“Itu menjelaskan beberapa hal tentang Shin.”
Menyadari bagaimana Shin mampu secara sepihak mengalahkan Raiden dan melumpuhkan Daiya meskipun fisik mereka lebih besar, Anju mengamati reuni lucunya... atau lebih tepatnya, menghangatkan hati dengan pendeta itu.
“Kurasa Shin memiliki darah bangsawan kekaisaran, jadi kehidupan di kamp konsentrasi sangat berat baginya. Dia harus belajar bagaimana menjaga diri....”
Eighty-Six pasti akan direkrut cepat atau lambat, dan mereka yang berasal dari keluarga bangsawan Kekaisaran Giad menerima perlakuan diskriminasi parah dari Eighty-Six. Mengajarkan Shin cara bertarung sepertinya merupakan cara pendeta membesarkan Shin dengan cinta.
Shiden berdiri di sebelah Anju, memperhatikan Shin dan sang pendeta dengan mata terkejut.
“Ya, tapi mengajarinya cara membunuh seorang pria? Apa yang dipikirkan pendeta itu...? Jika aku sedang sial, Reaper kecil itu akan membunuhku saat pertama kali kami bertarung.”
“Tapi dia tidak melakukannya, jadi tidak apa-apa. Percaya atau tidak, dia bersikap lunak padamu.”
“Sudah kuduga...” Shiden mengangguk.
Anju menatapnya dengan pandangan sekilas. Shiden dan Shin bergaul seperti kucing dan anjing, tapi meskipun begitu, Shin tidak akan habis-habisan melawan seorang wanita. Shiden memang menyadari hal itu, tapi dia tidak akan bersembunyi di balik jenis kelaminnya. Anju merenungkan bahwa ini mungkin semacam kesepakatan pria yang tak terucapkan di antara mereka berdua. Mereka tidak begitu membenci satu sama lain pada tingkat fundamental.
“Selain itu, jika kamu mati, dia tidak perlu khawatir kamu akan menyerangnya lagi. Itu bentuk pertahanan terbaik, bukan?”
“Menurutmu itu masalahnya...? Oh."
“Ah, Shin sepertinya akan pingsan.”
Frederica bergegas mendekat, setengah berseru, bersama Grethe, yang akhirnya memutuskan sudah waktunya untuk campur tangan. Mereka berdua memisahkan pendeta tua itu dari Shin, yang sepertinya akan pingsan.
Saat dia entah bagaimana mengamatinya, Shiden tiba-tiba menoleh ke arah Anju dengan mata keperakannya yang seputih salju.
“Bukankah kau juga punya orang tua, Anju? Di Republik?”
“Ayahku mungkin masih hidup, tapi...” Anju terdiam, lalu mengangkat bahu.
Itu adalah sikap yang tenang dan santai, tetapi entah bagaimana itu tetap membuatnya terlihat lega.
“Aku tidak terlalu ingin bertemu dengannya... Atau, yah, kurasa itu tidak masalah. Entah dia hidup atau mati, hanya itu.”
Dia tidak benar-benar ingin dia hidup, dia juga tidak berharap dia mati. Dan itu juga bukan karena dia tidak ingin mengingatnya. Dia tidak membenci atau tidak suka berbicara banyak tentang ayahnya, dan itu bukan topik yang sensitif seperti yang dipikirkan orang lain. Dia hanya menganggapnya orang asing.
Menurutmu apa faktor yang hilang yang membuat kami menyukaimu?
Itu adalah pertanyaan yang dia tanyakan pada Dustin di Kerajaan. Ketika dia tidak terguncang melihat kematian Sirin seperti yang lainnya, ketika dia tidak mempertanyakan cara hidupnya.
Melihat ke belakang, bukan karena dia kekurangan sesuatu. Itu lebih seperti....
Dia tersenyum tipis, bergumam pada dirinya sendiri. Bahkan setelah mengetahuinya, itu masih masalah yang rumit. Tetapi....
“Aku harus mengenakan gaun dengan punggung terbuka. Atau bikini.”
_____________________
"Jadi begitu. Jadi kamu sudah mengistirahatkan Rei.”
"Ya."
Berbicara kepada orang tua penggantinya, pendeta, Shin merasa seperti kembali menjadi anak kecil lagi. Selain dirinya dan Lena, hanya pendeta itu yang mengenal Rei saat dia masih hidup. Dan dia juga tahu tentang dosa kakaknya... yang tidak Lena ketahui, dan Shin tidak berniat untuk berbagi dengannya.
“Aku tidak punya banyak bukti, tapi...Aku merasa dia juga menyelamatkanku untuk terakhir kalinya.”
Ketika dia benar-benar tak sadarkan diri di wilayah Legiun, Dinosauria telah menangkapnya dan teman-temannya, berkeliaran di garis patroli Federasi, di mana ia ditembak jatuh.
Dia mungkin akan menyelamatkannya...bahkan setelah mati dua kali. Dia mati untuk ketiga kalinya demi mengawal Shin dan rekan-rekannya ke perbatasan Federasi. Dan dia kemungkinan besar siap untuk dihancurkan dalam prosesnya.
“Itu....hal terbaik yang pernah aku dengar. Begitu...kau akhirnya memaafkannya.”
Itu adalah kata-kata yang tidak Shin perkirakan, tetapi setelah mendengarnya, sepertinya pendeta itu benar. Shin ingin memaafkannya. Dia ingin dimaafkan, dan bahkan ketika dia tahu dia tidak bersalah atas apa pun, dia ingin membunuh hantu kakaknya. Tapi sama seperti dia ingin melakukan itu, dia juga ingin memaafkan Rei.
"Ya."
“Itu bagus, kalau begitu.... Kamu benar-benar sudah dewasa. Dan aku tidak hanya membicarakan tinggi badanmu.”
Shin melihat balik ke pendeta tua itu, yang tersenyum bangga padanya.
"Ketika aku melepasmu pergi, aku tidak berpikir kamu akan kembali."
Pendeta itu bisa mengingatnya dengan jelas, bahkan sekarang. Dia tidak pernah bisa melupakannya. Anak kecil yang kehilangan orang tua, yang hampir dibunuh kakaknya, membuat keputusan untuk melangkah ke medan perang. Anak yang saat itu tidak hanya lupa bagaimana caranya tertawa—bahkan dia juga tidak tahu lagi bagaimana meneteskan air mata.
“Saat itu, kamu dihantu... dihantui oleh Rei, yang sudah gugur. Orang mati tinggal di neraka Hades. Tampaknya bagiku Kau berpikir bahwa jika Kau mengejarnya, Kau akan menginjakkan kaki di jurang yang sama.”
“....”
Mungkin pendeta itu benar. Itu sangat mungkin terjadi. Shin tidak pernah memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya... Tidak, dia tidak pernah ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang dia inginkan hanyalah membunuh kakaknya dan kemudian rusak seperti bilah baja dingin. Dia mungkin merasa seperti itu sejak medan perang bersalju dua bulan lalu.
“Tapi sekarang kamu terlihat baik-baik saja. Kamu benar-benar telah tumbuh.”
“Mendengarnya darimu, Pendeta, tidak terasa nyata.”
Berbicara dengannya membuat Shin merasa seperti anak kecil lagi... Dan pendeta itu begitu besar, tidak terasa jarak antara mereka telah menyusut.
“Bagiku, kamu akan selalu anak kecil.... Jadi jika kamu merasa ada masalah atau membutuhkan seseorang untuk diajak bicara, kau selalu bisa mendatangiku. Bagaimanapun, aku adalah pendeta militermu.”
Pendeta itu mengangkat alis dengan bergurau, dan Shin tersenyum paksa. Tapi itu membuatnya berpikir. Sedang bermasalah, membutuhkan seseorang untuk diajak bicara... Lagipula, dia memang memiliki dilema saat ini. Sesuatu dengan Lena, itu.
“Kalau begitu, bisakah Kau mendengarkanku, Pendeta?”
"Tentu saja."
Shin berhenti, memikirkan bagaimana menyimpulkan masalahnya... dan kemudian mempertimbangkan kembali.
“Sebenarnya, tidak ada apa-apa.”
Kejadian baru-baru ini telah membuatnya mengerti bahwa membawa masalah yang tidak dapat dia selesaikan sendiri bukanlah hal yang baik. Atau lebih tepatnya, menjadi beban bagi orang lain adalah ide yang buruk.
Tapi dalam kasus ini, dia merasa mengandalkan orang lain bukanlah hal yang benar untuk dilakukan.
“Sekarang, ada apa? Masalah hati, Nak?”
"...Bagaimana kamu bisa tahu?"
Pendeta itu tertawa terbahak-bahak.
"Jika itu beban tentang seorang remaja laki-laki, itu hanya bisa menjadi satu hal... Tapi ya ampun... Kau benar-benar mulai berpikir seperti anak seusiamu... Itu membuatku tenang."
____________________
Dia pernah mendengar Federasi menemukan keluarga pria itu.
Ketika dia diantar ke ruangan lain, Theo menyadari bahwa ini bukan seperti reuni Shin dan Raiden, di mana dia bisa membiarkan orang lain melihatnya. Dia mengerti alasan mengapa dia diberitahu bahwa meskipun mereka telah ditemukan, mereka tidak akan diizinkan untuk melihatnya jika dia tidak mau.
Tetapi ketika dia melihat orang di ruangan itu, Theo terkejut.
“Mereka bilang kamu kenal Ayah.”
Warga negara Republik hina, seorang Alba. Seorang anak laki-laki yang tampaknya berusia sebelas atau dua belas tahun.
Kapten skuadron pertama Theo ditugaskan di Sektor Eighty-Six. Seorang pria yang tetap bertahan di belakang dan gugur demi membiarkan bawahannya melarikan diri. Seorang warga negara Republik —seorang Alabaster— yang telah pindah ke Sektor Eighty-Six karena keyakinan bahwa memaksa Eighty-Six untuk bertarung adalah hal yang keliru.
Theo telah meminta tentara Federasi untuk mencari keluarganya. Dia pikir memberitahu mereka bahwa kapten berjuang sampai akhir merupakan sesuatu yang benar untuk dilakukan.
Tetapi....
Bibir Theo sedikit bergetar. Pria itu memiliki istri... dan seorang anak. Seseorang yang dia pilih untuk membagikan hidupnya, seorang putra yang ingin dia percayakan masa depan. Dia tidak pernah membayangkan kapten meninggalkan semua itu demi mendatangi Sektor Eighty-Six.
“Di mana ibumu?” dia berhasil bertanya.
“Serangan skala besar....,” terdengar jawaban singkat dan samar dari anak itu.
"Jadi begitu."
Anak laki-laki itu menundukkan kepala, matanya tertuju pada pola bunga di karpet.
“Dia selalu bilang Ayah meninggal dengan melakukan apa yang benar. Bahwa aku harus bangga padanya... Tapi Kakek dan wanita tua yang tinggal di lingkungan itu, semua temanku, ibu mereka... Mereka semua mengatakan Ayah melakukan sesuatu yang keliru.”
Untuk seorang anak kecil pada usia itu, itu sama dengan membuat seluruh dunia mengatakannya.
“Mereka mengatakan dia adalah orang bodoh yang membuang tanah airnya, harga dirinya sebagai warga negara Republik, dan keluarganya, semua itu untuk Eighty-Six. Dan kemudian dia pergi dan mati. Mereka semua.... selalu saja menyebut Ayah bodoh.”
Mata bersalju dan perak itu menatapnya hampir putus asa. Mata itu memiliki warna yang sama dengan mata babi putih hina Republik. Warna yang sama persis dengan mata sang kapten... Dan mengingat sorot mata itu masih membuat hati Theo sakit. Seperti luka lama.
“Tapi Ayah tidak bodoh, kan? Dia melakukan hal yang benar. Eighty-Six mungkin berbeda warna dari kami, tapi mereka tetap manusia. Jadi Ayah membantu orang lain...dan itu bukan hal yang bodoh untuk dilakukan, kan?”
“Tentu saja tidak,” sembur Theo.
Dia tidak mencoba untuk mendorong anak itu pergi; suaranya hanya penuh dengan keputusasaan. Karena mereka sama sekali tidak tahu. Mereka tidak tahu seberapa kuat atau riang dia. Mereka tidak tahu kata-kata terakhir yang ditinggalkan oleh mantan pembawa Personal Mark Theo. Itulah satu-satunya alasan mereka bisa berbicara seperti itu tentang ayah anak laki-laki ini.
Anak itu berusia sebelas tahun atau, paling banter, dua belas tahun. Dia adalah bayi yang baru lahir ketika perang dimulai sebelas tahun yang lalu. Mustahil dia bisa mengingat wajah ayahnya. Tidak seperti Theo, yang pernah mengenal wajah orang tuanya tapi kemudian lupa. Anak ini bahkan tidak punya waktu untuk mengenal kapten.
“Dia melawan Legiun bersama kami dan gugur saat coba membantu kami. Tidak ada yang berhak mengejeknya. Kapten itu sama benarnya seperti yang ibumu katakan....”
Tapi kemudian Theo terdiam. Apakah kapten... benar? Apakah dia hidup dengan benar? Apakah dia... mati dengan benar? Dia telah menyingkirkan keluarganya dan terjun ke medan perang, mengetahui bahwa dia mungkin tidak akan pernah bisa melihat putranya lagi. Dan di sana, dia meninggal, dengan anaknya tidak pernah tahu bagaimana dia bertarung atau bagaimana dia gugur.
Mungkinkah itu disebut kebenaran? Apakah kebenaran seperti itu akan diberi balasan?
Dia mengesampingkan kebahagiaannya saat ini dan membuang semua prospek kebahagiaan masa depan yang dia miliki. Dan yang dia dapatkan hanyalah kematian. Dia ditolak oleh Eighty-Six lainnya, termasuk Theo, dan tidak ada yang pernah menyanjung namanya.
Apakah itu bisa disebut cara mati yang konyol?
Kumohon. Jangan pernah memaafkan aku.
Itulah sebabnya, pada akhirnya, dia meninggalkan kata-kata itu saat meninggal.
“Pokoknya....tidak peduli apa yang orang lain katakan, percayalah pada ayahmu.”
Tetapi bahkan ketika Theo mengatakan itu, sesuatu di benaknya mau tak mau berbisik dengan dingin, mencaci maki dirinya karena kemunafikannya.
__________________________
Shin, Raiden, Anju, dan yang lainnya pergi untuk menyambut pendeta militer serta staf pengajar tambahan yang baru. Mereka berasal dari Republik, jadi Kurena tetap tinggal di markas, perasaannya campur aduk melihat mereka.
Dia tahu ada beberapa Alba yang baik—pendeta yang membesarkan Shin dan wanita paruh baya yang melindungi Raiden misalnya. Dan kemudian ada Lena, Annette, dan Dustin. Kurena sendiri takan pernah melupakan salah satu perwira Alba yang berusaha menyelamatkan orang tuanya. Tetap saja, dia terlalu muda untuk mengingat namanya, jadi dia tidak bisa memohon kepada Federasi untuk mencarinya.
Pendeta militer dan guru tambahan ini mungkin bukan orang yang mengerikan. Tapi dia masih takut untuk bertemu dengan mereka untuk pertama kalinya. Dia ketakutan... Ya, takut. Sampai sekarang, dia selalu takut akan hal ini. Hanya ada satu orang yang bisa dipercaya oleh anggota skuadron spearhead , dan itu adalah Shin. Dan jika bukan dia, mereka masih bisa percaya satu sama lain.
Kurena memeluk lutut, membenamkan wajah di dalamnya. Bagaimanapun juga, mempercayai orang lain hanya akan berakhir dengan cara yang sama. Orang tuanya, yang ditembak mati oleh tentara yang mengejek dan mencemooh. Kakak perempuannya, yang tidak pernah kembali dari medan perang. Pada awalnya, dia benar-benar sendirian, dilempar ke medan pertempuran mengerikan Sektor Eighty-Six.
Itu akan kembali terjadi.
Alba, manusia, dunia itu sendiri... Mereka semua terlalu kejam. Mereka akan mengkhianatinya lagi tanpa berpikir dua kali. Jadi dia tidak bisa mempercayai siapa pun. Dia enggan. Dan itulah mengapa tidak ada masa depan untuk dinantikan. Tidak ada mimpi untuk dipegangteguh.
Mengharapkan masa depan cerah sama hambar dan sia-sianya dengan mengharapkan seseorang bisa bermimpi indah malam ini. Jika itu bisa terjadi, dia ingin melihatnya terjadi. Tetapi bahkan jika dia tidak... itu juga baik-baik saja dengan caranya sendiri. Itulah yang dia rasakan.
“Jadi perang...”
Mungkin juga takan berakhir....
_____________________
Post a Comment