Update cookies preferences

Unnamed Memory Vol 3; 3; The Unknown

“Itu belum sepenuhnya hilang,” Lucrezia menghela nafas, berdiri di belakang Tinasha di bak mandi luas yang dilapisi dengan batu putih.

Tinasha sedang duduk di bangku rendah saat membasuh rambutnya, dan di punggungnya ada tanda coklat muda kira-kira seukuran sidik jari anak kecil. Setelah sihirnya pulih dan dia siuman, kedua penyihir wanita itu telah membersihkan jejak alkakia yang tertinggal di kulitnya. Tetapi bahkan setelah mereka selesai merawat seluruh tubuh Tinasha, ada satu bekas yang menolak untuk sembuh.

Lucrezia mengerutkan kening pada noda tunggal yang mengotori kulit putih susu Tinasha. “Aku nanti akan membuat serum sihir agar warnanya memudar.”

“Aku benar-benar tidak keberatan. Lagipula itu bukan tempat yang akan dilihat seseorang. Terima kasih,” jawab Tinasha.

“Kamu harus merawatnya dengan baik! Meskipun...kurasa ini akan memberikan pelajaran yang bagus bagi pria yang melihatnya,” Lucrezia merenung.

“Mengapa bisa ada pria yang melihat ke sana? Aku bahkan tidak bisa melihatnya sendiri.”

“.............” Lucrezia menghela nafas kecil. Berbalik, dia tenggelam ke dalam bak mandi yang dalam.

Mereka tidak berada di kamar mandi yang terhubung dengan kamar Tinasha, melainkan kamar mandi Kastil Farsas yang cukup besar. Uap terbang melayang ke langit-langit tinggi ruangan luas yang dibangun dari keramik dan pualam. Dengan bak rendam yang cukup besar untuk berenang.

Biasanya, hanya keluarga kerajaan yang bisa memakai bak mandi ini; hanya kedua penyihir wanita itu yang ada disana.

Lucrezia menghibur dirinya sendiri dengan membuat gelembung-gelembung berbusa di air saat dia menatap Tinasha, yang masih asyik menyisir rambut hitam panjangnya di area shower. Lucrezia berkata padanya dengan santai, "Aku sudah terjebak denganmu selama ini, dan kamu masih berhasil membuatku terkejut."

Bibir merah Penyihir Bulan Biru terangkat saat dia tertawa dan menjawab, "Terimakasih banyak."

___________

Setelah mandi, Lucrezia segera kembali ke rumahnya di hutan.

Tinasha mengucapkan selamat tinggal pada temannya dan berteleportasi ke kamar, di mana dia mulai mengeringkan rambut panjangnya di depan cermin rias. Pamyra melihat dia kembali dan datang untuk membantunya.

"Nona Tinasha, Yang Mulia ingin melihat anda setelah anda selesai bersiap-siap," katanya.

"Baiklah," jawab Tinasha, masih sedikit terhuyung-huyung karena mengantuk.

Oscar datang menemuinya setelah dia bangun dari koma, tetapi Lucrezia berteriak, "Dia butuh istirahat!" dan mengusirnya keluar kamar. Ini akan menjadi kesempatan pertama mereka sejak serangan di kastil untuk benar-benar berbicara.

“Mau pakai apa? Lady Lucrezia meninggalkan beberapa pakaian,” kata Pamyra.

"Aku akan mencari masalah jika aku memakai sesuatu yang dipilih si mesum itu," balas Tinasha. Pamyra tersenyum lemah, dan penyihir wanita itu menghela nafas. Jika Lucrezia mengirim pakaian, itu tidak diragukan lagi untuk membuat Tinasha jengkel. Memang, semua yang dia pilih pasti memiliki sisi yang terbuka.

Pamyra memilih gaun sutra putih untuk lady-nya dan bersusah payah meriasnya agar sesuai dengannya. Dia menyisir rambut panjang hitam legam Tinasha dengan hati-hati, lalu meletakkan bunga sutra putih di rambutnya di sebelah telinga kirinya. Pipi dan bibir penyihir wanita itu sedikit pucat, jadi Pamyra mengaplikasikan riasan tipis untuk memberi warna pada Tinasha. Masih merasa lemah dan lesu, si penyihir wanita membiarkannya melakukan apa yang dia mau.

Begitu dia siap, Tinasha berteleportasi ke luar pintu ruang kerja. Dia mengetuk dan masuk ke dalam.

Oscar ada di dalam, tapi begitu juga Kepala Mage Kumu dan beberapa magistrat. Mereka semua tercengang oleh pemandangan menawan dirinya dalam balutan gaun putih. Alis raja sedikit naik. "Apa yang sedang kamu lakukan? Aku akan datang ke tempatmu dan kau hanya perlu menunggu.”

“Aku berteleportasi ke sini, jadi tidak ada masalah. Apa aku mengganggu?”

"Tentu tidak," jawab Oscar, memberi isyarat padanya. Dia datang kepadanya, dan dia menariknya ke pangkuan. Dia memeriksa kulit gadingnya yang terbuka untuk memeriksa apakah sudah sembuh, lalu mencium keningnya.

Saat para magistrat mengamati si raja memperlakukan penyihir wanita dengan lembut seperti benda rapuh, mereka saling tatap. Mereka tidak yakin apakah mereka harus pergi meninggalkan ruangan atau tidak. Dengan ekspresi canggung di wajahnya, Kumu menggiring semua orang keluar. Begitu Oscar dan Tinasha ditinggalkan berdua, dia menatapnya dengan pandangan kesal. "Aku tahu aku akan mengganggu."

"Tidak apa-apa. Lebih penting lagi, aku akan meminta Kau melepasnya nanti.

"Mengapa?" balasnya.

"Aku ingin memastikan kau sudah sepenuhnya pulih."

"Aku sudah pulih!" Tinasha berseru, mengepalkan tangan dan menekankannya ke pelipis.

Serangan itu tampaknya tidak menyebabkan Oscar terluka; dia tenang saat dia bersikeras, "Itu tidak akan menyakiti apa pun, jadi biarkan aku melakukannya."

"Itu akan merusak suasana hatiku," balas penyihir wanita itu, menghindari genggamannya dan melayang ke udara.

Tanggapan terhadap kejenakaan Oscar tidak berbeda dari biasanya, yang membuatnya merasa curiga. Dia tidak berpikir dia perlu mengkonfirmasi hal tertentu dengannya, tetapi ternyata dia melakukannya.

"Bagimu aku ini apa?"

Pertanyaan klasik. Tinasha mengerutkan kening dan menjawab datar, "Kita memiliki kontrak."

Oscar ambruk ke mejanya.

Sebagian dari dirinya sudah memperkirakan itu, tetapi gelombang kelelahan masih menerpa dirinya saat dia mendengar itu secara nyata. Itu sedikit melewati kelelahan; tawa tak berdaya menggelegak di dalam dirinya.

Tinasha menatap aneh pada pria yang merosot di atas mejanya dan cekikikan pada dirinya sendiri. Dia melayang ke bawah dan menyisir rambutnya dengan jari-jarinya. "Dan kau penting bagiku."

"Oh ya?" Oscar bertanya, tertawa lebih keras.

Tinasha sedikit mengernyit. Apakah ada efek samping dari racun yang membuatnya gila? Selama dia mengenalnya, dia tidak pernah bisa mengatakan apa yang akan membuatnya marah dan membuatnya tertawa.

"Apa itu....?" dia bertanya dengan hati-hati.

“Tidak apa-apa, hanya saja...Aku ingin kamu memikirkan segala sesuatu dengan lebih baik. Oke?" Oscar menjawab, menyeka air mata dan mendesah dengan geli saat dia menatapnya. Penyihir wanita itu memiringkan kepala dengan bingung.

Sekarang setelah dia menyebutkannya, sepertinya ada sesuatu yang perlu dia pikirkan. Itu tampak sangat penting pada saat itu, tetapi dengan semua kekacauan dan koma selama tiga hari, dia melupakannya. Saat dia meninggalkan Oscar untuk bekerja dan keluar dari ruang kerja, dia memilah-milah ingatan, mencoba memikirkannya.

_____________

Ketika penyihir wanita itu mampir di ruang istirahat, dia menemukan regu mage ada disana, pun dengan Als dan Meredina.

Pamyra juga ada di sana. Rupanya, dia mengundang Als dan Meredina karena mereka ingin melihat Tinasha. Semua orang menyambut penyihir wanita itu dengan hangat ketika dia masuk, yang membuatnya malu. Dia duduk di kursi dan menyesap secangkir teh yang Pamyra buat untuknya. Topik diskusi pertama adalah racun yang menjadi biang semua masalah.

Tinasha menggambar lingkaran di udara dengan jari. “Aku beruntung bisa membuat serum darah untuk alkakia... Jadi aku meminta Lucrezia untuk mengurus analisisnya. Jika semuanya berjalan dengan baik, aku pikir kita akan dapat memproduksi serum secara massal. Namun, masih ada beberapa menit antara keracunan alkakia dan kematian, jadi itu akan sulit untuk dilakukan dalam kasus lain.”

“Tetap saja, itu membuat perbedaan nyata karena benar-benar memiliki semacam penyembuhan,” desak Kav, yang memiliki spesialisasi dalam ramuan. Dia terlihat sangat bersemangat. Meskipun alkakia sulit diperoleh, masalah yang lebih penting adalah ketiadaan penawar. Begitu keberadaan serum diketahui publik, zat mematikan itu seharusnya tidak digunakan lagi.

Tiba-tiba teringat sesuatu, Als menjentikkan jari. “Itu membuatku teringat, siapa dalang di balik semua ini? Mereka memanggil roh-roh iblis, menempatkan Clara di kastil, dan memberinya jarum beracun kan? Itu bukan rencana rata-ratamu. Apakah anda pikir ada komplotan di belakangnya?”

“Seseorang jelas-jelas merusak penghalangku untuk melancarkan serangan. Mereka membuat celah di dalamnya yang bahkan tidak aku sadari. Seorang mage jelas terlibat, tetapi dia harus sangat terampil. Kurasa Clara tidak mengatakan apa-apa?” kata Tinasha.

"Tidah sepatah kata pun. Kita tidak bisa membuatnya berbicara.”

Pelaku di balik serangan terhadap raja sudah kehilangan akal sehatnya. Karena dia tidak memiliki informasi untuk ditukar dengan nyawanya, hanya masalah waktu sebelum dia dieksekusi. Meski raja dulu pernah menyelamatkan hidupnya, pada akhirnya, dia akan mati karena dia. Tinasha benar-benar tidak yakin bagaimana perasaannya saat memikirkan hal itu.

Bagaimanapun juga, Clara sendirilah yang memilih untuk membawanya ke sini, dan inilah konsekuensinya. Tinasha tidak berpikir Oscar perlu mengubah sesuatu tentang caranya melakukan sesuatu. Sebagai pelindung, Tinasha-lah yang bersalah karena gagal menjaganya. Dia tidak bisa meningkatkan kerapatan pada penghalangnya begitu tinggi untuk bisa menghalau jarum; yang akan menghambat kehidupan sehari-harinya. Meskipun begitu, dia seharusnya tidak meninggalkannya saat invasi. Meskipun lega bahwa semuanya tidak melewati titik tidak bisa kembali, Tinasha masih merasa menyesal atas apa yang telah terjadi.

Saat semua orang menawarkan pendapat mereka tentang situasi tersebut, percakapan berubah menjadi obrolan biasa. Tinasha mengingat apa yang baru saja terjadi di ruang kerja dan mengungkitnya.

“Jadi aku tidak tahu kenapa dia tertawa,” si penyihir wanita menyimpulkan, mengakhiri ceritanya dan mencari jawaban dari mereka. Ekspresi mereka ternyata menantang untuk dibaca. Doan dan beberapa orang lainnya terbahak-bahak di atas meja, seperti Oscar. Pamyra menggosok pelipisnya seolah-olah dia merasakan sakit kepala.

Kav bergumam, "Yang Mulia benar-benar sesuatu karena menertawakan itu...." Sambil menggaruk kepalanya, Als bertanya kepada Tinasha, "Jadi kamu benar-benar tidak sadar?"

“Sadar akan apa?” dia menjawab.

“......................”

Mereka semua selain penyihir wanita itu menghela nafas, menyadari bahwa meskipun obat untuk alkakia telah dibuat, masih belum ada obat untuk ini.

Dengan sungguh-sungguh, Renart berujar, "Lady Tinasha, anda harus berpikir lebih serius, seperti yang Paduka katakan."

Nasihat pelayannya membuat penyihir wanita itu mengernyit bingung. “Tapi aku tidak tahu apa yang harus aku pikirkan...”

“Pikirkan semua hal yang telah anda lakukan untuk Yang Mulia. Apakah dahulu Anda juga berusaha sejauh itu untuk seorang pemegang kontrak?” Renart bertanya.

Tinasha memiringkan kepalanya. Wajah banyak orang yang dia kenal sebelumnya muncul di benaknya. “Hmmmmmm. aku pikir ... itu tergantung pada situasinya ... "

"Tapi Paduka kasus yang unik, bukan?"

“Mungkin.... Ya, memang begitu,” jawab Tinasha, dan kedengarannya agak kekanak-kanakan.

Meskipun penyihir wanita itu menunjukkan ekspresi gelisah, yang lain mengamati percakapannya dengan Renart yang terlihat mulai dari perhatian hingga geli.

“Kenapa beliau spesial?” Renart mendesak, berharap sang lady akhirnya menyadari apa arti perasaannya.

"A-aku tidak yakin... Karena aku terikat padanya?"

Jawaban itu langsung membuat mereka sua kehilangan energi. Semua mengira kali ini Tinasha akan mengerti, tetapi sekarang mereka kembali ke titik awal. Pada tingkat ini, butuh seratus tahun untuk menyelesaikannya.

Namun, Renart tetap tidak gentar. "Apakah anda tidak jatuh cinta pada Paduka Raja?"

"Apa?"

Keheningan menyelimuti.

Post a Comment