atas genangan darah yang berserakan dengan jari-jari yang terputus, tergantung di luar jangkauan.

Dia tidak tahu berapa lama dia menghabiskan berbaring di sana tercengang. Tawa tidak pantas keluar dari bibirnya, dan setiap kekuatan terkuras dari tubuhnya. Dia tidak bisa memaksakan dirinya untuk merangkak ke sana. Pertama-tama, tangannya tidak memiliki jari, jadi dia tidak bisa memegang atau melapas tembakan pistol dengan andal.

Pada titik ini, dia tidak peduli apakah dia hidup atau mati.

Tapi ini tidak bisa dihindari, pikirnya saat rasa sakitnya yang tumpul mulai muncul kembali. Dia telah menjadi Prosesor selama lebih dari tiga tahun. Dia telah mencoba untuk menjaga agar skuadronnya tetap bersatu sehingga dia bisa memastikan kelangsungan hidupnya sendiri, dan melakukan itu telah menghabiskan nyawa banyak rekan-rekannya.

Banyak sekali yang mati, baik karena Legiun atau karena tangan mereka sendiri. Terperangkap di medan perang di mana mereka dicekik oleh kebencian Legiun dan Republik, hati mereka menjadi kuyu dan sakit karena melihat bahkan sesama Eighty-Six memandang mereka dengan dendam.

Dan itu semua karena Isuka yang membuatnya.

Dan ini adalah pembalasan yang dia dapatkan untuk itu.

Sepertinya anggota skuadron Stiletto lain masih bertarung, meski mereka berada di belakang. Mereka kemungkinan besar tidak dalam kondisi untuk datang menyelamatkannya. Dia akan mati di sini, tanpa mereka sadari... atau skuadronnya akan dimusnahkan begitu saja, dan Legiun akan membawanya pergi sebagai rampasan perang. Apapun itu itu akan...

Kematianku tidak akan mudah...

Tapi saat itu, dunia monoton abu-abu kusam puing-puing dan awan tipis keperakan Eintagsfliege diserbu oleh warna merah cerah.

Isuka berbalik secara refleks, matanya menangkap pemandangan itu. Ada bayangan hitam seperti kegelapan malam yang telah disempurnakan menjadi warna. Warna merah tua, lebih merah dari darah.

“Nouzen...”

Bisikan Isuka sangat pelan hingga Shin sepertinya tidak mendengarnya. Tapi Isuka bisa melihat Juggernaut-nya berjongkok di tepi bidang penglihatannya. Kokpitnya terbuka, dan Shin turun, bergegas ke unit Isuka. Dia benar-benar tidak berdaya, bahkan Isuka tidak bisa tidak khawatir. Jika satu ranjau self-propelled di dekatnya, dia pasti akan mati.

Dia memanggul senapan serbu, yang terlalu besar untuk tubuh kecilnya. Padahal dia tidak membawa pistol. Isuka tidak pernah membiarkan dia memilikinya karena dia tidak ingin dia mengambil nyawanya sendiri seperti banyak kambing hitam di hadapannya.

Dia mendekati Juggernaut Isuka, sehening langkah kaki Legiun itu sendiri, dan memeriksa seberapa rusak itu.

Rupanya, Shin melakukannya karena dia telah menghancurkan Juggernautnya sendiri. Melihatnya, senapan mesin berat di kedua lengan grappling arm-nya parah. Laras itu bengkok tidak berbentuk, seolah-olah dia akan memukulkannya ke musuh. Selain itu, Juggernaut-nya sepertinya tidak akan tetap seimbang saat diam. Salah satu dari empat kaki rapuh itu persendiannya tertekuk dan patah.

Dia kehilangan persenjataan sekunder, dan unitnya tidak mampu melakukan mobilitas normal, jadi dia memutuskan untuk beralih ke Juggernaut lain, bahkan jika kokpitnya sedikit rusak. Apesnya, kokpit rig Isuka telah rusak dari atas ke bawah, dan Juggernaut itu tidak dapat dioperasikan.

Melihat itu, Shin menggelengkan kepala, dan kemudian dia menyadari bahwa isi perut Isuka yang berserakan tumpah keluar dari kokpit. Dia menelan ludah dengan gugup, lalu menelusuri jejak darah, akhirnya menemukan Isuka.

Mata merah darahnya—warna merahnya lebih jernih dan lebih murni dari darah dan isi perut yang berserakan di tanah—menatap pada Isuka. Pada perutnya yang rusak dan terpotong. Di tangannya, yang memiliki jari lebih sedikit dari yang seharusnya. Pada kenyataan bahwa terlepas dari semua itu, sayangnya, dia masih hidup secara tragis.

Sama seperti rekan seregu yang pernah dia tembak di depan mata Shin, sayangnya masih hidup.

Awalnya, Isuka benar-benar siap melihat Shin berbalik dan meninggalkan dia pada nasibnya. Bagaimanapun, Isuka telah memperlakukannya dengan buruk. Mengapa dia menyelamatkannya? Dan Isuka tidak akan merendahkan dirinya untuk memohon belas kasihan. Dia tidak akan melakukannya, dan dia tidak punya hak untuk melakukannya.

Mata merah yang tertuju padanya membeku. Seolah ragu-ragu, tercabik oleh beberapa konflik batin.

Apa yang kamu lakukan?Isuka berpikir pahit. Apa yang harus dibingungkan? Aku sudah sangat menyakitimu. Apa pilihan lain yang Kamu miliki jika tidak meninggalkanku? Biarkan saja aku di sini untuk mati. Pergi. Cepat pergi. Meminta belas kasihan padamu hanya akan memalukan. Jangan membuatku melakukan sesuatu yang menyedihkan seperti meminta bantuan seseorang yang aku sakiti...!

Tapi kemudian Shin mengerucutkan bibir...

...dan mengeluarkan pistol dari sarung pistol bersimbah darah Isuka.

"Apa?"

Isuka terdiam sesaat. Dan kemudian Shin mengarahkan moncong pistol itu ke arahnya. Itu sedikit gemetar tetapi tetap menempel di kepalanya. Di ujung lain pandangannya adalah mata penuh konflik—ketakutan bertarung melawan tekad yang goyah.

Dia ragu. Tidak lebih dari kemungkinan menyelamatkannya. Tetapi karena mengambil pilihan tidak berperasaan untuk menembaknya mati bahkan tanpa berusahamerawatnya, bahkan jika itu demi mengakhiri penderitaannya...

Tapi keterkejutan Isuka segera memudar. Dan sebagai gantinya, dia merasakan kemarahan yang tidak bisa dijelaskan. Dia tidak sepenuhnya yakin apa yang membuat dirinya marah, tetapi emosi mengaburkan bidang penglihatannya.

Sialan.

Persetan. Ini yang aku dapatkan, ya? Inilah yang harus aku lihat di akhir ...

Tanpa Isuka sadari, senyum mencela diri sendiri bermain di wajahnya.

Persetan. Jika ini hukuman yang aku dapatkan ...

Dia mengangkat tangan kanannya, yang terasa jauh lebih berat dari yang seharusnya, dan menyenggol tulang yang terbuka di ujung ibu jarinya yang tersisa di antara matanya.

Jika Kamu harus melakukannya, bidikdi sini .

“Kau tahu cara menggunakannya, kan? Tarik slidenya...”

Bahkan sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, Shin menarik mundur slide dengan tangan kecilnya dan memasukkan peluru pertama ke dalam chamber... Seseorang benar-benar telah mengajarinya bagaimana melakukannya. Setelah menariknya sejauh mungkin, dia mengkliknya kembali ke tempatnya.

Namun, siapa pun yang mengajarinya memegang senjata mungkin tidak benar-benar melatihnya untuk menembak seseorang.

“Kamu tidak perlu mencemaskan keamanan dengan pistol itu. Itu secara otomatis memiringkan pelatuk saat Kamu memuat peluru pertama. Kamu hanya perlu membidik dan menembak.”

Dia mengatakannya, tentu saja, mengetahui bahwa bagian terakhir ini adalah yang paling sulit. Shin harus menembak Isuka, yang masih hidup dan bergerak, sambil menatap matanya yang mati. Pemandangan itu kemungkinan akan terpatri dalam benaknya. Naluri manusia secara alami membenci gagasan mengambil nyawa orang lain, menjadikannya tindakan paling menakutkan dalam bayangan.

Tapi jika anak bodoh ini tidak melakukannya sekarang, dia mungkin akan dihantui penyesalan seumur hidup. Penyesalan karena tidak mengakhiri orang bodoh yang bahkan tidak bisa mati dengan benar.

“Ini memiliki ruang untuk lima belas peluru. Yang artinya Kamu dapat menembak hingga empat belas kali dan tidak perlu khawatir. Lakukan. Tembak."

“...?”

Shin memaksa napasnya yang kasar untuk tenang, keraguan menyelimuti tatapannya yang keras secara tidak wajar. Isuka menggelengkan kepala dengan senyum sedih.

“Tapi jangan gunakan peluru terakhir itu pada orang lain. Peluru terakhir adalah ketika Kamu akanmati. Dengan begitu, Kamu bisa menenangkan diri. Itu satu hal yang Kamu tidak boleh... biarkan orang lain melakukannya untukmu.”

Shin setidaknya harus egois...atau Isuka, seseorang yang menjalani hidupnya dengan cara yang sepenuhnya egois, tidak akan pernah beristirahat dengan tenang.

Setelah mengatakan semua yang dia butuhkan, Isuka memejamkan matanya. Shin setidaknya bisa melakukan sejauh itu. Setelah beberapa keraguan, Shin menghela napas, dan suasana di sekitarnya menjadi dingin dan murung...

Ayolah, bodoh. Jangan biarkan ini membuatmu bingung.

Tembakan pertama meleset Isuka dengan selisih lebar dan membentur aspal di samping kepalanya. Tembakan kedua meniup salah satu telinganya. Fakta bahwa dia bahkan menyerempetnya pada upaya keduanya patut dipuji, di satu sisi.

Pikiran bahwa Shin akan membawanya bersama terlintas di benak Isuka.

Lalu bagaimana dia akan mengingatku? Dia tidak akan menerima apa yang baru saja aku katakan dan fakta bahwa aku memberinya beberapa petunjuk tentang cara menggunakan pistol dan menyebut kebaikan itu, bukan?

Untuk sesaat, senyum yang tidak pantas bermain di bibir Isuka.

Jika itu masalahnya, maka dia benar-benar bodoh.

Dia pikir dia bisa mendengar suara tembakan ketiga. Dan itu adalah hal terakhir yang pernah Isuka dengar sebelum otaknya tercerai-berai: lonceng belas kasihan terakhir.

________________

Dua tembakan pertama meleset dari sasaran, tapi tembakan ketiga mengenai dahinya, seperti yang dia minta.

Pistol memprioritaskan mobilitas sebagai faktor terpenting, sehingga larasnya pendek, membuat akurasi dan daya tembus dapat diabaikan. Itu mungkin pistol militer, tapi kaliber 9 mm tidak selalu cukup untuk menghabisi seseorang, jadi Shin menembakkan dua tembakan lagi untuk memastikan pembunuhan itu.

Dia menembaknya, seperti yang diajarkan padanya, dan baru kemudian Shin menyadari bahwa Isuka tidak lagi bergerak. Sekarang jantungnya telah berhenti, darah mulai menggenang. Warnanya merah kusam, bercampur dengan sesuatu yang bukan darah.

Shin perlahan-lahan menurunkan pistol dan tenggelam ke tanah, seolah-olah tidak mampu menahan beratnya, meskipun beratnya kurang dari satu kilogram. Tubuhnya dibanjiri keringat dingin. Menyadari dia menahan napas selama ini, dia akhirnya menghembuskan napas, berkali-kali.

“H-haah...!”

Tapi gemetar dan mual yang dia perkirakan tidak pernah datang. Tidak ada kepanikan atau kegelisahan. Dan ketidakhadiran merekalah yang benar-benar mengejutkan Shin. Berbaring di depan Shin adalah mayat segar, yang dihasilkan oleh kedua tangannya sendiri. Dan meskipun membunuh orang lain, itu tidak banyak mengguncangnya. Dan itu menghancurkannya lebih keras dari apapun.

Aku tahu itu. Aku...

Tangannya tanpa sadar meraih tenggorokannya. Merasakan kain syalnya, dia menarik jarinya ke belakang sejenak dan kemudian mencengkram tenggorokannya dengan keras.

Bangun. Itu mungkin tidak terjadi segera, tetapi suara tembakan itu akan menarik Legiun ke sini. Kembali ke Juggernaut sebelum itu terjadi. Laridan hiduplah. Bertarunglah .

Beberapa kekuatan keinginan naluriah, sesuatu yang lebih dalam dan lebih mendasar dari keinginannya sendiri, mendorongnya untuk bergerak. Dia mendongak, mata merah darah itu kembali bersinar dengan intensitas dingin seorang pejuang.

Ketika dia berdiri, pistol seberat hampir 900gram itu tidak lagi terasa berat baginya.

Dia mengambil salah satu potongan Juggernaut yang tergeletak di genangan darah dan mulai berjalan pergi. Dia berbalik pada detik terakhir, menatap sisa-sisa Isuka yang sudah mati dan tidak bergerak.

"Kapten."

Dia adalah seseorang yang tidak pernah dia hormati atau sayangi. Satu-satunya hal yang pernah diarahkan orang ini pada Shin adalah kebencian yang tidak masuk akal. Tapi cara dia tidak pernah meninggalkan rekan yang terluka dan tidak bisa mati dengan menembak mati mereka... Jika sekarang dipikirkan kembali, Shin bisa sadar ini adalah caranya mengambil tanggung jawab untuk rekan-rekannya.

Isuka sudah sangat terbiasa sehingga dia membuatnya terlihat biasa saja. Dia telah menghabisi banyak sekali rekan sehingga dia terbiasa dengan itu. Dan itu mungkin karena dia tidak pernah memaksakan tanggung jawab itu kepada orang lain.

Shin bisa mengingat tekadnya itu.

“Aku akan menyimpan pistol...dan tugasmu. Sampai ajalku datang.”

Dan dia akan mengingat namanya, dan senyum terakhir, samar, dan menyakitkan yang dia perlihatkan.

Dengan pemikiran itu, Shin memunggungi dia.

Post a Comment