Update cookies preferences

Eighty Six Vol 7; Chapter 4; Bagian 2

 


Tetap saja, Shin adalah komandan operasi Divisi Lapis Baja ke-1, dan Lena adalah komandans taktis. Bahkan jika ini adalah pesta di antara mereka yang ada di Pasukan Terpadu, mereka tidak bisa menghabiskan sepanjang malam bersama. Maka mereka berdua berpisah sesaat dan pergi untuk bicara dengan orang lain.

Sebenarnya, Lena ingin berbagi tarian pertama dengannya, tapi dia merasa jika dia melakukannya, dia tidak akan ingin melepaskannya.

“Bolehkah aku mengadakan tarian ini, Kolonel Milizé?”

Olivier mendekat, mengenakan busana malam Aliansi. Rambut hitam panjangnya diikat di belakang kepalanya dengan jepit rambut safir, warnanya sama dengan matanya. Ditambah dengan penampilannya yang androgini, jepit rambut ini terlihat cukup eksotis. Pada saat ini, dia benar-benar terlihat seperti pria itu —meskipun sangat ramping.

“Tentu saja, Kapten Olivier.”

Melihatnya sekarang membuat Lena sedikit membenci dirinya sendiri karena sebelumnya merasa terintimidasi oleh kehadirannya. Meskipun dia adalah seorang perwira yang tidak berpengalaman di masa remajanya, dia tetap memberi hormat dan berusaha untuk berbaur dengan Shin dan Prosesor lain.

Dan kemudian datang... itu.

Berpura-pura mencium tangan wanita dengan lembut setelah menerimanya adalah tradisi di wilayah selatan benua, termasuk Aliansi. Melihat kepanikan Lena saat dia menyadari bahwa Shin melilhat pemandangan itu dengan tatapan dingin membuat Olivier tersenyum hangat.

Anak-anak kecil yang mudah dibaca, belum mahir menyembunyikan emosi mereka. Setelah mendengar mereka dikeraskan oleh medan pertempuran kematian tertentu yaitu Sektor Eighty-Six, dia mengira mereka adalah pengamuk yang telah kehilangan kemanusiaan mereka. Dan dia mengira dia adalah seorang ratu yang berhati hitam dan berlumuran darah yang akan menghancurkan Eighty-Six demi tanah airnya.

Desas-desus membuat mereka menjadi sekelompok monster... Dan sekarang Olivier malu karena pernah berpikir seperti itu. Karena mereka bukan monster. Mereka juga bukan pahlawan. Mereka adalah anak-anak. Mungkin sedikit terdistorsi —tapi tetap saja anak-anak. Mereka semua amat tidak dewasa. Terlalu polos. Anak-anak yang masih remaja.

Di sisi lain lantai dansa, konduktor melambaikan tongkat. Dan lagu berikutnya dimulai.

xxxxx

“Apa kau tidak akan berdansa dengan Shin, Kurena....?”

“Nah.”

Waltz tidak sulit begitu mereka menurunkan ritme. Saat mereka menelusuri kembali langkah-langkah yang baru-baru ini mereka ajarkan di sekolah, Theo mendapati dirinya menikmatinya saat mengajukan pertanyaan kepada rekan dansanya.

Pangeran itu benar. Hal semacam ini tidak menimbulkan rasa sakit. Kurena mengangguk padanya dengan ekspresi yang agak segar. Tapi masih ada sikap yang membandel dan keras kepala dalam sikapnya.

“Maksudku, ganti pasangan itu normal di pesta seperti ini. Lihat? Lena berdansa dengan Kapten Olivier. Dan Shin..... Huh. Kenapa dia berdansa dengan Frederica....?”

"Tidak apa-apa.... Ini bukan tempat aku bisa berdiri di sisi Shin."

Hanya mengatakan itu menurut Theo cukup lucu. Dia tidak terlalu tahu banyak tentang gaun dan aksesoris para gadis, tapi rambut pendeknya ditata dengan cermat. Dia juga memakai make up, yang merupakan pemandangan langka.

Kurena mengenakan gaun kuning bakung cerah, dengan pita lebar yang membentang dari bawah bahunya hingga ke dadanya. Itu adalah desain yang menggemaskan. Roknya agak bengkak, dan setiap kali mereka berdua berbalik, rok itu bergoyang indah. Dia memiliki pita tulle kuning yang terpasang di belakang pinggangnya dan sepatu hak tinggi yang ramping dan elegan dengan warna yang sama.

Semuanya kontras dengan ornamen perak yang muncul sesekali saat rambut cokelat kemerahannya berayun. Itu adalah peluru senapan yang dibuat menjadi anting-anting. Seandainya Ernst tahu tentang ini, dia pasti akan keberatan jika dia memakainya, dan bahkan Theo, yang tidak terbiasa dengan gaun atau aksesoris, mengira itu menonjol seperti ibu jari yang bengkak. "Tidak apa-apa."

xxxxx

“Ayo sekarang, Shinei. Aku akan melihatmu sekali lagi sebelum jamuan utama , jadi pergilah."

“Perbedaan ketinggian membuatnya terlalu sulit.”

“Apa yang kamu katakan, bodoh? Dengar baik-baik. Dalam jamuan seperti itu, pria tidak boleh mempermalukan seorang wanita. Camkan itu baik-baik.”

Shin mau tak mau merasa bahwa Frederica belum cukup memenuhi syarat untuk menjadi "wanita", tetapi dia tahu lebih baik daripada menyuarakan pemikiran itu.

Nyawanya diselamatkan ketika dia ditawan, sejak dia masih bayi. Bahkan jika kaisar Kekaisaran Giadian yang mati adalah penguasa boneka, Frederica selalu membawa benih malapetaka, karena dia dapat digunakan untuk menggulingkan rezim. Revolusi mengubah Giad menjadi demokrasi, tetapi dengan ancaman Legiun membayangi negara, ada banyak bangsawan yang mempertahankan sebagian besar otoritas dan pengaruh mereka di dalam Federasi.

Dan sekarang, Zelene telah memberinya informasi yang membuat Frederica jauh lebih berharga, dan Shin harus memutuskan apa yang harus dilakukan dengan pengetahuan itu. Dia mempertimbangkan untuk melaporkannya ke Ernst begitu mereka kembali ke Federasi dan dia juga merasa harus memberi tahu Frederica sendiri. Tapi dia tidak yakin apakah itu hal yang benar untuk dilakukan atau mungkin melakukan itu tidak cukup.

Dia sama sekali tidak mengenal Federasi dengan cukup baik untuk membuat keputusan itu.

Frederica memiringkan kepala dengan rasa penasaran. Warnanya sama dengan dirinya. Mata menyala dan rambut hitam —kombinasi yang tidak biasa dalam Federasi.

"Apakah ada masalah?" dia bertanya.

“Tidak, tidak ada.”

Saat ini bukanlah waktu atau tempat untuk mempertimbangkan hal itu. Menggelengkan kepalanya sekali, Shin membuang pikiran itu dari dalam benaknya. Frederica mendengus.

“Aku tidak tahu apa yang mengganggumu, tapi pertama-tama kamu harus mengejar keinginanmu sendiri. Terutama malam ini. Tidak ada yang akan menyalahkanmu karena melakukannya."

Shin merasakan bibirnya menyeringai. Kemampuan Frederica memungkinkannya untuk menengok masa lalu dan masa kini dari orang-orang yang dia kenal, tetapi dia tidak dapat mendengar suara atau kata apa pun dalam penglihatannya. Jadi dia seharusnya tidak tahu apa yang dikatakan Zelene padanya.

“Benar.... Maaf....”

Dia harus mempertimbangkan bagaimana melakukan pendekatan pada masalah Frederica ke depannya. Tapi malam ini.... Setidaknya untuk malam ini.... Malam ini....

xxxxxx

“Emmm, Shiden, bukankah menurutmu ini sedikit berlebihan...?”

“Ah, siapa yang peduli? Ini hanya untuk malam ini, dan kita semua berteman di sini. Lagipula, aku dengar orang-oranh tidak terlalu memusingkan tentang hal-hal semacam ini sekarang.”

Pasangan sesama jenis yang menari bersama umumnya tidak disukai. Lena, yang telah dididik untuk mematuhi tradisi ini, tidak bisa tidak mengerutkan alisnya. Shiden, di sisi lain, sepertinya tidak mempermasalahkan hal itu sama sekali. Jadi mereka menari waltz lambat, dengan Shiden memimpin dan Lena mengikuti.

Lena berpikir —bahkan sedikit heran— bahwa Shiden pasti telah belajar menari dari kedua perspektif, karena gerakannya sangat mengalir. Para Perwira dianggap memiliki status sosial yang tinggi dan diharapkan untuk selalu berperilaku luhur dan sesuai dengan tata krama. Karena itu, akademi perwira khusus memiliki etiket sebagai mata pelajaran wajib, dan itu termasuk dansa ballroom.

Tetap saja, mereka berada di tengah perang. Maka Eighty-Six diberi pelajaran etika minimum untuk mengurangi jumlah waktu yang dibutuhkan untuk mengajar mereka. Namun disiplin Shiden tidak bisa diremehkan. Lena hanya menduga itu karena Eighty-Six telah menantikan pesta ini. Dia ingin mereka mengalami dan menikmati hal-hal baru.

Ketika Shiden memimpin tarian, matanya menyapu sekeliling, seolah-olah menyadari semua orang di sekitar mereka. Mata nila dan putihnya tidak tertuju pada Lena. Tapi bibirnya yang memerah tiba-tiba bergerak.

"Lena."

Terkejut dengan panggilannya, Lena menatapnya dan berkedip. Dia tidak memanggilnya dengan Yang Mulia. Rasanya seperti keabadian telah berlalu sejak Shiden terakhir kali memanggil namanya. Baik ketika mereka hanya berkomunikasi melalui Para-RAID dan selama front bersatu setelah serangan skala besar. Dia selalu sembrono memanggil Lena dengan Yang Mulia. Shiden menatap Lena dengan tatapan seribu yard.

“Jangan mencemaskan apa pun. Hari ini, Kau menjadi pusat perhatian."

xxxxxx

"Jika Kau sudah menyelesaikan urusanmu, pulanglah, Willem."

“Aku hanya berpikir aku sebaiknya mengambil kesempatan untuk menikmati kesempatan itu. Bagaimanapun juga, aku adalah mantan bangsawan Kekaisaran. Mengajarkan Eighty-Six etika yang benar tidak akan menyakiti siapa pun.”

Jika pesta ini seharusnya menjadi tempat pelatihan untuk pendidikan etiket mereka, mereka akan membutuhkan seseorang untuk memberi contoh. Grethe dan kepala staf, Willem, seharusnya mengisi peran itu sebagai pasangan, tapi setidaknya suasana di antara mereka tegang.

Grethe sangat enggan, dan gagasan berdansa dengan Willem adalah mimpi buruk baginya. Dia mengenakan gaun beludru hitam yang dihiasi manik-manik biru, membangkitkan kesan langit malam. Sosok Willem yang tinggi dibalut setelan malam berwarna biru khas.

“Jangan khawatir; setelah lagu ini, aku akan memenuhi peranku dan mengajari salah satu gadis di sini cara menari.... Apakah itu membuatmu iri?”

“Tidak sedikit pun.”

Grethe bermaksud untuk mengarahkan anak-anak itu setelah ini juga.

“Tapi aku akan memberikan penghargaan jika sudah waktunya.... Terima kasih telah membawa mereka ke sini,” kata Grethe.

Saat itu, kepala staf menatapnya dengan heran.

“Kamu seharusnya tidak berterima kasih padaku. Ini hanya caraku menyusun alibi. Selama sepertinya kami melakukan semua yang kami bisa untuk mereka, tidak ada yang akan menyalahkan Federasi nanti. Tidak peduli apa yang kami lakukan."

Suatu hari, apapun alasannya, akan tiba saatnya di mana Federasi dan warganya menganggap para Eighty-Six sebagai orang asing kemudian mengusir mereka. Jika Eighty-Six membuktikan diri bahwa mereka tidak mampu hidup dalam masyarakat yang damai, konflik bisa meletus.

Jadi jika Federasi dapat menunjukkan bahwa mereka meluangkan waktu dan upaya untuk mendidik dan merawat mereka, mereka akan dapat menyelamatkan muka. Mereka akan dapat memohon negara lain dan rakyat mereka —dan meyakinkan mereka bahwa mereka tidak punya pilihan selain mengusir Eighty-Six.

Pada akhirnya, ini hanya asuransi. Jaminan. Dan itulah mengapa mereka memilih Aliansi —negara lain— sebagai tujuan perjalanan ini.

“Aku tidak peduli. Selembar kertas sudah cukup untuk menjadi 'bukti' yang kalian coba, tetapi kalian benar-benar berusaha melakukannya..... Dan anak-anak ini pasti akan menghargai upaya itu.” Kepala staf mengejek dengan ringan.

"Aku benci caramu selalu membiarkan emosi menguasai dirimu." Grethe terkekeh.

“Tapi aku suka itu, betapa dingin hatimu, kau tidak pernah kejam tanpa tujuan.”

xxxxxxx

Dia berdansa dengan beberapa laki-laki lain dan juga anggota awak meintenance yang mengenakan busana malam yang sama dan tidak bisa melepaskan diri dari jamuan tersebut meskipun bukan yang dimaksudkan untuk itu. Dia bicara dengan orang-orang yang tidak sering dia ajak bicara, makan beberapa makanan pembuka dari meja, dan menerima beberapa undangan canggung untuk menari waltz sambil tersenyum.

Dia adalah komandan taktis seluruh skuadron, jadi dia menari dengan beberapa orang. Dan sebelum menyadarinya, pesta malam mendekati klimaksnya. Musik waltz berakhir, dan Lena menundukkan kepalanya ke arah Guren, yang sangat gugup, saat dia berpisah dengannya.

Tapi saat dia berbalik, sepatu hak tingginya berbunyi di lantai, matanya membelalak. Aroma juniper yang familiar —aroma dingin anggun dan dingin di tengah musim dingin— menyelimuti dirinya. Dia mendongak, matanya tertuju pada sepasang mata merah darah yang berdiri dengan kepala lebih tinggi darinya.

Rupanya, dia juga tidak memperhatikannya, karena saat bertemu dengan tatapannya, matanya sedikit melebar.

“Shin.”

"Lena."

Berdiri di belakangnya adalah Shana, yang rupanya baru saja selesai berdansa dengannya. Dia mengarahkan matanya ke Lena, lalu mengangkat bahu dan pergi. Dia memiliki kulit coklat khas mereka dengan darah Deseria, serta rambut hitam panjang dan mata biru.

Saat dia pergi, gaun merah tua miliknya, yang dihiasi dengan pola merah dan perak cerah, berkibar di setiap langkahnya. Pandangan sekilas menjelaskan kepada Lena bahwa, saat mereka menarikan waltz mereka, dia berpura-pura membiarkan Shin memimpin tarian sambil benar-benar membimbingnya ke arahnya.

Annette, Shiden, Shana... Mereka semua dengan santai berusaha membantu Lena. Sama seperti Lena, Shin mungkin telah berhasil. Merupakan kewajiban pria pada kesempatan seperti itu untuk mendekati wanita tanpa pasangan mana pun dan memulai percakapan atau memberi tawaran menari.

Bisa dikatakan, laki-laki lain semuanya masih sangat muda dan pemalu, jadi Shin, komandan mereka, mesti memimpin dengan memberi contoh. Dia mungkin lebih berkewajiban daripada Lena untuk menawarkan tarian.

Tapi sekarang dia meraih dirinya dengan sempurna, tidak melewatkan sedikit pun. Mata mereka terkunci. Saat itu tampak berlangsung selama-lamanya —seolah mereka telah menyerahkan diri mereka kepada satu sama lain, tubuh dan jiwa. Pendahuluan dari lagu berikutnya membuat mereka kembali sadar.

“Bolehkah aku menari denganmu, Lena?” Shin adalah orang pertama yang memberanikan diri.

“Y-ya.” Dia hampir secara refleks meraih tangan terulurnya.

Tangannya besar dan kokoh. Mereka saling membungkuk, dan dia buru-buru meletakkan tangannya yang bebas di pinggangnya. Saat dia menopangnya, dia merasa dirinya dengan cepat kehilangan ketenangan.

Irama musik meningkat, dan Shin mengambil langkah pertama. Mereka bergerak dengan lembut sesuai dengan melodi, seperti burung pantai yang melebarkan sayap.

Shin membimbingnya dengan keanggunan yang langka, dan Lena diliputi emosi, seolah-olah dia adalah kelopak bunga yang menunggangi angin musim panas.

Dia diliputi euforia. Dia merasa dia bisa percayakan apapun padanya, tetapi pada saat yang sama, dia khawatir emosinya akan membanjiri dirinya. Dia ingat guru tari Shin menggerutu tentang bagaimana dia belajar dengan cepat, tetapi sangat tidak termotivasi.

Mereka hanya memiliki satu jam kursus, dan itu hanya mencakup dasar-dasarnya, tapi Shin adalah seorang Eighty-Six yang selamat dari Sektor Eighty-Six. Dia ringan dan bisa dengan mudah meniru langkah-langkah sederhana yang telah dia pelajari. Dan meskipun menari tidak hanya membutuhkan gerakan mengikuti musik tetapi juga harmoni antar pasangan, mereka terbiasa bekerja sama dalam mengalahkan Legiun.

Yang ada, Lena adalah orang yang berdiri goyah. Dia berasal dari keluarga baik-baik di Republik, dan dia juga diajari waltz dan tarian lainnya. Dan dia menari secara alami dengan laki-laki Eighty-Six lainnya, dengan Marcel dan Vika serta Olivier. Tetapi entah mengapa, dia saat ini tidak bisa melakukannya dengan baik. Dia terus-menerus satu langkah di belakang ritme, dan mencoba untuk tetap berdiri hanya membuatnya tersandung.

Tapi itu karena jantungnya berdetak satu mil per menit dan percikan api membara di benaknya. Anehnya, kakinya terasa goyah. Dia berpikir apakah Shin bisa mendengar jantungnya yang berdebar kencang, tapi dia gugup untuk menatap matanya. Bagaimana jika dia memergoki pikirannya?

Jadi dia tidak menatap langsung. Tapi wajah Shin, meski agak tidak jelas, memiliki ekspresi yang sama tulus dan tenang.

“...”

Meskipun dia sangat bersemangat, sangat bahagia sehingga dia merasa seperti akan mati di tempat, dia begitu tenang.

Ini tidak adil.... Lena mengerutkan kening, wajahnya memerah.

xxxxx

Terlepas dari fakta bahwa Lena mengerutkan kening tepat di depannya —atau lebih tepatnya, di pelukannya— Shin gagal menyadarinya. Pikirannya terlalu sibuk untuk memikirkan kembali langkah-langkah yang telah dipelajarinya kurang dari sebulan yang lalu.

Ini bukan kelas etiket, dan meskipun itu hanya di antara teman dan kolega mereka, ini adalah pertama kalinya dia menari di pesta sungguhan. Itu bukan dansa pertamanya malam itu, tapi karena terlalu bersemangat, itu adalah perasaan baru. Partner pertamanya adalah Frederica, dan dia telah berdansa dengan orang-orang lain sebelum berpasangan dengan Shana, yang selalu tersenyum penuh rahasia. Tidak satu pun dari partner dansa itu yang membuatnya bingung seperti dia sekarang.

Dan entah mengapa, instingnya mengkhianatinya. Dia hanya bisa berdoa agar Lena tidak mendengar kegugupan dirinya yang terengah-engah. Itu akan sangat memalukan. Dia bisa mendengar detak jantungnya, dimana setiap arteri membengkak di telinganya seperti bel alarm.

Dia tahu dia seharusnya fokus dengan partnernya, tapi dia tidak bisa memaksa dirinya untuk menatap langsung ke wajah Lena. Dia tahu saat dia melakukannya, dia akan membeku. Dia berasal dari keluarga terkemuka di Republik dan mungkin pernah menari banyak waltz sebelumnya, jadi dia tidak akan gugup. Dan meskipun dia tidak membenci atau tidak menyukai apapun tentangn itu.... menurutnya itu tidak adil.

xxxxx

Namun terlepas dari itu, seiring dengan musik yang elegan, mereka berdua berangsur-angsur menjadi lebih nyaman dengan situasi mereka. Semua ketegangan mencair begitu saja. Lagu berakhir, dan etiket menentukan bahwa mereka membungkuk, menjauh satu sama lain, dan mencari pasangan dansa baru. Tetapi bahkan setelah membungkuk, tak satu pun dari mereka melepaskan tangan yang lain.

Mereka tidak ingin melepaskannya. Mereka saling tatap, mengkomunikasikan bahwa mereka tidak ingin berpisah. Ada jeda singkat dalam musik saat seseorang mencari pasangan dansa baru. Tapi tangan mereka tetap tergenggam bahkan saat lagu berikutnya dimulai.

xxxxx

Berdiri di sudut ballroom, Lerche bersandar di dinding seperti bayangan. Dia tidak boleh menghadiri pesta dengan pedang, jadi dia tidak membawa pedangnya, tapi dia mengenakan seragam pipinya, dan rambut pirangnya ditata seperti biasa.

Pelayan beberapa kali mendekatinya, menawarkan minuman, tetapi ia tidak bisa minum dan setiap saat menolak dengan sopan. Ada sepasang kursi berjejer di dekat dinding bagi mereka yang bosan menari. Duduk di salah satunya adalah Frederica. Lerche berjalan melintasi lantai, yang memiliki desain anyaman kabel.

“Salam, putri kecil. Mau saya bawakan minuman? ”

“Tidak, tidak usah. Aku acap kali melakukan jamuan sosial seperti itu."

Kakinya tidak mencapai lantai, jadi dia mengayunkannya saat keduanya terulur dari bawah gaunnya. Dia hanya dimaksudkan untuk membuat jamuan sosial ketika dia lebih tua, dan dia belum pada usia itu. Jadi dia belum pernah ke pesta seperti ini sebelumnya.

Roknya yang bengkak berbentuk kelopak mawar menjuntai hingga ke lutut. Itu adalah gaun sutra hijau samar, dihiasi dengan renda dan pita perak. Rambutnya tidak terurai, tapi juga dihiasi dengan pita perak. Semua itu memunculkan kecantikannya yang halus dan mungil, tetapi pakaian ini secara keseluruhan bukanlah sesuatu yang seharusnya dikenakan oleh gadis seusianya.

“Apa kau tidak akan menari?” Frederica bertanya padanya.

“Aku terlalu canggung, aku takut.”

Pengetahuan tentang bagaimana menari, langkah-langkah dasar yang diperlukan untuk melakukan waltz atau minuet tradisional, semuanya disimpan di otak buatannya.

Tapi itu bukan berarti dia tahu bagaimana menari. Itu semua hanya rekamam. Itu bukanlah pengalaman, apalagi kenangan.

“Aku bertanya apakah Kau tidak berniat untuk berdansa setidaknya sekali dengan majikanmu. Kau dapat dengan mudah meminta dia memandumu, dan jika dia melakukannya dengan baik, Kau tidak perlu melakukan apa pun.”

"Aku. Apakah Matamu melihat sesuatu, putri kecil? "

“Bukan darimu. Majikanmu. Saat seseorang merasakan sesuatu yang terlalu kuat, aku tidak bisa tidak melihatnya,” tambahnya, sedikit menyesal. “Tapi aku merasa dia sedang menunggumu, sebenarnya. Seorang pengawal harus menjadi pedang dan perisai majikannya, tapi majikanmu tidak menganggapmu hanya sekedar senjata."

“...”

Mungkin begitu. Tetapi jika itu masalahnya...

"Itu akan membuatku.... cukup resah."

Saat gadis itu menatapnya dengan mata merah, Lerche mengangkat bahu.

“Aku hanyalah peti mati. Sebuah peti mati yang dibuat untuk meniru seseorang. Dan satu-satunya yang diizinkan menari dengan peti mati adalah orang mati."

Jadi, karena Vika masih hidup, dia tidak bisa memegang tangannya. Karena paling buruk, dia, mati apa adanya, bisa menyeretnya turun bersamanya.

xxxxx

Satu lagu diputar, lalu berakhir. Lagu lain dimulai, berputar dengan sendirinya, dan berakhir. Dan sebelum dia menyadarinya, postur mereka, yang tetap bermartabat dan elegan, secara alami tidak lagi tegang. Seolah-olah kesadaran dirinya dan kesadarannya telah melebur menjadi satu, dan entah bagaimana mereka bisa mengetahui bagaimana pihak lain akan bergerak. Pada awalnya, mereka mematuhi tempo waltz, tetapi tak lama kemudian, Shin dan Lena sama-sama menyamai pace satu sama lain.

Kedua jantung mereka berdetak menjadi satu. Dan kebahagiaan itu memabukkan mereka. Mereka masing-masing merasa melakukannya dengan sempurna, berhasil. Semuanya begitu jelas sekarang. Mereka mengangkat kepala, senyum gembira terlihat di bibir mereka.

Jika, pada titik tertentu, mereka akan kehilangan jejak keinginan masa depan mereka.. Jika mereka takut mengambil langkah selanjutnya. Jika mereka goyah, disakiti oleh sesuatu, goyah dan berhenti di jalurnya...

Mereka berdua hanya perlu berpegangan tangan seperti sekarang.

Perasaan itu tidak diungkapkan dengan kata-kata, tapi tetap saja begitu. Itu seperti ilusi sesaat, simpati yang terputus saat musik berakhir. Tetapi pada saat itu, mereka jelas merasakannya.

Mereka bisa saling memahami dengan sempurna.

Bintang-bintang musim panas berkelap-kelip di langit-langit kaca tua, memberi penghormatan pada momen itu. Aroma harum bunga nokturnal tercium bersama udara malam yang dingin dari teras di sisi lain jendela besar.

Melihat cahaya bintang membuat Lena sadar bahwa hari sudah larut. Setelah beberapa lagu lagi, mereka akan diberi jamuan akhir malam itu, dan kemudian pesta akan berakhir.

Tidak. Itu tidak bisa. Itu tidak baik.

Tidak... Aku harus memberitahunya sebelum berakhir. Karena begitu pesta berakhir, aku akan bangun dari mimpi ini. Aku akan kembali menjadi diriku yang pengecut. Aku akan menjadi gadis yang hanya bisa berpura-pura kuat.

Jadi sebelum bel terakhir berbunyi,,,,, Sebelum gaun perak menghilang,,,, Sebelum dia kehilangan sepatu kaca,,,, Pesta ini, musik ini, dansa ini —semuanya adalah sihir. Mereka menggerakkan hati umat manusia, membiarkan seseorang mengesampingkan martabat mereka, melepas baju besi mereka, menyingkirkan segala sesuatu yang menghalangi mereka. Itu memberi seseorang keberanian memikul jiwa mereka.

“Shin.... Nanti, um....”

Tapi meski begitu, butuh keberanian besar untuk menyelesaikan kalimat itu. Jadi dia bicara, dengan suara setipis mungkin.

“Bisakah kita, um, bicara...? Aaah! ”

Membiarkan suasana hatinya beralih ke hal lain di tengah tarian membuatnya menenggelamkan tumit sepatunya ke lipatan kecil lantai kayu yang dipoles. Tubuhnya melompat ke depan, dan Shin segera menangkapnya. Wajahnya tenggelam ke dadanya saat dia menempel padanya.

Momen ajaib itu, di mana detak jantung mereka tumpang tindih, menghilang. Hati mereka kembali mulai berdebar tidak sinkron. Dan setelah terperangkap dalam apa yang tampak seperti pelukan, mereka berdua merasa seolah-olah itu adalah tindakan seseorang yang mendorong mereka ke dalam situasi ini.

Detak jantung lagi-lagi bertindak sebagai lonceng alarm, mengingatkan mereka masing-masing dengan tajam akan fakta bahwa mereka sangat gugup.

Shin berpikir bahwa tubuh di pelukannya terasa sangat lembut dan halus sehingga mungkin akan pecah jika dia memegangnya terlalu kuat.

Lena mengira tubuh yang ia pegang jauh lebih kokoh dan kuat daripada yang ia bayangkan —tubuh pria.

Ya, saat mereka menyadarinya, wajah mereka memerah —terutama Lena, yang sama sekali tidak terbiasa dengan lawan jenis, dan semua darah mengalir ke kepalanya, membuatnya pusing.

“Lena?!” Shin berbisik, sedikit panik.

Semua orang di sekitar mereka masih di tengah-tengah waltz. Lena berpegangan pada lengannya untuk mendapat dukungan, kepalanya berputar. Tubuhnya menjadi panas, dan rasanya seperti dia akan meledak. Frederica dan Raiden kebetulan menari di dekatnya dan berbisik padanya.

“Kalian berdua sudah berdansa cukup lama. Dia pasti pusing.”

“Mengapa tidak pergi ke teras untuk mencari udara segar? Kamu harus mengantarnya ke sana, Shinei.”

xxxxx

Post a Comment