Update cookies preferences

Unnamed Memory Vol 1; Chapter 1; Kutukan dan Menara Biru

 


Seorang penyihir yang tinggal di menara biru.

Seorang pangeran terkutuk.

Jika mereka bisa menulis ulang waktu, apa yang akan mereka lakukan dengan kekuatan seperti itu?

Ini adalah kisah akan apa yang terjadi saat segalanya di-overwrite.


Di hutan belantara, berdiri menjulang sebuah menara dengan warna biru langit samar.

Tanah di sekitarnya terlihat jarang, hanya dihiasi beberapa petak rumput. Di tengah tanah kosong itu, seorang pemuda yang tengah menunggang kuda menatap puncak menara nan tinggi.

"Jadi ini menara tempat tinggal seorang penyihir wanita." Tidak ada sedikit pun kegembiraan dalam nada suaranya saat dia menatap struktur raksasa itu.

Pria muda itu berambut sangat gelap hingga hampir hitam, dan ia memiliki mata biru tua —warna yang sama dengan langit usai matahari terbenam.

Kualitas setelan pakaian dan penampilannya yang anggun menunjukkan keanggunan bawaan lahir. Itu bukan berarti dia lemah, karena tubuhnya yang berotot juga memancarkan aura ketangkasan konstan. Orang yang melihatnya akan menyamakannya dengan seorang komandan garis depan medan perang, meskipun usianya masih muda.

Dia akan turun dan melangkah ke menara saat muncul suar merengek dari belakangnya, membuatnya berhenti.

“Yang Mulia, kita seharusnya tidak…”

“Diam, Lazar. Akan menjadi apa aku jika aku bimbang di sini?” Menggelengkan kepalanya dengan putus asa, dia berbalik. Pemuda yang baru saja dipanggil Yang Mulia adalah Oscar, putra mahkota kerajaan Farsas, negeri yang membentang di timur menara.

Balasan Oscar kepada pengawal itu, teman masa kecil yang ia bawa sebagai satu-satunya rekan, dipenuhi dengan kepercayaan diri. “Bagaimanapun juga, kita berhasil keluar dari kastil. Bukankah sia-sia jika kita kembali sekarang? Ini hanya jalan-jalan ringan.

“Tidak ada yang menganggap pergi ke rumah penyihir wanita sebagai jalan-jalan ringan!” Lazar memprotes.

Seorang penyihir wanita.

Hanya ada lima di seluruh daratan. Mungkin karena kekuatan mereka yang luar biasa, mereka diperlakukan berbeda dari orang lain.

The Witch of the Forbidden Forest.

The Witch of the Water.

The Witch Who Cannot Be Summoned.

The Witch of Silence.

The Witch of the Azure Moon.

Ini adalah nama umum bagi kelima sosok tersebut. Para penyihir wanita akan muncul hanya saat mereka sendiri menginginkannya, menggunakan sihir maha kuasa mereka untuk men-summon bencana lalu menghilang begitu saja. Selama beberapa ratus tahun terakhir, mereka melambangkan ketakutan dan malapetaka.

Dari kelimanya, yang memiliki sihir paling kuat adalah Penyihir Bulan Biru (The Witch of the Azure Moon). Dia telah membangun menara biru yang baik di alam liar di luar perbatasan yang bukan termasuk wilayah negara manapun dan tinggal di puncaknya. Dikatakan bahwa dia akan mengabulkan keinginan siapa pun yang bisa naik ke puncak menara besarnya, tetapi ketika tersiar kabar bahwa penantang seperti itu tidak akan pernah kembali dari menara, semakin sedikit orang yang berani mendekatinya.

Oscar dan Lazar datang ke menara berbahaya ini dengan tujuan tertentu dalam pikirannya.

“Sudah kubilang, itu sama berbahayanya dengan yang aku kira. Apa yang akan kamu lakukan jika penyihir wanita itu memperparah kutukanmu?" tanya Lazar.

“Aku akan mengatasinya. Aku tidak punya petunjuk lain, bukan? ”

“Masih ada cara lain… Aku yakin jika kita meninjaunya, kita akan menemukan sesuatu…”

Oscar mendengarkan permohonan Lazar saat dia turun dari kudanya. Dia mengambil pedang panjang di pelana dan mengembalikannya ke sarung pedang di pinggangnya.

“Kau menyebutkan cara lain, tetapi tidak ada yang berhasil ditemukan dalam lima belas tahun. Pertama, aku akan bertemu Penyihir Bulan Azure ini dan bertanya padanya bagaimana cara mematahkan kutukan. Jika ini jalan buntu, aku akan kembali ke the Witch of Silence yang mengutukku dan membuatnya membatalkannya. Beres, kan? ”

"Ini sama sekali tidak beres," keluh Lazar, terdengar hampir menangis saat ia akhirnya turun dari kudanya. Fisiknya yang kurus dan ceking sama sekali tidak cocok untuk bertempur. Dia tidak membawa senjata, tapi itu karena keduanya pergi dengan terburu-buru.

Lazar berlari mengejar majikannya, seperti yang selama ini ia lakukan ketika mereka menyelinap keluar dari kastil.

“Yang Mulia, aku mengerti perasaan anda… Tapi alasan tidak ada yang menghubungi para penyihir dalam lima belas tahun adalah karena itu terlalu berbahaya! Pencarian Penyihir Keheningan tidak membuahkan hasil, dan orang yang pernah menaiki menara Penyihir Bulan Azure tidak ada yang kembali!"

"Benar sekali. Memang terlihat lumayan tinggi jika naik tangga,” kata Oscar.

Dinding menara terbuat dari bahan kristal berwarna biru yang membuat strukturnya tampak menyatu dengan langit. Oscar menjulurkan lehernya untuk melihat ke atas menuju atap yang kabur dan tidak jelas.

"Yah, aku yakin aku akan memikirkan sesuatu," katanya.

“Tidak, tidak akan! Itu pasti penuh dengan jebakan! Jika sesuatu terjadi pada anda, bagaimana mungkin saya bisa kembali ke kastil? Apa yang akan saya katakan?”

"Bersikaplah seolah kamu benar-benar sedih." Oscar mengangkat bahu dan berjalan pergi.

"Tunggu. Aku juga ikut!” Lazar menyaksikan Oscar pergi dan bergegas mengikat kedua kuda mereka ke pohon sebelum bergegas mengejarnya.

Semuanya dimulai lima belas tahun yang lalu. Suatu malam, pernyataan seorang penyihir wanita tiba-tiba bergema di seluruh penjuru kastil.

“Kamu tidak akan pernah lagi memiliki keturunan. Begitu pula anak cucumu. Darah keluargamu akan membuat lubang di perut wanita. Keluarga kerajaan Farsas mati bersamamu!"

Oscar tidak begitu ingat persis kata-kata yang diucapkan penyihir wanita itu saat dia mengutuknya. Yang dia ingat adalah siluet bayangan seorang penyihir wanita dengan bulan di punggungnya. Dan betapa lengan ayahnya bergetar saat dia memegang Oscar. Pada usia lima tahun, Oscar jelas belum memahami betapa seriusnya pernyataan tersebut.

Dia hanya menyadari bahwa sesuatu yang buruk pasti telah terjadi karena wajah ayahnya pucat pasi.

Oscar adalah anak tunggal sangn raja. Kutukan yang mengancam garis keturunan keluarga kerajaan ini adalah rahasia yang dijaga ketat. Hanya sedikit yang mengetahuinya, kebanyakan dari mereka adalah penyihir dan cendekiawan luar biasa yang telah melakukan penelitian selama bertahun-tahun untuk menemukan cara memecahkannya.

Berbeda dengan hal gelap yang harus dipikulnya, Oscar sendiri adalah anak laki-laki cerdas dan pemberani yang menguasai ilmu pedang dan ilmu pengetahuan. Karena kecerdasan dan ketampanannya, banyak yang memiliki harapan tinggi pada masa depannya, meskipun mereka tidak tahu apa-apa tentang kutukan tersebut. Mereka akan menggerutu, “Lambat laun, dia akan menjadi raja yang dikenang sepanjang sejarah.”Namun, jika kutukan itu tidak dipecahkan, yang akan dia tinggalkan hanyalah nama yang bernasib buruk.

Pada usia sepuluh tahun, Oscar mulai memahami apa arti kutukan itu dan mulai mencari cara untuk memecahkannya. Sayangnya, tidak peduli berapa banyak buku yang dia baca atau petunjuk yang dia kejar setelah berlatih teknik pedang, Oscar tidak menemukan petunjuk sedikit pun.

Lima belas tahun telah berlalu sejak malam itu.

Pria yang akan naik tahta suatu hari nanti telah melakukan perjalanan ke barat, melewati perbatasan negaranya, dan sekarang berdiri di kaki menara biru tempat kediaman seorang penyihir wanita.

"Baiklah, ayo pergi," kata Oscar.

“Anda tidak boleh membuka pintu begitu saja! Anda harus lebih berhati-hati!” Dengan Lazar menjerit di telinganya, Oscar membuka pintu ganda dan melangkah masuk.

Dia melihat sekeliling dan menemukan dirinya berada di aula bundar yang luas. Bagian tengahnya adalah atrium terbuka, dan sebuah lorong di sisi kanan mengarah ke atas. Itu bukan tangga tapi jalan landai yang melingkari dinding dan menjulur ke atas dalam bentuk spiral.

Oscar menjulurkan lehernya; seluruh menara tampak sepi. “Seperti yang terekam dalam catatan itu, kurasa. Setidaknya pintu masuknya bisa terbuka."

“Apakah ini memuaskan rasa penasaran anda?” Lazar bertanya dengan nyaring. “Ayo lanjut. Ayo, kita pergi. ”

Menurut catatan yang ada di kastil, menara itu dipenuhi dengan beberapa checkpoint. Penyihir akan mengabulkan keinginan mereka yang berhasil melewati tantangan dan mencapai lantai tertinggi.

Tujuan Oscar adalah melakukan hal itu.

Memeriksa untuk memastikan pedang kesayangannya masih di pinggangnya, Oscar berangkat dengan Lazar di belakangnya.

Tidak ada pegangan di sepanjang lorong, dan Oscar bisa melihat bahwa itu mengarah ke pendaratan melingkar. Sesuatu seperti lempengan batu besar ditempatkan di sana, dan Oscar menuju ke sana saat dia mendaki jalan kecil.

Lazar mengikuti di belakang dengan takut-takut.

“Ini berbahaya, jadi kamu tunggu di sana. Aku akan kembali saat matahari terbenam,” seru Oscar.

“T-tidak… aku tidak bisa melakukan itu…,” jawab Lazar.

Selama ini, Lazar telah membuntuti Oscar, dimulai dengan ketika Oscar pertama kali menyelinap keluar dari istana, dan Lazar berakhir dalam situasi yang tidak menyenangkan karenanya. Setiap saat, dia menghujani kepala Oscar dengan keluhan, tetapi sepertinya dia masih tidak berencana meninggalkan majikan yang sembrono itu.

Oscar menatap Lazar dan tersenyum tipis sebelum berbalik untuk melangkah ke atas.

Ketika keduanya mendekati tangga, mereka melihat ruang seukuran kamar kecil. Daftar nomor diukir di lempengan batu di bagian tengahnya. Oscar mulai memikirkan solusi saat dia melangkah ke sana, dan Lazar menyela dengan suara bergetar, “Yang Mulia… i-itu—”

“Aku sedang memikirkannya. Kemungkinan besar ada semacam kemiripan,” kata Oscar, memotongnya.

"Tidak! Ular! Ada begitu banyak ular!”

"Aku melihatnya."

Lantai pangkalan itu dipenuhi ular yang menggeliat. Tidak ada dinding yang memisahkan tangga dan lantai bawah; apa yang mencegah ular-ular itu melarikan diri dari pendaratan sepertinya adalah semacam penghalang sihir.

Oscar tetap tidak gentar. Dia merendahkan dirinya dan meraih kepala salah satu ular yang mencuat ke lorong.

“Mereka tidak berbisa, jadi tidak apa-apa. Mereka di sini hanya untuk menghalangi jalan kita." Dia melemparkannya ke atas bahu, membuat Lazar berteriak. Oscar tidak memedulikannya dan melangkah ke tengah-tengah ular.

Ketika dia mendekati lempengan batu, dia meletakkan tangan di dagunya dan merenung.

Batu itu ditempatkan untuk menghalangi jalan ke atas, jadi Oscar tidak bisa melanjutkan. Dia merenungkan hal itu, mengabaikan ular-ular yang menggeliat di sekitar kakinya, sementara Lazar menjerit pelan saat dia dengan hati-hati memilih jalan mendekati majikannya. Ini kemungkinan besar adalah pos checkpoint pertama. Oscar mengangguk, matanya tertuju pada lempengan batu.

"Aku mengerti. Ini adalah teori matematika yang dipelajari sekitar seratus tahun yang lalu di sebuah negari kecil di timur. Itu terkenal di kalangan ahli matematika karena merupakan masalah yang tak terpecahkan."

"Tidak terpecahkan?!"

“Ya, pada saat itu, tapi sekitar sepuluh tahun yang lalu ada seseorang yang memecahkannya. Penyihir wanita di menara ini benar-benar mengerti banyak hal."

Oscar mengulurkan tangan dan menyentuh lempengan itu. Titik di mana jari-jarinya terhubung menyala dengan cahaya putih samar. Mengikuti lintasan itu, dia memasukkan jawabannya, dan kemudian…

Lempengan batu raksasa itu hancur menjadi pasir. Pada saat yang sama, ular-ular yang menggeliat di kaki Oscar lenyap seolah-olah mereka hanya ilusi.

Dengan heran, Oscar ternganga di sekitar pendaratan, yang kini hanya dibedakan oleh segunung pasir.

"Aku mengerti. Jadi begitulah cara kerjanya."

“Bukankah kita harus pulang?” Lazar memohon.

"Jangan main-main. Ini menjadi menarik.”

Lazar mengejar majikannya yang bersemangat saat dia terus mendaki. Puncak menara masih sangat jauh.

xxx

Angin yang berhembus melalui jendela di lantai paling atas selalu agak kering. Sebuah suara terdengar dari sebuah ruangan besar yang berantakan dengan buku-buku bertumpuk di lantai.

"Kita kedatangan penantang setelah sekian lama, Master."

Orang yang berbicara dari ambang pintu adalah seorang anak kecil, dilihat dari penampilannya, berusia sekitar lima atau enam tahun. Paras anak tersebut menawan tapi memiliki ekspresi kosong, sehingga sulit membedakan jenis kelaminnya. Suara tanpa emosi membuat anak aneh itu memiliki kualitas seperti boneka.

Familiar dengan wujud anak kecil milik penyihir wanita itu menatap meja — tidak ada orang di sana. Di atas meja ada satu cangkir teh yang mengepul. Itu sudah ada di sana selama lebih dari satu jam tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan suhu.

Satu-satunya orang yang seharusnya ada di sana hilang dari meja. Namun, pelayan itu langsung menerima balasan.

“Penantang? Sungguh langka. Aku pikir semua orang telah melupakan segala hal tentang menara ini."

“Bulan lalu juga ada satu. Mereka tidak bisa memecahkan teka-teki lempengan batu pertama dan kehabisan waktu,” jawab anak itu.

Perangkap di menara diganti secara teratur, tetapi sejak checkpoint pertama diatur dengan tantangannya saat ini, tidak ada satu pun penantang yang berhasil melewatinya. Mungkin mereka tidak mengira mereka harus mengerjakan soal matematika yang mustahil dipecahkan di menara yang dikatakan memiliki rintangan tersulit di seluruh negeri.

Sejak awal memang tidak banyak penantang, jadi tidak heran jika penguasa menara salah ingat.

Familiar itu merasakan penantang jauh di bawah mereka melalui pikiran. “Sepertinya yang kali ini membuat kemajuan yang stabil. Apakah anda ingin pergi melihatnya? ”

"Tidak. Kesenangan sesungguhnya dimulai pada level ini, jika mereka benar-benar dapat mencapainya.”

"Benar."

Penyihir wanita adalah sosok yang lebih baik bersembunyi dalam bayang-bayang sejarah. Sementara yang satu ini keberadaan pastinya diketahui dengan jelas, sangat sedikit manusia yang benar-benar bisa melewati checkpoint berbahaya didalam menara. Penyihir wanita itu tidak punya keinginan untuk mengungkapkan dirinya, senang menunggu seseorang berusaha menghampirinya.

Dia berkata dengan nada yang jelas, “Ayo, Litola. Saat tamu kita gagal, pastikan untuk mengurus sisanya."

"Ya master."

Angin kering berhembus masuk. Familiar yang dia panggil Litola menghilang, dan penyihir wanita itu, melayang terbalik di langit-langit, memiringkan kepala. Dia bergumam pada dirinya sendiri, dadanya memegang buku yang terbuka.

"Bahkan jika keduanya maju saat ini, tidak ada yang berhasil melewati makhluk penjaga pertama."

xxx

Pedang bermata dua itu menembus tenggorokan singa.

Oscar menduga darah akan muncrat keluar, tetapi sama sekali tidak ada darah. Singa putih itu, membeku dalam lompatan serangan, jatuh ke lantai seperti robot. Tanpa menyarungkan pedang, Oscar melihat lebih dekat pada tubuh besar makhluk itu. Itu bahkan lebih besar dari seekor kuda.

“Aku pikir bulu makhluk ini sangat putih, tapi ternyata dia tidak nyata. Kurasa itu semacam makhluk penjaga yang dianimasikan oleh sihir?"

“Singa sebesar ini memang menakutkan, tapi fakta bahwa Yang Mulia sama sekali tidak takut jelas lebih menakutkan”

“Aku baru saja pemanasan. Aku penasaran apa yang akan terjadi pada kita selanjutnya… ”

Keluar dari aula tempat singa itu berada, Oscar dan Lazar bertemu lagi dengan lorong menara. Oscar menatap ke atrium terbuka di tengah menara. Pemandangan di kejauhan dari lantai dasar sudah cukup untuk membuat seseorang merasa pusing, tetapi Oscar menatapnya tanpa rasa takut.

"Itu mortal fall," katanya.

"Tolong jangan terlalu dekat ke tepi!" Lazar memohon.

“Seharusnya kau menungguku di bawah…”

Ketika Oscar menoleh ke belakang, dia melihat Lazar merayap dengan gugup di sepanjang dinding. Dengan sikap seperti itu, dia mungkin tidak akan pernah mencapai lantai teratas.

Meski begitu, wajah Lazar putus asa dan bertekad saat dia berteriak, "Aku tidak akan membiarkan anda mati sendirian di sini, Yang Mulia!"

"Aku tidak berencana mati."

Oscar dengan ringan menghunus pedangnya. Sepanjang perjalanan, dia menemukan jebakan dan monster makhluk penjaga jadi-jadian yang tak terhitung jumlahnya, tapi dia menebas mereka semua dengan mudah. Mereka akan mencapai titik tengah menara.

Pada awalnya, kekhawatiran terbesarnya adalah tinggi menara, tetapi karena diaktifkannya perangkat yang membawa mereka secara otomatis ke level berikutnya setelah melewati jebakan, itu tidak lagi menganggu pikirannya. Perangkap, di sisi lain, dengan jelas menguji kekuatan fisik, tenaga, ketangkasan, dan kecerdasan Oscar. Semua ini sama pentingnya untuk bisa melewati berbagai perangkap itu.

"Ku rasa biasanya Kau akan mencobanya dengan beberapa orang," Oscar merenung .

"Tidak ada yang cukup bodoh untuk mencoba menaiki menara ini hanya dengan dua orang ..."

"Orang terakhir yang berhasil adalah kakek buyutku, kan?"

“Kudengar dia menaikinya dengan party yang terdiri dari sepuluh orang. Meskipun, Yang Mulia raja terdahulu adalah satu-satunya yang berhasil mencapai puncak."

"Begitu ..." Oscar merenungkannya, meletakkan tangan yang saat ini tidak memegang pedang di dagunya.

Sekitar tujuh puluh tahun yang lalu, Regius, kakek buyut dan Raja Farsas pada saat itu, telah mencapai puncak menara ini dan menerima bantuan penyihir wanita. Namun, hal itu rupanya menimbulkan semacam hutang. Saat ini, itu adalah cerita yang hanya diceritakan kepada anak-anak sebagai dongeng.

“Sampe saat ini kita hanya berjalan ditaman,” komentar Oscar. (tl-note; menganggapnya enteng)

“Kita harus pulang!” Lazar kembali merengek.

"Kamu boleh pulang. Lagipula kau tidak berguna,” oceh Oscar datar saat Lazar merengek tersedu-sedu.

Saat mereka bicara, pintu berikutnya muncul di depan mereka. Dari sekitar lantai lima ke atas, checkpoint muncul bukan di pendaratan yang terhubung ke lorong tetapi di ruang terpisah.

Oscar tanpa ragu membuka pintu dan melihat, di tengah ruangan, sepasang patung batu bersayap dengan dua kali ukuran manusia. Pemandangan itu pasti akan membuat anak kecil menangis, tetapi Oscar tampaknya puas dengan pikirannya yang santai. “Itu benar-benar terlihat seperti akan bergerak jika kamu mendekati mereka.”

"Tidak diragukan lagi! Mereka akan bergerak! Ayo pergi!"

“Kamu benar-benar harus menunggu di luar....”

Oscar menarik napas dalam-dalam dan menyiapkan pedang. Saat dia melakukannya, kulit patung yang berbatu itu berubah menjadi warna hitam yang menyihir. Rongga mata kosong mereka bersinar merah. Membuka sayap besar mereka tanpa suara, mereka terbang ke udara.

Oscar memberi isyarat dengan tangan kirinya, dan Lazar bergegas menempelkan dirinya ke dinding.

Segera setelah itu, satu patung terbang mendekati Oscar. Monster hitam itu menukik dengan cepat, seperti burung pemangsa memburu mangsanya. Tepat sebelum cakar tajamnya bisa merobek tubuhnya, Oscar melompat dengan gesit ke kiri. Seolah telah menunggu, patung kedua memakai momen itu untuk melesat ke arahnya.

Ups.

Menahan cakar dengan pedang, Oscar menyelinap menjauh dari antara para penyerang dan muncul dari belakang. Dengan mudah, tetapi dengan kekuatan yang fenomenal, dia menebas satu sayap patung pertama.

Makhluk yang terluka itu menjerit memekakkan telinga. Oscar kembali mengangkat pedangnya ke arah monster yang meringkuk di tanah itu. Itu semua terjadi dalam sekejap.

xxx

“Master, para penantang telah mencapai ruang patung batu.”

Mendengar update familiarnya, penyihir wanita itu tersenyum kecil saat tengah merebus air. "Itu luar biasa. Berapa banyak?"

"Dua ... Tidak, pada kenyataannya, satu."

Fakta tersebut seharusnya mengejutkan, tetapi penyihir wanita itu hanya mengangkat sebelah alis. Selama beberapa dekade ini, tidak ada yang berhasil sejauh yang mereka lakukan, tidak peduli seberapa besar party mereka.

Seharusnya ruang patung batu tidak mungkin ditembus oleh satu orang. Seorang penantang tidak bisa dengan tepat menangkis dua musuh yang cerdik dan gesit yang bisa terbang tanpa ada yang mengalihkan perhatian, membiarkan yang pertama melawan yang lain. Ruangan itu telah menjadi saksi banyaknya penantang yang tersingkir daripada yang lain.

“Kupikir aku akan membuat teh, tapi sepertinya tidak ada gunanya sekarang. Karena tamu kita telah berhasil sejauh itu, aku kira aku harus mengambil hadiah fighting-spirit? "

“Sepertinya dia akan membersihkannya dengan mudah.”

"Apa....?"

xxxx

Jeritan mengerikan menggema di sekitar ruangan luas itu. Satu monster dengan pedang tertancap di mata kanannya mengeluarkan teriakan tajam. Rekannya sudah terbaring di lantai, tubuh raksasanya tak bergerak dan perlahan-lahan hancur menjadi bintik hitam yang menghilang di udara.

Musuh yang tersisa menyerang dengan lengan kirinya saat cairan hitam menetes dari mata kanannya. Diperkuat oleh amukan monster patung, serangan seperti itu mengancam kematian seketika jika mengenai titik yang tepat.

Namun, serangan itu hanya mengenai udara kosong.

Oscar menghindari serangan mematikan itu dengan refleksnya yang tangkas dan menebas untuk memotong leher monster itu. Kepalanya membentur lantai dengan suara tumpul. Patung besar tanpa kepala itu bergoyang ke kiri dan ke kanan dan akhirnya jatuh ke tanah.

“Jadi hanya itu? Sangat membosankan.”

Oscar mengayunkan pedangnya untuk menghilangkan darah. Dia menoleh ke belakang dan melihat Lazar menatapnya dengan lega.

“Aku senang anda tidak terluka…,” katanya.

"Aku akan berakhir lebih buruk daripada terluka jika aku terkena serangan mereka," canda Oscar saat dia melihat ke depan. Saat patung-patung yang jatuh menghilang, sebuah tempat di belakang ruangan mulai bersinar redup. Mekanisme yang akan membawa mereka ke lantai berikutnya sudah mulai beroperasi.

"Ayo pergi." Oscar bergegas mndekati perangkat.

Saat itulah seluruh ruangan mulai bergetar hebat.

"Apa yang sedang terjadi?!" Oscar berteriak.

Dia melihat sekeliling untuk melihat bahwa berbagai lubang telah terbuka di seluruh lantai. Ruangan yang usang tampaknya bagian dari jebakan. Sisa lantai juga mulai runtuh ke dalam.

“Cepatlah, Lazar!” Oscar melihat dari balik bahunya, lalu tersentak kaget. Ada lubang besar antara dia dan Lazar, yang masih menempel di dinding. Lazar terdampar.

Oscar tahu dia bisa melakukan lompatan, tetapi Lazar tidak mungkin bisa melompat sejauh itu. Membuat keputusan, Oscar berbalik untuk berlari menuju Lazar. “Tunggu aku!”

Semakin banyak ruangan yang runtuh, menampakkan permukaan tanah yang jauh. Jalan menuju perangkat transportasi sebagian besar telah runtuh; hanya sedikit yang tersisa yang menyerupai batu loncatan.

Lazar mengangkat tangan di depannya, mendesak majikanna untuk pergi. "Yang Mulia, silakan lanjutkan tanpa saya."

"Apakah kau gila?! Kamu akan jatuh! ”

“Tidak, aku akan baik-baik saja. Aku sangat menyesal, tapi aku kembali duluan,” kata Lazar. Wajahnya pucat, tapi dia mempertahankan senyumnya saat dia membungkuk dalam-dalam. "Kumohon lanjutkan ... Dengan sepenuh hati, saya akan menantikan hari dimana anda menjadi raja," kata pelayan yang selama ini selalu di sisi Oscar. Lazar tidak mengangkat kepala. Suaranya sedikit bergetar tetapi juga memiliki nada tekad yang kuat.

“Tunggu, Lazar!” Oscar terdengar panik. Dia mengulurkan tangan dengan sia-sia. Sesaat kemudian, dengan suara menderu yang kuat, tanah di bawah Lazar runtuh.

Ada lima lantai tersisa.

Semuanya memiliki teka-teki rumit atau monster kuat, tetapi Oscar memotong jalannya tanpa perasaan. Seolah-olah sejak awal dia menaiki menara sendirian. Bahkan dengan kepergian Lazar, Oscar tidak mengalami kesulitan dalam pertempuran. Namun, rasa putus asa yang tak terlukiskan mengganggu seluruh tubuhnya. Oscar membayangkan bahwa ketika kakek buyutnya menaiki menara ini tujuh puluh tahun yang lalu bersama sepuluh orang teman dan menjadi satu-satunya orang yang berhasil mencapai puncak, dia pasti merasakan hal yang sama.

Saat pikiran itu berputar-putar di benaknya, Oscar akhirnya sampai di pintu lantai atas.

Hal yang pertama kali menarik perhatiannya ketika dia membuka pintu adalah pemandangan luar biasa yang terlihat melalui jendela besar ruangan itu.

Bagaimanapun juga, itu adalah lantai bagian atas menara, jadi pemandangan mencakup seluruh ujung jauh hutan belantara. Matahari baru saja terbenam, dan Oscar tidak bisa berkata-kata di hadapan pemandangan alam dengan warna merah dan ungu nan megah. Dia belum pernah menyaksikan negeri dari ketinggian setinggi ini sebelumnya. Angin sepoi-sepoi berhembus, mengacak-acak rambutnya.

Ruangan itu sendiri besar dan berantakan. Di sepanjang dinding, berbagai benda misterius tertumpuk berantakan— mulai dari pedang dan kotak hingga toples dan patung. Oscar bisa melihat banyak benda sihir. Selain kumpulan perlengkapan yang menempel di dinding, segala sesuatu yang lain menyerupai kamar manusia biasa.

"Selamat datang."

Suaranya terdengar lembut dan serasa menarik telinga Oscar. Kedengarannya seperti datang dari titik buta jauh di kedalaman ruangan itu.


“Aku sudah membuat teh. Kemarilah."

Masih memegang pedangnya dalam keadaan siaga, Oscar maju dengan hati-hati.

Jauh di dalamnya, ruangan itu masih penuh sesak dengan berbagai macam barang, seperti pintu masuknya. Di sisi kiri dekat jendela, dia bisa melihat meja kayu kecil dan beberapa cangkir yang mengepul. Dia menarik napas dalam-dalam, menguatkan dirinya saat dia mengambil langkah maju.

Dia berdiri di sana dengan punggung menghadapnya.

“Rekanmu sedang tidur di lantai pertama. Dia tidak terluka," kata penyihir itu, berbalik dan tersenyum padanya.

Post a Comment