Begitu Tinasha meninggalkan ruangan, Lazar menghela nafas panjang. "Dia benar-benar sesuatu."
“Bukankah dia seharusnya sudah menerima pendidikan kerajaan? Mungkin itu sebabnya dia sangat bertekad,” komentar Oscar.
Dia mendapat kesan bahwa keteguhannya adalah sesuatu yang mendalam, tidak diragukan lagi terukir dalam dirinya.
Namun pada saat yang sama, Oscar berpikir Tinasha juga tampak sedikit insecure. Itu perlu diperbaiki jika dia ingin menjadi ratu Tuldarr. Seorang penguasa adalah simbol negara mereka—dukungan rakyat. Setiap ratu yang memandang rendah dirinya sendiri tidak pantas mendapatkan pengabdian dari rakyatnya.
Memutar-mutar pena di jarinya, Oscar menatap Lazar. Pelayan sekaligus temannya itu menatap tatapannya dengan ekspresi peringatan cemberut. Ketika Oscar menangkapnya, bibirnya melengkung membentuk seringai licik. “Yah, karena dia menyarankannya, mungkin aku akan membuatnya melahirkan anakku.”
"Jelas tidak! Jangan mencoba menggunakan pilihan terakhir sebagai pilihan utamamu!” Lazar berteriak, seolah-olah dia telah menunggu Oscar untuk menyarankan itu.
Balasan Lazar yang bisa ditebak membuat Oscar tertawa terbahak-bahak. "Bercanda. Aku tidak mempermasalahkan wanita yang cantik lebih dari apapun, tapi aku tidak tertarik,” ujarnya riang, namun kritikannya pedas.
Normalnya, Lazar tidak mendengar tuannya berbicara seperti itu, dan ekspresinya diliputi sesuatu yang lebih dari sekadar kelegaan. “Itu hal yang mengerikan untuk dikatakan. Aku pikir Kau menyukainya, Yang Mulia.”
“Aku pikir Tinasha menarik, tapi aku masih tidak tahu apa-apa tentangnya. Lagi pula, dia tidak benar-benar menatapku,” jawab Oscar.
"Apakah kamu benar-benar berpikir begitu?" Lazar menekan.
"Ya."
Oscar bisa mengetahuinya hanya dengan menatap mata wanita itu.
Setelah kehilangan minat, dia mengakhiri percakapan di sana, menyeruput teh dengan satu tangan sambil membolak-balik kertas dengan tangan satunya.
Tinasha kembali ke kamarnya terlebih dahulu untuk membuat beberapa kemajuan dalam analisisnya. Begitu dia merasa ingin berhenti, dia pergi mengunjungi laboratorium mage. Dia berpikir bahwa, pada saat itu, Lazar akan memberi tahu mereka tentang penyelidikannya.
Seperti yang dia duga, Kumu, ketua mage, ada di sana untuk menyambutnya ketika dia mengintip ke dalam ruangan. Pria itu terkenal karena kemampuan sihirnya yang tinggi. Kumu mengusap kepalanya yang dicukur mengkilat sebelum membungkuk. "Aku sangat meminta maaf karena mengganggu Kau untuk melakukan ini."
"Jangan sungkan. Akulah yang melampaui batasku dalam memintanya, jadi tolong maafkan itu,” Tinasha menjawab.
“A-Aku merasa terhormat bisa bekerja denganmu! Namaku Lita!” kata wanita muda di sebelah Kumu dengan membungkuk penuh semangat. Dia adalah mage yang bertugas dalam otopsi. Dia tersenyum gugup pada Tinasha sementara Kumu mengeluarkan tiga botol dari belakang ruangan.
“Kami mengambil sampel darah, isi perut, dan kulitnya,” dia menjelaskan sambil memberikan wadah kepada Tinasha, yang menerimanya dengan senang hati. Suatu waktu, sebagai seorang ratu, dia sendiri bertarung di garis depan medan pertempuran, di mana dia berulang kali menyaksikan kematian yang mengerikan dan juga menggunakan sihir untuk membunuh manusia. Begitulah cara hidup para penguasa Abad Kegelapan.
Di bawah pengawasan ketat para mage, Tinasha membuka kancing botol dan mulai membaca mantra. Konfigurasi mantra yang rumit dituangkan ke dalam wadah satu demi satu. Kumu dan Lita tersentak saat melihat sihir itu.
Saat mantranya selesai, mage cantik dari Tuldarr melirik ketiga botol dengan mata setengah terbuka. Tiba-tiba, dia membalikkan wajahnya dan bertanya kepada Lita, "Seperti apa bentuk jenazahnya?"
“Oh, ah… Kami memastikan bahwa dia muntah darah, dan matanya terbuka lebar dan merah. Ada darah dan semacam kulit di balik semua kukunya, seolah-olah dia menggaruknya di sekujur tubuhnya sendiri, dan ada bekas cakaran di leher dan dadanya,” jawab Lita.
"Apakah kamu melihat kepalanya?" tanya Tinasha.
"K-kepalanya?" Lita mengulangi.
“Kulit kepalanya. Apakah Kau melihatnya segera setelah dia meninggal?” “T-tidak, aku tidak melihatnya...,” Lita mengakui, gemetar.
Kumu menyela. "Apakah kamu menyadari sesuatu?"
“Aku pikir dia diracuni dengan konsep sihir. Itu ramuan jenis lama, tapi aku cukup yakin,” jawab Tinasha.
"Itu—," para penyihir tergagap saat mereka tegang. Karena otopsi tidak mendeteksi racun apa pun, penyebab kematian Carla dinyatakan tidak diketahui. Tetapi jika dia meninggal karena keracunan, itu mengubah banyak hal.
Sambil meringis, Tinasha melihat sekeliling sambil menutup botol. “Bisakah aku meminjam ini sebentar? Aku ingin mengekstrak jejak racun dan mengidentifikasi siapa yang membuatnya.”
“Mengidentifikasi siapa yang membuatnya?! Kamu bisa melakukan itu?"
"Apa? Bukankah itu di luar apa yang bisa dilakukan oleh teknologi kita?”
"Ini pertama kali aku mendengarnya..."
Kumu dan mage lain di laboratorium mengungkapkan keterkejutan, tetapi Tinasha tidak mengatakan apa-apa.
Sejak dia bangun, dia telah belajar mati-matian untuk mengisi kesenjangan pengetahuannya selama empat ratus tahun, tetapi ada banyak hal yang tidak tercatat dalam buku.
Mantra untuk mengidentifikasi pembuat ramuan sulit digunakan, dan saat itu di Tuldarr, hanya beberapa mage yang bisa menggunakannya. Setelah empat abad, dia akan berpikir bahwa mantra itu akan diubah dan diajarkan secara luas. Namun entah bagaimana, tidak demikian. Di bawah tatapan intens yang mengarah padanya, Tinasha merasakan sakit kepala menghampirinya.
Dia tidak benar-benar perlu menyembunyikan fakta bahwa dia datang dari masa lalu, akan tetapi jika dia mengungkapkannya dengan mudahnya, orang-orang hanya akan mempertanyakan kewarasannya.
Tinasha tersenyum cerah. "Ini mantra khususku."
"M-maksudmu yang kamu buat sendiri?" tanya Kumu.
“Tidak, tapi aku akan membahas detailnya lain kali. Untuk saat ini, aku akan menyelidiki ini. Bisakah aku membawa ini ke kamarku?” dia bertanya lagi.
“Oh, er... Ya, tentu. Silakan,” jawab Kumu.
Tenang dan berkepala dingin, Tinasha menyimpan botol-botol itu di sakunya. Kumu sepertinya masih memiliki hal-hal yang ingin dia tanyakan padanya, tapi dia menyerah dengan menggelengkan kepalanya.
Kepada Lita, Kumu menginstruksikan, “Ini kesempatan sempurna baginya untuk melihat jendela yang menjadi sumber semua rumor. Tunjukkan jalan ke sana padanya.”
“Oh… Aku? Tapi ada hantu di sana...,” kata Lita ragu-ragu sambil melihat sekeliling ruangan mencari seseorang untuk menggantikannya.
Doan mengangkat tangannya. “Kita harus menyelidiki jendela; itulah yang Yang Mulia minta. Aku juga akan pergi.”
“Jadi, apa itu artinya aku masih harus melakukannya…?” Lita bertanya dengan khawatir.
"Tentu saja," balas Doan.
Di tengah pertengkaran para penyihir, Tinasha dengan bijaksana menyela, “Ah, aku bisa pergi sendiri jika kalian mau memberitahuku di mana letaknya. Aku yakin kalian semua memiliki pekerjaan yang harus dilakukan.”
“Ini sudah pekerjaan mereka, jadi tolong jangan khawatirkan mereka. Lita, pergilah,” perintah Kumu untuk kedua kalinya.
“Baiklah...,” jawab Lita sambil menundukkan kepalanya.
Dengan Doan yang memimpin, mereka bertiga berjalan melewati kastil, diterangi sinar matahari sore. Saat mereka berjalan menyusuri koridor panjang, Lita bertanya kepada Tinasha dengan takut-takut, “A-apakah kamu benar-benar bisa mengidentifikasi siapa yang membuat ramuan itu? Dan apakah ada jejak yang bisa Kau lihat? Aku tidak dapat mendeteksi apapun...”
“Tidak heran Kau tidak bisa. Ini jenis racun yang tidak dapat dikenali tanpa pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Ada beberapa jenis ramuan yang tidak meninggalkan jejak. Jika Kau mulai dengan curiga bahwa itu mungkin salah satunya, Kau kurang lebih bisa menebak. Pernahkah Kau mendengar tentang maseira?” "Hah? Apa?" Lita tergagap.
Doan menjawab dengan datar. “Tidak. Apakah itu ramuan yang digunakan si pembunuh?”
“Kurasa itu mungkin saja, meskipun aku tidak bisa mengatakan dengan pasti sampai melakukan penelitian yang lebih mencukupi,” kata Tinasha sambil mengangkat bahu.
Mereka mencapai lorong dengan jendela hantu yang dirumorkan. Lita berlari, jelas ingin menyelesaikan tugas mengerikannya dengan cepat.
"Ya-yang mana itu?" dia bertanya-tanya dengan keras, berlari dari satu kaca jendela ke kaca jendela lain dan menyentuhnya.
Tinasha dan Doan berjalan di belakangnya dan memeriksa. Ada sekitar seratus jendela di koridor panjang itu, dan Doan membutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk memeriksa seluruhnya. Dia menghela nafas, sedikit kelelahan, dan kembali ke Tinasha. “Sepertinya tidak ada apa-apa di sini.” "Tidak ada, memang tidak ada," dia setuju.
“B-bisa saja kamu hanya melihat hantu di malam hari?” Lita menimpali, yang telah bergabung kembali dengan mereka.
Doan merenungkan itu. Memang tidak banyak rumor tentang melihat hantu di siang hari. Namun, itu dengan asumsi hantu itu sejak awal memang ada.
Doan, yang tidak percaya pada hal-hal semacam itu, hampir menunjukkannya dalam ekspresinya betapa merepotkannya dia menemukan ini, tetapi dia berhati-hati untuk menyembunyikan perasaan itu di depan Tinasha. “Kalau begitu kita akan mengelilingi jendela di malam hari. Kami akan meminta para prajurit untuk melihat dari luar, sedangkan Lita dan aku akan mengurus bagian dalam....”
“A-aku?! Aku lemah dengan hantu ... Oh wow, perutku. Itu sangat menyakitkan."
Doan menatapnya dengan dingin sambil memegangi perutnya. Senyum geli bermain di bibirnya, Tinasha menyela. "Yah, itu bisa tidak aman bagi wanita di malam hari, jadi kamu bisa meminta salah satu pria untuk menggantikanmu jika ada yang tidak keberatan."
Doan memikirkan kata-kata tuan putri cantik itu dan mengangguk. Lita sepertinya tidak akan banyak membantu, bahkan jika dia ikut. Akan lebih bijaksana membawa orang lain. “Baiklah, kalau begitu kita akan melakukannya. Aku akan memberi tahumu jika kami menemukan sesuatu.”
"Tolong lakukan, terima kasih," kata Tinasha, dan dia berpisah dari mereka untuk mampir sebentar di ruang kerja sebelum kembali ke kamarnya.
__________
Pada tengah malam, Doan dan sesama mage Kav berpatroli di jendela, seperti yang telah mereka lakukan sejak satu jam setelah makan malam. Sejauh ini tidak ada yang aneh. Melihat ke luar hanya mengungkapkan lampu obor yang berkedip-kedip yang dibawa oleh para prajurit yang sedang berpatroli. Doan menghela nafas kecil. “Kurasa itu hanya rumor.”
“Tapi putri Tuldarr bilang seseorang memakai ramuan, kan? Dia memiliki mantra yang bisa menentukan siapa yang membuatnya sungguh luar biasa. Aku ingin tahu apakah dia akan mengajarkannya kepada kita...,” renung Kav.
“Normalnya, Tuldarr tidak akan membiarkan rahasia semacam itu bocor ke negara lain,” jawab Doan, mengingat kembali Tinasha. Dia memiliki kecantikan yang menakutkan dan kecakapan sihir. Namun dia bukan putri raja. Jadi, siapa dia? Apakah mengundang wanita misterius yang telah tidur di bawah kastil ke Farsas merupakan ide yang bagus?
"Dia tidak mungkin penyihir wanita, kan...?"
Tidak ada yang tahu usia atau wajah dari tiga penyihir wanita di negeri itu. Dia tidak ingin berpikir bahwa Tinasha bisa saja merupakan salah satu dari mereka, tetapi dia juga tidak bisa mengesampingkannya saat ini.
Doan melirik ke luar jendela.
Saat itulah ledakan teredam terdengar.
"Apa itu tadi?!"
Mereka merasakan dampak dari gelombang ledakan yang menembus dinding kastil, dan kedua mage itu saling bertukar pandang.
Kastil Farsas, yang telah terlelap, dengan cepat terbangun dalam aktivitas panas.
___________
Sesaat sebelum Doan mendengar ledakan, Tinasha sudah beranjak tidur.
Kamar tidurnya yang luas rapi dan teratur, dengan sedikit barang. Bermacam-macam buku mantra berjajar di setengah rak buku di sepanjang dinding, dan peralatan sihir menempati ruang kosong.
Di atas meja di dekat jendela, cahaya bulan menyinari tiga botol sampel yang dia pinjam dari lab.
Tirai kasa ditarik di sekitar tempat tidur kanopi di bagian belakang ruangan. Oscar telah meminta mereka untuk dibuat menyerupai yang digantung di tempat tidur di bawah istana Tuldarr.
Cahaya pucat bulan mengalir masuk dari jendela. Lubang telah retak untuk memungkinkan angin sepoi-sepoi masuk, dan seseorang diam-diam mendorongnya terbuka dari luar.
Seorang penyusup masuk, langkah kakinya teredam. Penyusup itu melirik ke tempat tidur untuk memastikan Tinasha tertidur, lalu mengambil botol-botol di atas meja. Setelah memverifikasi isinya, penyusup itu menghela nafas lega. Dia menyimpan botol-botol itu dan meletakkan tangan di jendela.
Tapi sebelum sempat mengambil langkah, penghalang yang tidak bisa ditembus muncul di dibelakang jendela.
Pada saat yang sama, lampu di ruangan itu berkedip-kedip.
“Kau sangat mudah ditebak. Kau seharusnya mencoba pendekatan yang lebih cerdas,” sembur wanita itu dengan jijik.
Penyusup itu tersentak kaget dan berbalik menghadap tempat tidur, di mana Tinasha sebenarnya tidak tertidur. Dia sedang duduk di kasur, menyilangkan kakinya saat dia menyibakkan tirai. Senyumnya tidak sampai ke matanya saat dia berkata, "Aku akan mendengarnya jika ada yang ingin kamu katakan."
Kepalanya miring dengan polos ke satu sisi, tetapi matanya sedingin es.
Di sebelahnya ada wanita lain yang tampaknya muncul entah dari mana. Meredina, seorang perwira kemiliteran, menghunus pedangnya dan mengarahkan pandangannya pada si penyusup.
“Mage Lita, aku ingin kamu menjelaskan apa yang terjadi di sini,” Meredina menuntut sambil mengarahkan ujung pedangnya ke si penyusup.
_______________"Pelakunya salah satu penyihir kita sendiri?" Oscar menuntut konfirmasi.
“Kemungkinan besar,” jawab Tinasha cepat.
Sebelum kembali ke kamarnya, Tinasha mampir ke ruang kerja untuk memberi tahu inti situasinya kepada Oscar. Jari gadingnya memijat pelipisnya. “Aku pikir maseira adalah racun sihir yang digunakan untuk membunuh dayang itu. Aku pikir penggunaannya punah sejak lama, terlebih di sini, jadi aku terkejut saat mengetahuinya.”
“Apa maksudmu dengan 'terlebih di sini'?” tanya Oscar.
“Maseira memiliki sejarah di Tuldarr. Empat ratus tahun yang lalu, itu bertanggung jawab atas beberapa pembunuhan berantai, dan gejalanya hampir sama dengan yang dialami korban kita di sini. Segera, setelah korban meninggal karena keracunan maseira, bintik-bintik hitam terbentuk di kulit kepala mereka, tetapi rambut seseorang dapat membuatnya sulit dikenali. Ada juga mantra tertentu yang bisa digunakan untuk menghilangkan semua jejak maseira di tubuh,” Tinasha menjelaskan.
"Ada ramuan yang bisa melakukan semua itu ?!" Oscar berseru, matanya melebar. Dia belum pernah mendengar ramuan semacam itu, bahkan dari mage istana.
Tinasha tersenyum tipis. “Memang ada. Tetapi sebagai gantinya, akan menyisakan sedikit mantra yang digunakan untuk menghapus sisa-sisa racun, karena sihir itu meng-overwrite maseira. Meski begitu, itu sangat kecil dan tidak akan terlihat mematikan. Jadi, siapa pun yang memeriksa tubuh akan mengabaikannya. Ini metode yang sangat licik.”
“Dengan begitu jika seseorang memakai mantra untuk menyembunyikan racun, artinya itu pastilah mage istana,” pungkas Oscar.
“Tepat,” Tinasha menegaskan dengan anggukan.
Oscar bersandar di sandaran kursinya dan menghela nafas. Jika Tinasha tidak ada di sini, semua masalah ini akan dianggap kematian misterius.
Terlihat pucat, Lazar memotong. "Si-siapa yang akan melakukan sesuatu seperti itu?"
“Aku punya ide bagus, dan kurasa aku akan segera tahu dengan pasti. Sebelumnya, aku memberi tahu para mage bahwa aku tahu metode untuk mengidentifikasi siapa pun yang membuat ramuan sihir itu. Peracun kita ini akan datang untuk membunuhku atau merebut sampelnya,” kata Tinasha sambil tersenyum cerah.
Rahang Lazar jatuh. Oscar menghela napas putus asa. "Apakah kamu bodoh ...?"
"Apa?!" Tinasha berteriak, merasa terhina.
“Aku memercayaimu dan mengirimmu dalam kasus ini, dan ini yang terjadi. Kita sudah bukan lagi mencoba sesuatu karena tidak ada salahnya—namun masuk ke ranah gagasan yang benar-benar mengerikan,” komentar Oscar.
"Kamu benar-benar akan mengatakan itu di depanku ?!" Tinasha keberatan, marah. Sayangnya, itu benar, jadi dia tidak bisa memberikan bantahan lebih jauh.
Dengan susah payah, Oscar menekan keinginannya untuk menceramahinya tanpa henti. “Apa yang terjadi biarlah terjadi. Jika si peracun datang malam ini, cari seseorang untuk bertukar tempat denganmu.”
“Aku tidak bisa bertukar tempat dengan siapa pun. Sihirku unik, dan seorang mage mungkin saja menyadarinya,” katanya.
“Kalau begitu bawa seorang pengawal! Ini tidak bisa ditawar lagi!” Oscar bersikeras, suaranya meninggi karena mencela.
"Fiiine," kata Tinasha, merajuk. Wanita muda itu menegakkan tubuh dan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Dilihat dari sikapnya yang kurang ajar, dia sangat mungkin terbiasa ditegur. Dia seperti anak bandel.
Dalam hati, dia tanpa ragu menjulurkan lidahnya pada Oscar. Dia melihat ke Tinasha dan meletakkan dagunya di satu tangan. Lalu sebuah pertanyaan muncul di benaknya. “Tunggu, jika kamu dapat mengidentifikasi siapa yang membuat ramuan itu, tidak bisakah kamu menangkap mereka dengan cara itu?”
“Ah, sebenarnya aku tidak bisa. Tidak ada cukup jejak dalam ramuan itu sendiri. Sebaliknya, aku hanya memasang jebakan,” jawabnya.
“Wow…,” gumam sang pangeran, kehabisan akal. Dia mengira Tinasha sulit untuk ditangani, tetapi dia bahkan lebih dari sekadar pekerjaan daripada yang diantisipasi.
Didikan macam apa yang menyebabkan dia masih bersikap seperti ini di usianya? Oscar memiliki firasat yang berbeda bahwa dia akan menjadi mainannya. Setelah menyadari bahwa dia mulai melamun tentang Tinasha, dia merengut. “Jaga kewaspadaanmu. Kau melacak seorang mage istana.”
Mata gelap Tinasha dipenuhi dengan keheranan atas peringatan yang ditambahkan dengan tergesa-gesa itu, dan kemudian dia tersenyum lembut. "Siapa Takut. Aku pewaris takhta Tuldarr.”
Post a Comment