Update cookies preferences

Unnamed Memory Vol 3; 6; Bagian 5

Matahari terbenam menyilaukan secercah cahaya ke badai pasir yang berputar.

Ditemani oleh roh-roh mistik, Tinasha melakukan gladi resik terhadap mantranya dan menempatkan kamuflase agar tidak terdeteksi. Seorang mage biasa pun tidak akan bisa melihat sihirnya, meskipun tidak ada yang tau apakah sesama penyihir wanita akan melihatnya.

Meski begitu, lebih baik memilikinya daripada tidak. Tinasha mengangguk menyetujui mantra itu, lalu perlahan melayang di udara sebelum mendarat di jalan-jalan di luar ruangan. Oscar sudah ada di sana menunggunya, dengan Gait dan Neona di sebelahnya.

Oscar menepuk kepalanya. "Bagaimana?"

“Itu akan berhasil. Jika aku membuat sihirnya terlalu kuat, mungkin akan mengusir mereka. Sebenarnya ada banyak hal yang tidak aku sukai dalam konstruksi mantranya, tetapi aku memutuskan beberapa kompromi,” jawab Tinasha.

"Aku mengerti," kata Oscar.

Penyihir wanita itu menguap kecil. Dia tidak merasa lelah ketika fokus pada pekerjaannya, tetapi sekarang setelah dia berhenti, dia sangat mengantuk. Mungkin itu adalah reaksi halus tubuhnya usai menggunakan sihir yang begitu kuat.

Oscar membelai kepalanya. “Bagaimana dengan Yarda?”

“Aku menendang hampir semua orang penting yang terlibat dalam pertikaian itu ke berbagai tempat di dekat perbatasan. Aku telah menyegel kekuatan para mage, jadi mereka tidak akan bisa kembali dalam waktu dekat. Aku juga memasukkan obat pencahar ke dalam persediaan air sehingga tentara tidak bisa berperang”

“Setiap trik dalam buku, ya...?” Oscar berkomentar.

Taktik Tinasha tampak sangat vulgar. Namun, dia menepis komentar Oscar dengan apatis. “Aku sedikit bicara dengan Pangeran Savas. Dia sepertinya menyesali apa yang terjadi, jadi itu akan memberi kita sedikit waktu. Juga, raja dibius dengan ramuan sihir, jadi aku memulihkannya. Pemulihan penuh akan memakan waktu cukup lama, tetapi dia tidak lagi terpenjara di tempat tidurnya.”

"Ada apa dengan Paduka Raja?!" seru Gait kaget.

Wajah pucat, Neona menempelkan tangan ke bibir. “Baginda raja dibius? Aku tidak tahu.”

“Saat mempertimbangkan timing dosis pertama, tampaknya Zisis adalah penyebab awal. Salah satu pesuruh Leonora pasti mengambil alih di beberapa titik. Ramuan itu tidak terlalu manjur, tetapi lambat laun ramuan itu secara bertahap akan merampas kekuatan,” penyihir wanita itu menjelaskan dengan tenang.

Neona menjadi gelisah dan berteriak, “Jika kamu mengetahuinya, lalu mengapa kamu tidak membawa Yang Mulia bersamamu?! Bukankah akan lebih berbahaya jika penyihir wanita itu mengetahui bahwa dia sudah pulih ?!”

Neona memberi isyarat seolah ingin mengulurkan tangan dan memegang Tinasha, tetapi penyihir wanita itu tetap tenang. “Pangeran Savas memberitahuku bahwa dia sendirilah yang akan merawat raja. Jika Leonora mengetahui bahwa penguasamu melarikan diri dari kastil ditengah masa darurat ini, nantinya akan ada konsekuensi. Raja sendiri mengakui hal ini. Tentunya dia bisa melakukannya selama sehari,” jawab Tinasha tegas, dan Neona tidak bisa berkata-kata.

Tinasha benar. Seorang raja yang melarikan diri dari kastil sama saja dengan menyerahkan kastil itu.

Neona tidak dapat menyuarakan keberatan. Oscar menatapnya dan berkata dengan dingin, “Campur tangannya (her) yang memungkinkan kami untuk memperlambat konflik internal Yarda. Bukankah aku sudah memperingatkanmu di awal bahwa hanya ini yang ingin kami lakukan?”

“Maafkan saya,” Neona meminta maaf, wajahnya memerah dan menundukkan kepalanya sebelum kabur. Giat mengikutinya.

Oscar dan Tinasha ditinggalkan berduaan di jalan, dan Tinasha mendesah kecil.

“Ugh. Ini sebabnya aku bilang kepadamu untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak perlu,” gerutu Oscar.

"Tidak ada yang tidak bisa dibersihkan oleh penyihir wanita nanti," jawab Tinasha, melayang ke udara dan melingkarkan lengan di lehernya. Dia memeluknya seperti kucing, dan dia menyeringai.

Ketika Tinasha bertindak seperti ini, dia tampak seperti gadis lugu biasa, meskipun dia bukan tipe orang yang menunjukkan kebaikan tanpa syarat kepada sembarang orang. Penyihir wanita itu keras pada keluarga kerajaan, tidak diragukan lagi karena latar belakangnya.

Tiba-tiba, Oscar teringat apa yang dia dengar dari Aderayya. "Apakah Gaweid nama seseorang atau tempat?"

“Oh, ada nama yang belum pernah kudengar selama ini. Apa yang sedang terjadi?" Tinasha bertanya, matanya melebar. Oscar menjelaskan banyak hal padanya.

Dengan mengikuti situasi, Tinasha turun kembali ke batu bulat. Ekspresinya menjadi kosong, dan bayangan menutupi matanya yang tertunduk. “Aku tidak berpikir itu mengganggu Leonora.”

"Apakah itu saat kalian berdua melakukan duel?" Oscar bertanya.

“Tidak, itu jauh setelahnya... Gaweid adalah nama seorang raja Tayiri.”

Alis Oscar terangkat karena terkejut. Tayiri adalah bangsa yang membenci mage. Hubungan macam apa yang bisa dimiliki penguasa tempat seperti itu dengan seorang penyihir wanita? Dia penasaran tetapi tidak tahu apakah dia harus menanyakannya.

Tinasha menggelengkan kepalanya sembari tersenyum tipis. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Setidaknya, tidak untukku.”

Mereka berdua berjalan bersama di sepanjang jalan. Saat tentara Yarda yang mereka lewati menoleh untuk melihat ke belakang, Tinasha menceritakan kisah itu sedikit demi sedikit. “Ini terjadi tak lama setelah aku menjadi penyihir wanita. Pada saat itu, bagaimanapun juga, Gaweid dan Leonora adalah sepasang kekasih. Mereka tidak di madu kasih. Lebih tepatnya mereka mencoba untuk mengendalikan satu sama lain. Leonora ingin mengacaukan negara yang membenci sihir, dan Gaweid ingin merasa bahwa dia telah membuat para mage menyerah dengan mengendalikan seorang penyihir wanita.”

"Itu konyol," kata Oscar terus terang.

Penyihir wanita itu tersenyum sedih. “Dan kemudian aku muncul di tempat kejadian... Aku adalah seorang penyanyi di Tayiri ketika Leonora mengetahui siapa aku sebenarnya. Dia memberitahu Gaweid tentangku.”

"Jadi dia mengalihkan fokusnya padamu?"

“Urgh... Itu cara yang sangat blak-blakan untuk mengatakannya, tapi sebenarnya, itulah yang terjadi. Ketika Gaweid mendengar bahwa aku hampir menjadi ratu Tuldarr, dia mencoba menjadikanku kekasihnya. Pada saat itu, Tuldarr baru jatuh, dan tebakan tentang alasannya ada di bibir semua orang. Gaweid mencoba memberi kesan kepada negara lain bahwa Tayiri telah menghancurkan Tuldarr dengan menjadikanku kekasihnya,” lanjut Tinasha.

"Apa-apaan itu? Aku belum pernah mendengar sesuatu sekonyol itu,” gumam Oscar, kesal. Bahkan jika penguasa menggunakan trik bodoh dan murahan untuk meningkatkan prestise negara mereka, pada akhirnya itu semua hanyalah fasad yang tidak berarti. Apa yang raja ini harapkan untuk dia capai dengan kebanggaan yang dibangun diatas kebohongan? Itu membingungkan pikiran.

Senyum sarkastik melintasi perawakan indah Tinasha. “Saat itu, aku benar-benar tidak lebih dari anak kecil tiga belas tahun. Kemajuan yang sangat tidak diinginkan. Tentu saja, aku segera meninggalkan Tayiri. Gaweid...akhirnya mati dalam keadaan yang mencurigakan.”

“Dan karena itulah Leonora menaruh dendam padamu? Sepertinya dia hanya melampiaskan amarahnya padamu,” Oscar menyimpulkan.

“Bukan hanya itu... Pada dasarnya, kami tidak akur. Aku tahu dia tidak menyukaiku,” kata Tinasha.

“Jadi dia mengirim iblis untuk menyerangmu, semua itu karena dia tidak menyukaimu?” Oscar bertanya dengan skeptis.

“Itulah yang dilakukan para penyihir wanita. Apakah kau sudah lupa?" tanya Tinasha, melayang dan mencium pipinya.

Ada kilatan masam di mata gelap itu.

___________

Dia bermimpi.

Itu adalah penglihatan masa lalu yang panjang, ketika dia masih kecil.

“Kemarilah, kakak!” teriak si kembar yang lebih muda dari tengah taman yang indah terawat, melambaikan tangan dengan antusias.

Begitulah cara bermain mereka selalu dimulai. Ini adalah kenangan akan hari-hari damai yang memilukan.

“Mereka benar-benar terlihat sangat mirip. Aku senang anak perempuan kita begitu akur, sayang,” kata sang ibu kepada suaminya.

"Keduanya adalah buah hatiku, sayang," jawabnya.

Dia adalah putri seorang penguasa setempat, dan dia menghabiskan masa kecilnya dengan bahagia di sebuah kastil di tengah hutan bersama orang tua dan saudara kembarnya yang penuh kasih sayang.

Kehidupan itu berubah dalam sekejap ketika seseorang masuk ke rumahnya dalam serangan rahasia.

Salju turun dengan malas dari langit pada malam yang sunyi.

Penyusup merayap ke dalam kastil dan membunuh orang tuanya saat mereka terlelap.

Dia dibuang, sendirian dan di ambang kematian, ke dalam hutan yang gelap. “Selamatkan aku, Elou...”

Kembarannya tidak bisa ditemukan. Untuk pertama kalinya dalam hidup, dia sendirian.

Pendarahannya tidak berhenti, dan itu sangat dingin. Pada titik tertentu, dia ambruk di salju.

Anak malang itu bahkan tidak bisa menebak mengapa sesuatu yang begitu mengerikan terjadi padanya.

Jika semua ini fair dan masuk akal, dia seharusnya mati. Namun, sebelum dia mati, seorang wanita tua half-spirit menyelamatkannya.

Di sebuah pondok jauh di dalam hutan, dia belajar sihir saat bekerja sebagai pelayan wanita tua itu.

Hanya itu yang bisa dilakukan orang untuk tetap hidup di tengah pergolakan yang tiba-tiba. Jadi tidak pernah terpikir oleh anak malang itu bahwa dia akan merasakan lebih banyak kebencian dan rasa sakit daripada yang dia alami pada malam bersalju itu.

___________

"Kakak..."

Bisikan Leonora menarik dirinya sendiri kembali ke kesadaran. Dia terbangun di sebuah ruangan gelap.

Saat dia melihat sekeliling, dia ingat dia berada di kamarnya di Kastil Yarda. Leonora duduk di tempat tidur perlahan, menekan tangan ke kepalanya. Dia masih sedikit bingung. "Mimpi...?"

Sesuatu memberitahunya bahwa dia pasti bermimpi, tapi dia tidak bisa mengingat isinya.

Entah bagaimana, dia telah menghabiskan lebih banyak waktu untuk tidur selama beberapa tahun terakhir. Mungkin karena permainannya tidak lagi menyenangkan seperti dulu. Jika dia akan melakukan sesuatu yang membosankan, dia mungkin juga bermimpi ketika dia memiliki kesempatan.

Itulah sebabnya dia datang ke banyak negara, menanam benih, melilitkan mata air, dan pergi tidur. Dia tidak akan menonton dari bangku penonton saat intriknya berjalan seperti yang telah dia atur. Penyihir wanita itu tertarik untuk mengamati hanya setelah semuanya mulai berakhir.

Karena Leonora adalah seorang penyihir wanita, dia punya banyak waktu, dan dia tidak suka meributkan detail-detail kecil.

Namun, kadang-kadang, dia merenung, Mungkin aku sudah bosan dengan dunia.

Ke mana pun dia pergi, semuanya sama.

Dari awal waktu hingga Abad Kegelapan hingga Era Penyihir wanita, nama berubah, tapi peristiwa tetap berulang. Manusia hidup seperti orang bodoh, dan kemudian mereka mati. Tidak pernah terjadi suatu peristiwa yang menggemparkan.

Meskipun begitu, gagasan bahwa dia telah hidup terlalu lama tidak menarik bagi Leonora.

Dia ingin ada, jadi dia melakukannya. Penyihir wanita itu tidak menyesali hal itu, dia juga tidak ingin kembali seperti dulu.

Leonora turun dari tempat tidur dan menuju ke aula, gaun putih panjang mengikuti di belakangnya. “Savas?”

Bukankah dia sudah menyiapkan pasukan untuk ditempatkan? Aneh dia tidak bergegas kembali untuk melapor padanya. Apakah sesuatu terjadi?

"Maria? Apakah kamu disana?"

Biasanya, pelayan penyihir wanita itu akan muncul seketika, tapi hari ini dia tidak muncul. Bingung, Leonora menggelengkan kepalanya. Dia masih merasa lesu; kabut tidur menolak untuk menghilang dari kepalanya. Kenangan melayang berat didalam pikirannya. Sulit untuk mengingat kapan terakhir kali dia melihat Maria.

“Laketh? Mizha? Aderayya?” Leonora memanggil. Suaranya bergema di koridor namun tanpa jawaban. Dia menghela nafas dan menyerah, kembali ke kamarnya.

Ketika penyihir wanita itu melirik ke luar jendela dan melihat bulan biru melayang di langit malam, dia merengut secara refleks.

Ada dari sesamanya yang telah mengambil nama lingkar pucat itu untuk dirinya sendiri. Penyihir wanita termuda—yang paling tidak Leonora sukai.

Ketika Leonora pertama kali bertemu dengannya, wanita lain itu hanyalah seorang anak kecil. Ratu terakhir dari Kekaisaran Sihir yang jatuh berdiri di tengah-tengah kerumunan, mata gelapnya memancarkan kebencian terhadap manusia.

Ekspresi semacam itu tidak cocok untuk seorang penyihir wanita.

Apa pun penderitaan yang dialami gadis itu, dia telah memikulnya dan berhasil menjadi penyihir wanita. Dia harus melupakan segala hal tentang kebenciannya dan bersenang-senang. Tidak ada gunanya membiarkan kebencian mengusai dirinya. Leonora tahu itu secara langsung.

Leonora telah memberitahukan Tinasha kepada Gaweid dengan iseng, dan meskipun dia marah karena tersingkirkan, itu tidak lebih dari itu.

Tetap saja, jika dia harus memilih waktu ketika sesuatu berkobar di dalam dirinya, itu mungkin saat Gaweid menatap gadis kurus dan kesepian itu kemudian berkata, "Aku suka matanya."

Kata-kata itu akan menghantui Leonora.

Mata itu. Sebuah jurang yang penuh dengan kebencian dan rasa lapar akan balas dendam. Emosi yang sama yang akhirnya dilepaskan Leonora di tengah lautan penderitaan.

Bahkan di usia muda, penyihir wanita itu memiliki penderitaan yang begitu mengerikan, tetapi tidak seperti Leonora, dia berhasil tetap tenang.

Seperti itulah Tinasha, dan itu menarik banyak orang.

Dia berbeda dari Leonora, yang merupakan tawanan rasa jahat yang telah berubah menjadi sesuatu yang buruk.

Leonora membuang kebencian dan menungging senyum untuk memikat manusia, tapi Tinasha sebenarnya memakai pancaran amarahnya untuk memikat manusia. "Wanita yang menjijikkan."

Leonora membencinya. Dia masih membencinya, meski kebencian telah memudar dari mata Tinasha.

Tidak dapat menghilangkan rasa lelah yang melekat padanya, Leonora duduk di tempat tidur. "Unai, datanglah ke sini."

Unai adalah tangan kanannya, orang yang dia percayai di atas segalanya dan yang telah melayaninya paling lama.

Kali ini, permintaan penyihir wanita itu dijawab. Seorang pria jangkung dengan kulit gelap muncul, membawa pedang panjang yang sedikit melengkung. Dulu, rambut dan matanya berwarna cokelat, tapi berubah menjadi merah tua saat Leonora memberinya kekuatan.

Melihat wajahnya, dia tersenyum. Dia berlutut di depannya. "Anda memanggil, Nona Leonora?"

“Apakah ada yang terjadi?” dia bertanya.

“Seperti yang Anda perintahkan, saya telah berada di Gandona. Tidak ada yang terjadi.”

“Ah, begitu...,” jawab Leonora. Dia sudah lupa tentang itu. Wanita itu merasa seperti ditinggalkan. Semacam kecemasan tak berbentuk menetap di dalam tubuhnya.

Unai menuangkan segelas air dari kendi dan menawarkannya kepada lady-nya, yang tampak pucat. "Apa anda lelah? Anda harus berbaring sebentar.”

“Tapi aku baru saja bangun....,” Leonora menjelaskan dengan senyum sedih. Tetap saja, dia menurut dan berbaring setelah minum air. Tubuhnya tenggelam ke tempat tidur, anehnya terasa berat. “Unai, tetaplah bersamaku sampai aku tertidur.”

"Ya, My lady," jawabnya. Jawabannya meyakinkannya, dan dia menutup matanya.

Dia bisa beristirahat sedikit lama lagi, hanya untuk malam ini. Dan ketika dia bangun, dia akan melakukan sesuatu yang lebih menyenangkan.

Saat senyum anggun bermain-main di bibir penyihir wanita itu, dia tertidur.

____________

Saat Leonora terlelap, benteng Cados masih diselimuti tirai malam.

Di ruang dewan, raja Farsas, lingkar penasihat terdekatnya, dan jenderal dan para mage Yarda sedang melakukan konfirmasi akhir rencana. Oscar, yang memimpin pertemuan, berbalik ke penyihir wanita di sisinya. "Tinasha, menurutmu berapa banyak orang yang kita lawan?"

“Hmm, kurasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku mengurus sebagian besar pelayannya yang ada di Yarda hari ini. Aku sebenarnya berharap aku melakukan sesuatu dengan Unai,” aku si penyihir wanita sambil menyesap teh. Dari sudut matanya, badai pasir mengamuk di luar jendela. “Para mage, aku perlu meminta kalian untuk mempertahankan mantra yang telah aku buat di sepanjang gurun. Setelah aku melawan Leonora, aku tidak akan memiliki kapasitas mental cadangan untuk melakukannya sendiri. Jika aku menggunakan sigil untuk menggambar lingkaran sihir, dia akan segera mengetahuinya... Maaf atas kekhilafannya.”

Semua mage di ruangan itu menundukkan kepala setuju.

Oscar mengambil denah lantai benteng. “Para perwira dan tentara akan mempertahankan garnisun. Tinasha, apa rohmu bisa menangani para iblis?”

"Mereka sudah bilang akan melakukannya, jadi aku serahkan itu kepada mereka," jawabnya.

"Leonora berspesialisasi dalam sihir pemanggilan, kan?" Oscar mengingat.

“Ya, tapi ada mantra yang melarang seluruh pemanggilan yang terpasang di sekeliling benteng... Plus, kita mendapat bantuan. Satu-satunya iblis berpangkat tinggi yang akan menjawab panggilannya adalah mereka yang sudah terikat kontrak untuk melayaninya. Jadi kita menekan mereka,” jelas penyihir wanita itu dengan mengelak, polos.

Oscar menyadari bahwa Travis harus terlibat. Dia pasti yang menyebabkan masalah bagi iblis Leonora. Jelas, penyihir wanita itu telah menjadikan lebih banyak musuh bagi dirinya sebelum pertempuran dimulai.

Tinasha menjentikkan pita satin yang diikatkan di seikat rambutnya. “Meski begitu, kita tidak akan tahu apakah kita bisa membunuh semua iblis atau tidak sampai semuanya dimulai. Akan banyak yang harus dihadapi para jenderal.”

"Kami akan melakukan yang terbaik," jawab tentara Yarda.

Penyihir wanita itu mengangguk, tapi masih ada kerutan samar di alisnya. Mata gelapnya mengamati semua orang di ruangan itu. “Penyihir wanita yang Tidak Bisa Disummon... Leonora. Tidak mengherankan, tindakannya telah membuatnya menjadi penyihir wanita yang paling diburu, tetapi dia berhasil bertahan hidup, menggerogoti negara-negara baru sepuasnya. Dia licik, picik, dan berbahaya. Kumohon berhati-hatilah."

Karena peringatan ini datang dari penyihir wanita paling kuat, itu sangat membangkitkan semua orang. Tinasha melembutkan ekspresinya dan menambahkan, “Aku akan meredam badai pasir besok pagi. Bahkan jika dia membutuhkan waktu untuk melakukan persiapan begitu dia menyadarinya... dia mungkin akan tiba sebelum akhir hari. Jika dia tidak melakukannya, aku akan mengambil tindakan.”

“Kalau begitu, semoga saja dia mengambil umpan,” kata Oscar dengan tenang, menutup pertemuan itu.

Dengan pertempuran yang belum pernah terjadi sebelumnya secara historis melawan seorang penyihir wanita yang samar, tidak ada satu orang pun yang tidak khawatir.

Namun, orang-orang Farsas masih berpikir mereka akan mampu melakukannya karena mereka bersama raja dan penyihir wanita kesayangannya di pihak mereka. Mereka tahu betul betapa kuatnya mereka berdua. Tidak berlebihan untuk menyebut mereka pasangan terkuat di seluruh negeri.

Mereka keluar dari ruangan, percaya bahwa semuanya akan selesai pada malam berikutnya.

Post a Comment