Lima puluh delapan menit kemudian, para siswa yang dengan putus asa bekerja keras akhirnya membuahkan hasil. Mereka berhasil melucuti tiga dari empat jebakan. Tapi yang terakhir —jebakan yang diisi dengan pegas— ternyata memusingkan.
"Sial, masih belum ada apa-apa?"
“Bagaimana kita bisa menghentikannya?!”
Para siswa yang mengelilingi kotak yang tersisa praktis histeris. Sementara itu, jarum jam terus berdetak. Lima puluh sembilan menit telah berlalu. Melihat itu, Oliver pun mengambil kesimpulan.
“Persetan; tidak ada waktu lagi. Lupakan mencoba menyelesaikannya. Mari fokus untuk melindungi diri sendiri!” Oliver memerintahkan, membuat keputusan eksekutif untuk meninggalkan jerih payah mereka sebelumnya. Para siswa menjauhkan diri dari kotak, berhamburan seperti bayi laba-laba.
Pete berbalik, mencoba mematuhi.
“Ugh...?!”
Tiba-tiba, dia merasa sangat pusing, dan penglihatannya berubah. Dalam pikirannya, dia tahu dia harus pergi dengan cepat, tapi indra di kakinya menghilang. Dia roboh ke tanah, tidak mampu menopang berat tubuhnya.
“Pete!”
Oliver, menyadari ada sesuatu yang salah, melompat balik ke depan jebakan. Tidak ada cukup waktu untuk bisa menangkap Pete dan lari. Dia dengan cepat melontarkan mantra penghalang, lalu melindungi remaja itu dengan tubuhnya, menutupinya dengan mantel dan memeluk temannya.
Kotak itu meledak. Tetapi alih-alih api atau kabut racun, ribuan untaian panjang, tipis, menggeliat ditembakkan ke arah siswa yang berteriak.
“Ohhh, hampir saja. Hanya melewatkan satu!” Enrico berkata dengan gembira seperti biasa. Pete, yang pingsan untuk sesaat, perlahan membuka matanya.
“Uh... Ah...?”
"Jangan bergerak, Pete. Tetap diam,” bisik Oliver, masih memegangnya. Merasakan sesuatu yang aneh dalam suaranya yang teredam, Pete mengintip dari celah kain —dan terdiam. Lusinan ular menggeliat dengan keras di punggung Oliver, taring ular-ular itu menancap di dagingnya.
“Pu-punggungmu....!”
“Aku baik-baik saja... Hanya sedikit sakit. Bukan masalah besar...,” kata Oliver sambil mengertakkan gigi karena rasa sakit.
Enrico tampak sangat terkesan. “Ohhh, yang ini, sangat kuat. Sebagian besar tahun pertama pingsan, kesakitan setelah digigit. Kalau begitu, izinkan aku untuk bergabung denganmu! Kya-ha-ha-ha-ha!”
Dan dengan itu, lelaki tua itu membiarkan dirinya digigit ular dari ujung kepala sampai ujung kaki; sisa kawanan ular yang merayap mengejar para siswa di ujung lain ruangan. Chela dan beberapa orang lainnya dengan cepat bergerak untuk mempertahankan diri dengan sihir, tetapi ular-ular itu menyelinap dan menyerang siswa demi siswa.
Jeritan memenuhi udara.
“Memang, ini cukup menyakitkan.”
Para siswa berbalik menghadap dinding, berusaha menjauh dari ancaman sejauh mungkin. Diantara mereka, hanya Nanao yang melangkah maju atas kemauannya sendiri. Gelombang ular menyapu tubuhnya, menggigit seluruh tubuhnya. Dia meringis tapi terus berjalan. Akhirnya, dia sampai di depan teman-temannya dan meraih Oliver dan Pete.
“Nana....o?”
“Izinkan aku untuk membantu. Sayangnya hanya ini yang bisa ku lakukan.”
Melihat mangsa baru, beberapa ular yang menggigit Oliver mengalihkan target kepada Nanao. Melihat itu, Katie tergerak untuk bergabung dengan mereka.
"L-lalu ijinkan aku—," dia memulai.
“Berhenti, Katie!” Chela berteriak saat Katie mencoba lewat. “Aku tahu kamu kuat, tapi kamu butuh pelatihan untuk menahan rasa sakit yang begitu kuat!”
Chela segera menahan temannya. Dia sedang menjauhkan ular dengan mantra gelombang panas, dan area di belakangnya adalah satu-satunya tempat berlindung yang aman di kelas itu. Dia tidak mungkin bisa membiarkan Katie meninggalkannya dengan ceroboh untuk bergabung dalam pertarungan.
"Dia benar. Tapi itu tidak berarti kita juga harus tinggal diam dan digigit!”
"Guy?!"
Mata Chela membelalak karena terkejut. Pemuda jangkung itu mengeluarkan botol ramuan kecil, menumpahkannya di atas kepala, dan berjalan melewatinya ke dalam bola ular. Dia berlari langsung ke arah Oliver, dan ular-ular itu menukar target seolah-olah tertarik padanya. “Tonitrus!”
Arus listrik mengalir melalui tubuh Guy, menyergap semua ular sekaligus. Dia menepis reptil yang tumbang dan mendengus.
“Begitulah bagaimana kami merawat mereka di leherku di hutan. [1] Anda seharusnya memberi tahu kami apa yang ada di dalam perangkap tadi, guru. Tidak akan ada alasan untuk takut," kata Guy sambil memelototi ular.
Enrico terkekeh dan mengangkat tongkat. “Kya-ha-ha-ha-ha! Jadi begitu caramu memusnahkan mereka, eh? Kalau begitu izinkan aku menunjukkan metodeku!"
Orang tua itu merapalkan mantra, dan seketika, ular yang menggeliat di seluruh kelas berputar kesakitan dan mati. Hama dibasmi, dia menghadapi kelas dan mendiktekan hasilnya, masih tersenyum.
“Tiga dari empat jebakan berhasil dilucuti —upaya yang bagus untuk hari pertama kalian. Sebagai hadiah, ambillah permen.” Dengan jentikan tongkatnya, lolipop kecil di bawah podium terbang ke tangan siswa yang tercengang. “Tapi pastikan untuk tidak mengabaikan latihan, karena lain kali aku akan meningkatkan kesulitan. Untungnya, sebagian besar dari kalian lolos tanpa cedera —tapi jika terjadi sebaliknya, aku akan menjadi satu-satunya yang dapat menyembuhkan kalian semua. Kalian akan menderita sedikit lebih lama.” Enrico menyeringai mengancam.
Katie, sekarang benar-benar muak, melemparkan permen lolipop dengan keras ke tanah. "Dasar! Kelas ini mesti dihapus!" dia berteriak dengan marah.
Enrico meratap saat melihat permen itu pecah tanpa ampun. “Ahhhhh! Apa yang Kau lakukan, Ms. Aalto? Bagaimana Kau bisa menyia-nyiakan makanan manis? Apakah kamu tidak punya hati?”
“Oh, kamulah yang mestinya bicara! Kelasmu dibangun dengan niat untuk menyakiti kami. Ini bukan pendidikan —ini penyiksaan!” Katie menegur, menolak mundur. Kemarahannya menyebabkan lelaki tua itu menatapnya dengan tatapan kosong.
“Apa yang membuatmu gusar, Ms. Aalto? Kau tampaknya tidak menyukai kelasku, tetapi apa detail masalahnya? Lihat sekitarmu. Tidak ada yang mati,” katanya singkat. Di seluruh kelas, para siswa menderita dan mengerang kesakitan, tapi ini sepertinya tidak mengganggunya sedikit pun. “Ini adalah metode pengajaran tercepat. Menurutmu, apa keuntungan terbesar mage dibandingkan non-penyihir? Sejujurnya, itu adalah, fakta bahwa kita tidak mati dengan begitu mudah. Selama kematian tidak terjadi secara instan, sihir healing dapat memperbaiki sebagian besar luka.”
“...!”
“Non-penyihir tidak menikmati manfaat ini, jadi mereka harus menggunakan metode pengajaran yang lebih aman. Mereka tidak punya pilihan selain menyampaikan ilmu dengan perlahan-lahan, memperlakukan siswa seperti kaca dan mengkhawatirkan cedera atau kematian. Kita, bagaimanapun juga, berbeda. Kita bisa diperbaiki bahkan jika rusak. Cedera parah dapat diabaikan, sehingga kita dapat kembali belajar keesokan harinya. Kualitas apa ini jika bukan anugerah yang luar biasa? Keuntungan inilah yang memungkinkan kita untuk mencoba hal-hal aneh dalam mengejar pembelajaran yang lebih cepat —selama itu tidak membunuh kita!”
Katie tercengang.
Orang tua itu mengalihkan pandangan kepada Oliver. “Kemarilah, Mr Horn. Racunnya tidak terlalu kuat, tetapi Kau menerima terlalu banyak gigitan. Itu akan mengganggu kelasmu berikutnya, aku yakin. Permen penawar tidak akan cukup untuk membersihkan sistemmu.”
Enrico memberi isyarat kepadanya, tetapi Oliver dengan gemetar berdiri dan memunggungi instruktur.
"Aku baik-baik saja. Aku kebetulan memiliki salep yang sangat efektif untuk racun sekuat ini."
“Kya-ha-ha-ha-ha! Terserah, lalu. Isaplah permenmu dan berbahagialah! Tanpa penawar yang tepat, Kau akan menderita sepanjang sore!”
Tawa Enrico yang kekanak-kanakan membuat Oliver lebih gelisah daripada rasa sakit yang merasuki tubuhnya.
“A-apa kamu baik-baik saja, Oliver?! Kau jauh lebih pucat dari Nanao dan Guy!”
“Aku sedang memasuki tahap pemulihan, jangan khawatir. Lebih penting lagi...” Di aula setelah kelas, Oliver menerapkan pertolongan pertama dalam bentuk salep dan mantra healing yang disebutkan di atas. Dia berbalik menghadap teman-temannya. "Pete, ayo keluar, aku ingin bicara."
Keheningan menyelimuti semua orang. Akhirnya, remaja berkacamata itu mengangguk pasrah.
“Perggilah duluan, teman-teman.”
“Pete...?”
"Baiklah. Ayo pergi, semuanya,” Chela dengan bijaksana mendesak yang lain.
Katie melirik ke belakang untuk terakhir kalinya, dengan ekspresi khawatir di wajahnya. Begitu mereka sudah di tikungan, Oliver dan Pete mulai berjalan menyusuri lorong. Mereka tiba di ruang kelas yang kosong, dan setelah menutup pintu dan memastikan bahwa tidak ada orang lain, Oliver memecah kesunyian.
“Aku memiliki sedikit kecurigaan tentang ini sejak pagi tadi. Namun, baru setelah tadi aku menyentuhmu, aku tahu dengan pasti."
“....!”
Pete memeluk diri sendiri karena takut. Oliver menatap matanya dengan tajam dan bertanya: "Ada yang ganjil dengan jenis kelaminmu, bukan?"
Kata-kata itu bergema di ruang kelas. Keheningan yang lama melayang di antara mereka —akhirnya, remaja dengan kacamata itu mengangguk.
"Benar. Tadi malam, aku bermimpi aneh... Dan ketika aku bangun, aku sudah seperti ini.”
Pete melepas mantel dan membuka tiga kancing kemeja dengan jari gemetar. Dadanya yang terbuka memperlihatkan, tanpa bayangan keraguan, payudara yang mulai tumbuh tidak seperti dada familiar Pete yang datar.
“Aku tahu ini mungkin tidak sopan,” lanjut Oliver, “tapi apakah itu juga... di tempat lain?”
“Y-ya...”
“Maka tidak perlu ditanyakan lagi. Mantra transformasi menjadi liar atau ramuan penyamaran tidak akan menjelaskan ini. Tubuhmu dibentuk terlalu sempurna untuk menjadi hasil dari pengaruh asing. Seolah-olah Kau telah memiliki tubuh ini seumur hidupmu. Keistimewaan fisik seperti itu tidak ada dalam kalangan non-penyihir dan bahkan sangat jarang pada penyihir. Kau seorang reversi.”
Oliver menggambarkan fenomena yang terjadi di dalam tubuh temannya. Tiba-tiba, seperti bendungan yang meledak, Pete mulai berbicara.
“Aku juga sudah merasa mual sejak pagi. Aku merasakan sakit kepala yang parah, aku mengalami pusing yang aneh, dan aku sangat kebingungan sampai aku tidak dapat fokus pada tugas yang ada... Apakah ini semua bagian dari... semua ini?”
"Kemungkinan besar. Aku bukan ahli, jadi aku tidak bisa mengatakan dengan pasti, tetapi dikatakan bahwa reversi bertahan dengan berbagai kemampuan sampai mereka belajar mengendalikannya dengan benar. Faktor-faktor tertentu seperti lingkungan dapat memaksa jenis kelamin mereka berubah, dan bentuk bulan juga dapat sangat memengaruhi mereka. Setelah ku pikir-pikir, semalam kan bulan purnama. Itu pasti kombinasi yang sempurna antara rangsangan sihir di Kimberly dan tubuhmu."
Oliver menghampiri Pete saat dia menjelaskan dan mengancingkan kemeja longgar remaja itu. Bahu temannya sedikit gemetar. Oliver mengumpulkan semua ketulusan dalam dirinya.
“Supaya tidak ada kesalahpahaman, ini bukan perubahan dadakan yang hanya terjadi karena kamu datang ke Kimberly,” lanjutnya. “Potensi itu selama ini pasti ada dalam dirimu —misalnya, konsep samar tentang identitas gendermu sendiri, atau perasaan tidak pada tempatnya, bahkan di antara teman-teman dengan jenis kelamin yang sama. Pengalaman pribadi orang berbeda-beda, jadi satu-satunya yang dapat mengatakan dengan pasti dari mana asalnya adalah Kau sendiri.”
“....”
Pete menyelidiki ingatannya. Dia tidak pernah punya banyak teman ketika hidup di antara non-sihir dan selalu kesal pada dirinya sendiri karena tidak bisa menyesuaikan diri. Bukankah itu bukan hanya karena dia memiliki kemampuan sihir tetapi karena ini juga?
“Aku yakin perasaanmu saat ini campur aduk. Mungkin butuh waktu beberapa saat untuk meredakan emosi itu. Namun, izinkan aku mengatakan satu hal: Selamat, Pete. Kau telah menemukan potensi luar biasa dalam dirimu." Mata Pete membelalak.
Oliver tersenyum lembut. “Bagi mereka yang menginginkan penguasaan sihir, menjadi reversi tidak diragukan lagi adalah sebuah anugerah. Banyak penyihir hebat dalam sejarah yang merupakan reversi. Yang paling terkenal adalah petapa Agung Rod Farquois (the great sage Rod Farquois). Tidak semua orang dengan sifat ini berada pada levelnya, tentu saja, tapi itu jelas akan menjadi keuntungan besar dalam pencarian rahasia sihirmu."
"Anugerah...? Kau menyebut ini... anugerah?”
“Dan semakin besar anugerah, semakin banyak pelatihan yang dibutuhkan untuk menguasainya. Itu berlaku dalam semua bidang. Oh, aku rasa sulit membayangkan jika aku tidak memberimu contoh. Ayo kita lihat...” Oliver berpikir sejenak, lalu menarik tongkat dan meminta Pete melakukan hal yang sama. “Cobalah merapalkan mantra petir. Itu salah satu elemen lemahmu, bukan?”
“...? Tonitrus!” Pete merapal, bingung, dan mengarahkan mantranya ke lantai terdekat. Cahaya melesat di ujung tongkat sihir dan menciptakan zona benturan sepuluh kaki lebih lebar dari sebelumnya. "Apa apaan ini? Aku belum pernah mengeluarkan kekuatan sebesar itu sebelumnya."
“Pria dan wanita unggul dalam elemen yang berbeda. Itu bervariasi tergantung orangnya, jadi tidak sesederhana itu, tetapi dalam kasusmu, Kau memperoleh afinitas yang lebih tinggi dalam sihir petir. Aku berani bertaruh ada banyak hal lain yang juga berubah, jadi kita nanti harus melakukan tinjauan kilat,” kata Oliver, menggarisbawahi. Pete berdiri dengan diam saat temannya melanjutkan. “Apakah kamu sudah merasakannya sekarang, Pete? Kau telah mendapatkan sesuatu yang luar biasa. Tentu, ada banyak hal yang bisa mengganggu, tapi akan sia-sia menjalani hidup karena takut akan hal ini. Pertimbangkan untuk menggunakan bakat ini, mengasahnya, dan membiarkannya berkembang. Tentu saja, Kau perlu mempelajari pengendalian diri terlebih dahulu, tapi—"
Dia tiba-tiba berhenti. Merasakan kehadiran seseorang dari belakang, Oliver berbalik menuju pintu kelas.
"Siapa itu?!" dia berseru. Pete berkedip bingung.
"Maaf. Ini aku,” sebuah suara yang terdengar netral menjawab dengan cepat. Pintu terbuka tanpa suara, dan seorang siswa senior pun muncul . Suaranya ringan dan indah, seperti angin sepoi-sepoi. Hanya ada satu orang yang bisa mengeluarkannya.
“Senior Whitrow...?”
“Lama tidak bertemu, kalian berdua. Maafkan aku —aku tidak bermaksud menguping. ”
"Ya aku tahu. Jika benar-benar ingin bersembunyi, saya tidak akan pernah menyadari kehadiran anda,” kata Oliver, sangat sadar akan jurang pemisah di antara mereka.
Carlos Whitrow mendesah lega.
"Itu terdengar baik. Aku rasa temanmu akan segera mulai menunjukkan warna aslinya,” kata Whitrow, perlahan melangkah ke dalam kelas.
Pete bergegas ke belakang punggung Oliver.
“Aku sudah merasakannya sejak pertama kali kita bertemu di labirin. Kalian berdua juga membuat kehebohan pagi ini. Jadi aku mengikuti firasatku, dan lihatlah, aku benar." Setelah menjelaskan apa yang mereka lakukan di sana, Whitrow tersenyum pada dua siswa junior itu. "Tapi tampaknya Mr Horn sudah memberitahumu semua yang ingin ku jelaskan."
Whitrow merogoh jubah dan menarik selembar kertas.
“Itu menyebalkan, bukan? Tapi akan lebih baik jika kau mendengar semuanya dari yang lebih senior."
Pete dengan hati-hati mengulurkan tangan dan mengambil kertas itu dengan kedua tangan. Itu diberi judul dengan kata Undangan.
“Ayo bergabung dengan kami pukul delapan malam ini. Kau akan menemukan lebih banyak orang sepertimu di sana.” Dan dengan senyuman dan kedipan mata, Whitrow berbalik dan pergi.
_______________
Sisa kelas hari itu berlalu tanpa masalah besar. Dibebaskan dari studi mereka, para siswa kembali berkumpul di Fellowship. Lima serangkai itu duduk mengelilingi meja makan malam, mata mereka tertuju pada pintu masuk.
“Pete tidak akan datang, ya?” Katie berbisik.
“Dia bilang dia akan pergi ke perpustakaan untuk mencari beberapa buku. Aku akan menyiapkan makanan untuknya kalau-kalau dia terlambat,” jawab Oliver, sambil mengisi keranjang yang dibelinya di toko sekolah dengan sandwich dan keju.
“Jika aku bisa membantu, jangan ragu memanggilku,” kata Chela sambil terus menyantap makanannya.
“Benar, terima kasih.”
Oliver balas tersenyum. Dia mungkin akan menangkap sedikit dari apa yang sedang terjadi. Meski begitu, dia tidak mengorek, hanya mengulurkan tangan untuk membantu jika dia dibutuhkan. Kepekaannya sangat melegakan.
"Maaf aku terlambat."
Pete muncul setelah mereka selesai makan dan kafetaria menjadi sangat lengang. Dia duduk, tampak cemberut.
"Yo! Kau di sini, Pete," seru Guy dengan santai. “Aku tidak tahu apa yang kamu teliti, tapi apa kamu menemukan sesuatu yang bagus di perpustakaan?”
“Hanya ada begitu banyak yang bisa kupelajari sendiri, jadi... Oliver, tentang hal itu... Aku benci bertanya, tapi bisakah kau ikut denganku malam ini?”
"Tentu saja. Tapi pastikan untuk makan sebelum kita pergi." Oliver segera mengangguk, setelah mengantisipasi pertanyaan itu, dan menyerahkan sekeranjang makanan pada temannya.
Pete mengangguk kecil, lalu mulai mengunyah sandwich. Oliver kembali ke teman mereka.
"Aku belum bisa memberitahu kalian alasannya, tapi malam ini, Pete dan aku akan ke labirin," dia menyatakan. "Jelas ada bahaya, tapi jika kita tidak kembali pada pukul sepuluh, beri tahu senior yang dapat dipercaya."
“Dimengerti. Hati-hati, kalian berdua,” kata Chela, melihat mereka pergi sambil tersenyum. Kenangan terakhir kali mereka memasuki labirin muncul di benak Oliver. Dia bersumpah untuk lebih berhati-hati kali ini, agar tidak lagi membawa temannya ke bahaya.
Post a Comment