Update cookies preferences

Unnamed Memory Vol 3; 6; Bagian 8

Oscar bertemu dengan pedang yang diarahkan padanya, sepatu botnya tergores karena berpijak pada pasir putih, dan melompat mundur saat dia memaksanya mundur.

Dia terus menemukan celah dan menyerang Unai, tetapi refleks pria inhuman itu memungkinkan dirinya untuk mundur sebelum menerima sesuatu yang kritis. Setiap serangan yang berhasil Oscar daratkan langsung pulih. Cukup jelas bahwa Oscar adalah petarung yang lebih terampil, tapi pertempuran itu terancam akan berlangsung selamanya. Seiring berjalannya waktu, dia akan kelelahan, dan berada pada posisi yang kurang menguntungkan.

Dia tidak bisa melirik ke atas, tapi dia mendengar ledakan dan melihat kilatan cahaya yang terpantul di tanah. Para penyihir wanita pasti masih bertarung.

“Aku ingin mengurus bagianku dulu... Aku ingin tahu apa yang harus dilakukan,” gumam Oscar, mengacungkan ujung Akashia pada Unai.

Tangan kanan Leonora berambut merah itu menyerang Oscar dengan pedangnya, menendang awan pasir kecil. Saat Oscar menangkis satu tusukan, lalu satu lagi dari pedang melengkung lawannya, dia melihat celah.

Setelah dia menangkis serangan kelima, Oscar dengan cepat mengirim Akashia memburu lengan pedang Unai saat masih ditarik ke belakang. Dia memotong bagian tengah badan, menebas sebelum Unai bisa melompat menyingkir.

Darah segar tumpah ke tanah.

Lengan kanan Unai jatuh ke pasir.

Serangan Oscar terus datang saat dia mencoba memenggal kepala Unai. Pria berlengan satu itu menangkap pedang itu dengan tangan kirinya.

Saat dia melakukannya, lengan kanannya kembali pulih. Oscar menatap kaget pada tangan yang tumbuh dari bagian berdarah.

"Kurasa inhuman benar-benar kata yang tepat untukmu," dia menyindir.

"Orang lemah bisa bercanda sekarang?" Unai menyembur dengan kering.

Oscar menyerang lengan kiri musuhnya, lalu segera menarik Akashia kembali. Dia mundur selangkah sebelum menendang kaki dan pedang Unai yang terputus jauh.

Unai menatap senjatanya saat bergerak ke lokasi yang tidak dapat diakses. Tatapannya jatuh ke tangan kanannya yang kosong. Mata pria itu menyipit, dan tangannya yang tumbuh kembali berubah menjadi sabit besar. Unai mengacungkan tangan kanan yang dibekali senjata di atasnya.

“Semua perjuanganmu sia-sia. Kau pada akhirnya hanya manusia,” kata pria itu.

"Kita akan lihat apakah itu sia-sia ketika semuanya berakhir," balas Oscar, menyeringai saat dia menyesuaikan kembali cengkeramannya pada Akashia.

_____________

Mantra demi mantra melesat dari tangan Tinasha, dan wanita itu nyaris tidak bisa menghela nafas.

Dua iblis wanita —kembar— telah membantu Leonora untuk sementara waktu sekarang. Rambut putih panjang dan lembut mereka menari-nari di udara saat mereka mengejar Tinasha.

“Ini sangat menjengkelkan...,” gumamnya, menahan hujan serangan yang tak henti-hentinya saat dia mencari-cari kesempatan untuk melawan. Semua rohnya menjaga iblis-iblis lain tetap terkendali dan mempertahankan benteng, jadi dia tidak bisa meminta mereka untuk menjadi backup. Satu atau dua pelayannya mungkin akan bebas beberapa saat lagi, tetapi penyihir wanita itu tidak bisa menunggu lebih lama.

Tinasha melesat ke satu sisi untuk menghindar dari tembakan panah ringan yang jatuh ke arahnya. Melalui hujan deras, dia bisa melihat Leonora sedang mengerjakan mantra besar-besaran.

Mata hijaunya yang cerah mendarat pada Tinasha, dan dia mencibir. “Kau hanya akan berlarian? Tak kusangka empat abad tidak banyak membantu memperbaiki taktikmu.”

Saat dia berbicara, mantranya —serangan sihir yang diresapi dengan kekuatan yang luar biasa— meledak.

Pusaran merah raksasa mendekati Tinasha. Mengangkat alis, dia melompat mundur. Seolah ingin menarik tali busur yang tidak terlihat, dia menarik lengan kananya ke belakang.

Lalu dia membiarkan panah tak terlihat terbang.

“Serang.”

Proyektil itu diasah setajam mungkin. Itu melesat ke tengah pusaran—dan menembusnya.

Panah itu melesat langsung tepat ke perut Leonora, membelahnya hingga terbuka.

Potongan daging dan darah beterbangan di udara, dan wajahnya berubah menjadi topeng kesakitan dan kemarahan. Adapun tornado yang disihir, itu naik membumbung tinggi ke langit karena Tinasha telah membelokkan lintasannya.

"Aku akui kamu punya satu atau dua trik di lengan bajumu, bocah tengik...," gerutu Leonora. Luka di perutnya menutup seketika.

“Tentu saja. Kita kan penyihir wanita,” jawab Tinasha.

"Aku tahu itu. Lebih baik darimu, menurutku,” bentak Penyihir wanita yang Tidak Dapat Disummon, memuntahkan liur berdarah. Kemudian dia mengarahkan telapak tangan ke gurun di bawah. "Jadi, akan ku tunjukkan padamu apa itu penyihir wanita asli, karena hidupmu yang berpuas diri tampaknya telah merampas pemahaman itu darimu."

Mata hijau Leonora menjadi gelap. Hinaan menghilang dari wajah cantiknya. Dengan suara hampa, dia merapal:

“Yang berubah, yang tidak berbentuk, akhiri keadaan fluksmu.

Hancurkan wujudmu. Itu akan menjadi akhir dari yang terbatas.”Kemudian dia bergumam dengan penuh kasih:

"Datanglah, batu abadiku."

Getaran kecil terdengar dari tanah sebagai jawaban atas kata-kata Leonora. Getaran datang dari gurun di bawah. Lebih tepatnya, datang dari gurun di bawahnya.

Mata Leonora tertuju pada satu bagian gurun yang mulai bergetar, dicengkeram oleh suatu kekuatan. Pusaran dihempaskan, menarik semua yang ada di dekatnya, termasuk Oscar. Unai berdiri tepat di tempatnya.

Tinasha menjadi pucat dan berteriak, “Oscar! Aku akan menteleportasimu!”

Dia merapalkan transportasi array untuk menarik Oscar keluar dari sana. Tapi Leonora melepaskan kekuatannya, menghancurkannya. “Aduh..! Dasar menyebalkan!”

Tinasha melepaskan penghalang terhadap sihir yang terus dilemparkan Leonora padanya.

Dia mencari Oscar di semua pasir yang berputar—

Tiba-tiba, ribuan serangga dengan sayap merah datang entah dari mana, begitu tebal sehingga dia tidak bisa melihat apa-apa.

“Kupu-kupu darah?!”

Makhluk yang terbentuk dari kekacauan antar alam—terlahir dari kutukan terlarang berskala besar.

Tinasha tidak tahu apa yang terjadi, tapi di bawah kakinya, muncul sesuatu yang sudah lama terkubur.

Letusan objek melalui pasir putih digembar-gemborkan oleh gempa yang mengerikan.

Sebuah kompleks raksasa amber memantulkan sinar matahari, berkilauan emas. Dan dari semua hal, di dalamnya terkunci sebuah kastil.

Tercengang, Tinasha mengidentifikasi struktur yang terkubur di bawah gurun. Itu adalah sesuatu dari salah satu mitos terkait Leonora. “Kastil Amber.”

“Indah bukan? Aku sudah lama membuatnya,” kata Leonora dengan bangga.

Kastil legenda Amber adalah kastil nyata yang pernah berdiri di Abad Kegelapan. Itu adalah tempat terpencil yang dihuni oleh para bangsawan dan intelektual yang telah lolos dari kekejaman perang. Tapi suatu hari, Leonora berkunjung dan menyegel gedung serta semua orang di dalamnya, di dalam balok amber raksasa.

Kemudian dia menguburnya di bawah gurun.

Saat Kastil Amber menyentuh udara terbuka untuk pertama kalinya dalam ratusan tahun, itu menciptakan kawanan kupu-kupu merah darah. Tinasha menepuk tanga ke mulutnya pada skala halus dari berapa banyak orang yang meninggal saat dikurung di kastil.

Tapi kemudian dia sadar akan situasi dan tersentak. “Oscar...”

Dia pada awalnya tidak dapat menemukannya, tetapi melihat celah kecil di salah sisi Kastil Amber ketika dia melihat lebih dekat. Dia mungkin menggunakan Akashia untuk membuat lubang dan masuk ke dalam agar tidak rata di antara pasir dan kastil. Manuver seperti itu tidak akan mungkin dalam keadaan normal, tetapi Leonora mengeluarkan Kastil Amber dari sihir, yang memungkinkan langkah putus asanya.

Tinasha merasa sedikit lega, kemudian mendongak saat merasakan gelombang sihir yang sangat besar. Dia melihat ke arah Leonora dan melihat sihir melipah ruah di tangannya —yang jauh melebihi serangan yang baru saja dia tembakkan. Tinasha menyadari bahwa pada suatu titik, semua kupu-kupu berwarna merah darah telah menghilang. Dengan senyum tegang, dia bertanya, "Apakah ini kartu trufmu?"

“Cara yang norak untuk mengatakannya. Ini semua territoriku,” balas Leonora. Wanita itu melempar gelombang cahaya putih yang menyilaukan, dipenuhi dengan kekuatan yang diperburuk oleh batu darah kupu-kupu yang tak terhitung banyaknya.

Sihir besar seperti itu bisa menghancurkan apa pun di lintasannya. Leonora telah mencurahkan seluruh kekuatannya ke dalam serangan ini, dan itu membakar udara saat tumbuh semakin dan semakin membesar.

Aku tidak bisa menerima serangan ini, pikir Tinasha, dan dia bergerak untuk menghindarinya. Tapi dia menyadari apa yang ada di belakangnya dan berhenti. Dibelakangnya terdapat benteng. Jika dia melarikan diri, garnisun dan semua orang di dalamnya akan lenyap dalam sekejap.

“Lenyapkan makna ini! Pikiranku akan mengubah dunia! Lenyapkan...! Lenyapkan...!”

Tinasha memanifestasikan penghalang pertahanan di depannya. Dia mengalirkan sihir sebanyak yang dia bisa ke dalamnya. Pancaran pucat menghalangi langit, begitu terang hingga menyilaukan mata.

Hal berikutnya yang diketahui Tinasha, serangan Leonora menghampirinya.

_____________

Serangan sihir besar-besaran mengguncang langit.

Bahkan kastil yang terbungkus bergetar. Saat Oscar berjalan menyusuri lorong yang berkilauan dengan emas, dia mengerutkan kening dan melihat sekelilingnya.

“Apakah dia melakukan sesuatu..?” gumamnya, tapi tidak ada jawaban. Dia juga tidak melihat tanda-tanda lawan berbentuk aneh yang harus dia kalahkan.

Ketika kastil muncul dari bawah tanah, Unai tersedot ke dalam amber yang membentuk kulit terluar. Oscar hampir ditelan ketika dia menyelinap mengejar musuhnya ke dalam resin.

Bagian dalam bangunan itu hening seperti kematian. Dengan Akashia di tangan, Oscar berjalan menyusuri koridor yang sepi.

“Kastil Amber, ya...? Setelah aku melihatnya dari dekat, itu hanya istana biasa,” komentarnya. Dia terkejut melihat massa besar amber naik dari bawah permukaan, tapi bagian dalamnya adalah pemandangan yang lebih familiar.

Kerangka manusia yang setengah membusuk berserakan di sana-sini, dan kupu-kupu merah beterbangan, tapi selain itu, Oscar tidak melihat sesuatu yang luar biasa. Amber telah merembes di sekitar jendela, tetapi tidak sampai membuat lorong-lorong tidak bisa dilewati.

Oscar mencapai ujung lorong panjang dan memasuki aula besar di tengah kastil. Seperti di ruang dansa di kastil Gandona, langit-langitnya membentuk atrium yang tinggi dan berkubah.

Cahaya keemasan disaring ke dalam aula; itu seperti istana sihir dalam buku dongeng. Cahayanya bias dan berkilauan di sepanjang dinding dan langit-langit, memberikan ruang kemegahan yang layak untuk dipuja.

Namun, ini adalah tempat yang terlupakan oleh waktu.

Saat dia melihat sekeliling aula yang kosong, Oscar menyiapkan senjatanya. Dia melihat Unai berdiri di tengah ruangan dan mengerutkan kening bingung. "Aku tahu kamu bisa mengubah tubuh sesukamu, tapi apakah kamu juga benar-benar menembus amber?"

“Lady Leonora menciptakanku dan kastil ini,” jawab Unai.

“Dan kamu adalah pelayan yang setia. Kau masih patuh dengan wanita itu meskipun kamu bukan manusia lagi?” Oscar bertanya.

“Dia menyelamatkanku ketika aku berada di ambang kematian. Saat itulah dia memberiku tubuh ini,” jawab Unai, menatap tangan sabitnya. Di matanya ada nostalgia utuh seseorang yang telah hidup sangat lama. Mengerti atau tidak bukan masalah bagi Oscar.

Kerutan melintasi wajah tampan Oscar, tapi dia dengan cepat mengambil sikap agresif. "Maaf, tetapi jika aku tidak segera keluar, kucingku akan kehilangan kesabaran."

“Tidak perlu terburu-buru. Kau memiliki semua waktu di dunia. Tinggal saja di dalam kastil ini dan jangan pernah berbalik,” kata Unai.

“Sebagai salah satu koleksinya? Tidak, terima kasih, aku pass saja,” balas Oscar.

Firasat kematian memenuhi aula yang berkilauan, begitu mengingatkan pada kotak perhiasan anak kecil.

________

Di lantai atas kastil yang membatu benar-benar sunyi.

Di tempat inilah orang-orang yang melarikan diri dari neraka masa perang Abad Kegelapan berkumpul. Namun kedamaian sejati turun ke tempat itu hanya ketika Leonora menyegel istana itu dalam amber. Bebas dari rasa takut akan kematian, struktur itu bisa bertahan selamanya, tidak berubah. Dengan tangan seorang penyihir wanita, itu telah dipelihara dengan segala keindahannya.

Leonora berjalan melewati ruang tahta yang berkilauan, ditemani oleh dua pelayan iblisnya.

Gembira atas kemenangannya melawan Tinasha, dia merasakan kegembiraan sesaat.

Setelah memudar, hanya ada apatis. Di suatu tempat di sepanjang jalan, itu telah menjadi konstan baginya. Leonora bosan sampai menangis. Dia kehilangan ketertarikan pada dunia, dan semuanya menjadi sangat menjengkelkan.

Penyihir wanita itu mencapai singgasana batu dan menjatuhkan diri di atasnya dengan lesu.

“Malang sekali, gadis yang menyedihkan,” gumamnya penuh kemenangan, meskipun kata-katanya terasa hampa. Senyum menghiasi bibir merahnya.

Tidak ada yang bisa menerima serangan seperti itu. Begitulah nasib yang pantas dia dapatkan karena hidup dengan menyukai manusia fana.

Permainan yang menyenangkan.

Leonora telah menyeret dirinya dalam keruntuhan berbagai negara dan banyak manusia, tetapi dari semua gangguannya, ini adalah favoritnya. Tinasha yang kuat, cantik, bodoh, dan muda—lawan utama. Dan, tentu saja, menyenangkan karena dia memenangkan permainan.

Tapi... semakin menyenangkan sebuah permainan, semakin banyak kesedihan yang tertinggal setelahnya.

Begitu semua gairah dan antusiasmenya menguap, perasaan tidak berarti—seperti tenggelam ke dalam lautan tanpa dasar—menjerat wanita itu.

Tidak ada bedanya dengan hari dimana rumah dan masa kecilnya terbakar.

“Elou, adikku.”

Dia memejamkan mata dan mengingat kenangan suatu hari dulu, dulu sekali.

_____________

Setelah dia kehilangan orang tuanya dalam serangan pada hari bersalju itu, sepupu laki-laki mengambil hak asuh Elou.

Kakak kembarnya telah menghilang, dan ketika Elou mengetahui bahwa kakaknya telah dibunuh seperti orang tua mereka, dia diselimuti kesepian.

Meski begitu, dia mencoba untuk hidup dengan optimis. Dia melakukan seperti yang direkomendasikan sepupunya dan setuju untuk menikah dengannya ketika dia cukup umur dan mewarisi tanah ayahnya. Mestinya yang menunggu adalah sebuah kehidupan damai.

Kapan dia mengetahui bahwa keberadaannya adalah sebuah kebohongan?

Apakah setelah mengetahui bahwa sepupunya diam-diam mengirim tentara ke pondok wanita tua itu? Atau mungkin ketika kakak kembarnya, Leonora, yang telah tinggal di sana, menerjang masuk ke dalam kastil, bersimbah darah? Bisa juga setelah Elou mengetahui bahwa yang mengatur kematian orang tua dan adiknya tidak lain adalah sepupunya agar dia bisa menikahinya.

Gaun pengantin Elou ternoda merah tua. Setengahnya berbaring rata di tanah di depannya.

“Leonora! Leonora, kakaku, tetaplah bersamaku! Jangan tinggalkan aku!” Elou menangis.

Setelah sepuluh tahun, si kembar akhirnya bersatu kembali, hanya untuk kembali tertinggal seorang.

Itulah sebabnya, dengan putus asa, dia mengulurkan tangan untuk mengambil sihir saudara perempuannya yang sekarat, jiwanya, ingatannya—agar mereka bisa menjadi satu lagi, sama seperti dulu di dalam rahim.

Dan Elou pun menjadi Leonora. Atau apakah Leonora menjadi Elou?

Post a Comment