Druza terletak di barat laut Farsas. Saat perang, Druza menjadi yang pertama menyerang. Pada saat itu, negara tersebut menderita akibat panen yang buruk dan berharap untuk memperoleh wilayah tetangganya yang luas dan sumber daya alam yang melimpah.
Tentara Farsas melakukan pertarungan yang bagus dalam menghadapi invasi yang begitu tiba-tiba. Mereka memukul mundur pasukan musuh dengan menunjukkan kekuatan militer yang kuat. Hanya sepekan setelahnya, tampak konflik akan berakhir. Saat itulah Druza membangkitkan makhluk iblis yang tertidur di dalam danau sihir dan melepaskannya ke arah Farsas.
Senjata sihir raksasa menghancurkan pasukan Farsas. Strategi yang belum pernah terjadi sebelumnya dirasakan di seluruh daratan. Namun, keputusan untuk menggunakan makhluk iblis yang dipraktikkan oleh sekelompok mage memang agak sewenang-wenang. Pada kenyataannya, senjata sihir tidak dapat sepenuhnya dikendalikan, dan banyak pasukan Druzan yang terbunuh di bawah cakar monster itu. Miasma yang mengelilingi makhluk itu juga tampak mencemari bumi, mereduksi medan perang menjadi gurun berkabut dan tandus selama bertahun-tahun yang akan datang.
Korban makhluk iblis itu meningkat melebihi dua ribu di kedua belah sisi. Semua orang putus asa menghadapi kekuatannya yang luar biasa, tetapi monster itu akhirnya disegel oleh penyihir wanita yang telah menemani raja Farsas.
Setelah itu, penyihir wanita itu membunuh hampir semua mage yang melepaskan makhluk itu, dan mereka yang lolos dari pembantaian itu menemui ajalnya di tangan sesama Druzan.
Dari sana, makhluk iblis itu tidur di bawah tanah, dan tanah tertutup kabut akhirnya menjadi damai, setidaknya di permukaan.
Setelah tujuh dekade berlalu, penyihir wanita yang sama yang telah mengalahkan makhluk itu datang ke negeri ini sekali lagi.
“Cepat hancurkan mantra terakhir pada segel! Tidak ada waktu!” mage tua itu berteriak begitu dia kembali ke gua bawah tanah.
"Sekarang? Tapi mantra kontrol belum selesai…,” seorang mage muda menjawab dengan heran.
“Aku tidak peduli! Mulailah sihir untuk memecahkan mantra terakhir! Penyihir wanita itu tahu!" perintah pria tua itu.
"Dia tau?!" Penyihir yang lebih muda tampaknya telah memahami gentingnya situasi. Dia berlari ke kedalaman gua. Batuk, mage tua itu mengikuti.
"Aku tidak akan membiarkannya berakhir di sini," gumamnya.
Setelah perang, Druza pecah menjadi beberapa negara kecil. Kampung halaman pria tua itu sekarang menjadi wilayah yang paling miskin dari semua pecahan. Itulah mengapa dia akan menggunakan kekuatan makhluk iblis untuk menyatukan kembali Druza, menghancurkan Farsas, dan menyelamatkan tempat kelahirannya. Dalam meraih tujuan itu, dia akan mengorbankan hidupnya sendiri dan rekan-rekannya yang tak terhitung jumlahnya.
"Aku belum selesai; kami baru saja memulai… ”
Menyeret tubuhnya yang kaku dan berderit, mage tua itu akhirnya tiba di lokasi pemecah mantra. Lebih dari sepuluh mage sudah berkumpul di sana. Semua bersatu dengan keinginan yang sama, meskipun alasan yang berbeda telah mengarahkan mereka ke sana.
Tepat di luar gua ini melayang pola mantra putih kebiruan — mantra yang begitu rumit hingga hampir tidak terlihat seperti buatan manusia. Mantra konfigurasi ganda yang sangat rinci ini adalah segel yang dibuat penyihir wanita itu untuk mengakhiri perang. Di luarnya, di dalam gua yang sangat besar … ada mata tertutup sang monster.
Kantung matanya hitam, dan ukurannya yang luar biasa membuatnya sulit untuk membedakannya, kecuali jika dilihat dari kejauhan. Bulu perak panjang berjejer di tubuh besar makhluk itu, yang sebagian besar tertutup oleh gua yang gelap dan tidak dapat dibedakan. Satu-satunya bagian yang terlihat dari monster besar itu adalah yang diterangi oleh segel, tapi makhluk itu pasti seukuran kastil kecil. Jika dilihat secara utuh, makhluk itu menyerupai serigala raksasa, dari matanya hingga bentuk moncongnya.
Sihir tak terukur memenuhi udara, membuat kehadirannya hampir mustahil untuk diabaikan. Makhluk yang sedang terlelap itu penuh dengan teka-teki — sangat mengerikan. Demi membangkitkan makhluk menakutkan ini, lima mage sudah mulai merapalkan mantera. Mage tua meninggalkan mereka untuk melihat ke dalam gua. Dia bertanya pada seorang mage yang berlutut di belakangnya, "Berapa lama waktu yang dibutuhkan?"
"Kita butuh tiga hari ...," jawab penyihir itu.
“Tiga hari… Akan memakan waktu sekitar itu sampai tentara Farsas tiba. Seharusnya itu cukup waktu,” kata lelaki tua itu.
"Aku mengerti," jawab mage yang berlutut. Kemudian terdengar suara sesuatu yang jatuh ke tanah. Bingung, mage yang lebih muda melihat ke tempat asal suara itu.
Kepala mage tua kurus itu baru saja terpenggal tergeletak di tanah.
“A-ap…?” Pria muda yang terkejut itu hampir tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun sebelum dia merasakan sesuatu yang dingin di belakang lehernya. Dia mati bahkan sebelum menyadari apa yang telah terjadi.
Tragedi itu berakhir dalam sekejap.
Seorang mage dalam bayang-bayang batu, berkonsentrasi pada mantranya dengan mata tertutup, menyadari bahwa dia tidak lagi mendengar rekan-rekan magenya merapalkan mantra. Curiga, dia melihat ke tempat mereka berada… dan mulutnya ternganga ngeri.
Genangan darah tersebar di tanah. Rekan-rekannya tertelungkup di kolam merah tua. Kepala pemimpin mereka, lelaki tua itu, duduk terpenggal di tanah. Wajahnya terpaku dengan ekspresi tidak percaya.
“Apa…?”
Mage yang berada di bawah keteduhan batu menutup mulutnya dengan tangan. Bau darah di udara menyerang hidungnya, dan pemandangan itu begitu mengerikan hingga dia merasa pusing.
Yang paling membuatnya takut adalah pemandangan wanita muda yang berdiri di tengah lautan darah. Dia memegang pedang berwarna merah tua. Wanita yang menakutkan itu menyeringai ketika dia melihatnya.
"Sepertinya aku melewatkan satu," katanya riang, dan teror yang melumpuhkan mencengkeram pria itu. Dia pingsan, tidak bisa bicara.
Wanita muda bertubuh mungil namun tak kalah mengintimidasi itu mendekatinya dengan santai. "Ada apa? Apa kau tidak ingin melepas segelnya? ”
Dengan gagap, pria itu mengangguk. Mata gelap gadis itu terbuka lebar, dan dia tersenyum.
"Kalau begitu aku akan membukanya untukmu." Dia mengayunkan pedang ke dinding, mengibaskan darah yang menempel di senjata sebelum menyarungkannya. Lalu dia mengangkat tangan ke segel. Di tengah bau darah yang kental, yang paling menonjol adalah gadis muda misterius itu tampak diterangi cahaya rembulan.
“Nyanyikan, nasihat lama. Biarkan rantai yang dibuat lama sekali membusuk dengan perintahku… ” Itu adalah mantra yang jelas dan bergema.
Saat segel itu aktif, tidak ada yang bisa mendekati makhluk iblis itu. Hal yang sama berlaku untuk penyihir yang pertama kali memasang mantera.
Dia mengangkat tangan kanan dan membuka segel yang rumit itu. Ke samping, penyihir itu menatapnya, pucat.
Polanya terdiri dari tujuh mantra kecil. Satu per satu, mereka terlepas saat tangan mage itu bekerja. Setelah beberapa saat, pola mantranya menghilang.
Sangat lambat, mata makhluk itu mulai terbuka.
xxxx
Tidak lama setelah rombongan investigasi melewati gerbang benteng Ynureid, gempa tiba-tiba membuat tanah runtuh di bawah kaki mereka.
Karena ketakutan, kuda-kuda itu meringkik dengan panik. Penunggang mereka menoleh ke belakang dan mendengar suara gemuruh bergema dari arah danau sihir. Suara seperti itu menunjukkan semacam kehancuran atau keruntuhan. Sylvia memucat.
“Itu tadi, apakah itu… makhluk iblis?” Dia terdengar hampir terlalu takut untuk bertanya.
Para bawahannya tampak panik, tetapi Oscar tidak mengatakan apa-apa. Dia menatap tanah tak berpenghuni dengan tatapan tajam selama beberapa saat sebelum menggelengkan kepala dengan ringan dan memberi perintah. “Ayo masuk. Kita tidak bisa membiarkan kuda kabur. ”
“Tapi bagaimana dengan Nona Tinasha…?” tanya Sylvia.
“Dia bilang dia akan baik-baik saja. Dia akan mengurusnya,” Oscar menenangkan.
Tak diragukan lagi, tak seorang pun, termasuk Oscar, yang benar-benar tahu sosok asli Tinasha, penyihir wanita terkuat di seluruh daratan — perwujudan kekuatan yang luar biasa.
Setelah Era Kegelapan yang menyelimuti daratan selama ribuan tahun, muncullah era saat ini: Era Penyihir. Disebut seperti itu karena Tinasha dan penyihir wanita lainnya memakai kekuatan mereka untuk menuntun jalannya sejarah.
Jika seorang penyihir wanita murka, dia bisa menghancurkan sebuah negara dalam semalam. Itu adalah sesuatu yang bahkan diketahui oleh anak kecil, tetapi sampai sekarang, Oscar tidak pernah menganggap Tinasha sebagai sosok yang seperti itu. Dia tahu dia akan memahaminya suatu hari nanti. Itulah arti menjalin kontrak dengan sang Penyihir Bulan Azure.
Sementara kelompok lainnya terus berkeliaran, Oscar melewati gerbang dan turun. Doan menyadarinya dan berbalik untuk melihat.
“Ada apa, Yang Mulia?”
Area tepat di luar gerbang ke benteng itu datar dan mencolok. Setiap pohon di dekat gerbang telah dibersihkan untuk memastikan garis pandang tidak terganggu saat melihat keluar dari depan benteng.
Oscar melihat sekeliling sebelum tiba-tiba menghunus pedang Akashia. Dalam satu gerakan, dia menendang tanah, maju beberapa langkah dalam sekejap. Bilah senjatanya yang tajam memotong udara dengan kecepatan yang menakutkan.
Bagi semua yang ada disana, Oscar tampaknya tidak menebas sesuatu, tetapi kain abu-abu gelap dengan noda darah tiba-tiba berkibar dari udara tipis. Doan, yang sedang menonton, segera mengerti dan menghela nafas. Akashia barusaja menebas penghalang tak terlihat, memperlihatkan mantel mage yang bersembunyi di dalamnya.
"Kamu siapa? Apa kau juga antek mage tua itu?” Oscar menuntut.
“Sialan... Aku tahu Kau memiliki naluri yang baik, tetapi aku tidak menduganya,” kata pemuda itu, melihat mantelnya yang robek dan tertawa. Dia memiliki wajah muda dan rambut coklat muda. Matanya yang berwarna sama dipenuhi dengan kecemasan. Setelah melihatnya dengan baik, Oscar teringat seseorang.
“Kaulah yang dari festival dulu, bukan? Jadi Kau telah mengikuti kami sejak berpisah dengan Tinasha. Apa kau sudah mengawasinya selama ini?”
"Tentu saja tidak. Dia akan segera memergokiku. Dia sebenarnya mencoba melacakku.” Komentar pria tersebut mengungkapkan bahwa dia tau Tinasha tengah mencarinya. Seseorang yang bisa membedakan tindakan penyihir wanita dan melarikan diri lebih sekedar dari musuh biasa.
Tanpa disadari, Oscar mengubah keseimbangan gravitasi, mengambil posisi yang lebih sigap.
Mencengkeram perut, pria itu tersenyum sedih. "Tenang. Aku hanya ingin memberimu beberapa saran."
"Saran?"
“Ya, pelindungmu sangat ingin tahu. Aku akan sangat menghargai jika Kau mau menyampaikan pesan tersebut. Aku yakin dia akan senang.”
“Kemungkinan besar dia akan marah padaku. Jika ada sesuatu yang ingin dia ketahui, dia lebih dari mampu untuk menemukannya sendiri,” balas Oscar, dan senyum pria itu menegang. Dia tampak hendak mengatakan sesuatu tetapi jelas memikirkan ulang tentangnya, malah menghela nafas.
“Sungguh… sangat menjengkelkan bagaimana kalian berdua bisa seperti ini. Kau terlalu pintar untuk bisa diperdaya. Itu sebabnya aku selalu menggunakan bentuk serangan tipudaya,” katanya.
“Berhenti bercanda. Apakah Kau orang yang membunuh mage kami?" Oscar mendesak.
“Yang aku lakukan hanyalah memberi tahu mereka untuk menghindari penyelidikan. Mereka sendiri yang memutuskan bagaimana melakukannya. Tugasku hanya memberi tahu orang lain apa yang harus mereka dilakukan. Bagaimana mereka melakukannya, itu terserah mereka. "
“Kamu benar-benar bicara memutar-mutar. Apakah Kau bermaksud mengatakan bahwa Kau bukan antek para mage Druzan?"
Pria ini jelas seorang mage, dan dia juga mengeluarkan aura yang tidak menyenangkan. Tinasha mengatakan bahwa pria yang dilihatnya di festival dulu menyembunyikan cukup banyak sihir —mungkin itulah alasannya.
“Aku bukan antek negara manapun. Sebenarnya, aku juga bukan musuhmu. Aku hanya ada urusan dengan penyihir wanita itu."
"Aku mengerti. Jadi, Kau memiliki beberapa perhitungan ya? Kalau begitu, matilah di sini." Bahkan sebelum Oscar selesai bicara, dia mendesak pria itu. Pedangnya, yang bisa menebas segala macam penghalang sihir, sekarang melesat ke arah mage berambut coklat itu.
Namun, pedang itu tidak pernah menemukan sasaran, mengenai batu yang muncul tiba-tiba dari udara tipis dan memantul balik. Saat mata Oscar melebar karena terkejut, lawannya membuat mantra transportasi. Sesaat sebelum mantra penangkap Doan bisa menjeratnya, pria itu menghilang.
Doan menggertakkan giginya dengan frustrasi karena hampir berhasil menangkap mage mencurigakan itu. “Saya sangat menyesal, Yang Mulia… saya tidak bisa menangkapnya.”
“Tidak, jangan khawatir tentang itu. Ada apa dengan batu ini? Dari mana asalnya?” Di kaki Oscar tergeletak batu besar seukuran kucing. Itu tampaknya terbentuk dari udara tipis untuk memblokir Akashia.
Doan menjelaskan dengan ekspresi pahit, “Dia memindahkannya dari sembarang tempat. Sebuah langkah yang cukup cerdas.”
Akashia bisa meredam sihir apa pun tetapi hanya sedikit lebih kuat dari pedang biasa jika menyangkut objek fisik. Seseorang yang mengetahui fakta itu dan bisa beradaptasi dengannya adalah musuh yang licik.
Setelah memeriksa untuk memastikan pria itu benar-benar pergi, Oscar mengibaskan darah dari Akashia. "Aku berniat membunuhnya ..."
Selama targetnya adalah Tinasha, Oscar ingin pria itu disingkirkan. Paling tidak, Oscar beralasan dia seharusnya bisa menghentikannya saat Tinasha tengah bertarung dengan makhluk iblis itu.
Namun yang berhasil ia lakukan hanyalah serangan pertama. Dinilai dari rasa lukanya, Oscar tahu dia tidak menimbulkan luka fatal, tapi itu juga bukan cedera sepele.
Doan menggelengkan kepalanya. "Bahkan jika dia terluka karena serangan anda, dia tidak akan bisa bergerak untuk sementara waktu."
“Karenanya aku memutuskan untuk membunuhnya. Lain kali, aku akan menghabisinya,” janji Oscar .
Getaran lain terjadi di tanah, dan Oscar melihat ke arah danau sihir. Kabut menyelimuti tempat itu seperti kepompong raksasa, dan sang penyihir wanita ada di suatu tempat di dalamnya.
Post a Comment