Update cookies preferences

Eighty Six Vol 8; Chapter 3; Bagian 4

Semua supercarrier kelas Navigatoria, termasuk Stella Maris, memiliki haluan kapal tertutup yang kedap udara. Baik hanggar maupun ruang siaga yang berdekatan aman dari hujan dan angin, tetapi suara mereka masih bergema sama, meskipun sedikit teredam.

Kedengarannya kurang seperti tetesan air hujan dan lebih seperti kerikil yang melempari geladak. Angin menderu dalam jeritan tinggi dan rendah, seperti seribu seruling yang ditiup sekaligus, atau teriakan perang dari beberapa suku biadab kuno. Udara terasa hangat dan terisolasi, tetapi terganggu oleh kilatan petir yang menyilaukan secara tiba-tiba dan gemuruh guntur yang nyaring.

Suara kebrutalan primal yang telah terpatri dalam jiwa manusia sebagai simbol ketakutan tanpa syarat. Kemarahan surga. Gema menggema yang manusia yakini selama beberapa generasi sebagai auman dewa dan amarah monster.

Prosesor, yang telah menyelesaikan persiapan mereka dan menunggu di ruang siaga, melihat ke langit dengan napas tertahan. Mereka semua pernah merasakan badai, tetapi mereka sekarang berada di jantung laut, tanpa ada yang menghalangi amukan badai hujan.

Dan di antara itu dan apa yang mereka dengar didalam transmisi kapal, kecemasan dan keraguan yang biasanya mereka sudutkan ke lubuk hati mereka naik ke permukaan.

Harga diri untuk berjuang sampai akhir yang pahit... Eighty-Six adalah mereka yang terjun ke medan perang sambil tidak mencari hal lain. Jadi di mata mereka, semangat juang Negara Armada bahkan setelah membuangnya sulit dipercaya. Bagaimana mereka bisa terus berjuang bahkan setelah membuang harga diri yang mendefinisikan mereka?

Bagaimana mereka bisa... terus hidup?

Ini bukan sesuatu yang bisa mereka harapkan untuk ditiru. Segala sesuatu yang lain telah dirampas dari mereka, jadi jika harga diri mereka adalah yang berikutnya, mereka tidak akan punya apa-apa lagi untuk membentuk mereka. Bahkan jika hanya itu yang mereka miliki... harga diri mereka tidak dapat dirampas dengan mudah...

Karena mereka tidak terbiasa dengan pelayaran laut, sensasi goyangan kapal yang bergoyang di bawah kaki mereka membuat mereka tetap waspada. Lautan badai. Kekuatan ombak mengangkat kapal dan kemudian menjatuhkannya kembali, mengguncangnya tanpa henti. Mereka terbiasa dengan mobilitas intens Juggernaut, jadi goyangannya tidak membuat mereka mabuk laut. Tetapi kesadaran bahwa hanya satu lapisan pelapis besi yang memisahkan mereka dari jurang luas dan tak terbatas membuat mereka terguncang dengan cara lain.

Kesadaran itu menanamkan sejumlah kecemasan dalam diri mereka. Tidak ada dukungan sejati dan abadi bagi mereka kemanapun mereka memandang. Pijakan yang mereka pijak, pada kenyataannya, tidak dapat diandalkan dan rapuh.

Ini adalah sesuatu yang sebelumnya mereka pikir mereka ketahui. Di medan perang Sektor Eighty-Six, di benteng bersalju, dan sekarang di laut biru luas ini.

Mereka sudah menyadari hal ini berulang-kali—bahwa harga diri adalah sesuatu yang tidak pasti dan rapuh untuk dipegang. Tidak ada yang benar-benar tidak bisa dipecahkan. Tidak ada apa-apa di dunia ini... manusia bisa yakin bahwa mereka tidak akan pernah kalah.

Seberapa terlatih pun dan sebanyak apapun pengalaman mereka, ketakutan itu merampas kata-kata mereka. Seperti anak-anak kecil yang ketakutan, mereka semua menatap ke langit yang bergemuruh dengan napas tertahan saat memekikkan lolongannya yang gila dan menggelora.

_____________________

Menyingkirkan mikrofon, Kapten Ismael menarik napas dalam-dalam dan duduk di kursinya.

“Esther, ku serahkan komando padamu selama briefing... Maaf membuatmu menunggu, Kolonel MilizĂ©.”

“Dimengerti, Kakak.”

“Tidak... Um, Kapten Ismail.”

Dia berbalik, hanya untuk menemukan Lena dengan air mata di matanya. Ismail menatapnya dengan senyum terganggu.

“Sudah kubilang, kamu tidak perlu melihatku seperti itu... Selama kamu sesekali memikirkan kembali negara kami, kami akan puas.”

Ini bukan sesuatu untuk didiskusikan di jembatan terintegrasi. Ada orang yang menunggu briefing, jadi mereka pergi ke koridor, di mana mereka melanjutkan percakapan.

“Kami dari dulu adalah negara kecil tanpa industri besar untuk dibicarakan, dan kami menopang armada besar dan berlebihan ini dengan uang yang tidak kami miliki. Semakin lama perang berlangsung, semakin sulit mempertahankan kelangsungan hidup. Hanya masalah waktu sebelum kami tidak dapat mempertahankannya lagi.”

Mereka menuruni tangga sempit kapal perang, mencapai lantai pertama jembatan. Saat mereka sampai, anggota kru yang lewat membuka jalan bagi mereka dengan memberi hormat.

“Hari ini kebetulan adalah harinya. Ini mungkin akhir, tetapi kami akan melakukan apa yang kami rencanakan, jadi ini adalah jalan yang baik untuk ditempuh.”

“Itu sama sekali tidak baik.”

Saat mereka hendak membuka pintu ruang kendali dek penerbangan, mereka mendengar suara di belakang mereka. Ismail berbalik dengan alis terangkat, menemukan seorang pemuda di puncak masa remajanya berdiri di puncak tangga. Dia mengenakan seragam baja-biru yang sepertinya tidak sesuai dengan fisiknya yang sedang tumbuh, dan dia terengah-engah.

Theo.

"Letnan Dua Rikka."

Lena membuka bibirnya untuk memarahinya, tapi Ismail langsung menghadapnya. Dia menyuruhnya untuk terus maju, mendorong punggung kecilnya ke arah ruangan dengan hampir paksa dan menutup pintu di belakangnya.

Theo kemudian berbicara, seolah tidak memedulikan tindakan implisit Ismael.

“Mereka merampas tanah airmu, dan kamu kehilangan keluargamu yang sebenarnya, kan? Dan sekarang kamu juga membuang harga dirimu.. Bagaimana kau bisa menerimanya?!”

Jika tidak ada yang lain, Theo tidak akan melakukan itu. Kemungkinan hanya ada sedikit Eighty-Six yang bisa. Mereka tidak punya tanah air untuk pulang, tidak ada keluarga untuk dilindungi, tidak ada budaya untuk diwarisi. Jadi membiarkan seseorang melepaskan harga diri —keinginan rekan-rekan mereka, hidup dan mati— membuat mereka takut lebih dari apa pun.

Jadi bagaimana Ismail dan anggota kru lain, yang rumah dan keluarga mereka dirampas oleh perang, melihatnya datang untuk mengklaim harga diri mereka selanjutnya... dan menerimanya begitu saja? Dan dengan tersenyum, pada saat itu.

“Well, kau sudah tau.”

Ismail mengangguk, seolah menerima teriakan putus asa Theo secara langsung. Dia merenungkan sesuatu sejenak, lalu membuka bibirnya untuk berbicara.

“Kau tahu, 'Nicole'... kerangka leviathan yang kau lihat. Dia awalnya untuk dipamerkan di istana gubernur kampung halamanku.”

Theo menatapnya dengan curiga, seolah tidak yakin akan apa yang tiba-tiba dia bicarakan. Nicole. Kerangka leviathan dipamerkan di aula pangkalan.

“Ketika perang dimulai dan kami harus meninggalkan wilayah kami, Komandan armada memasukan semua pengungsi yang dia bisa ke kapal dan, entah bagaimana, menemukan tempat untuk itu sebelum meninggalkan benteng. Dia tahu perang mungkin tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Kami tidak akan kembali ke sana untuk waktu yang lama. Jadi dia membawa Nicole... Dia pikir dengan menganggapnya sebagai simbol tanah air kami, itu akan membantu meningkatkan semangat kami.”

Komandan armada tahu, bahkan pada saat itu, bahwa angkatan laut Negara Armada Cleo kemungkinan tidak akan tetap menjadi simbol negara. Begitu pula dengan Stella Maris, atau keturunan klan Laut Terbuka yang menjabat sebagai awak armada.

Dan cukup menyedihkan, asumsinya terbukti benar. Perang Legiun berkecamuk selama sepuluh tahun, dan Komandan armada tenggelam ke dasar laut bersama dengan kapal Negara Cleo. Awak Stella Maris terjun berperang di darat untuk menutup lubang di formasi pertahanan selama serangan skala besar tahun lalu. Terpaksa bertempur di lingkungan yang tidak biasa mereka hadapi, mereka gugur di sana.

Saat ini, satu-satunya sisa Negara Armada Cleo adalah Nicole, Stella Maris, dan Ismael sendiri. Dan sebagai bukti bahwa negara mereka pernah ada, Ismail dan Stella Maris akan mengakhiri tugas mereka dalam operasi ini. Namun, terlepas dari rasa sakit itu...

“Aula tempat Nicole berada sekarang tidak pernah dimaksudkan untuknya. Awalnya, rangka terakhir kapal torpedo yang diturunkan di kota ini dipamerkan di sana.”

....ada orang-orang yang menghormati pengorbanan mereka.

“Demi kami, demi semua orang yang kehilangan rumah mereka di seluruh Negara Armada, mereka memberi kami tempat untuk menjaga harga diri kami tetap aman. Kota itu juga kampung halaman kami. Saat ini, sekarang ini, kota itu adalah kampung halamanku. Dengar, Kau selalu dapat menemukan sesuatu yang baru. Bahkan jika Kau kehilangan segalanya. Selama Kau hidup, Kau selalu dapat menemukan sesuatu yang sama berharganya. Bahkan jika tempat itu bohong, itu bisa menjadi nyata.”

Bertentangan dengan kata-katanya, Ismael menatap Theo dengan senyum berubah-ubah dan memudar. Begitu samar sehingga rasanya bisa dengan mudah mencair dan menghilang di lautan perairan yang tak terbatas.

“Sejarah Negara Armada adalah salah satu kekalahan. Dan aku tidak hanya membicarakan perjuangan kuno kami melawan leviathan. Kami bertetangga dengan dua kekuatan besar, yang selalu memandang rendah kami, meremehkan kami, dan merampas semua wilayah kami yang layak. Kami harus bekerja sama dengan mereka untuk mempertahankan wilayah yang kami miliki dan mempertahankan armada, sehingga kami bisa bertahan... Kami hidup melewati berabad-abad kekalahan dan tindakan penjarahan yang tak terhitung jumlahnya. Tetapi bahkan ketika kami kalah, bahkan ketika kami dijarah dan dibiarkan begitu saja, kami harus terus hidup. Orang-orang dari Negara Armada menyadari hal ini... Jadi begitulah yang aku tahu. Kami hanya dapat menemukan sesuatu yang baru untuk dicita-citakan.”

"Tapi bagaimana jika mati pada akhirnya tidak memberi kalian apa-apa?"

Theo menggelengkan kepala dalam penyangkalan seperti anak kecil yang mengamuk. Suaranya naik menjadi teriakan, tapi dia tidak menghentikan dirinya sendiri.

“Kamu terus kehilangan sesuatu, ditolak dan dirampas... Dan kemudian mati, praktis tanpa hasil... Apa gunanya mati tanpa mendapatkan kembali apa yang telah hilang?!”

Itu seperti kapten lamanya. Dia akan mengesampingkan masa depannya, keluarganya, dan kemudian mati dalam pertempuran. Tanah airnya mengejeknya, menyebutnya bodoh. Putranya harus hidup dalam keraguan akan validitas dan kemuliaan kematiannya... Dan pada saat terakhir, kata-kata terakhirnya adalah permohonan untuk tidak pernah dimaafkan.

Dia bertarung di Sektor Eighty-Six, sama seperti Theo, tetapi sampai akhir tidak pernah menemukan satu pun teman atau sekutu. Kapten selalu sendirian.

"Mengapa kamu bertahan... di medan perang semacam itu?"

“Well...” Ismail tersenyum. “Selama aku tidak mempermalukan diriku sendiri, aku puas. Hanya itu yang aku butuhkan."

Dia menunjukkan ekspresi yang sama seperti yang diperlihatkan kapten. Riang sampai titik konyol. Kuat sampai pada titik bodoh.

“Jika tidak, aku tidak akan pernah bisa menatap mata Komandan armada. Dia mungkin memang sudah mati, tapi dia kehilangan nyawa karena memperjuangkan klanku... Jadi jika aku menjalani hidupku dengan kepala tertunduk karena malu, dia akan mati sia-sia.”

xxx

“Kakakku, aku kembalikan komando kepadamu... Kami kehilangan kontak dengan kedua armada pengecoh lima belas menit yang lalu. Transmisi terakhir mereka adalah 'empat puluh lima tembakan tersisa. Semoga keberuntungan ada di pihakmu.'”

"Astaga... Sekarang giliran kita."

Sisa amunisi musuh: empat puluh lima tembakan. Jarak yang tersisa: seratus empat puluh kilometer.

xxx

Untuk berbagi situasi selama mungkin dengan Komandan operasi mereka, Komandan satuan operasi dan wakilnya —Shin dan Raiden— serta Yuuto dan letnannya tetap bersiaga di jembatan bendera di lantai lima.

Hujan masih mengguyur tanpa ampun di kaca jendela kaca tebal anti-ledakan, cipratan air membuat seseorang tidak bisa melihat melalui jendela. Ruangan tampak gelap, lampunya dimatikan untuk menghindari deteksi musuh.

Jendela itu sendiri kemudian menyala saat sambaran terang petir melesat melintasi langit, sesaat memutihkan cakrawala. Tidak sampai beberapa detik kemudian, mereka mendengar gemuruh guntur yang intens di dekatnya, begitu tebal dan berat sehingga terdengar seperti gunung es yang runtuh. Petir ungu menari-nari melalui celah di antara awan, melintasi langit kelam dan laut yang tidak terlihat di bawah tirai badai kejam.

Selama berabad-abad, manusia menyamakan kilat dengan seekor naga, karena kemiripannya yang cair dan hampir organik dengan terbangnya makhluk mitos. Itu seperti celah yang mengalir melalui udara gelap dan berawan di atas mereka.

"Hei..."

Tidak dapat membedakan apakah dia benar-benar memanggil orang lain atau hanya mengucapkan kata, Shin hanya menyadarinya ketika dia mengalihkan pandangannya ke arah suara bingung Raiden. Bahkan dengan hilangnya kilat, di luar masih terang. Tanpa bulan —apalagi matahari— untuk menghilangkan kegelapan. Sesuatu seperti cahaya bintang, seperti kecerahan salju, seperti cahaya biru pucat noctilucas. Cahaya redup yang telah meleleh ke dalam kegelapan.

Shin tahu bahwa bahkan jika petir itu mengenai kapal secara langsung, itu tidak akan merobek kaca jendela. Meski begitu, dia mendekati jendela dengan hati-hati. Melihat ke luar, dia merasakan napasnya tercekat di tenggorokan.

Sumber cahayanya adalah Stella Maris itu sendiri.

Di tepi lambung, tepat di bawah dek penerbangan, dua dudukan senjata 40 cm dan moncongnya menyala. Jembatan itu sendiri pun sama. Meskipun kegelapan menutupi haluan kapal, sengatan listrik memaksa mereka untuk menyala. Cahaya biru tanpa panas, seperti will-o'-the-wisp.

Cahaya yang membingungkan ini membuat kapal itu tampak seperti kapal hantu, selamanya mengarungi lautan dengan layar robek dan tiang patah.

Mungkin seluruh dunia adalah semacam ilusi. Sejarah manusia, harga diri mereka. Fakta bahwa manusia pernah hidup. Nilai kemanusiaan, semua hal yang mereka hargai dan junjung tinggi, semuanya hanyalah ilusi tidak berarti.

Shin mengepalkan tangannya dengan erat. Kekosongan yang melintas di benaknya menghentikan alur pemikiran itu.

Itu tidak benar.

Itu tidak mungkin benar.

Pintu ruangan terbuka dengan liar, dan seorang anggota kru mengintip ke dalam.

“Anak-anak! Kita hampir sampai di wilayah Mirage Spire! Cepat bersiap!"

“Roger.”

Shin adalah yang pertama pergi, dengan Raiden dan yang lainnya bergegas mengikutinya. Raungan keras guntur lainnya bergema di belakang mereka, seolah-olah melihat mereka pergi.

Post a Comment