Update cookies preferences

Unnamed memory Vol 4; 3 Tumbuhnya Sayap Kaca

"Ah....!"

Gadis itu terbangun dengan kaget.

Dia melihat sekelilingnya. Ruangan itu masih gelap; pasti sudah tengah malam. Dia memakai tangan untuk menyeka dahinya yang basah dengan keringat.

Saat dia melakukannya, tangan yang jauh lebih besar datang dari sebelahnya dan membelai rambutnya. "Ada apa? Apa kau bermimpi buruk?” "Oscar,,,," bisiknya.

Itu dia, pria yang tiba-tiba muncul di jendelanya suatu hari. Dia yang mengaku berasal dari empat ratus tahun di masa depan. Meskipun dia tinggal bersamanya, rasanya sudah lama sekali dia tidak melihatnya. Gadis itu begitu kewalahan sehingga dia tidak bisa berbicara.

Dia melihat ke bawah ke tubuhnya yang kecil dan remaja. “Kurasa... aku bermimpi aneh. Tempat dimana kamu pergi....” “Apa? Aku masih di sini," kata Oscar.

"Ya...."

Dia ada di sana bersamanya, sebagaimana mestinya.

Lalu mengapa dia merasa sangat cemas? Tinasha tidak dapat mengeluarkan dirinya dari mimpi samar itu, dan Oscar tersenyum lembut padanya. "Ya, benar. Aku disini. Kau harus kembali tidur.”

“Oscar...”

Dia membuka tangannya, dan Tinasha kembali berbaring di pelukannya. Dia memejamkan matanya, berharap dengan sungguh-sungguh untuk tidak melupakannya bahkan dalam mimpinya. "Tetaplah bersamaku. Jangan pergi ke mana pun saat aku tidur.”

“Aku tidak akan pergi. Kau bisa tenang,” dia meyakinkan, menepuk punggungnya dengan nyaman, berirama. Kedengarannya seperti detak jantung, dan itu membuai Tinasha kembali ke tidur nyenyak. Dia tidak ingin tidur; dia tahu bahwa jika kesadarannya menghilang, dia akan kembali ke dunia tanpanya. Sayangnya, Tinasha tidak berdaya untuk menolak panggilan kelelahan.

Kelopak matanya sangat berat sehingga dia tidak bisa membukanya, dan Oscar membisikkan sesuatu seperti lagu pengantar tidur padanya. “Apapun yang terjadi, aku akan melindungimu.”

Tidak ada keraguan bahwa dia telah menepati janjinya.

Tinasha terbangun, seorang diri di ranjangnya.

________________

Lampu-lampu kota berkelap-kelip dari balik jendela kastil sangat indah.

Kegelapan kebiru-biruan mewarnai langit malam; Tinasha menatap pemandangan itu dengan sedikit kesepian di matanya.

Pemandangan itu adalah Tuldarr, tanah airnya. Malam tidak terlalu berbeda diantara negara, tetapi tidak seperti Farsas, Tuldarr memiliki lampu sihir dengan setiap warna yang tergantung di sudut jalan.

Tinasha memikirkan sesuatu dan menyatukan kedua tangannya dengan lembut, lalu menghembuskan napas ke dalamnya.

Ketika dia menarik jari-jarinya, semburan cahaya keemasan mengalir darinya. Seketika, itu mengalir dari jendela yang terbuka ke langit gelap. Tinasha menyaksikannya pergi dengan penuh kerinduan.

Kemudian seorang pria muda berbicara dari belakang. "Apa yang kamu lakukan?"

“Lampu-lampu kota sangat indah, ku pikir aku akan menambahkan sedikit warna,” jawabnya, berbalik untuk melihat Legis, pangeran Tuldarr. Dia memiliki rambut pirang terang dan perawakan ringan yang memancarkan bangsawan. Tinasha ingat bagaimana garis suksesi Tuldarr telah berubah mengikuti garis keturunan daripada sekedar kekuatan. Suasana aneh menyelimuti dirinya.

Dia menatapnya dengan saksama, dan Legis tersenyum. "Apaan itu? Apa ada sesuatu di wajahku?”

"Tidak. Aku hanya memikirkan berapa banyak hal yang telah berubah, ”jawabnya.

Tinasha telah kembali ke Tuldarr untuk mengumpulkan beberapa bahan untuk keperluan analisis kutukannya, tetapi mencarinya memakan waktu cukup lama. Pada akhirnya, para keluarga kerajaan mendorongnya untuk bermalam.

Karena berada di sana, Tinasha mengambil kesempatan untuk menjelajahi istana. Terlepas dari sejarahnya yang panjang dan terbentang, ada beberapa hal yang telah berubah dalam empat abad.

Salah satu perbedaannya adalah bahwa sayap terpisah tempat dia menghabiskan masa kecil dan awal masa remajanya telah dirobohkan dan dibangun ulang sebagai bagian sebenarnya kastil. Setelah mendengar ini, Tinasha merasakan rasa kehilangan yang tidak berwujud.

Rasa sakit yang perlahan menyebar di hatinya tidak berasal dari kehilangan tempat di mana dia menghabiskan sebagian besar masa mudanya.

Itu karena kenangan singkat dimana dia bersamanya bersemayam disana.

Tentu saja, Tinasha bisa melihatnya lagi setelah kembali ke Farsas. Namun, dia masih menyimpan kenangan itu sebagai hal yang berbeda dan berharga.

“Nark dan aku sekarang satu-satunya yang tahu siapa dia...,” gumamnya, menutup matanya sebelum mata itu sempat menangis.

Hari-hari yang dia habiskan bersamanya empat ratus tahun yang lalu setelah dia muncul entah dari mana, tidak terlalu penting atau panjang. Mereka hanya bertahan selama mereka melakukannya karena butuh waktu lama untuk menyelamatkannya. Seandainya Tinasha mematuhinya dan segera meninggalkan Tuldarr bersamanya, kemungkinan besar dia akan menghilang lebih cepat.

Dia berhasil tinggal bersamanya sampai dia menghadapi tragedi tertentu. Jika itu bukan keberuntungan, lantas apa namanya?

Tinasha ingat bahwa setelah dia menghilang, dan dia menyeret dirinya kembali ke kamarnya, dia menemukan Nark dan menangis. Bukan Nark yang menggunakan bola sihir, dan naga itu tidak ikut menghilang karena terpisah dari Oscar, tuannya. Oscar meninggalkan Nark untuk Tinasha, dimana saat itu dia sendirian.

Naga yang dibawa Oscar dari jauh di masa depan ini sekarang menjadi satu-satunya saksi akan sebuah cerita yang telah hilang. Nark tidak akan pernah berbicara sepatah kata pun tentang itu, dan Tinasha tidak keberatan.

Tinasha tiba-tiba teringat di mana dia berada dan memaksakan senyum. “Sangat aneh berada di waktu yang berbeda. Aku sedang berbicara dengan Mila tentang bagaimana eraku sendiri sekarang disebut Abad Kegelapan.”

“Kurasa nama itu diberikan karena itu adalah periode perang yang mengerikan. Untungnya, Tuldarr selamat dan bertahan hingga hari ini. Itu berkatmu,” jawab Legis.

“Kamu terlalu banyak memujiku. Aku hanya ratu selama lima tahun,” kata Tinasha.

“Meski begitu, kamu telah bertahan selama empat ratus tahun dalam tidur sihir. Meskipun secara teori itu mungkin, aku hanya bisa menghitung dengan satu tangan jumlah mage yang mampu melakukannya,” kata Legis.

“Pastinya karena tidak banyak orang yang berpikir untuk mencobanya. Jika pikiranmu tidak memiliki tujuan yang kuat saat mencobanya, Kau hanya akan tersesat,” Tinasha menjelaskan, dengan beberapa derajat cemoohan dalam hati.

Sebuah tujuan kuat. Apakah dia memilikinya?

Yang Tinasha miliki hanyalah perasaannya padanya.

Seberapa besar keinginannya untuk meraih tangannya di malam itu ketika dia menghilang? Dia telah memilih untuk menghabiskan waktu empat ratus tahun dengan menunggu untuk mendapatkannya lagi.

Tipuan takdir kejam macam apa ini yang memberi seseorang semacam itu takhta untuk kedua kalinya?

Emosi Tinasha kuat dan rumit saat dia balas menatap Legis. Dia memutuskan untuk bertanya langsung padanya tentang sesuatu yang ada di pikirannya. "Maafkan aku karena mengorek, tapi apakah Kau tidak memiliki dendam padaku karena tahta kembali kepadaku begitu aku bangun?"

Jika semuanya berjalan sesuai rencana, Legis, anak tunggal dan putra mahkota, akan menjadi raja berikutnya. Secara alami, dia tumbuh besar dengan mengharapkan dan mempersiapkan kemungkinan itu. Bagaimana perasaannya tentang Tinasha merebut itu darinya?

Untuk sesaat, mata Legis melebar dan bulat. Lalu dia tersenyum lembut. “Aku tidak terlalu tertarik untuk posisi itu sejak awal. Jika roh mistik adalah simbol Tuldarr, maka wajar saja jika orang yang mewarisinya harus menjalankan negara.” “Aku... mengerti,” jawab Tinasha.

“Aku tak mengatakan apapun tentang siapa Kau. Aku tidak punya keluhan sama sekali. Jika Kau sibuk memikirkan penobatanmu, aku lebih suka jika Kau tertarik padaku,” Legis mengaku terus terang.

Tinasha tersenyum tipis, menyadari bahwa niatnya adalah agar dia tidak terlalu khawatir. Dia sadar bahwa, sebagai seseorang yang datang dari jauh, dia berbeda dari yang lain. Tinasha telah menerima itu sejak awal. Bukannya dia melakukan semua ini untuk dicintai Oscar. Dia ada di sini untuk membantunya.

Dia tidak akan menjadi istri yang telah hilang darinya. Sebaliknya, Tinasha fokus pada kemampuannya.

Tinasha tersenyum ketika dia mengingat kembali masa lalu yang jauh.

Ekspresi cantik dan sedikit sedih di wajahnya sama cemasnya dengan anak kecil.

____________

Saat dia mengerjakan setumpuk dokumen Festival Aetea yang akan datang, Oscar mengusap bahunya yang kencang.

Dia berhasil keluar untuk berolahraga sesering mungkin, akan tetapi sejak perdana menteri terdahulu —pamannya— meninggal, dan Oscar mengambil alih pekerjaannya, semua menjadi sangat sibuk. Ayah Oscar sejak awal tidak pernah menyukai dokumen, dan dia dengan senang hati memberikan semua itu kepada putranya. Meskipun sang pangeran menganggapnya sebagai pengalaman yang baik, itu terkadang menjengkelkan.

Terlebih lagi, dia baru saja mendapatkan sumber kemarahan baru.

Tuan Putri cantik yang Oscar bawa pulang dari Tuldarr tampaknya sengaja menghindarinya, mungkin karena dia membuatnya marah selama insiden wyvern tempo hari.

Meskipun Oscar memang cenderung hilang kesabaran setiap kali dia berinteraksi dengan wanita yang tidak bisa dia hadapi ini, dia merasa sama tersinggungnya karena dia menghindarinya. Kemarin, dia bahkan kembali ke Tuldarr untuk mengambil beberapa buku.

“Jika Tinasha tidak ingin melihatku, dia bisa tinggal di Tuldarr,” gumamnya, lalu merengut begitu mendengar kata-katanya sendiri.

Dia memiliki banyak hal yang ingin dia katakan padanya, akan tetapi mengingat posisi mereka, dia tidak bisa terlalu keras. Saat ini, Tinasha adalah satu-satunya yang bisa melawan kutukan penyihir wanita itu.

Jika Oscar setidaknya bisa mengenal Tinasha lebih baik, dia mungkin bisa mentolerir perilakunya. Sayangnya, dia tidak berusaha untuk meraih tangannya.

Oscar mengingat kegelapan di matanya—bola indah itu seperti sesuatu yang keluar dari mimpi. Mata itu membuatnya kesal, seolah-olah Tinasha selalu menatap sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain.

Dia memiliki pemikiran samar mengapa mata itu sangat mengganggunya, tetapi dia sengaja berusaha untuk tidak memikirkannya. Dia lebih baik tidak mendekati itu. Sangat cocok baginya untuk menarik garis di antara mereka, terutama karena dia adalah tuan putri negara asing.

Saat itu, ada ketukan di pintu, dan Lazar masuk. "Yang Mulia, apakah sekarang waktu yang tepat?" "Apa itu?" Oscar bertanya.

“Kami menerima petisi dari pemilik toko di selatan kota. Rupanya, seseorang memercikan darah hewan di jalanan. Dengan festival yang akan datang, mereka ingin kita meningkatkan patroli.”

“Insiden aneh lagi, ya? Saat ini ada banyak orang yang keluar masuk negara ini, jadi sebaiknya lakukan penyelidikan. Aku harap ini hanya lelucon, karena jika bukan, itu bisa mengganggu,” gerutu Oscar.

“A-apa alasan melakukan hal semacam itu selain lelucon?” tanya Lazar.

"Entahlah... Mungkin seseorang dilecehkan,” usul Oscar, melempar tebakan acak. Namun, Lazar meninggalkan ruangan tampak seolah-olah dia sendiri yang dilecehkan.

Ditinggal sendirian, Oscar mengistirahatkan dagunya di satu tangan. “Haruskah aku meminta para mage memeriksa ini?”

Non-mage tidak akan memiliki ide bagus tentang apa yang mungkin berhubungan dengan sihir. Mempertimbangkan bahwa salah satu festival terbesar tahun ini akan segera tiba, menyingkirkan segala sesuatu yang mencurigakan adalah hal yang bijak.

Saat Oscar menulis beberapa dokumen tambahan, dia kembali memikirkan Tinasha.

Mungkin mata gelapnya memantulkan sesuatu yang orang lain tidak bisa mengerti.

Jika dia bergabung dalam penyelidikan, apakah dia akan mengungkap sesuatu?

Terlepas dari renungan itu, Oscar selesai menulis form resmi tanpa menanyakan apa pun tentang wanita itu.

________________

Satu pekan setelah kembali dari Tuldarr, kehidupan Tinasha menjadi serangkaian perjalanan bolak-balik antara kamarnya dan ruang kuliah.

Secara keseluruhan, analisis kutukannya mengalami kemajuan positif, meskipun itu jauh dari cepat. Jika terus begini, dia mungkin selesai sebelum tenggat setengah tahun yang diberikan.

Pada saat yang sama, dia bekerja untuk mengisi kesenjangan empat ratus tahun dalam pengetahuan sihirnya melalui serangkaian buku dan pelajaran. Perjalanan edukatif yang tak lekang oleh waktu ini, mewarnai kehidupan sehari-hari Tinasha. Jika bukan karena kutukan Oscar, dia mungkin menghabiskan setiap saat dengan terjaga bersembunyi di perpustakaan.

Suatu hari, Tinasha menghadiri kuliah tentang pengantar sihir seperti yang sering dia lakukan. Dia bangkit dari bangkunya setelah itu berakhir ketika seorang wanita di sebelahnya memanggil.

“Maaf, tapi aku dengar Kau bisa mengidentifikasi pembuat ramuan sihir. Benarkah?" tanya seorang wanita berambut pirang bernama Sylvia, tampak tertarik.

Tinasha tersenyum dan menegaskan, “Benar. Kau mungkin juga menemukan orang lain di Tuldarr yang mampu melakukannya. Namun, mantranya sulit, jadi tidak mudah untuk diajarkan.”

Sylvia menghela nafas heran, matanya menatap ke kejauhan, terpesona. “Aku ingin belajar di Tuldarr suatu hari nanti, tapi itu cukup sulit... Um, kapan pun kamu bebas, bisakah kamu memberi tahuku lebih jauh tentang itu?”

"Tentu saja, jika Kau setuju dengan itu," kata Tinasha, memberikan persetujuan siap.

Mata Sylvia berbinar, dan segera dia melontarkan dua atau tiga pertanyaan pada Tinasha. Berdasarkan sifat pertanyaannya, Tinasha menyimpulkan bahwa Sylvia adalah pengguna sihir yang sangat kreatif. Di atas kemampuannya sebagai mage istana, dia memiliki daya cipta yang fleksibel yang sangat menarik. Terkesan, Tinasha menjawab semua pertanyaan lain wanita itu.

Setelah dia merasa puas, Sylvia tersenyum ramah. “Ngomong-ngomong, Putri Tinasha, apa yang akan kamu lakukan di festival?” "Hah? festival apa?” Tinasha berkata tanpa mengerti.

Mata Sylvia melebar. “Oh, benar, Tuldarr negara ateis. Di Farsas, kami menggelar perayaan akbar untuk menghormati dewa utama kami, Aetea! Ini diadakan di seluruh kota, dan semua orang di kastil telah sangat sibuk membuat persiapan untuk sementara waktu sekarang! Tiga hari lagi!"

"Sangat sibuk...? Aku tidak tahu.....,” gumam Tinasha.

“Oh, dan karena semua kesibukan festival, mulai besok tidak ada kuliah,” Sylvia memberi tahu.

"Aku akan menjadi satu-satunya yang hadir!" seru Tinasha, merasa malu dengan gagasan itu.

Saat Tinasha menutupi pipinya yang memerah, Sylvia tersenyum polos. “Karena kamu akan berada di sini untuk itu, mengapa kamu tidak menikmati perayaan dan melihat-lihat semua yang ditawarkan perayaan itu? Sejujurnya, aku ingin menunjukkannya sendiri padamu, tetapi tiba-tiba aku dimasukkan ke dalam daftar patroli..."

"Tiba-tiba? Apakah seseorang menukar shift?” tanya Tinasha.

"Tidak. Beberapa hari yang lalu, seseorang memercikkan darah di gang sepi, dan mereka masih belum menangkap siapa yang melakukannya. Aku harap itu hanya lelucon. Tetap saja, demi keamanan, mage diminta untuk berpatroli,” jelas Sylvia.

“Apakah karena itu mungkin terkait dengan kutukan terlarang?” Tinasha bergumam, suaranya turun satu oktaf.

Namun, Sylvia tidak menyadarinya. “Dulu, rupanya hal semacam itu sering terjadi. Seperti orang yang menggunakan darah hewan untuk mencemari susunan sihir sebelum menggunakannya...”

“Itu tidak berpengaruh signifikan. Yang jadi masalah adalah jika orang semacam itu menjadi-jadi dengan memakai manusia sebagai katalis,” kata Tinasha.

Jenis sihir yang dikenal dengan kutukan terlarang secara universal melibatkan pengorbanan manusia dan membawa petaka.

Abad Kegelapan khususnya, saat nyawa manusia dianggap sepele, melihat sejumlah usaha kutukan terlarang yang menjijikkan. Jadi, Tuldarr bekerja keras menghilangkan penggunaan kutukan ini.

Tinasha tersenyum, mata gelapnya menyipit. “Panggil aku jika terjadi sesuatu. Aku akan segera datang.”

"Apa? Ini tidak seserius itu sampai-sampai kita perlu repot! Kuharap tidak begitu...,” kata Sylvia, menundukkan kepalanya dengan canggung. Dia mungkin mengingat kasus pembunuhan baru-baru ini.

“Ya... aku tertarik dengan festivalnya, tapi aku akan tetap di rumah di kastil. Aku pikir seseorang akan marah jika aku keluar,” kata Tinasha, meringkuk saat mengingat ekspresi tersinggung Oscar.

Keduanya tertawa terbahak-bahak secara bersamaan.

_________________________

Hari perayaan itu, Oscar telah menyelesaikan semua pekerjaannya saat senja.

Meskipun dia tahu segunung laporan pasca-festival akan menumpuk begitu selesai, untuk saat ini dia bebas.

Dulu, dia sering menyelinap keluar dari kastil dan pergi bersenang-senang di kota. Tetapi sekarang setelah dia dewasa, kesenangan itu telah memudar. Secara umum, dia tidak berani pergi, atau bahkan mengatur pengawalan.

Pangeran itu meninggalkan ruang kerjanya dan menuju kamar untuk menghabiskan waktu. Dalam perjalanan, dia melihat seseorang di balkon melihat ke kota.

Rambut hitam panjangnya menari-nari tertiup angin. Rasanya sudah lama sejak dia melihat kulit pucat dan kecantikan langkanya.

Sorot matanya saat dia menatap ke kejauhan tidak berubah sejak pertama kali dia bertemu dengannya. Namun sekarang ada semacam kerinduan yang murni dan kekanak-kanakan di mata itu.

Tinasha tampak seperti gadis yang tumbuh terkunci di kastil, merindukan dunia luar. Saat dia mencuri pandang padanya dari samping, Oscar ragu-ragu untuk sesaat. Atau mungkin itu hanya terasa seperti itu.

Memutar untuk menuju ke balkon, dia menepuk bahunya. "Apakah kamu ingin pergi ke kota?"

Tinasha terkejut, menatapnya. Keheranan memenuhi matanya. “Ah, er… aku tidak keberatan, tapi menonton dari sini cukup menyenangkan.”

"Oh? Jadi begitu? Jangan menyiksa diri sendiri, kalau begitu. Ikutlah," Oscar bersikeras singkat, melangkah kembali ke lorong dan berangkat. Gaya berjalannya jauh lebih cepat daripada Tinasha, karena tinggi badannya, dan dia harus berlari untuk mengejarnya.

“Ah, um...,” dia tergagap.

"Jalan terus. Jika kita berpisah, Kau tidak akan bisa kembali,” katanya dengan angkuh.

“Ke mana tepatnya kita akan pergi?!” Tinasha berteriak, namun terbujuk untuk mengejarnya.

_____________

Hari festival Aetea adalah hari libur khusus di Farsas. Orang-orang dari seluruh penjuru negeri, dan bahkan beberapa dari negeri lain, berkumpul di kota. Semua orang menikmati suasana pesta, bernyanyi, minum, dan menari. Confetti menghujani dari atap toko-toko pedagang yang berjajar di jalan-jalan, berkilauan di langit biru.

Keriuhan itu sendiri sudah cukup untuk membuat siapa pun merasa pusing dan mabuk. Seorang ibu muda yang memegang erat tangan anaknya yang masih balita berjalan di sepanjang parit yang mengelilingi kastil. Dia memeriksa anaknya berkali-kali di sepanjang jalan, tetapi kerumunan orang tiba-tiba menabraknya, dan dia tersandung. Terlalu cepat, dia kehilangan cengkeraman tangan putranya.

“Oh...,” katanya, sedikit berteriak. Merasa terbebas, putranya sangat bersemangat. Darah mengalir dari wajahnya saat dia memperhatikannya. Wanita itu tahu dia harus menangkapnya dengan cepat, tetapi ada sangat banyak orang sehingga dia tidak bisa melewati kerumunan dengan cepat. Dia berhasil melihatnya sekilas melalui celah dalam gelombang orang yang bersuka ria—dan melihatnya mengintip ke dalam parit.

Dia membuka mulutnya untuk meneriakkan namanya, tetapi saat itu, seorang pemabuk yang lewat menabrak bocah itu, dan tubuh mungilnya terguling ke parit.

"TIDAK!" jerit wanita itu, tetapi seorang pria muda sudah meraih anak itu.

Dia mengulurkan tangannya dan menarik anak itu ke atas. Sang ibu bergegas menghampirinya. “T-terima kasih banyak!”

"Hati-hati," pemuda itu memperingatkan sebelum pergi. Saat dia melihatnya pergi, wanita itu memiringkan kepalanya, merasakan perasaan aneh bahwa dia pernah melihatnya di suatu tempat sebelumnya.

___________

Oscar berkelok-kelok dengan cepat melewati kerumunan, dan Tinasha mengawasinya saat dia mengikuti. "Oscar, apa ini benar-benar baik-baik saja?" "Pekerjaanku sudah selesai, jadi tidak apa-apa," jawabnya.

Mereka berdua telah berganti pakaian lebih kasual, dan mereka menerobos kerumunan. Di sekeliling mereka, orang-orang sangat menikmati festival, jadi tidak ada yang peduli dengan mereka. Omong-omong, beberapa orang mungkin bisa mengenali siapa dia jika mereka melihat lebih dekat.

Pewaris takhta menyelinap keluar dari kastil dengan Tinasha di belakangnya. Oscar tiba-tiba berhenti dan membeli beberapa kue kering dari warung pinggir jalan terdekat. Itu dibuat dengan mencampur tepung dan air, lalu menambahkan irisan buah ke dalam adonan dan memanggangnya. Itu hanya terlihat di Farsas pada hari libur. Oscar menyerahkan yang terbungkus kertas dan berkata, "Ini, coba ini."

“Terima kasih,” jawab Tinasha sambil menggigit. Rasa manis namun asam lapisan gula yang melapisi bagian luarnya meleleh di lidahnya. Itu memiliki rasa yang lezat dan asing, dan dia tersenyum polos dan alami.

Oscar menatap Tinasha sementara dia menyeringai sangat polos. Akhirnya, dia merasakan tatapannya padanya dan melihat dari kue, bingung. "Apa itu? Jangan bilang ini semacam jebakan?”

"Apa yang akan aku dapatkan dengan memasang jebakan untukmu?" dia membalas dengan datar.

“Pengalihan dari kekhawatiran kehidupan sehari-hari, mungkin....”

“Jangan salah paham, aku ingin, tapi sayangnya Kau seorang keluarga kerajaan negara tetangga kami,” Oscar mengingatkan.

“Aku sangat menyesal tentang itu. Kau harus menunggu kesempatan berikutnya,” kata Tinasha dengan tenang, lalu menggigit kuenya lagi. Dia menyandang status keluarga kerajaan dan bisa mengalahkan lawan dengan kemampuan magenya, namun pada saat ini, dia adalah gadis biasa. Penampilan, kepribadian, dan kekuatannya semuanya tidak seimbang.

Kesan Oscar tentang Tinasha selalu berubah, dan dia mendapati dirinya tidak dapat berpaling darinya. Tiba-tiba, sang pangeran tersentak kembali ke akal sehatnya dan mengerutkan kening.

Awalnya, dia membawanya dari kastil murni karena dia ingin mengajak tamu asing itu berkeliling kota. Dia juga ingin menunjukkan rasa terima kasih dan memberinya waktu istirahat, mengingat semua pekerjaan yang dia lakukan secara teratur untuk menghilangkan kutukannya. Tidak ada yang lebih dari itu, sungguh. Setidaknya, seharusnya tidak ada.

"Ayo pergi. Aku akan membawamu berkeliling,” kata Oscar, menawarkan tangan. Itu semua hanya sopan santun dasar, akan tetapi senyum dengan cepat mekar di wajah Tinasha. Dia meraih tangannya dengan penuh semangat, tidak repot-repot menyembunyikan perasaannya yang murni untuknya dalam tatapannya. Kegembiraan wanita muda itu membuat Oscar sangat bingung.

Namun, dia meredam emosi itu dan melangkah, menyamai kecepatan berjalan Tinasha. Dia praktis melompat di sisinya, mengunyah kue kering.

Dengan wanita cantik di belakangnya di tengah keriuhan yang ramai, Oscar tidak diragukan lagi menjadi pelanggan yang ideal bagi pemilik stan. Dia menepis panggilan dan teriakan dari tribun yang mereka lewati dan terus berjalan sampai dia berhenti di depan stan yang menjual hiasan rambut. "Apakah kamu ingin aku membelikanmu sesuatu?"

Pertanyaan itu datang murni dari dorongan hati. Tinasha mengenakan jubah mage Tuldarr hari demi hari, dan Oscar tidak pernah melihat perhiasan apa pun pada dirinya. Dia tetap terlihat cantik, tentu saja, tapi dia memang ingin melihatnya dalam sesuatu yang berbeda sesekali, demi keragaman. Namun, tidak ada yang bisa mengakuinya, karena dia tahu Tinasha akan menyarankan mereka untuk menikah jika dia melakukannya.

Mata Tinasha menjadi sangat lebar karena keingintahuannya yang berubah-ubah... Tapi seketika itu, dia menggelengkan kepalanya. "Terima kasih. Tapi kamu sudah melakukan banyak hal untukku setiap hari, jadi itu benar-benar cukup jika kamu membawaku keluar untuk melihat-lihat kota.”

Dia sama sekali tidak memiliki keserakahan; itu terlihat dari pernyataannya. Namun Oscar memperhatikan bahwa, pada saat yang sama, dia meremas tangannya sedikit lebih erat.

Itu mungkin tindakan yang tidak disadari. Saat Tinasha berjalan di sampingnya, dia menghela nafas lega.

Apa yang bisa dia khawatirkan, meskipun dia mage yang sangat kuat? Terkadang dia tampak gelisah seperti anak hilang. Dan bagian terburuknya adalah dia tampaknya sama sekali tidak menyadarinya. Jika Kau bertanya padanya, dia hanya akan tersenyum dan berkata, "Aku baik-baik saja."

Oscar mengawasinya dengan mata menyipit, akan tetapi dia tetap tidak sadar dan ikut menikmati pemandangan festival. Tiba-tiba, Tinasha sepertinya mengingat sesuatu, dan matanya melebar. “Oh, tapi jika kamu akan mengabulkan permintaanku, bisakah kita pergi melihat tempat yang pernah kudengar ini?”

"Dari siapa? Di mana?" Oscar bertanya. Ada banyak tempat terkenal di kota kastil Farsas, termasuk air mancur indah dan lonceng putih yang dikabarkan akan mengabulkan permintaan. Oscar membayangkan banyak tempat seperti itu yang ingin dikunjungi seorang gadis.

Tinasha memerah, tampak sedikit malu. "Tempat di mana darah hewan berceceran."

“...”

Dengan susah payah, Oscar tetap tenang dan tidak meneriakkan jawaban marah yang ada di ujung lidahnya. Dia hanya bertanya dengan singkat, "Mengapa kamu ingin melihat tempat seperti itu?"

“Aku dengar mereka tidak menangkap siapa pun yang melakukannya dan berpatroli di daerah itu. Aku ingin memeriksa apakah ada jejak yang tertinggal, hanya untuk memastikan,” jawabnya.

"Itu bukan tugasmu," katanya datar.

"Tapi itu menggangguku!" dia memprotes dengan keras kepala.

Tinasha benar-benar sangat susah ditangani. Tidak ada yang lebih menyebalkan daripada menemaninya.

Tapi karena dialah yang membawanya keluar dari kastil, dia harus bertanggung jawab untuk itu. "Fine. Dekat kok.”

"Terima kasih!"

"Juga, kau benar-benar mengecewakan sebagai seorang wanita," tambah Oscar. "Darimana itu?! Apakah itu caramu untuk mengalihkan perhatian?” seru Tinasha, tetapi sang pangeran mengabaikannya. Meskipun permintaannya tidak biasa, dia bisa menangkap semacam petunjuk jika dia melihat TKP. Jika itu akan memuaskannya untuk saat ini, maka itu baik-baik saja

Oscar memimpin Tinasha dan berbelok ke sudut gang. Tidak banyak orang yang berkeliaran di jalan belakang yang berjajar dengan pintu belakang ini, meskipun dengungan dari festival masih terdengar. Oscar mengangkat tangan casual ke prajurit yang berjaga di salah satu ujung gang. “Apakah ada yang terjadi?”

“Ya-Yang Mulia?! Tidak, tidak ada yang khusus,” jawab prajurit yang bingung, melirik dengan rasa ingin tahu pada wanita yang menemani putra mahkotanya. Dia tidak peduali dengan penjaga, bagaimanapun, menyelinap melewatinya.

Tinasha berhenti di depan tempat yang tertutup noda hitam dan melihat sekeliling. "Apa ini yang dimaksud? Tampaknya itu tersebar cukup luas untuk sebuah lelucon.”

“Berdasarkan volume darah, mereka pikir sapi atau kuda yang digunakan,” Oscar memberitahunya.

“Akan sulit membawanya kesana....,” renung Tinasha, menatap tanah. Oscar tahu dia sedang berkonsentrasi dari cara pupil matanya melebar seperti kucing. Orang-orang yang lalu lalang berhenti sejenak untuk melongo karena penasaran, dan mereka yang tinggal di rumah-rumah di dekatnya menjulurkan kepala mereka dari jendela.

Semakin banyak orang mulai berkeliaran, menyebabkan cemberut menodai paras menawan Oscar saat dia bersandar ke dinding. Dia terus merasakan tatapan mata padanya. Pelariannya dari kastil mungkin harus segera berakhir.

Tepat saat dia menegakkan tubuh, Tinasha meliriknya. "Terima kasih sudah membawaku, tapi tidak ada apa-apa di sini."

"Tidak ada apa-apa? Sungguh?"

“Tidak ada, secara sihir. Aku minta maaf karena telah menyebabkan masalah bagimu,” wanita muda itu melaporkan, berlari kembali. Terpikir oleh Oscar bahwa Tinasha mungkin menipunya seperti terakhir kali, tetapi tampaknya tidak seperti itu. Para prajurit penjaga membungkuk kepada pangeran mereka saat dia dan tamunya keluar dari gang untuk terjun kembali ke jantung festival.

Saat mereka menavigasi kerumunan, Tinasha bertanya, "Menurutmu mengapa seseorang melakukan itu?"

“Itu mungkin hanya dagelan. Kami tidak punya petunjuk lain yang mengindikasikan sebaliknya. Selain itu, sekarang setelah aku melihatnya secara langsung, aku menyadari itu terjadi cukup jauh di gang itu,” jawab Oscar.

“Ada orang yang melakukan hal-hal aneh. Mungkin seseorang yang memiliki obsesi yang tidak biasa dengan darah hewan,” usul Tinasha.

“Aku benar-benar tidak suka tebakan semacam itu, jadi hentikan saja. Bagaimanapun juga, izinkan aku menunjukkan kepadamu lebih banyak lagi. Jika Kau ingin menjadi ratu, Kau perlu berkeliling dengan layak ke ibu kota tetanggamu.”

“Aku menghargai sikap itu, tapi aku heran bagaimana Kau seakrab itu dengan kota ini. Aku pikir, secara umum, keluarga kerajaan hampir tidak pernah meninggalkan kastil. Apakah Kau secara teratur menyelinap keluar dari—? Aduh!" Tinasha menangis, kesal saat Oscar menarik pipinya pelan.

Tinasha menebaknya dengan tepat, akan tetapi Oscar melanjutkan seolah-olah dia tidak bertanya apa-apa. “Karena kita sudah di sini, aku akan membawamu ke menara pengintai. Dari sana pemandangannya bagus.”

Sejak dia masih kecil, Oscar telah memanjat menara pengintai di benteng pinggir kota setiap kali dia ingin menyendiri.

Melihat keluar dari sana memberinya sensasi kebebasan sekilas, meskipun juga menegaskan kembali pentingnya beban yang ada di pundaknya.

Seorang wanita biasa mungkin tidak akan memikirkanya, tetapi Tinasha adalah sesama pembuat kebijakan politik, jadi dia mungkin memiliki kesan yang berbeda. Oscar melirik dan melihatnya menatap burung-burung kertas yang terbang di langit. Dia berbalik untuk tersenyum padanya. Ekspresinya begitu bersinar hingga melampaui cahaya matahari. “Aku tidak sabar untuk melihatnya. Terima kasih."

Suaranya sejelas denting lonceng, dibumbui dengan rasa kemandirian fana.

__________

Post a Comment