Update cookies preferences

Unnamed Memory Vol 3; 2; 5

Ketika Oscar terbangun, dia menemukan dirinya sedang berbaring di tempat tidur, ditatap oleh cukup banyak orang.

Bingung, Oscar bergerak untuk duduk, dan rasa sakit yang tumpul berkobar di tangan kirinya.

Namun, ketika dia melihatnya, tidak ada luka atau suatu tanda di sana. Lazar bergegas mendekat dan merangkulnya. "Yang Mulia, kumohon jangan memaksakan diri."

"Apa yang sedang terjadi? Apa yang terjadi?" tanya Oscar.

“Anda sangat sakit. Kami semua sangat khawatir,” jawab Lazar.

Seketika itu, Oscar melihat sekeliling ruangan. Sesuai dengan apa yang dikatakan Lazar, semua yang ada disana menatapnya dengan keprihatinan yang mendalam. Sylvia berdiri paling dekat dengan pintu; matanya tampak merah dan bengkak karena menangis. Melihat dia menangis begitu dalam, Oscar mengerutkan kening. “Apakah itu benar-benar buruk? Aku tidak ingat apa pun...”

Saat dia berbicara, dia menyadari bahwa satu-satunya orang yang seharusnya berada di sisinya tidak ada. Padahal dia tidak tahu siapa itu. Dia menutupi wajahnya dengan satu tangan. "Pikiranku agak campur aduk."

“Itu karena anda baru saja bangun,” jawab Lazar.

Oscar mencoba mengingat mimpi nyata yang dia alami, tetapi mimpi itu melayang-layang di luar jangkauan.

Dia menggelengkan kepalanya dengan ringan. Sepertinya dia tidak akan bisa memulihkan ingatannya yang hilang. Lazar berlutut dan memeriksanya. “Apakah anda ingin sesuatu untuk dimakan? Atau apakah Anda ingin kembali tidur?”

"Yah, aku punya pekerjaan yang harus diurus," kata Oscar.

"Ayah anda yang mengurusnya."

"Ayah? Tumben,” kata Oscar. Seberapa sakit dirinya jika ayahnya saja, yang biasanya tidak pernah meninggalkan gedung belakang kastil, mengambil alih tugasnya?

Oscar memeras otak, tetapi dia tidak bisa mengingat apa pun sebelum dia tertidur. Yang ada hanya kelelahan yang terus-menerus dan sedalam tulang. “Kalau begitu kurasa aku akan sedikit beristirahat... Maaf.”

"Silakan... Kami akan meninggalkan anda sendiri.... Jika butuh sesuatu, silahkan panggil saya,” jawab Lazar, membungkuk sambil pergi.

Oscar kembali berbaring, tetapi mungkin karena dia sudah pingsan begitu lama, dia tidak bisa kembali tidur. Dia lebih memikirkan tentang ingatannya yang hilang, dan pada akhirnya, dia duduk kembali di tempat tidur. "Apa yang terjadi...?"

Dia tahu siapa dirinya sendiri, dan siapa Lazar, ayahnya, dan dewan penasihat dan pelayannya.

Negara Farsas memiliki sejarah yang panjang dan lama; Akashia, pedang kerajaannya diturunkan dari generasi ke generasi penguasa. Terlahir sebagai putra mahkota bangsa ini, Oscar telah dikutuk saat dia masih kecil oleh Penyihir Keheningan. Tapi dia menaklukkan menara Penyihir Bulan Azure dan membuatnya mematahkan kutukan. Setelah itu, terjadi perang melawan negara Cuscull yang baru berdiri, namun Oscar berhasil naik takhta tanpa masalah berarti. Dia bukanya tidak bahagia, juga tidak ada masalah menonjol yang belum terpecahkan. Tentu saja, pemuda itu sering merasa terkekang di bawah beban tugasnya, tetapi itu adalah beban alami yang harus ditanggungnya. Dia tidak bisa membaginya dengan orang lain, dan dia siap untuk menjalani hidupnya dengan jalan ini.

Namun dia merasa bahwa pada tingkat pribadi —dia kehilangan sesuatu yang vital.

Perasaan gelisah yang tidak jelas telah membuat dirinya terkekang sejak dia terbangun. Dia melihat sekitar, mencoba menemukan sesuatu yang mungkin telah terjadi.

Tatapan Oscar mendarat di bola kaca kecil yang pada suatu saat diletakkan di meja samping tempat tidur. Entah bagaimana, itu berwarna biru, dan tujuannya tidak diketahui olehnya. Langit senja terkunci di dalamnya.

"Apa ini....?"

Saat dia bertanya-tanya kapan dia mendapatkan benda seperti itu, Oscar bangun dari tempat tidur.

Ketika dia pergi dari kamarnya, para pengawal yang ditempatkan di luar pintu menganga karena terkejut. "Yang Mulia, ada apa?"

"Tidak apa-apa. Aku hanya akan berjalan-jalan di kastil. Aku baik-baik saja sendiri,” kata Oscar, tetapi para penjaga menatapnya dengan prihatin. Bagaimanapun juga, raja mereka masih belum pulih. Namun jika dia mengatakan dia tidak membutuhkan pengawalan, maka mereka tidak bisa mendesaknya.

Oscar meninggalkan mereka dan berjalan menyusuri lorong sendirian.

Dia tahu kastil ini seperti punggung tangannya, tapi anehnya kastil itu terasa kosong dan suram. Entah mengapa, langit biru di seberang jendela tampak terlalu cerah. Menggulung bola kristal di tangannya, Oscar berjalan menyusuri koridor yang sepi.

Ingatannya tetap sulit dipahami. Ingatan itu ada, tapi dia tidak bisa menjangkaunya.

Saat itu terus mengganggunya, dia melihat seseorang di ujung lorong dan memperlambat langkahnya.

Itu Norman si magistrat dengan setumpuk berkas di tangannya. Matanya sedikit melebar saat dia melihat raja, dan kemudian dia membungkuk, berhati-hati agar tidak menabrak sudut lorong. Oscar mengangguk padanya dan berjalan untuk melewatinya... tetapi kemudian tiba-tiba bertanya, "Norman, apakah Kau tahu apa yang terjadi sebelum aku tertidur?"

"Ah?" jawab Norman dengan bingung, dan Oscar tersentak kembali pada dirinya sendiri. Norman adalah seseorang yang sudah lama bekerja di kastil, tentu saja, tapi mengapa Oscar menanyakan itu padanya ? Mengapa dia merasa seperti Lazar dan yang lainnya berbohong padanya?

"Sudahlah, tidak apa-apa," Oscar menepis, menggelengkan kepala dan mulai berjalan pergi.

Di belakangnya, dia mendengar Norman dengan tenang bertanya, "Yang Mulia, apakah anda sudah memutuskan seorang ratu?"

"Seorang ratu?"

Kenapa dia menanyakan itu sekarang? Oscar berbalik.

Norman tampak sangat serius sambil melanjutkan. “Sudah waktunya anda memikirkan pewaris. Anda harus memilih seseorang yang memenuhi persyaratan.”

“Persyaratan apa....?”

Kepala Oscar mulai berdenyut. Lubang di hatinya terasa sakit. Bola kristal di tangannya terasa hangat.

Dia mengusap pelipisnya.

Tidak sekali pun dia berpikir untuk memilih seorang ratu.

Kutukannya telah merampas pilihan itu, dan setelah kutukan itu dipatahkan...dia juga tidak memikirkannya.

Oscar tidak lupa untuk menikah. Berusaha sekeras mungkin adalah tugasnya, tentu saja.

Dia sama sekali tidak mempertimbangkan siapa yang akan dia putuskan. “Tinasha....”

Nama itu keluar secara alami, membuat Oscar terkejut.

Mengapa dia melupakannya?

Wanita yang sangat dia cintai dan tak tergantikan dalam hidupnya. Dia ingin dia bersamanya bahkan jika dia harus menentang orang-orang di sekitarnya.

"Oscar, jangan gegabah."

Raja melihat ke belakang, merasa seolah-olah dia mendengar suaranya yang lembut. Tapi tidak ada seorang pun di sana.

Penyihir wanita yang cantik, emosional, dan kesepian.

Ketika dia berada di dekatnya, semua perasaan menekan yang melekat padanya menghilang. Di mana pun dia berada, dia bahkan bisa menikmati beban yang ada di pundaknya. Dia memiliki kekuatan untuk melakukan itu secara alami, rohnya membebaskannya.

Oscar mendorong poninya menjauh dari dahinya yang berkeringat. “Bagaimana aku bisa gagal mengingatnya....?”

“Jika anda telah memutuskan seorang ratu, maka saya sangat senang. Namun, tolong jangan memaksakan diri. Meskipun perawatan anda mungkin sudah selesai, anda masih belum sepenuhnya pulih,” Norman memberi peringatan sebelum membungkuk dan pergi.

Lagi-lagi ditinggal sendirian, Oscar mengangkat bola kristal di depan matanya. Tinasha telah menggunakan sihir untuk menciptakan langit malam yang cerah di dalamnya. Dia masih bersamanya saat itu.

“Ngh....”

Tangan kiri Oscar tiba-tiba terasa sakit, dan dia mengencangkan pegangannya pada kristal itu. Dia ingat rasa sakit ini. Tabir di atas ingatannya tiba-tiba tersibak.

Dan ketika semua ingatan yang telah disegel muncul kembali, Oscar akhirnya mengerti apa yang salah dengan situasi ini.

______________

Raja berlari melewati kastil sampai dia mencapai kamar penyihir wanita. Ada penghalang di sekitar pintu. Sihir tak terlihat dirangkai di pintu masuk, menyembunyikannya.

Mengapa ruangan itu disembunyikan? Misteri-misteri itu menumpuk. Oscar hanya bisa menyimpulkan bahwa ada seseorang di kastil yang sedang berusaha menghapus semua jejak Tinasha dari benaknya. Memikirkan alasannya hanya membuatnya membayangkan skenario mimpi buruk, jadi dia menyingkirkan pikiran itu dan melawan penghalang.

Dia meninggalkan Akashia, yang bisa dengan mudah menghilangkan sihir di pintu, di kamarnya. Namun, dia tidak ingin membuang-buang waktu dengan kembali untuk mengambilnya. Dia menatap konfigurasi mantra yang dirangkai dengan halus dan meraih titik vitalnya.

Aku bisa memecahkannya, pikirnya dengan percaya diri.

Namun tepat sebelum dia bisa menyentuh sedikit sihir, penghalang itu menghilang, dan pintunya menjadi terlihat.

Dia mendorongnya terbuka dan masuk ke dalam lalu menemukan Penyihir Hutan Terlarang memelototinya, dengan lengan menyilang tidak senang. “Dan di sini aku merusak ingatanmu agar kamu tidak datang dengan penampilan seperti ini. Kau pikir apa yang kau lakukan? Dan Kau mencoba untuk membuka penghalangku! Kau mesti sadar diri.”

"Di mana Tinasha?"

Lucrezia menghela nafas dengan sengaja. Dia menyentakkan dagu ke tempat yang lebih jauh. Disana terdapat penyihir wanitanya, terbaring di tempat tidur dan benar-benar bisu.

Ketika Oscar berjalan ke arahnya, dia menyadari betapa gugupnya dia.

Dia takut bertanya—takut melihat—tapi dia harus tahu.

Dia naik ke kepala tempat tidur dan menatap wajah Tinasha. Kulitnya yang biasanya cerah sekarang menjadi pucat pasi. Dengan takut, dia mengulurkan tangan dan menyentuh pipinya. Kulit halusnya sedikit dingin.

"Apakah dia hidup?"

"Aku tidak akan menempatkannya di sana jika dia mati," balas Lucrezia dengan masam, yang sangat melegakan Oscar sehingga dia merasa seperti akan pingsan.

Penyihir wanita itu melanjutkan, terdengar lebih gelisah. “Dan di tempat ini aku pikir dia akan tenang jika dia bersama seorang pria, jadi aku mendorongnya untuk mencari seseorang, dan entah malah kemana hasilnya. Semua hanya menjadi lebih buruk. Mengapa dia melayang di ambang kematian? Ada batasan seberapa cerobohnya dirimu dengan hidupmu sendiri. Ini benar-benar di luar batas. Aku sama sekali sangat tidak senang.”

"Maaf," Oscar meminta maaf tanpa mengalihkan pandangan dari Tinasha.

Dia harus bertanggung jawab atas kecerobohan dirinya sendiri.

Dalam kenaifannya, dia menyelamatkan nyawa Clara. Dia tidak ingin menempatkan kematiannya pada penyihir wanita itu.

Namun pada akhirnya, keputusan itu kembali menggigit bukan hanya dirinya sendiri tapi juga Tinasha. Ini semua sepenuhnya salah dirinya.

Oscar menyisirkan jari-jarinya melalui rambut onyx-nya, yang telah kehilangan sedikit kilau. Sekarang ini adalah ketiga kalinya dia berada di sampingnya saat dia terbaring tak sadarkan diri. Pertama adalah setelah pertempurannya dengan makhluk iblis. Yang kedua adalah setelah perang danau sihir. Dalam setiap kejadian, dia mencemaskannya sambil menunggunya bergerak.

Meskipun kekuatannya tak tertandingi, Tinasha selalu menempatkan dirinya di posisi terakhir dan mengambil risiko besar. Dia bertindak dengan mengabaikan kepentingannya sendiri, itulah sebabnya Oscar ingin menjadi orang yang melindunginya.

Sayangnya, kali ini dia melakukan kesalahan. Dia tidak tahu detail dari apa yang terjadi, tapi terlihat jelas dari sikap Lucrezia bahwa dirinyalah alasan Tinasha terbaring tak sadarkan diri sekarang.

Penyesalan mendalam tersurat di wajahnya saat dia membelai kulitnya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Dia menggerakkan jari-jarinya di sepanjang leher rampingnya —dan melihat sesuatu yang aneh.

Tepat di bawah di mana selimut putih menutupinya, kulitnya yang halus telah berubah warna menjadi cokelat samar.

Oscar sedikit ragu-ragu, tetapi meraih penutup tempat tidur. Dari belakang, dia mendengar suara menenangkan yang berkata, "Hentikan."

"Aku ingin tahu."

“Tidak ada wanita yang ingin itu dilihat. Hentikan."

"Tapi ini ... apakah luka yang aku sebabkan, kan?"

Lucrezia tidak menjawab. Menangkap itu sebagai izin, Oscar menarik selimut.

Di bawahnya, dia benar-benar telanjang. Dia menarik napas dengan tajam.

Yang menarik perhatiannya bukanlah tubuhnya, tetapi bekas dan lepuh yang menutupi hampir setiap inci tubuhnya.

Kulit putih mengkilap Tinasha yang menyihir hampir tidak bisa dikenali dengan perubahan warna. Di mana-mana, bercak-bercak kulit telah mengeras menjadi bercak-bercak kasar.

Seperti dia telah terbakar dan terluka parah. Oscar tidak bisa berkata-kata pada pemandangan yang mengerikan itu.

Lucrezia menyela dengan pahit, “Alkakia menghancurkan seluruh tubuhnya. Lagipula, sudah sangat mengherankan dia bisa selamat. Aku pikir rasa sakitnya akan sangat tak tertahankan sehingga dia tidak akan bisa mempertahankan kewarasannya, tetapi dia berhasil terus merapalkan mantra sampai akhir.”

“Apakah kau bisa membantunya?” tanya Oskar.

“Aku akan mengobatinya setelah sihirnya sedikit lebih stabil. Aku belum bisa. Serangan balik memakai tubuhnya untuk membuat serum darah telah membuat sihirnya kacau balau,” jelas Lucrezia, yang membuat pikiran raja tenang, meski hanya sedikit. Dengan lembut, Oscar menyentuh kulit yang meradang di sekitar dada Tinasha.

Rasanya berpasir dan kasar. Hati Oscar tenggelam. Namun, itu juga memenuhi dirinya dengan kebahagiaan yang tak tertandingi. Emosi yang saling bertentangan mengalir dalam dirinya. Panas tumbuh mengembang di dadanya, hampir membuatnya menangis.

Jika Oscar mengatakan semua ini dengan lantang, dia tahu Lucrezia akan menamparnya. Ini tercela; dia tahu itu.

Tetap saja, dia merasa ini adalah bukti keterikatan Tinasha padanya, bukti yang sudah lama dia harapkan. Secara bersamaan dia merasakan penyesalan yang membara dan kepuasan yang memusingkan.

Post a Comment