Di suatu masa, penyihir disebut iblis dan menerima penindasan dan menderita kesengsaraan.
Sebuah negara yang dibangun oleh penyihir mengubah seluruh roda nasib pengucilan mereka.
Itu adalah Kekaisaran Sihir Tuldarr.
Pelindung penyihir dan penangkal kutukan terlarang,
Dengan dua belas roh mistik mereka, Tuldarr mengangkat penyihir kuat untuk menjadi penguasa selama beberapa generasi.
Dalam sembilan ratus tahun sejak didirikan, negara ini masih berdiri sebagai negara paling misterius diantara semua negeri.
1. Silent Song
Darah mengalir ke genangan air yang sangat besar hingga membuatnya bertanya-tanya bagaimana tubuhnya bisa menampung cairan sebanyak itu.
Dia sudah mati rasa karena rasa sakit dan tidak bisa memahaminya. Dia telah merapal mantra anestesi tetapi tidak yakin apakah itu berpengaruh.
Saat semuanya menjadi samar, dia mengangkat kepalanya.
Cahaya rembulan menerangi pemandangan mengerikan di halaman kastil. Pohon-pohon taman terkoyak; lubang raksasa menghiasi tanah. Deretan tiang batu roboh seluruhnya. Salah satunya setengah hancur berkeping-keping, dan Tinasha merosot ke bagian yang tersisa.
Itu adalah pemandangan yang membawa petaka, seperti amukan badai ganas. Namun, halaman itu sepenuhnya sunyi. Itu karena pemenang yang jelas telah muncul, dan sekarang Tinasha harus memutuskan apa yang harus dilakukan dengan saat-saat terakhirnya. Dia melihat ke bawah ke tubuhnya, yang sebagian terpotong.
“....Karr... Mila....,” katanya, memanggil roh mistiknya. Namun tidak ada yang menjawab. Sudah seperti itu untuk sementara waktu. Seorang pria memaksa kedua belas roh untuk menyerah. Setidaknya, Tinasha berharap mereka masih hidup. Dia adalah tuan mereka, dan jika dia mati, kedua belas roh itu akan bebas. Bahkan mungkin mereka bisa melarikan diri. Pikiran itu melegakan.
Tinasha menarik napas gemetar, mencium aroma darah.
“Oscar....”
Mengucapkan namanya dengan lantang membawa rasa perih yang menusuk hatinya. Air mata menggenang di matanya, dan dia menggigit bibirnya.
Tiba-tiba, seseorang muncul di depan Tinasha. “Siapa yang kau panggil? Apakah Kau masih memiliki seseorang yang datang untuk menyelamatkanmu?” seorang pria bertanya sambil mencibir. Dia adalah orang yang telah mengalahkan Tinasha dan rohnya dengan kekuatannya yang luar biasa.
Dia memilih untuk melakukannya tanpa motif atau alasan. Menghancurkan mereka di bawah tumitnya terdengar menyenangkan, jadi dia melakukannya.
Dia seperti personifikasi kematian.
Tinasha tertawa lemah. "Tidak ada yang datang untuk menyelamatkanku... Orang yang aku panggil tidak ada saat ini."
Oscar, yang telah menyelamatkannya ketika dia masih kecil, tidak ada di mana pun. Dia menghilang—harga karena memilih untuk menyelamatkannya. Dalam lima tahun sejak itu, Tinasha telah memerintah negaranya dengan cermat…hanya untuk sampai pada akhir yang mengerikan ini sekarang. Wanita itu dipuji sebagai ratu terkuat, tetapi pada akhirnya ada seseorang yang bahkan lebih hebat darinya.
Bibirnya melengkung membentuk senyum mencela diri sendiri, dan pria itu menatapnya dengan curiga. “Tidak ada saat ini? Apa artinya itu?"
“Apa gunanya menjawabmu? Aku hanya mengenang diri sendiri,” katanya, menutup matanya sambil menarik napas dalam-dalam.
Senyum mengembang di wajah pria inhuman menawan itu melihat dia dalam keadaan yang sangat rendah. "Katakan padaku. Aku datang ke sini untuk bermain denganmu. Kita di sini bersama-sama sekarang, jadi coba hibur aku.”
Dia tidur.
Dia terus tidur. Sangat, sangat lelap dan tanpa mimpi.
Dia mendengar rerumputan bergoyang—dan gerai arus sungai kecil.
Bagian dari taman mini ini tetap tidak berubah tidak peduli berapa lama waktu berlalu. Terus ada, seperti surga rahasia.
Bukan, bukan surga—bagian dari fantasi.
Sebuah kotak baginya untuk terus bermimpi, terkunci rapat dan tidak dapat disentuh oleh siapa pun.
Jadi untuk saat ini, dia hanya tertidur dalam kehampaan, sampai saatnya tiba untuk memulai kembali.
Menunggu sosok itu. ________________________
Ini adalah kunjungan pertamanya ke negara ini. Pemandangannya memiliki semacam kilau yang tidak dia kenal.
Dinding putih dari toko-toko dan rumah-rumah di jalanan tidak terlalu luar biasa dengan sendirinya, tetapi pemeriksaan lebih dekat mengungkapkan bahwa sigil dan tanda sihir diukir di muka bangunan, pelat pintu, dan papan nama. Jendela-jendela toko yang menghadap ke jalan tidak dilapisi dengan kaca, tetapi dengan air yang tipis dan tembus cahaya. Karena penasaran, dia mengulurkan tangan untuk menyentuh salah satunya dan menyaksikan jari-jemarinya sendiri menyelinap menembusnya. “Itu benar-benar air. Menarik sekali."
“Di negara ini, lebih murah menggunakan alat sihir yang bisa memasang film air daripada kaca tembus pandang,” mage laki-laki yang menemaninya menjelaskan, meringis saat pemuda itu mengeringkan jemarinya yang basah.
Pemuda itu menjulurkan leher untuk melihat sekeliling. “Tuldarr, negara sihir...”
Orang-orang yang berjalan di jalan utama mengenakan pakaian yang bisa ditemukan di meja pajangan negara tetangga mana pun. Namun, untuk setiap sepuluh warga, ada satu orang yang mengenakan jubah yang terbuat dari bahan sihir yang menjadi ciri khas negeri ini. Jika semua yang mengenakan pakaian semacam itu benar-benar mage, itu berarti Tuldarr adalah rumah bagi lebih banyak penyihir daripada negara lain mana pun.
Pemuda itu penuh dengan rasa ingin tahu. Di belakangnya pelayannya berjalan dengan susah payah, seorang teman masa kecil. Berbeda dengan pemuda yang bersemangat tinggi, orang ini tampak murung dan putus asa. “Aku tidak merasa baik tentang ini, yang mulia...."
"Apa yang salah? Dan kau tahu aku tidak suka dipanggil seperti itu.”
"Jangan membicarakan hal-hal sepele seperti itu sekarang," gerutu pelayan yang sudah lelah itu. Pria muda itu berbalik untuk melontarkan tatapan putus asa kepada temannya.
Pada usia dua puluh satu, dia adalah putra mahkota Negara Adidaya Farsas. Tubuhnya yang proporsional, tinggi, dan penampilan menawannya secara alami menarik perhatian; orang-orang yang lewat di jalan telah menoleh ke belakang untuk beberapa saat sekarang.
Dingin dan tenang, sang pangeran menjawab, “Kamu bersikeras agar kita tidak pergi ke tempat tinggal para mage, jadi kita datang ke sini. Bisakah Kau mencoba bersikap tidak terlalu keras?”
“Ya, aku memang mengatakan itu! Tapi kenapa kamu membawa Akashia? Apa yang akan terjadi jika ada yang mengartikanya sebagai tanda permusuhan?”
“Aku hanya ingin membawanya. Demi keamanan,” jawab sang pangeran datar.
Pelayannya menundukkan kepalanya, sedih, dan seorang mage menepuk pundaknya. “Menyerah saja, Lazar. Kita sudah di sini.”
“Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi....,” rengek Lazar. Kemudian dia melihat ke atas dan melihat sebuah istana kerajaan yang dibangun dari batu pualam.
Mereka berada di Tuldarr, negara yang dikenal sebagai Kekaisaran Sihir yang membanggakan diri memiliki teknologi dan kekuatan yang superior.
Untuk menyamarkan status kerajaannya, sang pangeran hanya mengenakan pakaian casual. Dia menepuk dadanya. "Ya, benar. Kita punya surat pengantar yang ku minta dari ayahku.”
“Kamu seharusnya mengatakannya lebih cepat! Aku pikir kita menerobos masuk tanpa pengantar sama sekali!” seru Lazar.
“Yah, benar. Aku baru memutuskan untuk datang ke sini kemarin,” sang pangeran mengaku.
Lazar tersentak. "Setidaknya kita harus membuat janji terlebih dahulu!"
Mengabaikan dua teman yang terjebak dalam interaksi mereka yang biasa, mage yang pergi bersama mereka menuju gerbang kastil dan berbicara dengan seorang penjaga. Setelah beberapa saat, mereka tampaknya mencapai kesepakatan, dan dia berbalik. “Yang Mulia, kita telah diberi izin. Ayo masuk."
“Terima kasih, Doan,” kata sang pangeran.
“Aku memiliki sedikit pengaruh di sini...,” jawab Doan, yang pernah belajar di luar negeri di istana kerajaan Tuldarr untuk belajar sihir. Meskipun itu dua tahun yang lalu, dia tetap tahu banyak hal di sini, itulah sebabnya dia dipilih untuk ikut.
Setelah membungkuk kepada tuannya, Doan mengambil tempat di belakangnya. Matanya menatap sang pangeran, dia bergumam dengan suara rendah, "Aku harap ini membantu dengan satu atau lain cara.....”
Doan teringat kisah kutukan pangeran yang dia dengar dalam perjalanan ke sini. Sebuah kutukan menakutkan yang telah ditempatkan pada pangeran oleh seorang penyihir wanita.
"Kau dikutuk untuk tidak pernah memiliki keturunan."
Pangeran adalah putra tunggal, dan sihir jahat yang menyelubunginya membuat setiap wanita yang mengandung anaknya mati sebelum melahirkan. Seolah itu belum cukup buruk, penculikan anak yang meluas telah melanda Farsas lima belas tahun yang lalu, membuat kerajaan tidak memiliki pewaris langsung dalam garis keturunan kerajaan. Membiarkan kutukan itu sama saja dengan menerima matinya garis keturunan kerajaan.
Dalam lima belas tahun terakhir, tidak ada metode yang ditemukan untuk memecahkan kutukan itu. Mereka jelas bertanya-tanya apakah Tuldarr mampu melakukan hal ini.
Memang Tuldarr unggul di atas negara lain mana pun dalam semua hal sihir. Namun, itu dalam hal negara secara keseluruhan. Pada tingkat individu, bahkan raja Tuldarr tidak dapat dibandingkan dengan salah satu diantara tiga penyihir wanita. Fakta yang menunjukkan betapa kuat ketiganya. Mereka adalah petaka hidup. Satu-satunya cara untuk menghindari petaka yang disebabkan oleh salah satu dari mereka adalah tidak pernah terlibat dengan mereka sejak awal.
Tetap saja, Doan tidak bisa menahan diri untuk tidak bergantung pada sedikit pun harapan, karena berurusan dengan penyihir wanita artinya adalah keputusasaan.
Meskipun kedatangan mereka tiba-tiba, Raja Calste dari Tuldarr segera menunjukkan salah satu aula kepada mereka.
Itu kemungkinan besar karena surat pengantar, yang datang dari raja negara tetangga.
Calste menyambut para tamu dengan senyum cerah. Dia kira-kira berusia sebaya dengan raja Farsas dan jauh lebih muda dari para penguasa negara lain. Dia memiliki sikap lembut dan wajah lembut yang memancarkan kecerdasan.
Setelah mendengar kutukan itu, wajah Calste menjadi gelap saat dia menatap sang pangeran. “Aku mengerti inti dari situasinya. Aku harus memberi tahumu bahwa tidak semua kutukan dapat dipatahkan.”
Calste meluncurkan penjelasan singkat tentang cara kerja kutukan. Kesimpulannya adalah mustahil membatalkan kutukan yang ditempatkan oleh seorang perapal mantra pada tingkat penyihir wanita.
Sementara Lazar tampak pucat pasi, sang pangeran menyimak dengan ekspresi tenang. Seolah-olah dia akan berkata, Kalau begitu, ayo mampir ke tempat penyihir wanita.
Doan menekan pelipisnya, merasakan sakit kepala menghampirinya.
Calste mengakhiri pelajarannya tentang heksa dengan sungguh-sungguh. “Dan secara teori bisa dibayangkan jika kau memiliki anak dengan seorang wanita yang memiliki kekuatan sihir yang sangat kuat, dia mungkin bisa tetap bertahan saat melahirkan.” "Jadi begitu. Aku akan mempertimbangkannya,” sang pangeran menjawab dengan mudah.
Calste tampak lebih sedih tentang hal itu daripada sang pangeran, akan tetapi kemudian raja memperhatikan pedang panjang yang dipegang Lazar. Matanya melebar. "Apa itu…?"
“Ya, aku sangat menyesal. Aku selalu membawanya. Ini pedang Akashia, pedang yang d wariskan secara turun temurun di Farsas,” jawab sang pangeran.
Lazar memelototi temannya yang dengan jelas mengatakan Ini sebabnya aku menyuruhmu meninggalkannya di rumah, tetapi sang pangeran sepenuhnya mengabaikannya.
Setelah Calste merenung sebentar, dia sepertinya mencapai semacam keputusan dan bangkit. “Aku tidak bisa berbuat apa-apa tentang kutukan itu, tapi mungkin ada solusinya. Tetap saja, kemungkinannya rendah...”
Ketiga orang Farsas itu saling bertukar pandang dengan bingung, tidak yakin dengan apa yang dia maksud.
Raja menuntun mereka lebih dalam ke kastil, di mana rombongan itu kemudian menuruni beberapa anak tangga.
Akhirnya, mereka sampai di lorong bawah tanah yang panjang. Setelah berjalan cukup lama, mereka tiba di aula batu besar. Ruang berbentuk oval yang luas berisi cincin sebelas patung.
Doan melihat sekeliling pada patung-patung, yang tidak menyerupai manusia atau binatang, dan kemudian tersentak kagum. “Tidak mungkin… Apakah ini roh mistik Tuldarr?”
"Benar. Roh-roh yang tidak dipekerjakan raja ada di sini dalam bentuk patung. Aku malu untuk mengakui bahwa selama seratus tahun terakhir, tidak ada penguasa yang mampu menggunakan roh, termasuk aku sendiri. Dulu, mage terkuat Tuldarr memerintah negara, tapi sekarang tahta diwariskan melalui garis keturunan kerajaan, dan sihir raja tidak lagi luar biasa,” jelas Calste dengan senyum mencela diri sendiri. Dia membicarakannya dengan sangat sederhana untuk seorang penguasa. Mungkin dia memiliki rasa rendah diri tentang kemampuannya sendiri.
Merasa agak canggung, Doan mengangguk sambil menghitung jumlah patung. “Bukankah ada yang hilang?” dia berbisik.
Sejak Tuldarr didirikan, selalu ada dua belas roh mistik untuk dipanggil oleh keluarga kerajaan. Namun hanya ada sebelas patung di ruangan itu. Jika raja tidak memakainya, lantas ke mana perginya roh kedua belas?
Doan diam-diam memikirkan hal ini, tetapi berpikir dia benar-benar tidak bisa mengorek lebih dalam. Sementara itu, Calste terus masuk lebih dalam. Dia melewati bagian tengah ruangan dan pergi ke sebuah pintu di bagian paling belakang.
Itu persis berlawanan dengan yang mereka masuki. Kecil dan tempa dari batu putih, tanda sihir rumit terukir di depannya.
Raja Tuldarr berbalik untuk berbicara kepada ketiga orang Farsas. “Ini sejauh yang bisa aku tunjukkan. Tidak ada yang melampaui titik ini dalam waktu yang sangat lama sekarang.”
“Ah... Kenapa begitu?” tanya Oskar.
“Aku tidak yakin. Aku hanya bisa mengatakan itu karena tidak ada yang diundang. Oleh karena itu, solusi untuk kutukanmu mungkin juga terdapat di luar titik ini,” kata Calste samar, yang membingungkan pangeran Farsas. Dia memeriksa untuk memastikan Akashia terikat di pinggangnya.
Karena raja telah menuntun mereka ke pintu ini setelah melihat Akashia, ada kemungkinan terpasang jebakan sihir berbahaya ada di depan.
Pemilik pedang kerajaan, satu-satunya senjata di seluruh negeri yang mampu menetralisir semua sihir, melirik Calste dengan sedikit keraguan. “Aku minta maaf, tapi mengapa kamu berbuat sejauh ini untuk kami? Meskipun kutukanku memang serius, ini adalah masalah negara asing.”
Calste tersenyum lemah sebagai jawaban atas pertanyaan blak-blakan sang pangeran. Bergerak selangkah ke sisi pintu, dia menatap tanda-tanda rumit. "Itu pertanyaan yang bagus. Jika Kau dapat melewati titik ini, negara kami juga dapat menuai keuntungan. Singkatnya, apa yang terjadi setelahnya dapat menguntungkan kita berdua.”
Apa yang raja katakan tampaknya cukup masuk akal, akan tetapi ada beberapa lubang dalam alasannya. Meskipun sang pangeran mempertahankan kecurigaannya, dia mengangguk dan langsung menuju pintu.
Pada akhirnya, satu-satunya cara untuk mengetahui apakah ini sepadan adalah dengan mencoba.
Rasa penasaran terusik, sang pangeran menekan pintu putih itu. Shock ringan mengalir kedalam telapak tangannya.
Tapi segera menghilang, seperti salju yang mencair.
Pintu membuka sisa jalan dengan sendirinya, dan dia melangkah masuk tanpa ragu-ragu. Lazar dan Doan bergegas mengikuti tuan mereka.
Namun, dinding tak terlihat menahan mereka.
"Apa?!"
“Aduh...”
Lazar terjatuh di belakangnya, sementara Doan goyah tetapi tetap berdiri. Pangeran mereka berbalik untuk melihat mereka dengan mata terbelalak. "Apa yang kalian berdua lakukan?"
“Apa yang kami lakukan? Apakah Kau tidak merasakan apa-apa, Yang Mulia?” balas Lazar.
Pangeran melewatinya tanpa masalah. Doan mengulurkan tangan dengan hati-hati untuk menyentuh penghalang antara dirinya dan pangerannya. Benar saja, ada kekuatan tak terlihat di sana yang mencegah siapa pun masuk tanpa izin.
“Aku tidak melihat mantra apa pun di sini... Itu pasti penghalang sihir,” Doan menyimpulkan.
“Kupikir begitu,” gumam Calste, kegelisahannya sedikit terlihat di wajahnya. Dia menatap pria di seberang pintu. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi berhati-hatilah."
"Aku akan mengingatnya," kata sang pangeran, sebelum mulai menyusuri koridor panjang. Semakin menjauh dia dari pintu, semakin gelap jadinya.
Setelah beberapa saat, dia akhirnya melihat setitik cahaya di kejauhan dan tiba di pintu baru. Sama seperti pintu lain, itu terbuat dari bahan pualam dan diukir dengan tanda.
Sambil memegangi Akashia, sang pangeran mendorong pintu hingga terbuka. Cahaya terang tumpah ke lorong.
Menyipitkan matanya melawan cahaya yang menyilaukan, dia akhirnya menyadari bahwa dia berada di ruang yang lebih besar dan lebih luas dari ruang patung.
Langit-langitnya sangat tinggi, dan tidak ada perabotan di ruangan persegi yang luas itu.
Di tengahnya, seekor naga merah raksasa berbaring meringkuk tertidur di atas batu ubin abu-abu.
“Apaan ini...?” kata sang pangeran, tentu saja terkejut melihat seekor naga menempati setidaknya setengah ruangan. Seolah itu belum cukup luar biasa, seorang gadis berambut merah sedang duduk di atas makhluk itu, membaca buku. Seluruh pemandangan itu jauh melampaui apa yang diantisipasi sang pangeran, dan pria itu berdiri terpaku di tempat dengan takjub.
Gadis itu mengangkat kepalanya, memperhatikan si pengunjung. Warna matanya sama seperti warna rambutnya. Wajah cantiknya tidak sesuai dengan usianya, dan ekspresinya tidak menunjukkan emosi. Sesuatu tentang dirinya tentu saja aneh, dan sang pangeran bertanya-tanya apa itu.
“Hmm, kamu setahun lebih awal. Tetap saja, kurasa jika kamu di sini, itu berarti sudah waktunya,” dia menyatakan, menutup bukunya sebelum menampar kepala naga.
"Nark! Bangun! Aku tidak bisa mengidentifikasi dia!” dia berseru. Merespon tepukannya, naga itu perlahan mengangkat kepalanya. Gadis itu melompat dari punggungnya dengan cara yang menunjukkan bahwa dia tidak berbobot. Kelopak mata naga yang besar terbuka untuk mengungkapkan mata seperti sepasang api yang menatap si pangeran.
"Ah!" teriak sang pangeran, secara refleks menghunus Akashia.
Dia tidak pernah memperkirakan seekor naga akan tidur di bawah kastil. Meskipun dia membawa pedang kerajaan, seluruh tubuhnya menegang saat dia dengan gugup bertanya-tanya apakah dia bisa bertarung di tempat yang tidak memiliki jalan keluar ini.
Setelah menatapnya beberapa saat, naga itu tiba-tiba berkerut. Dalam sekejap, itu menyusut ke ukuran elang dan terbang ke arahnya dengan teriakan penuh semangat.
Sang pangeran mengira dia harus menebas naga itu, tetapi naga itu sama sekali tidak menunjukkan permusuhan. Dengan ragu-ragu, sang pangeran mengulurkan tangan kirinya, dan naga itu menggunakannya untuk mendarat di bahunya. Itu menggosokan kepalanya seperti kucing, dan gadis itu tertawa terbahak-bahak. “Oh, jadi itu benar-benar kamu? Tidak apa-apa, kalau begitu. Lanjutkan."
Seolah menanggapi suaranya, sebuah pintu muncul di dinding di sisi jauh ruangan itu. Pangeran tersentak melihat pintu putih ketiga.
"Siapa kamu?" dia bertanya pada wanita muda yang aneh itu. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
Penampilan dan perilakunya memperjelas bahwa dia lebih dari manusia biasa. Dia hadir di tempat tertutup ini saja sudah aneh, dan sang pangeran tetap merasa sangat waspada.
Gadis itu mengangkat bahu ringan. “Aku hanya seorang penjaga. Siapapun aku bukan masalah, bukan?”
Dia beranjak ke pintu, lalu berlutut dengan gaya teatrikal. "Masuklah. Bagaimanapun, Kau adalah satu-satunya harta karun terbesar di dunia." “Harta terbesar?” ulang sang pangeran.
Semua ini tidak ada yang masul akal. Sang pangeran merasa seolah-olah setiap putaran demi putaran lebih membingungkan daripada yang terakhir.
Tapi seperti naga, gadis itu sepertinya sama sekali tidak menunjukkan permusuhan. Meski masih curiga, dia berjalan ke pintu berikutnya seperti yang diperintahkan wanita muda itu.
Pintu masuk terbuka dengan sendirinya, tanpa banyak sentuhan.
Di baliknya, dia bisa melihat kebun hijau yang rimbun.
"Apa…?"
Cahaya lembut yang masuk tampak persis sama dengan cahaya di atas tanah.
Karpet rumput yang rimbun menutupi ruangan luas itu sejauh mata memandang; itu dihiasi di sana-sini dengan pohon-pohon sarat dengan daun-daun hijau cerah.
Tidak dapat mempercayai matanya, pria itu melangkah maju. Sebuah dinding putih memanjang dari ambang pintu, tetapi dengan cepat menghilang ke dalam flora hijau.
Itu tampak seperti taman yang bisa ditemukan di permukaan, ditangkap di dalam kotak putih.
Pangeran bisa mendengar arus sungai dari suatu tempat tak terlihat. Angin sepoi-sepoi bertiup melewatinya, dan dia bergumam kaget, “Tempat apa ini…?”
Dia akan menganggapnya sebagai ilusi sihir, tetapi nuansa rumput di bawah kaki itu tidak dapat disangkal memang nyata. Angin mendesir kanopi seperti kain kasa di balik pepohonan. Itu jelas sesuatu yang dibuat oleh tangan manusia.
Apakah itu tempat tidur? sang pangeran berpikir dengan ragu, dengan hati-hati menjelajah lebih jauh ke dalam taman.
Saat dia mendekatinya, dia bisa melihat dengan baik untuk mengidentifikasi bahwa itu benar-benar tempat tidur.
Akashia di tangan, dia berdiri di depan benda putih itu. Dengan gugup, dia membuka tirai seperti kain kasa dan kemudian tersentak. Seorang wanita muda tidur di atas seprai.
Dia tampak berusia sekitar delapan belas tahun. Rambut hitam panjangnya yang halus dan mengilap menyebar ke seluruh seprai.
Bulu mata yang panjang memberikan bayangan samar pada kulit putihnya.
Hidungnya mancung dan anggun, bibirnya merah dan mungil. Paras wanita itu sehalus mahakarya pemahat terbaik. Dia sangat cantik.
Ini pertama kalinya sang pangeran melihat seorang wanita yang meninggalkan kesan seperti itu dalam dirinya. Dia merasa kecewa karena matanya tertutup; dia ingin tahu apa warna mata itu.
Pipi wanita itu berwarna gading, tapi tidak merah dan pucat. Dia mengamati wujudnya, ingin tahu apakah dia masih hidup, dan memperhatikan bahwa di balik gaun putihnya, dadanya naik turun.
Menatapnya, sang pangeran duduk di tepi tempat tidur.
Dia tidak tahu apakah dia harus membangunkannya, atau apakah dia akan bangun sendiri.
Namun dia mengerti bahwa tempat ini ada hanya untuknya.
Kalau begitu, mungkin saja dia memegang kunci untuk mematahkan kutukan itu.
Dia bahkan mungkin merupakan wanita dengan kekuatan untuk melahirkan anaknya yang Calste sebutkan.
Pangeran mengulurkan tangan dan menyentuh pipinya. Kehangatan kulitnya melompat ke ujung jarinya.
Dia memberi wanita itu tepukan ringan tetapi menarik tangannya ketika dia melihat bulu matanya bergerak. Sangat perlahan, dia membuka matanya.
Berulang kali, bulu matanya bergerak ke atas dan ke bawah, memperlihatkan mata hitam pekat, warna yang lebih gelap dari malam. Kegelapan seperti jurang. Setelah bola-bola itu berputar, mata itu mendarat pada si pangeran.
Ini mata seseorang dengan kemauan kuat.
Dia sedikit terkejut dengan itu.
Wanita itu merentangkan tubuhnya yang luwes, linglung seolah-olah dia masih bermimpi, lalu menggunakan lengannya untuk menegakkan dirinya di tempat tidur.
Tatapannya tidak pernah lepas dari sang pangeran. Dia tidak tahu harus berkata apa. Hanya melihat kegelapan di matanya telah menjebaknya.
Dia duduk, lalu mengulurkan lengan pualamnya yang lentur ke arahnya. Sang pangeran ragu apakah akan melepaskannya, tetapi dia terganggu oleh betapa bersemangatnya naga di bahunya.
Wanita itu melingkarkan lengan di lehernya, menyandarkan tubuh rampingnya padanya.
“Oscar...,” katanya, suaranya sepanas air mata.
___________
Sementara terpana oleh tubuh hangat yang tiba-tiba di pangkuannya, Oscar lebih terpana karena wanita ini mengetahui namanya. Dia menggunakan satu tangan untuk melepasnya dan memelototinya. "Kamu siapa? Kenapa kau tahu namaku?”
Mata gelapnya melebar sesaat. Sebuah cahaya samar melintas di jurang yang tak terduga itu.
Dia tampak terluka—seperti anak tersesat, seseorang yang sedang mencari rumah yang jauh.
Namun setelah dia berkedip lama dan lambat, kilatan itu sepenuhnya menghilang. Oscar mengerutkan kening pada perubahan halus itu tetapi berpikir bahwa mungkin matanya telah mempermainkannya.
Wanita itu mundur, menarik diri dari genggaman Oscar, dan tersenyum sedikit kesepian. “Kau yang mewarisi pedang kerajaan Farsas, kan?”
"Oh, begitu," kata Oscar, melirik senjata di pinggangnya. Biasanya, raja Farsas adalah satu-satunya di seluruh negeri yang memakai Akashia. Oscar adalah pengecualian karena dia mewarisi pedang kerajaan sebelum menjadi raja, tetapi dia tidak menyembunyikan fakta itu. Melihat pedangnya sudah cukup untuk mengetahui bahwa dia adalah putra mahkota.
"Itu benar-benar... kau," kata wanita itu sambil menghela napas. Oscar menatapnya, dan dia balas menatap, tatapan tak tergoyahkan.
Matanya tak terduga seperti malam. Emosi telah naik ke puncak kolam tinta itu.
Perasaanya sepolos anak-kecil—tapi sangat berat. Tidak ada wanita yang pernah menatap Oscar seperti ini sebelumnya. Tatapannya jauh lebih tulus dan luar biasa. Merasa bahwa jika dia terus menatap matanya, panas di sana akan menular ke dirinya, Oscar menghela nafas yang secara naluriah dia tahan.
Dengan santai, dia mengalihkan pandangan dan bertanya, “Jadi, apa yang kau lakukan di sini? Manusia macam apa yang tinggal di bawah kastil?”
“Oh... aku tertidur. Aku seorang mage, jadi aku memakai sihir....,” jawabnya.
“Kamu butuh sihir untuk tidur? Di Kekaisaran Sihir semuanya jelas aneh,” komentarnya.
“Itu adalah jenis mantra yang dapat mengontrol jam tubuh internalmu saat waktu berlalu. Namun, pria tidak dapat menggunakannya dengan aman, jadi tidak banyak orang yang mempraktikkannya...”
"Aku tidak yakin aku paham, tapi aku mengerti bahwa Kau menggunakan mantra," kata Oscar terus terang, dan wanita itu tersipu senang. Ekspresi itu membuatnya tampak jauh lebih muda darinya.
Menempatkan tangannya di tempat tidur, dia merangkak mendekati Oscar dan menatapnya dengan wajah cantiknya. "Jika kamu di sini, apakah itu berarti saat ini tahun 527 Farsas?" “Tidak, ini 526,” jawabnya.
"Hah? Satu tahun lebih awal?” dia berkomentar.
“Apanya yang satu tahun lebih awal? Aku pikir itu 653 menurut penanggalan Tuldarr. Apakah kamu baik-baik saja?"
"Oh, a-aku baik-baik saja," jawabnya, menekankan tangan ke pipinya yang memerah. Setelah berpikir sejenak, dia bertanya dengan gugup, “Um, apakah kamu menikah dengan orang lain...?”
"Aku belum menikah. Apa maksudmu 'dengan orang lain'? Berapa banyak yang Kau tahu?"
Oscar telah diizinkan sedalam ini ke dalam kastil untuk mematahkan kutukannya, namun jika wanita ini mengajukan pertanyaan semacam itu, maka dia pasti sudah tahu tentang situasinya. Apakah dia menganggap dirinya pengantin yang cocok untuknya?
Sang Pangeran tiba-tiba merasa waspada, dan sebagai tanggapan atas pertanyaannya, wajah wanita itu semakin memerah. “A-aku minta maaf. Aku tidak bermaksud… Itu tidak sopan bagiku.”
"Jangan khawatirkan itu," kata Oscar acuh. Dia pikir semua rona merahnya lucu. Namun, sepertinya pertanyaannya tidak ada hubungannya dengan kutukannya. Terlepas dari keraguannya, dia enggan menunjukkan hal itu langsung di hadapannya.
Wanita itu beringsut turun dari tempat tidur sampai dia berada di sebelahnya, lalu meletakkan kakinya di atas rumput. Dia mencoba untuk berdiri tetapi segera jatuh kembali dan menjatuhkan diri ke posisi duduk.
Terkejut, Oscar membantunya duduk. "Apa yang kamu lakukan? Apakah kamu baik-baik saja?"
“Aku sudah lama tidak berjalan... Tetap saja, otot-ototku belum berhenti berkembang, jadi seharusnya aku baik-baik saja,” dia menjelaskan, tersenyum canggung saat meringkuk pada dirinya sendiri.
Oscar mengembalikan Akashia ke sarungnya, lalu mengulurkan tangan dan mengangkatnya. Dia sangat ringan secara tidak wajar seolah-olah tubuhnya memiliki sayap. “Mau pergi kemana? Sebenarnya, aku belum mendengar namamu.”
Mata gelap wanita itu melebar, dan kemudian dia tersenyum senang padanya. “Namaku Tinasha. Senang bertemu denganmu."
Senyumnya secerah dan seterang bunga—dan menular, saat Oscar juga menyeringai.
________
Post a Comment