Hari ini adalah hari dimana para pendeta abu-abu dan gadis suci akan berangkat ke Hasse. Dua kereta yang disediakan oleh Benno berjejer di gerbang belakang gereja yang menghubungkan ke kota bawah. Semua penghuni panti asuhan telah berkumpul untuk melepas kepergian mereka saat tiga pendeta naik ke satu kereta dan tiga gadis suci ke kereta lainnya. Mark akan berkuda dengan para pendeta abu-abu, sementara Lutz akan bersama para gadis suci.
"Tolong berhati-hatilah, semuanya."
"Terima kasih. Saya akan menjaga pendeta abu-abu anda yang terhormat, Lady Rozemyne,” kata Mark sambil berlutut. Aku membalasnya dengan anggukan, sebagai perwakilan dari panti asuhan, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat ke bahu Mark. Dia dan Lutz menyeringai masam dan mengikuti pandanganku.
Di sana seorang prajurit berlutut. Meskipun telah diberi perintah untuk menjaga para Pendeta dari gerbang timur ke Hasse, Ayah datang ke gereja untuk melihat para Pendeta berangkat dengan kereta mereka. Aku menyapanya juga, nyaris tidak menahan senyumku.
"Aku sendiri akan segera berangkat ke Hasse," kataku. “Ku percayakan penjagaan para pendeta kepadamu.”
“Anda bisa mengandalkan saya,” jawab Ayah, berdiri dengan menyeringai dan menepuk dadanya dua kali. Aku melakukan hal yang sama, lalu menyaksikan keberangkatan kereta.
Aku akan menuju Hasse tiga hari dari sekarang, karena itu adalah waktu minimum yang diperlukan untuk kereta tiba di sana dan mereka semua selesai beres-beres. Seiring berjalannya waktu, aku menghitung dengan jariku berapa hari tersisa sampai aku bisa pergi dan melihat Ayah lagi. “Rozemyne, apakah kamu yakin tentang ini? Aku percaya akan lebih baik bagimu untuk naik bersama Brigitte,” kata Ferdinand dengan ekspresi masam ketika aku membuat highbeastku di gerbang depan gereja. Tetapi aku telah mengambil pelatihanku dengan serius, dan aku sekarang cukup baik dalam mengendarai Lessy sehingga aku akan baik-baik saja.
“Hasse adalah kota terdekat dengan Ehrenfest; jika aku tidak bisa terbang ke sana, maka tidak mungkin aku bisa terbang jarak jauh yang diperlukan untuk Festival Panen. Aku akan bepergian dengan Pandabus demi latihan.”
“Aku setuju bahwa Kau perlu lebih banyak latihan. Tapi..." Ferdinand terdiam, secara mengejutkan menjadi plin-plan tentang hal ini meski dia sendiri telah mengatakan bahwa aku membutuhkan pengalaman praktek.
“Lord Ferdinand,” Brigitte menyela, “jika Anda secemas itu, bolehkah saya menyarankan agar saya menebeng Lady Rozemyne? Karena saya juga pengguna mana, kami bisa melakukan evakuasi dengan highbeastku jika diperlukan. Dengan cara ini, dia akan lebih aman daripada sebaliknya.”
“Benar... Brigitte, apakah kau merasa nyaman melakukan itu?”
“Saya telah menyaksikan perkembangan Lady Rozemyne dengan mata kepala saya sendiri. Saya bisa percaya padanya,” kata Brigitte dengan nada dingin dan percaya diri, tetapi aku dapat melihat bahwa mata amethystnya berbinar. Bagiku dia setidaknya sedikit tertarik untuk mengendarai Pandabus-ku. Dia membuat highbeast-nya menghilang dan berjalan mendekat, jadi aku membuka pintu penumpang.
Ferdinand menunduk kalah saat dia melihatnya. “Jika kamu bersikeras, Brigitte. Aku serahkan dia padamu.”
Brigitte menganggukkan kepalanya dan melangkah ke Pandabus-ku. Aku sendiri masuk ke kursi kemudi dan menutup semua pintu.
“Brigitte, tolong kencangkan (sabuk pengaman)-mu. Tarik ini sampai ke sini dan berbunyi....” Aku menjelaskan, mengenakan sabuk pengaman-ku sendiri untuk menunjukkan. Apapun itu, utamakan selamat. Hanya kursi pengemudi yang diubah agar sesuai dengan ukuran-ku, jadi kursi penumpang di sampingku terlihat sangat besar dan tinggi dari sudut pandangku.
Sambil mengelus sisi tempat duduknya, Brigitte tersenyum. "Ini benar-benar highbeast yang imut."
“Sungguh? Sangat manis, bukan?”
Ferdinand memperlakukannya seperti sesuatu yang aneh, tapi aku tahu Pandabus-ku lucu. Mungkin aku bisa mendiskusikan kelucuannya dengan sesama gadis. Aku menatap Brigitte dengan mata penuh harap, hanya untuk dia tersentak menyesal dan dengan canggung berdeham.
“Ehem! Er, well... maksud saya itu dalam arti bahwa itu cocok untuk anda.”
“Ahahaha. Aku sangat berterima kasih. Sekarang, saatnya berangkat.”
Aku mencengkeram tuas Pandabus, mengalirkan mana ke dalamnya, lalu menginjak pedal gas untuk mengejar highbeast Ferdinand yang sudah terbang. Dia mulai berlari dengan kaki panda merahnya yang kecil dan, ketika aku menarik tuasnya ke belakang, dia mulai melayang di udara.
“Aku tidak pernah mengira seseorang bisa duduk di dalam seekor highbeast. Kursinya sangat empuk dan nyaman, dan menyenangkan bahwa aku tidak perlu berganti pakaian yang dirancang untuk mengendarai highbeast. Kurasa wanita bangsawan mungkin ingin meniru desain ini,” kata Brigitte.
Tampaknya wanita bangsawan yang baik harus berganti pakaian yang dibuat untuk menunggangi highbeast, karena duduk di punggung hewan mengharuskanmu merentangkan kaki untuk mengangkangnya. Tetapi tindakan semacam itu tidak diperlukan untuk menaiki Pandabus.
"Apakah tidak ada kereta ketika highbeast pertama kali dibuat, kukira?"
“Highbeast dibuat dengan gambaran binatang, dan mantranya tidak dilengkapi untuk membuat kereta kuda atau sejenisnya. Konsep mengendarai di dalam hewan itu sendiri jelas baru, dan menurutku itu adalah ide yang sangat bagus.”
Secara retrospektif, aku mungkin tidak akan berpikir untuk mengendarai binatang jika aku tidak tumbuh di dunia anime dan taman hiburan yang penuh dengan wahana binatang. Tapi untuk semua pujian Brigitte, aku tidak bisa merayakan banyak hal. Lagi pula, ide asli di sini jelas bukan ideku.
“Aku tidak yakin apakah itu akan menjadi tren di kalangan wanita, karena Ferdinand terlihat sangat tidak senang dengannya,” aku menceritakan. Kaki Pandabus melambai di udara saat dia mengikuti singa Ferdinand.
Panda merahku sangat lucu. Ehehehe...
Highbeasts kami mendarat di biara. Tampaknya seseorang telah berjaga-jaga, ketika Benno dan yang lainnya segera keluar. Perusahaan Gilberta, para pendeta abu-abu, dan para prajurit yang menjaga mereka semua berlutut.
Aku keluar dari highbeastku dan mengembalikannya ke bentuk feystone, yang kemudian aku tempatkan di sarung yang tergantung di ikat pinggangku. Butuh waktu lebih lama daripada Ferdinand dan Damuel, tapi tetap saja, aku semakin baik.
Setelah itu, aku mengambil setengah langkah di depan Ferdinand. Jika kami bisa melakukan semuanya dengan caraku maka aku akan bersembunyi di belakangnya sebagai gantinya, tetapi aku telah diberitahu bahwa Pendeta Agung tidak pantas berdiri di depan Uskup Agung.
Ferdinand menatap orang-orang yang sedang berlutut, lalu mengangguk. “Kami hargai sambutan kalian. Sekarang, kita akan segera melihat bagian dalam biara.”
Semua orang berdiri. Aku melakukan kontak mata dengan Ayah, yang berdiri di depan para prajurit, dan kami saling tersenyum. Hanya itu yang bisa kami lakukan dengan keberadaa Ferdinand dan yang lain.
“Saya akan mulai dengan gedung putri,” kata Benno, mengambil peran sebagai pemandu saat dia membawa kami masuk. Pintu yang sebelumnya kosong sekarang memiliki daun pintu, dan terdapat kotak untuk meletakkan barang-barang pribadi di samping kasur di lantai. “Tempat tidur pasti siap pada musim dingin. Mengingat kesibukannya, kami memprioritaskan untuk membuat kamar layak huni.”
Aku mengangguk berulang kali; kamar yang layak huni itu penting. Kotak dan kasur adalah semua yang dibutuhkan anak yatim, karena sejak awal mereka tidak memiliki banyak barang pribadi.
“Ruangan ini untuk mengurus dokumen,” lanjut Benno. "Juga terdapat ruangan identik di gedung putra."
Ruang itu telah diatur dengan kursi, meja, dan peralatan tulis. Para gadis suci abu-abu akan ditugaskan untuk menulis dokumen mengenai makanan dan biaya hidup, sedangkan para pendeta abu-abu akan ditugaskan untuk menulis laporan workshop.
Ruang makan hanya memiliki meja darurat yang terdiri dari papan yang diletakkan di atas beberapa kotak; sisanya akan disiapkan di kemudian hari. Para tukang kayu telah menggunakannya saat bekerja di biara, dan tampaknya itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi tempat makan.
Karena hari sudah sore, para prajurit dan Perusahaan Gilberta juga akan bermalam di biara. Itu artinya semua orang akan makan malam bersama, yang menuntut satu atau dua papan tambahan ditambahkan ke meja.
Seperti di gereja, ruang bawah tanah gedung putri adalah dapur, dan dilengkapi dengan panci, wajan logam, dan oven seperti di dapurku. Itu juga memiliki piring kayu dan peralatan makan, jadi makan di sini akan seperti makan di panti asuhan gereja.
“Agak berlebihan untuk dapur panti asuhan, tapi kami melangkah lebih jauh karena kami tahu anda akan berkunjung, Lady Rozemyne.” “Aku sangat berterima kasih kepadamu. Kokiku pasti akan menghargainya.”
Ada jalan keluar di basement gedung putri seperti yang ada di gereja, menuju ke basement gedung putra yang telah dijadikan workshop. Itu memiliki semua alat dan bahan yang diperlukan untuk beroperasi sebagai Workshop Rozemyne. Satu-satunya hal yang absen adalah cetak huruf logam dan printer letterpress, tetapi mengingat bahwa yang terakhir menuntut kekuatan beberapa pria dewasa dan kami sendiri kekurangan personel, untuk saat ini mereka akan fokus pada pembuatan kertas dan pencetakan stensil.
“Kami akan membawa mesin cetak setelah lebih banyak orang yang datang, tetapi untuk saat ini seharusnya cukup untuk mengoperasikan workshop,” kata Benno sambil memimpin kami ke lantai atas.
Kamar-kamar di gedung putra sama seperti di gedung putri—dilengkapi dengan kotak-kotak dan kasur untuk membuatnya layak huni. Tampaknya di sinilah para prajurit dan Perusahaan Gilberta akan tinggal.
“Anak-anak ini yatim dan mereka hidup lebih baik dari kita, ya?” salah satu tentara yang menemani kami menggerutu sambil meringis.
“Kalau begitu, apakah kamu juga ingin menjadi pendeta? Kau tidak akan diizinkan untuk menikah atau meninggalkan gereja, dan hidupmu akan terus-menerus diguncang oleh keinginan para pendeta biru, tetapi jika itu tampak seperti kehidupan yang menyenangkan bagimu, maka kami dengan senang hati akan menyambutmu di biara,” Kataku, tidak bisa tinggal diam.
Mereka tidak tahu apa-apa tentang kondisi anak yatim—dimana mereka terjebak di panti asuhan sampai pembaptisan mereka, mereka dapat dengan mudah ditelantarkan jika tidak dibutuhkan, atau dapat mati jika tidak ada orang yang merawat mereka. Namun, mereka memiliki keberanian untuk mengatakan bahwa mereka menjalani kehidupan yang lebih baik daripada mereka.
Prajurit itu dengan cepat menyadari rasa frustrasiku dan darah mengalir dari wajahnya. Dia berlutut dan berkata, "Maafkan saya, saya tidak bermaksud menyinggung," sebelum melontarkan berbagai alasan.
“Lady Rozemyne, bisa dimengerti mereka akan berpikir demikian setelah melihat bagaimana kami hidup sekarang. Berkat anda dan kerja keras anda di gereja, kualitas hidup kami telah mengalami peningkatan yang sangat drastis. Mereka tidak tahu betapa buruknya hidup kami jika bukan karena anda,” kata seorang pendeta abu-abu, berusaha menghiburku dengan pujian. Sementara itu, aku bisa melihat Ayah dengan bangga mengangguk dengan ekspresi wajahnya yang seolah berkata, “Bukankah putriku luar biasa?”
Jangan hanya mengangguk setuju. Pikirkan tentang prajurit yang gemetar di tanah itu sekarang. Bukankah dia anak buahmu? Pikirku, tapi melihat Ayah bertingkah begitu bangga padaku seperti biasanya meredakan amarahku, dan bahuku segera mengendur.
"Aku pikir Kau berbicara tanpa berpikir, tetapi aku akan memintamu untuk berhati-hati sebelum membuat asumsi yang merugikan orang lain," kataku.
“Saya tidak punya alasan. Itu tidak akan terjadi lagi,” kata prajurit itu dengan nada meminta maaf. Aku telah memaafkannya, dan masalah berakhir di sana.
Selanjutnya adalah kapel. Itu memiliki dua pintu kayu berukir yang mengesankan, yang segera memancarkan aura megah yang diharapkan dari sebuah kapel. Saat para pendeta abu-abu mendorongnya hingga terbuka, aku melihat bahwa lantai yang sebelumnya putih bersih di dalamnya sekarang dilapisi dengan karpet, dan ada sebuah altar di ujung ruangan yang dimaksudkan untuk menyimpan patung-patung para dewa. Kapel itu secara keseluruhan tidak terlalu besar, tapi pasti memiliki suasana yang sama dengan gereja.
“Benno, kapan patungnya siap?” Ferdinand bertanya, melihat ke altar tanpa ornamen.
"Saya diberitahu itu akan memakan waktu satu bulan lagi."
"Jadi begitu. Jadi mereka akan siap tepat waktu untuk Festival Panen. Bagus sekali. Rozemyne, ikuti aku; Sekarang aku akan membuat ruanganmu.”
Ferdinand mengeluarkan feystone, menempelkannya ke dinding setinggi pinggang, lalu membuat schtappe-nya muncul dan mulai merapal sesuatu. Dalam waktu singkat, seberkas cahaya merah mulai meregang dari feystone, memanjang hingga sekitar lima belas sentimeter lebih tinggi dari Ferdinand sebelum membelah menjadi dua dan bergerak ke arah berlawanan.
Setelah tumbuh sedikit lebih lama, pita-pita itu tiba-tiba membengkok pada sudut sembilan puluh derajat dan mengarah lurus ke bawah, lalu membengkok pada sudut sembilan puluh derajat lain tepat sebelum menyentuh tanah. Kedua garis itu sekarang menuju satu sama lain, bergerak sejajar dengan lantai sampai akhirnya menyatu kembali. Akhirnya, cahaya membentang lurus ke atas untuk kembali ke feystone, yang kemudian mulai bersinar dengan intens. Ketika kecerahan memudar, feystone itu tertanam di pintu ke ruang tersembunyi.
“Rozemyne, daftarkan manamu di sini dan bangun kamarmu.”
"Oke."
Aku meletakkan tanganku di atas feystone dan mendaftarkan manaku, seperti yang aku lakukan di ruang tersembunyi di kamarku. Saat itu, itu sangat tinggi sehingga aku perlu menggunakan kursi untuk menyentuhnya, tetapi di sini cukup rendah sehingga aku bisa mencapainya dari tanah. Baru pada saat itulah aku menyadari bahwa Ferdinand telah menyesuaikan ketinggian untuk kenyamananku.
Aku membiarkan manaku mengalir sambil memikirkan kamarku di gereja, dan ketika pintu terbuka menandakan akhir pendaftaran, itu memperlihatkan sebuah ruangan yang tampak berukuran persis sama.
"Kau dapat memesan perabotan dan barang-barang lain yang Kau butuhkan dan membawanya ke sini," kata Ferdinand sambil melihat ke arah Benno dan Mark. Aku mengikuti tatapannya. Mereka tersenyum, tetapi aku dapat melihat di mata mereka bahwa mereka terkejut karena diharapkan melakukan lebih banyak pekerjaan.
Maaf. Aku sangat menyesal.
"Oh ya, dan alirkan mana-mu ke sana sampai warnanya benar-benar berubah," Ferdinand memberi perintah, menunjuk ke batu feystone yang tertanam di dinding belakang ujung kapel.
"Apa itu?"
“Sesuatu yang penting untuk melindungi biara. Selama ini, itu masih berisi mana sejak dibangun, tapi itu tidak akan bertahan sampai musim semi. Melindungi tempat ini adalah salah satu tugasmu.”
Aku terus mengalirkan manaku ke dalam alat sihir perlindungan untuk mengisi dayanya. Aku kira itu butuh satu ton mana untuk melindungi keseluruhan biara, tapi ternyata, jumlah yang dibutuhkan sangat kecil.
Kami kembali mengitari biara dan kembali ke pintu depan; sudah waktunya bagi kami para bangsawan untuk bergegas pergi sehingga semua orang dapat kembali bekerja di biara dan menyiapkan makan malam.
“Kurasa biara ini lebih dari sekadar layak huni,” kataku kepada seorang gadis suci abu-abu, yang menanggapinya dengan tersenyum.
"Ya, saya pikir kami akan baik-baik saja di sini."
“Aku menyarankan kalian semua tinggal di sini sebentar. Jika kalian semua yakin akan baik-baik saja, kita bisa pergi dan membawa anak yatim. Kami akan kembali dalam tiga hari untuk memeriksa situasi. Tolong beri tahu aku jika kalian membutuhkan hal lain,” kataku, memberi masing-masing pendeta dan gadis suci sebuah diptych. Aku meminta Benno untuk mempersiapkannya terlebih dahulu karena itu sangat penting untuk pekerjaan mereka. “Nama kalian terukir di atasnya, yang artinya itu bukan barang umum, tapi milik pribadi kalian sendiri. Anggap mereka sebagai hadiahku kepada kalian atas pekerjaan yang akan segera kalian lakukan di biara ini. Aku harap semoga itu berguna.”
“Kami merasa terhormat.”
Para pendeta, yang mengetahui bahwa hanya pelayanku yang membawa diptych di gereja, menyeringai ketika mereka melihat nama mereka di diptych.
"Lutz, apakah semuanya sudah siap?" Aku bertanya.
“Tentu saja,” jawabnya, sembari memberikan sebuah kantong kain yang mengeluarkan suara dentingan kecil saat bergerak. Aku mengambilnya dan berbalik menghadap para prajurit.
“Terima kasih kalian semua bekerja keras menjaga kami hari ini. Aku tidak bisa membalas banyak, tapi aku berharap untuk mengungkapkan penghargaanku dengan hadiah. Kalian dapat menerima ini tanpa khawatir,” kataku.
Para prajurit jarang pergi ke luar kota, jadi tidak sulit membayangkan bahwa keluarga mereka akan khawatir jika mereka pergi selama berhari-hari berturut-turut. Hadiahku seperti bonus, atau perusahaan yang menanggung biaya perjalanan karyawan. Aku bermaksud meminta mereka untuk menjaga karavan suplai Benno kelak, jadi semakin mereka menyukai kami, semakin baik.
“Mungkin kelak aku meminta kalian untuk menjaga kami lagi. Jika demikian, aku percaya kalian akan melayani kami dengan baik.”
Aku memberi masing-masing dari mereka koin perak kecil, dan akhirnya aku sampai pada Ayah. Menyaksikan yang lain bertukar pandangan serakah dari sudut mataku, aku dalam diam memberinya satu perak besar. "Tolong puji mereka atas pekerjaan mereka," bisikku pelan, dan Ayah membalas dengan tersenyum.
Pada saat itu, aku kembali berbicara kepada barisan tentara. “Aku sekarang harus pergi, tetapi ingat bahwa laki-laki tidak diperbolehkan ke gedung putri dalam situasi apa pun. Aku percaya kalian bukanlah pria bejat yang akan berusaha untuk menaruh tangan pada gadis suci-ku, tetapi penanggungjawab harus berhati-hati untuk menjaga agar orang-orang mereka tetap terkendali. Pelanggar tidak akan ditolerir dalam situasi apa pun,” kataku, memelototi mereka untuk menunjukkan poinku.
Ayah dan Perusahaan Gilberta pasti baik-baik saja, tetapi orang-orang di kota bawah memandang rendah para penghuni panti asuhan gereja. Aku tidak ingin salah satu dari mereka leha-leha begitu aku pergi dan coba mengeluarkan tenaga dengan meletakkan tangan kotor mereka ke para gadis suci. Aku tidak bercanda ketika aku mengatakan bahwa semua gadis suci yang masih berada di panti asuhan adalah bayi, jadi dengan tegas menancapkan kaki demi keselamatan sangatlah penting.
Ferdinand memanggil highbeast, jadi aku mengikutinya dan memanggil Pandabus-ku. Brigitte masuk bersamaku, dan kami berangkat. Itu akan menjadi tiga hari sebelum kami kembali ke Hasse.
__________
Sekembalinya ke Ehrenfest, aku menerima laporan dari Benno dan Ayah, menyelesaikan buku bergambar ketiga yang akan aku cetak (satu berdasarkan Leidenschaft, Dewa Api dan dewa-dewa pengikutnya), dan bertemu dengan Wilma untuk memintanya menggambar ilustrasi. Tanpa kusadari tiga hari telah berlalu. Dengan asumsi para pendeta yang tinggal di biara tidak menerima masalah apa pun, sudah waktunya memikirkan pemindahan anak yatim.
Kali ini, kami akan bertemu walikota Hasse.
“Rozemyne, apakah kamu benar-benar berniat membuat pelayanmu mengendarai benda itu?” tanya Ferdinand, menatap Pandabus seukuran mobil keluargaku yang sedang berjalan—atau lebih tepatnya, terbang— seperti menatap sampah.
"Tentu saja. Makanya dia ini Pandabus,” jawabku, sama sekali tidak terganggu dengan seleranya yang kurang bagus. Pelayanku senang, setidaknya.
“Woah, Lady Rozemyne! Pintunya terbuka begitu saja! Keren abis!"
“Wow, kursinya sangat empuk dan nyaman!”
Gil begitu bersemangat sampai-sampai dia bahkan tidak menyadari bahwa dia telah berhenti berbicara dengan sopan, sementara ketertarikan Nicola yang tiada habisnya pada hal-hal baru menunjukkan dia benar-benar gembira sejak dia mengemasi barang bawaan kami dan naik ke dalam. Fran adalah satu-satunya yang melihat Pandabus dengan ekspresi putus asa dan tekad suram.
"Aku siap untuk bepergian dengan anda sampai akhir hariku, Lady Rozemyne."
“Fran, kamu tidak perlu terlihat seperti akan terjun dari tebing. Ini tidak berbahaya. Brigitte pernah naik untuk menemaniku dan baik-baik saja.”
“Dan saya akan naik lagi. Jangan takut,” kata Brigitte, masuk ke kursi penumpang depan. Fran, menguatkan tekad, mengatupkan giginya dan naik ke kursi belakang.
“Apakah kalian semua sudah memakai sabuk pengaman? Kita akan berangkat,” kataku sebelum terbang. Fran dengan gugup mencengkeram sabuk pengamannya, sementara Gil dan Nicola menjerit kegirangan saat Pandabus melayang di udara.
“Wooah! Tinggi sekali!"
“Lady Rozemyne, kota ini terlihat sangat kecil. Fran, lihat ke luar jendela!”
“Gil, Nicola—kalian tidak boleh berbicara dengan Lady Rozemyne sekarang. Dia harus fokus.” Fran segera memarahi mereka, dan aku hanya bisa tersenyum.
“Fran, aku bisa berbicara sambil mengemudi dengan baik.”
“Tolong jangan. Saya mohon anda tetap fokus.”
Kami tiba di Hasse tak lama kemudian. Pelayanku mulai menurunkan barang bawaanku begitu aku mendarat di depan biara, dan sejumlah pendeta abu-abu keluar untuk membantu mereka membawanya masuk.
Setelah semuanya dibawa ke ruang tersembunyi di ujung kapel, pelayanku mulai menyiapkan kamarku. Tidak butuh waktu lama karena kami hanya membawa karpet dan permadani. Tempat tidur cadangan dari gereja akan dibawa ke sini nanti sehingga aku tidak perlu terlalu khawatir akan pingsan.
Sementara itu, Ferdinand dan aku sedang beristirahat di ruang makan, disuguhi teh oleh seorang gadis suci abu-abu sementara kami memakan kudapan yang kami bawa.
“Bagaimana kehidupan di sini?” Aku bertanya pada pendeta abu-abu sambil menyeruput tehku.
“Semuanya baik-baik saja. Dekat dengan hutan dan sungai mempermudah pembuatan kertas,” jawab seseorang. Ada nada gugup dalam suaranya, tidak diragukan lagi karena Ferdinand ada di sini.
Aku melihat ke gadis suci yang telah menuangkan teh untuk kami. "Apakah semua akan baik-baik saja jika kita membawa anak yatim ke sini?"
“Saya yakin. Kita bisa mulai menyiapkan makan siang agar bisa langsung dibawa.”
Pada saat itu, Ferdinand, pelayanku, dan aku bepergian dengan highbeast untuk melihat otoritas tertinggi Hasse — walikota. Kebetulan, meskipun kami telah memberi tahukan kedatangan kami kepada mereka sebelumnya, pelayan yang menyambut kami segera ketakutan dan mulai menggelepar. Mereka mungkin sama sekali tidak bersiap.
“U-Uskup Agung dan Pendeta Agung, katamu?! Bukankah yang seharusnya datang itu pedagang?!”
Benno telah menyampaikan pemberitahuan bahwa kami akan datang menjemput anak yatim, tetapi sepertinya dia gagal menyebutkan bahwa Ferdinand dan akulah yang akan mengumpulkan mereka. Dinilai dari bagaimana mulut walikota praktis berbusa ketika dia masuk ke ruangan, aku bisa menebak bahwa Benno tidak diperlakukan dengan cukup baik di sini.
“Di mana anak-anak yatim?” tanya Ferdinand tajam. “Kami sudah memberi tahukan kedatangan kami kepada kalian sebelumnya. Bawa mereka ke sini sekarang juga.”
Walikota menelan ludah dan segera menyuruh seorang pelayan memanggil anak-anak yatim. Seketika itu, kerumunan anak-anak yang tampak kurus dengan rambut yang tidak dicuci dan pakaian kotor masuk ke dalam ruangan. Mereka mengingatkanku pada anak yatim gereja ketika aku pertama kali melihat mereka, dan hanya dengan satu pandangan saja aku tahu betapa sulit hidup mereka.
Aku menghitung ada empat belas anak, yang membuatku bingung. “Ini bukan semuanya, kan? Aku diberitahu bahwa ada lebih banyak.”
“Saya yakin siapa pun yang memberitahu anda itu salah,” kata walikota sambil tersenyum sambil berlutut di depan kami, hanya untuk salah satu anak yatim yang memelototinya dan menggelengkan kepalanya dengan keras.
“Tidak, dia berbohong! Dia menyembunyikan Marthe dan kakakku agar dia bisa menjualnya!”
"Diam, Thor!" teriak walikota, matanya melotot marah saat berdiri untuk menyerang bocah itu. Tapi Damuel dengan sigap melangkah maju, menjepit lengan walikota di belakang punggungnya, dan menarik schtappe-nya.
“Lord Ferdinand memerintahkan semua anak yatim untuk dibawa. Apakah kamu tidak mendengarnya, atau kamu sengaja menentangnya?” Damuel bertanya dengan dingin. Untuk orang biasa seperti walikota, menentang perintah langsung Ferdinand, saudara tiri archduke, seperti menandatangani hukuman mati dirinya sendiri. Dia bisa dieksekusi di sini dan sekarang juga tanpa ada yang mengedipkan mata.
Walikota tersentak saat melihat Damuel menarik senjatanya tanpa ragu. “S-Seseorang! Siapa pun itu! Bawa Nora dan Marthe!”
Dua gadis muda dibawa ke dalam ruangan, keduanya sangat cantik sehingga aku mengerti mengapa mereka dipilih untuk dijual. Kami sekarang memiliki jumlah anak yatim yang benar sesuai laporan Benno, jadi aku mulai berbicara dengan mereka.
“Apakah ada di antara kalian yang ingin pindah ke panti asuhan yang telah aku bangun? Kalian akan menjadi pendeta dan gadis suci, tetapi aku tidak memaksa siapa pun jika itu bertentangan dengan keinginan mereka. Kalian akan memiliki tempat untuk tidur dan makanan di biara, tetapi kalian harus bekerja dan hidup sesuai dengan aturan kami.”
Anak-anak yatim dengan ketakutan melihat antara walikota dan aku, selain Thore, yang hanya menatap lurus ke arahku. "Jika kamu tidak akan menjual kakakku, dia dan aku akan pergi bersamamu."
"Thore..." gumam yang lebih tua dari kedua gadis itu, dengan ekspresi khawatir di wajahnya. Dia mungkin kakaknya.
Walikota mengulurkan tangan ke arahnya untuk menyela apa yang terjadi. “Sebentar. Nora tidak pergi—”
"Diam. Lady Rozemyne tidak mengizinkanmu bicara,” kata Damuel, mendorong kepala walikota yang berlutut itu ke bawah.
Ferdinand menyipitkan mata dengan dingin ke walikota; itu adalah tatapan yang dia gunakan saat dia mulai kesal. Aku memunggungi udara dingin yang berkumpul di sekelilingnya sehingga aku bisa berbicara dengan Nora.
“Apa yang ingin kamu lakukan, Nara? Jika Kau pindah ke panti asuhan kami, kami tidak akan pernah menjualmu. Tapi pendeta abu-abu dan gadis suci tidak diizinkan menikah.”
"Bukan berarti anak yatim yang bisa mendapatkan pernikahan yang layak," sembur Thore.
“Aku tidak bertanya padamu, Thore. Aku bertanya pada Nara.”
Nora menunduk sejenak, lalu menatapku. "Aku akan pergi. Aku di sini juga tidak akan bisa menikah, dan aku akan berpisah dari Thore selamanya. Apa pun lebih baik daripada dijual,” katanya sambil tersenyum sedih.
“Kalau begitu aku akan menyambutmu.”
"Jika Thore pergi, aku dan Marthe juga!" kata anak laki-laki lain sambil menggandeng tangan gadis yang dibawa masuk bersama Nora.
"Rick, kamu yakin...?" Thore bertanya.
"Jika kita tinggal di sini, Marthe akan dijual."
Tampaknya anak-anak yatim lain tidak bermaksud untuk melawan walikota, karena mereka hanya menggelengkan kepala dan meminta untuk tetap tinggal. Apakah mereka takut akan perubahan lingkungan atau takut karena Damuel melakukan kekerasan dengan pemilik mereka, walikota, aku tidak tahu. Tapi bagaimanapun juga, aku tidak berniat memaksa mereka untuk bergabung dengan kami.
“Kalau begitu, aku akan mengambil mereka berempat. Apakah kau tidak keberatan, Ferdinand?”
"Cukup. Kita sudah melakukan apa yang harus kita lakukan dan tidak lebih. Ayo kita berangkat.”
Walikota hanya melihat kami pergi dengan bingung, tidak lagi memiliki dua gadis yang dia sembunyikan dari kami untuk dijual.
Post a Comment