Update cookies preferences

Nanatsu no Maken Vol 3; Chapter 1; Bagian 3

 



Tiga pasang mata menatapnya tak percaya. Oliver dan teman-temannya merenungkan tawaran Miligan yang tak terduga.

“Sebagai gantinya, setelah situasi ini teratasi, Katie akan menjadi peneliti intiku.”

"Hah?" Katie mencicit kaget melihat syarat tambahan itu.

Oliver menyela sebelum dia bisa menindaklanjuti. “ ’peneliti inti,' apa sebenarnya yang kau maksud?” dia menuntut.

“Secara harfiah, kita akan menjadi rekan yang meneliti bidang yang sama,” jawab Miligan. “Seringkali ini melibatkan hubungan guru-murid, tetapi dalam kasus ini, kita akan setara. Asal kalian tahu, aku tidak punya pengalaman di bidang ini. Tentu saja, kami akan melakukan penelitian bersama-sama, dan Katie akan dapat belajar dari keahlianku jika itu relevan. Satu-satunya hal yang membatasi dia adalah kemauannya sendiri dan seberapa keras dia berusaha. Jadi, bagaimana menurut kalian? Tidak perlu menjual jasad apa pun, bukan? Plus, kesepakatan ini sangat menguntungkan kedua belah pihak.”

"Aku terima!" Katie segera mengangkat tangan, menatap Oliver dan Chela. “Aku tidak akan membiarkan kalian menghentikanku! Ini kesepakatan yang bagus—kalian tentu mengerti!”

Tatapan menakutkannya tidak menimbulkan argumen. Oliver mengangkat tangan untuk menunjukkan bahwa dia pasrah. “Tenang, Katie. Kau benar—terdengar seperti kesepakatan yang bagus. Terlalu bagus... Ms Miligan, Kau benar-benar mengatakan pada kami segala sesuatu yang Kau perkirakan?”

Dia mengunci mata pada Penyihir Bermata Ular saat dia menyuarakan keraguannya. Dia takan menerima kesepakatan seperti ini begitu saja—tidak di Kimberly, dan terlebih datang dari Vera Miligan.

“Jika kalian menanyakan apakah aku memiliki motif tersembunyi, maka tentu saja aku memilikinya. Sebenarnya, ada banyak motif. Tapi kalian harus mencari tahunya sendiri. Jangan memercayaiku secara membabi buta—perhitungkan untung buntungnya, lalu putuskan apakah kesepakatan ini sesuai dengan kebutuhan kalian. Seperti itulah transaksi antar penyihir.”

Dia menguliahi mereka seolah mereka adalah penyihir tidak berpengalaman; Ekspresi Oliver dan Chela mengeras saat mereka mempertimbangkan tawarannya. Dia benar, tentu saja. Semua penyihir menyimpan rahasia. Tidak ada gunanya sepenuhnya menaruh harapan mereka pada niat baiknya—mereka harus siap membaca setiap detail terakhir untuk mengintip di balik tirai.

“.......”

Dan dengan begitu Oliver mencari motif. Apa yang didapatkan Miligan dari kesepakatan ini, selain peningkatan hubungannya dengan Katie?

“Ini memungkinkanmu untuk lebih dekat dengan Nanao juga, bukan?”

Dia dengan percaya diri menyebutkan hal pertama yang terlintas dalam pikirannya. Chela dan Katie tampak bingung, tapi Miligan—yang pernah merasakan mantra sihir Nanao—melengkungkan sudut bibirnya menjadi senyum main-main. Tepat sekali.

“Bukannya aku bisa melakukan sesuatu yang nakal jika ada dirimu,” kata Miligan dan mengangkat bahu, lalu kembali ke topik. "Ingat baik-baik," tambahnya, "bahkan jika kalian menerimanya, tidak ada jaminan bahwa Pete akan berhasil kembali hidup-hidup. Tidak ada jaminan kalian akan berhasil kembali dengan selamat.”

Meski terdengar menakutkan, bagi Oliver dan Chela itu tampak seperti peringatan tulus. Lagipula, mereka berusaha untuk menyelamatkan seorang teman dari Ophelia Salvadori. Tentu saja mereka akan mempertaruhkan nyawa mereka.

“Tapi itu tetap memberi kita kesempatan! Ayo lakukan! Oliver, Chela—ayo kita selamatkan Pete!”

Katie, pikirannya benar-benar larut, mendorong kedua temannya untuk bergabung dengannya. Miligan, apapun itu, menuangkan air ke api.

"Maaf memupuskan harapanmu, Katie, tapi kau tidak boleh ikut dengan kami."

"Apa?!"

“Sejujurnya, kamu terlalu hijau. Apapun yang lebih rendah dari lapisan kedua, Kau hanya akan menghalangi. Aku akan membawa Mr. Horn, Ms. McFarlane, dan Ms. Hibiya, dan itu tidak bisa diganggu gugat.”

Katie tercengang mendengar pengucilan mendadak itu. Oliver dan Chela saling tatap, berpikir sejenak, lalu keduanya mengangguk.

"Baiklah."

"Aku tidak keberatan."

“Apaaaa?! T-tunggu sebentar! Ini kan ideku!”

“Tenang, Katie,” kata Miligan. “Kami masih butuh bantuanmu untuk menahan benteng di sini. Bepergian ke lapisan ketiga bukanlah jalan-jalan akhir pekan. Teman-temanmu akan membutuhkan seseorang untuk menyalinkan catatan kelas mereka.”

Miligan meletakkan tangannya dengan lembut di bahu Katie dan mencoba menenangkannya.

Oliver mengikuti. “Maaf, Katie, tapi bisakah kami memintamu malakukannya? Aku berjanji kami akan membawa Pete dan Marco kembali.”

“Ohhh... aku tidak percaya!” Katie hampir menangis.

Chela melangkah dan memeluknya. "Kumohon, Katie," desaknya, suaranya bergetar, "lakukan apa yang kami pinta. Kami benar-benar tidak dapat membawamu bersama kami. Kau terlalu murah hati dalam mengorbankan diri...”

Oliver sangat sependapat. Mereka berusaha keras menghibur teman mereka yang terisak. Sementara itu, Miligan berbalik.

“Kalau begitu, selesai. Mari kita bertemu kembali di sini dalam dua jam. Cari Ms Hibiya, oke? Dan bersiaplah.”

Dengan itu, Penyihir Bermata Ular itu pun pergi. Oliver menatap Chela dari atas kepala Katie, dan dia mengangguk.

_____________________

Chela dan Katie keluar dari akademi, kembali ke asrama putri, dan langsung menuju kamar mereka. Ketika mereka tiba, Chela dengan lembut mengetuk pintu.

"Ini aku. Apa aku boleh masuk, Nanao?”

"Mm, masuk saja."

Balasannya segera. Chela dan Katie perlahan membuka pintu dan melangkah ke kamar—dan menatap dengan kaget. Nanao sedang duduk berlutut menunggu mereka, dengan tas-tas dikemas dan siap turun ke labirin.

"'Kalau begitu, sudah waktunya pergi?"

Matanya terbelalak terbuka. Chela dan Katie terkejut.

“Kau sudah berkemas...?”

“Aku tahu hati kalian telah memutuskannya saat ini semua dimulai. Aku hanya menunggu ajakan kalian.”

Nanao turun dari tempat tidur dan berdiri di depan mereka.

Chela telah menyiapkan kata-kata yang tidak lagi diperlukan—tetapi tanpa adanya penjelasan sama sekali memberikan nada yang lebih serius pada pertanyaan darinya. “Seperti yang aku katakan sebelumnya, kita harus memprediksi keadaan terburuk. Apakah kamu masih siap untuk pergi?"

Dia harus bertanya. Saat sarapan, Nanao memperjelas bahwa tidak ada bukti bahwa Pete masih hidup. Mempertaruhkan hidup mereka untuk menjelajah ke labirin dan menyelamatkannya bisa jadi hanyalah buang-buang waktu — atau lebih buruk lagi, penyelamat malah perlu diselamatkan.

Gadis Azian itu mengangguk tanpa ragu. Senyum yang sangat tenang tersungging di bibirnya.

“Apapun hasilnya, itu sama saja—entah kita pergi untuk menyelamatkan seorang teman atau mengambil mayat.”

Dada Chela dan Katie menegang. Di medan perang tempat Nanao berjuang sebelum bergabung dengan akademi, ini pasti sejalan dengan pelajaran yang dia petik.

“Maaf, Nanao.... aku tidak bisa ikut.....”

Katie meminta maaf dengan air mata berlinang, lalu meremas lengan Nanao. Chela menjelaskan rencana Miligan, dan Nanao mengangguk dan tersenyum.

“Kalau gitu, kamu dan Guy akan mempertahankan benteng. Aku percayakan studi kami pada kalian berdua.”

“Ya, serahkan pada kami. Kau akan mendapatkan catatan terbaik yang pernah kalian baca!”

Katie menyeka air matanya, berjanji untuk melakukan yang terbaik, dan memeluk temannya dengan erat. Mereka pasti akan bertemu lagi. Perjuangannya adalah menunggu dan percaya pada mereka.

_______________________

“Aku juga tidak bisa ikut?”

Sementara itu, di asrama putra, Oliver menjelaskan situasinya kepada Guy.

Setelah menyadari bahwa memelas-melas tidak akan memungkinkan dirinya untuk membantu pencarian Pete, bahu Guy merosot dan dia menghela nafas panjang.

“Aku benci mengatakannya, tapi aku tidak bisa menyangkal bahwa aku akan menghambat kalian.”

"Guy....."

"Ambil ini...."

Guy mengambil sesuatu dari atas tempat tidurnya dan menyerahkannya kepada Oliver: sejumlah benda tebal, bulat, terbungkus dan beberapa kantong serut yang dikemas penuh hingga menggelembung. Dia menjelaskan isinya saat Oliver mengambilnya darinya.

“Itu ransum terbaikku, ditambah beberapa bundel benih toolplant yang aku tanam dan panen. Begitulah caraku langsung membuat barikade tempo hari. Aku kira kalian sudah tahu cara menggunakannya.”

“Ya, barikade itu sangat bermanfaat. Aku pasti akan memakainya jika diperlukan.”

Oliver tersenyum dan mengangguk, dengan penuh terima kasih menerima bantuan temannya.

Guy menambahkan, sedikit teredam. “Ransum itu mestinya terasa jauh lebih enak daripada apa pun yang bisa kalian beli di toko...... Maksudku, kalian harus makan, kan? Mungkin juga rasanya enak. Jangan lupa sisakan satu untuk Pete. Aku bertaruh dia pasti kelaparan.”

Dia berhenti di sana, tetapi setelah beberapa saat, keheningan terasa terlalu berat baginya, dan dia mengacak-acak rambutnya dengan tangan. Oliver memahami rasa sakitnya dengan sangat baik. Jika posisi mereka dibalik, dia mungkin akan merasakan hal yang sama.

“Ahhh, sialan! Aku benci diberitahu bahwa aku harus tetap bertahan. Menyedihkan... Dengar, jangan lakukan hal gila. Aku sangat serius!”

Suaranya pecah saat dia meraih bahu Oliver. Jari-jarinya meremas dengan menyakitkan, tetapi Oliver hanya mengangguk dengan percaya diri.

"Aku janji, kami semua akan kembali hidup-hidup—termasuk Pete."

Dia berjanji tetap bertahan hidup sehingga dia bisa kembali melihat teman baik hati ini.

__________________________

Kemudian, pada waktu dan di aula yang ditentukan oleh Miligan, Oliver dan Guy tiba dan menemukan banyak wajah yang familiar.

“Kalau gitu, semua sudah di sini. Sudah mengucapkan selamat tinggal?” Miligan bertanya sambil menyeringai pada Guy dan Katie, yang bukan bagian dari regu penyelamat. “Aku tak masalah, tapi setidaknya lakukan secara diam-diam. Karena akademi dalam keadaan darurat, siswa tahuk kedua ke bawah tidak diizinkan masuk ke labirin. Jika para prefek menangkap kita, balasannya adalah neraka.”

Dan dengan peringatan itu, penyihir itu berbalik dan berjalan menyusuri lorong. Mereka berlima mengikutinya. Bergerak dengan tenang dan hati-hati, mereka naik ke lantai dua, bersembunyi setiap kali seorang siswa yang lebih tua datang. Mereka membutuhkan waktu sepuluh menit untuk mencapai kelas tujuan mereka. Di dinding ada lukisan langit malam; Miligan berhenti tepat di depannya.

“Ini akan menjadi pintu masuk kita malam ini. Mungkin saja kita bisa diserang begitu kita masuk, jadi aku masuk duluan. Ah, tapi sebelum itu....”

Dia berbalik tiba-tiba, mengeluarkan sesuatu dari saku mantelnya, dan menyerahkannya kepada Katie.

“Katie, jaga Milihand. Anggap dia sebagai wasiat dan warisanku.”

"Hah?"

Katie secara naluriah menerima benda itu tapi membeku saat dia melihat benda yang dipegangnya—potongan tangan. Tangan kiri Miligan tepatnya, ditebas Nanao dan lokasi mata basilisk: Dalam twist gelap, Miligan memberinya kehidupan buatan dan mengubahnya menjadi familiar. Mata basilisk di tengah telapak tangannya menatap Katie. Tampaknya cukup ramah.

“Jika aku tidak berhasil kembali, dia akan menjadi kunci untuk membaca hasil penelitianku. Dia bisa menjadi sangat manja, jadi baik-baiklah padanya.”

“A-apa...? T-tunggu sebentar!”

Milihand mengangkat lengan Katie ke bahu dan, menentukan ini sebagai tempatnya, "duduk". Oliver menghela napas. Tangan tanpa tubuh itu tampaknya memiliki perhatian yang sama kepada Katie sebagai tuan.

"Terima kasih. Selamat tinggal!"

"Tunggu-!"

Miligan menyelinap ke dalam lukisan meski Katie bingung. Sekarang giliran mereka. Katie berjuang untuk mencari kata-kata yang tepat, jadi Chela dan Oliver tersenyum menenangkannya.

"Semua akan baik-baik saja, Katie," kata Chela. "Aku tidak akan membiarkan seseorang pun mati."

"Aku juga. Semua sudah siap, Nanao?"

Pikirannya sudah bulat, Oliver menoleh ke gadis di sampingnya untuk mengkonfirmasi terakhir kalinya.

Nanao mengangguk tanpa ragu sedikit pun. “Aku terlahir siap. Sekarang— untuk bertempur!”

Dengan aba-abanya, mereka bertiga melompat ke dalam lukisan.

“.......”

“........”

Bahkan setelah mereka pergi dan ruang kelas yang gelap menjadi sunyi, Guy dan Katie terus menatap lukisan itu cukup lama.


Post a Comment