Update cookies preferences

Ascendance of A Bookworm Vol 9: Hari Wilfried sebagai Uskup Agung

 


Hari Wilfried sebagai Uskup Agung



Aku benci bagaimana Rozemyne mendapat semua yang dia inginkan. Aku adalah kakaknya dan aku menyelesaikan pembaptisanku di musim semi, tapi malah dia yang mendapat semua perhatian. Lamprecht bilang dia mengalami kesulitan dengan caranya sendiri, tapi dia pasti berbohong untuk melindungi adiknya. Maksudku, hanya berlari sebentar saja sudah membuatnya jatuh dan hampir mati. Bagaimana dia bisa melakukan sesuatu?

Rozemyne​​satu-satunya yang bisa meninggalkan kastil kapan pun dia mau, tidak terjebak dengan guru, dan dipuji oleh Ayah saat makan malam. Aku bahkan tidak diizinkan untuk pergi ke kantornya karena aku akan "mengganggu", tapi dia membiarkan Rozemyne​​ masuk... Ini tidak adil!

Ketika aku memberi tahu perasaanku pada Rozemyne, dia menyarankan agar kami bertukar posisi selama sehari. Itu adalah ide terbaik yang pernah ku dengar. Aku harus meninggalkan kastil dan semua pengikutku yang menyebalkan, dan pergi ke gereja di mana aku bisa melakukan apa pun yang aku inginkan seperti yang Rozemyne lakukan. Sementara itu, dia bisa bersenang-senang dikepung oleh sekelompok guru.

"Bagaimana kalau kita pergi, Lord Wilfried?" Lamprecht bertanya, sebelum melebarkan sayap highbeast dan melesat tinggi ke udara. Aku sedang duduk di depannya, dan perasaan melayang ke udara dan terbang memenuhiku dengan rasa pusing total. Sungguh tidak adil jika Rozemyne yang merasakan ini terlebih dahulu.

“Lamprecht, ketika aku membuat highbeast-ku, apakah itu akan berbentuk singa seperti highbeast Ferdinand?” tanyaku, memandang ke depan pada Ferdinand, yang sedang menuntun kami ke gereja.

Lamprecht mengangguk. "Ya. Anak-anak archduke memakai singa berkepala satu, dan ketika Kau menjadi archduke, Kau dapat membuat singa yang memiliki tiga kepala seperti lambang archduke.

Aku sendiri belum pernah melihat highbeast Ayah, tapi kedengarannya sangat keren. Tentu saja dia akan memiliki highbeast yang sangat keren. Dan saat sedang memikirkan tentang singa mengagumkan yang akan kumiliki, aku menyadari—“Tapi highbeast Rozemyne ​​tidak terlihat seperti singa.”

“Itu aneh, bukan? Aku juga belum pernah melihat highbeast semacam itu,” jawab Lamprecht.

Tidak lama kemudian gereja pun terlihat. Itu terletak tepat di antara Area Bangsawan yang putih bersih dan sisi lain kota yang cokelat dan berantakan. Aku pernah dengar bahwa itu berada di sisi lain Area Bangsawan, tapi itu jauh lebih dekat daripada yang kukira.

"Lamprecht, apa itu daerah coklat yang tampak kotor?"

“Kota bawah, tempat rakyat jelata tinggal. Itu bukan tempat yang akan ada hubungannya dengan anda, Lord Wilfried. ”

Seorang pria yang mengenakan jubah abu-abu ada di sana untuk menyambut kami ketika highbeast kami mendarat di gereja, dan matanya melebar ketika dia melihatku. Ferdinand segera turun dari highbeast-nya dan memberinya surat.

“Fran, baca ini. Ini dari Rozemyne. Keduanya bertukar posisi untuk hari ini,” kata Ferdinand. “Wilfried, ini Fran. Dia kepala pelayan Rozemyne di gereja. Saat Kau di sini, Kau akan mematuhi semua yang dia katakan. Fran, kurasa menghadapi Wilfried akan menjadi tugas yang cukup berat. Aku akan bergabung denganmu nantinya.”

“Dimengerti, Pendeta Agung. Senang bertemu dengan anda, Lord Wilfried. Haruskah kita pergi dan mengganti pakaian anda?”

"Baiklah," jawabku.

Aku dibawa ke ruang Uskup Agung tempat Rozemyne tinggal. Sesampainya di sana, Fran memberi tahu pelayan Rozemyne lainnya bahwa aku akan menjadi Uskup Agung selama sehari, dan mereka menempatkanku dalam jubah putih. Rupanya inilah yang dikenakan Uskup Agung.

“Anda lebih memilih teh apa?” seorang pelayan bernama Nicola bertanya saat Fran sedang membaca surat Rozemyne. Dia kemudian membuatkan teh yang enak dan menyajikan kudapan yang belum pernah aku makan sebelumnya. Saat pecah di mulutku, aku diliputi oleh rasa manis luar biasa.

“Aku belum pernah memakan kudapan semacam ini sebelumnya. Rozemyne mendapat semua keberuntungan ini. Aku harap aku bisa makan makanan seperti ini setiap hari,” keluhku sambil mengambil kudapan lain.

Setelah mendengar itu, Nicola tersenyum. “Lady Rozemyne yang menemukan resep kudapan ini, jadi jika anda ingin makan kudapan yang belum pernah anda rasakan, saya sarankan anda melakukan hal yang sama dan membuat sendiri resepnya. Apakah anda punya ide? Saya suka membuat sesuatu. Tapi aku lebih suka memakannya!” katanya sambil tertawa, matanya penuh antisipasi. Tapi bagaimana aku bisa tahu resep kudapan yang bahkan belum pernah aku makan sebelumnya?

Rozemyne menemukan kudapan ini? Apakah itu mungkin? Bagaimana Kau bisa memikirkan kudapan? pikirku, mengisi mulutku dengan kudapan lain saat aku berjuang untuk menyelesaikannya. Pada saat Lamprecht bertanya apakah aku akan memberikannya, aku sudah makan seluruhnya kecuali beberapa. Aku menyesal menyerahkan sisanya kepadanya.

Sambil menyeruput sisa tehku, Fran mengatakan sesuatu kepada pelayan bernama Monika yang membuatnya buru-buru meninggalkan ruangan. Ferdinand masuk tak lama kemudian, hampir seperti dia sengaja mengatur timing agar aku menghabiskan minumanku. Dia mengenakan jubah Pendeta Agung biru yang kulihat saat pembaptisan Rozemyne.

“Menurut rencana Rozemyne, jadwalmu hari ini adalah menerima laporan panti asuhan, lalu melihat-lihat workshop. Lamprecht dan Damuel akan menemanimu sebagai pengawal, sementara Fran dan Monika akan menjadi pelayanmu,” kata Ferdinand.

Saat itu, ksatria wanita Rozemyne yang masuk bersama Ferdinand memberi hormat dan memberi jalan. Kemudian aku menemani Ferdinand keluar ruangan, melewati beberapa lorong, menuju gedung lain.

“Ini adalah panti asuhan tempat berkumpulnya anak-anak tanpa orang tua. Di balik pintu-pintu ini ada ruang makan,” kata Fran, sebelum membuka dan memperlihatkan sebuah ruangan yang cukup besar dengan meja-meja kayu besar yang tampak kasar berjajar di samping satu sama lain.

Aku melihat sekeliling, penasaran, dan saat itulah aku melihat orang-orang didalam berlutut. Mereka semua mengenakan jubah abu-abu yang sama. Itu mungkin seperti seragam yang dikenakan para cendekiawan.

“Uskup Agung dan Pendeta Agung, silakan duduk,” kata Fran.

Aku tidak begitu bersemangat untuk duduk di papan kayu polos, tetapi Ferdinand duduk seolah tidak ada apa-apa, jadi aku tidak punya banyak pilihan selain melakukan hal yang sama.

“Langsung ke intinya—aku telah mendengar ada laporan untuk Uskup Agung. Bisakah orang yang bertanggung jawab atas laporan itu segera maju dan menyampaikannya? ”

Seorang wanita berambut oranye melangkah maju, menghadapku, dan mulai melaporkan sesuatu yang sama sekali tidak aku mengerti. Ferdinand mengangguk sesekali, sementara Fran menulis beberapa hal di papan aneh yang dimilikinya.

"Apa yang kamu katakan....?" Aku bertanya.

“Saya melaporkan keuangan bulan ini,” jawab wanita itu.

“Apa hubungannya denganku?” Aku bertanya, dan sesaat berikutnya, Ferdinand memukul kepalaku dengan pukulan. Kejutan adalah bagian terburuknya, dan aku memegang kepalaku karena terkejut ketika berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

Lamprecht sama terkejutnya, dan dia menatap Ferdinand dengan mata terbuka lebar. "Lord Ferdinand ?!"

"A-Ap... Apa?!"

Aku bahkan hampir tidak bisa berbicara. Ada rasa sakit yang panas dan menyengat di lokasi ia memukulku, tapi satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah menatapnya dengan tatapan tercengang.

"Dasar bodoh. Rozemyne adalah Uskup Agung dan direktur panti asuhan. Kau bertukar posisi dengannya, yang artinya ini ada hubungannya denganmu. Bahkan jika Kau tidak mengerti, duduk diam dan dengarkan. Begitulah tugas Rozemyne.”

Meski aku jelas-jelas kesal, Ferdinand hanya balas melotot dan memarahiku. Aku memutuskan untuk cemberut pada wanita yang memberikan laporan itu, berharap itu akan membuatnya menyelesaikan hal membosankan ini sesegera mungkin, tetapi dia hanya terkikik dan melanjutkan, bahkan tidak melewatkan apa pun. Menyebalkan.

Apakah dia benar-benar tidak menyadari bahwa aku marah? Sungguh wanita yang bebal.

Laporan itu sangat membosankan sehingga, di sekitar pertengahan, aku memutuskan untuk pergi dan berkeliaran. Tapi ketika aku mencoba melompat dari tempat dudukku, Ferdinand menembakkan tangannya ke bawah dan mencubit kakiku.

"Sakiiiit! Ferdinand, apa yang kamu lakukan ?!”

“Apakah Kau tidak mendengarku saat aku berkata untuk duduk diam, atau itu hanya di luar pemahamanmu? Apakah Kau bodoh, atau Kau tuli? Mungkin bahkan keduanya,” kata Ferdinand, menatapku dengan mata dingin seolah-olah dia dengan sepenuh hati mengiraku bodoh.

Darah mengalir deras ke kepalaku. Aku belum pernah begitu dipermalukan dalam hidupku. Aku berdiri untuk meninju Ferdinand, tapi aku baru saja mengepalkan tinjuku ketika dia menjepit tangan di dahiku dan mendorongku kembali ke kursi.

“Diam, duduk, dan dengarkan. Paham?"

"Nghh... Lamprecht!"

Aku memanggil nama pengawalku, yang tidak bergerak untuk membantuku, tapi Ferdinand malah menekan kepalaku lebih keras.

“Berapa kali aku harus mengulanginya? Diam. Duduk. Dan dengarkan."

Beberapa anak mulai cekikikan ketika mereka melihat Ferdinand menahanku di tempat. Aku bisa mendengar mereka mengatakan hal-hal seperti "Apanya yang tidak dia mengerti?" dan “Dia hanya perlu mendengarkan.”

“A-aku akan mendengarkan, oke?! Lakukan saja!”

"Dasar bodoh. Jangan buang waktu orang lain dengan amukan tidak berguna seperti itu,” kata Ferdinand dengan ledekan mengejek sebelum melepaskan cengkeramannya.

Rasa sakit menjalar di kepalaku seolah-olah jari-jarinya meninggalkan bekas permanen. Aku menghabiskan sisa laporan dengan memelototi Ferdinand dari samping, tidak bisa berdiri atau melakukan sesuatu selain meluapkan amarah.

Gan! Terkutuk kamu, Ferdinand!

“Itu kesimpulan laporan bulan ini. Ada sedikit hal yang harus saya diskusikan dengan Fran dan Pendeta Agung, jadi mengapa anda tidak meluangkan waktu dengan bermain karuta bersama anak-anak, Uskup Agung?” wanita itu menyarankan.

Telingaku menajam mendengar kata "bermain". Aku dengan cepat melihat ke arah Ferdinand, yang melirik anak-anak yatim sebelum kembali dengan anggukan pelan dan berkata, “Baiklah.”

Aku melompat dari bangku dalam sekejap, meregangkan tubuh sedikit, dan kemudian mengikuti Lamprecht dan Damuel ke tempat anak-anak lain berada.

“Jadi, apa itukaruta?” Aku bertanya.

"Aku akan mengajarimu," kata seorang anak. “Kita bisa bermain bersama.”

Bermain melawan orang dewasa adalah satu hal, tapi aku tidak pernah kalah dari anak kecil yang datang untuk bermain di kastil. Aku perlu memakai kesempatan ini untuk membuktikan kepada semua anak yang telah menertawakanku betapa menakjubkannya aku sebenarnya.

“Pertama, seseorang membaca kartu tertulis. Kemudian, semua orang mencoba untuk mengambil kartu seni yang memiliki huruf pertama yang sama dengan kartu tertulis itu. Siapa yang paling banyak yang akan menang,” lanjut anak itu. “Karena ini pertama kalinya kamu bermain, Uskup Agung, kamu bisa meminta salah satu pengawalmu untuk membantu.”

Aku belum pernah bermain karuta sebelumnya, jadi bekerja sama dengan Lamprecht mungkin merupakan ide yang bagus. Ditambah lagi, anak ini adalah orang yang menyarankannya, jadi itu jelas fair.

Aku duduk di sebelah Lamprecht dan mulai bermain. Aku berasumsi Damuel akan menjadi orang yang membaca kartu, tetapi ternyata itu adalah anak yang kira-kira setua diriku.

"Kamu bisa membaca? Itu sangat mengesankan. Bahkan aku belum bisa membaca,” kataku, terpesona. Tapi bukannya mengapresiasi pujian itu, anak-anak itu malah menatapku bingung.

"Hah? Kau adalah Uskup Agung, tetapi Kau tidak bisa membaca?”

“Berkat karuta dan buku bergambar yang dibuat Lady Rozemyne, semua penghuni panti asuhan bisa membacanya.”

“Oh, tapi Dirk tidak! Dia masih bayi,” tambah salah satu anak sambil menunjuk bayi yang merangkak di lantai. Tampaknya normalnya anak-anak panti asuhan memang mampu membaca, dan satu-satunya yang tidak bisa membaca adalah bayi yang lebih kecil dari adikku, Melchior.

Jadi pada dasarnya aku sama dengan bayi itu? pikirku, benar-benar terkejut. Pada akhirnya, Lamprecht hanya bisa mendapatkan satu kartu yang paling dekat dengan kami; anak-anak lain mengambil semua kartu lain.

“Kekalahan yang menyedihkan. Begini jadinya kalau ditantang anak yang tidak disuruh kalah oleh orang tuanya,” kata Ferdinand.

“Lord Ferdinand! Anda tidak bisa mengatakan itu—“ Lamprecht memulai, hanya untuk disela.

“Itu fakta, dan sesuatu yang harus dia hadapi,” kata Ferdinand, sambil tertawa meledek sebelum melanjutkan. "Ikut aku." Ngghhh...! Terkutuk kau, Ferdinand!

Kami selanjutnya melewati gedung panti asuhan anak laki-laki untuk mencapai workshop. Ada orang dewasa di sana dan anak-anak semuda diriku, semuanya mengenakan pakaian yang tampak kotor, dan apa pun yang mereka buat telah membuat tangan dan wajah mereka semua kotor.

“Ini Lord Wilfried, yang menjabat sebagai Uskup Agung menggantikan Lady Rozemyne hari ini,” kata Fran untuk memperkenalkanku. Saat itu, dua anak laki-laki melangkah maju, berlutut, dan memulai salam bangsawan mereka.

“Aku mendoakan berkah sebagai penghargaan atas pertemuan kebetulan ini, yang ditahbiskan oleh hari-hari penuh berkah dari Dewi Angin Schutzaria,” kata mereka.

Aku mengalirkan mana ke dalam cincinku—meskipun aku belum terlalu mahir melakukannya—sebelum aku menjawab. “Semoga pertemuan ini diberkati.”

Kali ini, aku benar-benar melakukannya dengan cukup baik. Aku mengangguk pada diriku sendiri, lalu menatap Lamprecht, yang tersenyum dan membalas anggukanku sebagai persetujuan.

“Lutz, Gil—kalian bisa berdiri. Kau memanggil Rozemyne hari ini, aku yakin. Ada perlu apa? Wilfried yang akan menggantikannya.”

“Kami menyelesaikan buku bergambar baru dan ingin memberinya salinan. Tolong kirimkan ini ke Lady Rozemyne. Dan ini satu untuk anda, Lord Wilfried. Tolong terima itu sebagai hadiah untuk merayakan pertemuan kita,” kata anak bermata hijau itu sebelum menyerahkan dua buku kepadaku. Itu dibuat dengan buruk—pada dasarnya tidak lebih dari seikat kertas. Itu tipis, kecil, dan bahkan tidak memiliki cover; sulit untuk membayangkan bahwa itu benar-benar buku.

"Buku bergambar? Buku-buku macam apa itu? Apa yang kamu lakukan dengannya?”

“Kamu membacanya. Rozemyne baru-baru ini mulai membuatnya, dan dia menantikan penyelesaian yang satu ini.” Rozemyne membuat ini juga?

Aku mulai membolak-balik salah satu buku bergambar, melihat ilustrasi hitam-putih besar di dalamnya. Beberapa halaman memuat teks, seperti karuta. Aku kemudian melirik kedua anak itu, yang keduanya tampak seusiaku. Mereka mengangkat kepala mereka tinggi-tinggi, dan mata mereka penuh percaya diri.

“Bisakah kalian berdua membaca buku ini?”

"Tentu saja. Kami tidak akan bisa bekerja jika tidak mampu membaca. Saya belajar sangat keras untuk belajar!” kata anak bermata ungu dengan senyum bangga.

“Mungkin jarang orang biasa mengetahui cara membaca, tetapi bahkan mereka dapat belajar ketika diperlukan untuk bekerja. Mungkin tidak sopan untuk menghadirkan seseorang yang tidak bisa membaca dengan buku saat pertama kali Kau bertemu dengan mereka, tetapi karena Kau seorang bangsawan, aku yakin kita tidak perlu khawatir tentang itu,” yang bermata hijau. kata bocah itu gugup, melirik Ferdinand untuk konfirmasi.

Lagi-lagi, Ferdinand menyeringai, menatapku dengan mata dingin dan mengejek. “Ya, siapa pun yang telah mengenyam pendidikan bangsawan akan tahu cara membaca. Jelas tidak mungkin bertemu dengan seorang bangsawan yang tidak mamu melakukannya.”

“Itu melegakan.”

Semua bangsawan bisa membaca, dan rakyat jelata bisa belajar saat mereka membutuhkannya untuk bekerja? Aku bisa merasakan ekspresiku menegang saat aku melihat buku bergambar.

“Kembalilah bekerja, kalian semua. Aku bermaksud menunjukkan kepadanya apa yang sebenarnya dilakukan di sini,” Ferdinand memerintah, di mana semua orang yang telah berlutut berdiri dan melanjutkan pekerjaan mereka. Aku melihat kepergian mereka, sadar bahwa mereka akan mulai melirik ke arahku, dan melihat anak-anak yang telah memberi buku bergambar padaku mulai menghitung lembaran kertas dan memberikan instruksi kepada mereka yang memiliki tangan bebas.

"Ferdinand, mengapa kedua anak itu memberi instruksi padahal ada sangat banyak orang dewasa di sini?"

“Satunya adalah pelayan magang dan yang satunya adalah pedagang magang, tetapi keduanya dekat dan telah dilatih secara pribadi oleh Rozemyne. Mereka menerima instruksi langsung darinya, mengoperasikan workshop, dan memberikan laporannya. Entah karena tanggung jawab besar yang mereka emban atau instruksi Rozemyne, mereka berdua tumbuh sangat cepat. Mungkin dia memiliki bakat alami untuk membesarkan seseorang,” kata Ferdinand. Dia hanya pernah menghina dan mengejekku, tapi dia memuji anak-anak di workshop, dan Rozemyne karena telah membesarkan mereka.

Aku bisa merasakan panas yang tidak nyaman menumpuk di dadaku.

“Itu bel kelima. kita sekarang akan kembali ke kamarmu. Semuanya, kalian telah bekerja dengan baik hari ini. Aku berharap untuk melihat dedikasi kalian terus berlanjut.”

“Sesuai kehendak anda,” jawab orang-orang di workshop sambil berlutut dan tersenyum bangga atas pujian Ferdinand.

Dengan buku-buku bergambar di tangan, aku kembali ke ruang Uskup Agung. Studi-ku biasanya berakhir pada sore hari pada bel kelima, setelah itu aku akan bebas selama sisa hari itu, dan aku berasumsi hal yang sama akan terjadi di sini. Tapi begitu aku kembali, Fran mulai menumpuk satu ton papan di atas meja.

"Apa itu?"

“Untaian-untaian doa yang harus anda pelajari sebelum berangkat ke Festival Panen. Anda tidak perlu tahu tentang festival itu sendiri karena anda tidak akan pergi ke sana, Lord Wilfried, akan tetapi karena doa-doa itu akan terbukti berguna untuk sihir, saya rasa anda akan merasakan manfaat jika mempelajarinya sekarang,” kata Fran.

Lamprecht mengambil papan dan membaca sekilas, lalu melebarkan mata karena terkejut. "Apakah kamu hendak memberitahuku bahwa Rozemyne sedang menghafal ini?"

"Tentu saja. Lady Rozemyne ​​adalah Uskup Agung,” jawab Fran dengan anggukan, berbicara seolah itu adalah hal yang paling jelas di dunia. “Anda tahu bahwa satu kesalahan dalam masyarakat bangsawan dapat memberikan seseorang reputasi negatif yang tidak pernah hilang kan? Sekarang dia adalah putri angkat archduke, Lady Rozemyne ​​tidak diizinkan untuk gagal. Dia mengalami waktu yang cukup sulit selama tahun pertamanya karena setiap upacara adalah hal baru baginya dan dia harus terus-menerus menghafal kata-kata doa-doa baru, tetapi dia berhasil berkat ketekunannya yang mengagumkan.”

Fran melanjutkan untuk menjelaskan daftar setiap ritual yang harus didoakan Rozemyne satu per satu, sambil menghitung dengan jari. Dia diangkat sebagai Uskup Agung saat musim panas, yang artinya dia hanya melewati satu musim upacara. Namun dia telah melakukan Upacara Starbind, upacara hari dewasa musim panas, upacara pembaptisan musim gugur, dan akan segera berangkat untuk menyelenggarakan Festival Panen di seluruh Distrik Pusat. Uskup Agung memiliki jadwal yang luar biasa sibuk.

“Aku tidak bisa melakukanya. Aku tidak bisa membaca,” kata aku sambil menggelengkan kepala setelah melihat papan dengan doa yang tertulis di atasnya. Rozemyne harus menghafalnya, tentu saja, tapi aku tidak. Aku menyerahkan papan itu kembali kepada Fran, yang kemudian menyerahkannya begitu saja kepada Lamprecht.

“Kalau begitu, Sir Lamprecht akan membacanya keras-keras, dan anda akan belajar dengan mengulangi apa yang dia katakan. Anda dapat makan malam setelah selesai melakukan itu.”

"Apa-?!"

“Siapa pun dapat menghafal sesuatu jika mereka menganggapnya serius. Pendeta Agung, izinkan saya untuk menyeduh teh. Anda pasti lelah,” kata Fran, sebelum dengan halus menuju dapur. Fakta bahwa dia tidak mendengarkanku sama sekali membuatku sangat marah sehingga aku berteriak di belakangnya saat dia pergi.

“Aku tidak mau! Aku tidak akan menghafalnya!” Aku berteriak, menghentakkan kaki dengan marah.

Fran berbalik dengan kerutan khawatir di wajahnya. Tapi sebelum dia sempat bicara, Ferdinand mendesah keras dan berlebihan.

"Menyedihkan. Fran, sepertinya malam ini Wilfried tidak butuh makan malam. Jika dia belum selesai menghafal doa pada bel keenam, mulailah makan tanpanya. Berkah suci tidak akan siap untuk panti asuhan.”

"Dimengerti."

Terkutuk . Kau. Ferdinand! Kau tidak harus mengatakan itu!

Aku mengertakkan gigi dan memelototi Ferdinand, akan tetapi dia hanya menatapku dengan mata dingin dan menyipit. Dia sama sekali tidak takut padaku.

Inilah mengapaanak haramadalah yang terburuk! Aku benci anak haram!Aku diam-diam meneriakkan kata yang Nenek katakan setiap saat, yang membuatku sedikit tenang meskipun sebenarnya aku tidak tahu apa maknanya.

Sekarang setelah aku memikirkannya, tidak mungkin mereka tidak mengizinkanku makan malam, bahkan jika aku tidak menghafal doa apa pun. Selama ini, aku tidak pernah dihukum sekeras itu karena bolos pelajaran dan menolak belajar membaca, dan ini akan tetap sama itu. Yang perlu aku lakukan hanyalah menunggu Ferdinand pergi.

Ketika bel keenam berbunyi, Ferdinand pergi makan di ruangannya. Aku melirik ke arah Fran dan melihat bahwa, setelah mengantarnya pergi, dia mulai menyajikan makan malam.

Aku tahu itu. Tentu saja dia lebihperhatian padaku daripada perintah Ferdinand.

Aku mendengus senang dan menunggu makan malamku disajikan. Lamprecht bersemangat untuk makan, mengatakan bahwa makanan di sini terasa lebih enak daripada makanan di asrama ksatria, dan kudapannya cukup enak sehingga aku juga bersemangat.

“Maaf membuat anda menunggu, Sir Lamprecht. Makanan anda telah disiapkan. Dame (Wanita dewasa) Brigitte telah menawarkan untuk makan nanti, jadi anda bisa makan bersama Sir Damuel, jika berkenan.”

“Aku mengerti. Aku tidak keberatan makan bersama Damuel, tapi...” Lamprecht dengan gugup melihat ke antara aku dan Fran.

“Jangan khawatir, Dame Brigitte akan menjaga Lord Wilfried selagi anda makan malam. Kami tahu akan tidak nyaman bagi anda untuk makan di depannya sementara dia tidak bisa makan, jadi kami telah menyiapkan ruang terpisah untuk anda,” kata Fran.

Aku tersambar gelombang kejut yang terlampau kuat sampai hampir jatuh. Dia sebenarnya tidak akan membiarkan diriku makan, seperti yang Ferdinand perintahkan.

“Fran, apakah kau tahu apa yang kau lakukan?! Apakah kau tidak tahu siapa aku ?!”

“Sudah kuberitahu bahwa anda hanya makan setelah hafal doa, dan Lord Ferdinand telah memerintahkan saya untuk mematuhinya,” kata Fran tenang. Para pelayan di kastil akan selalu panik dan jatuh tersungkur untuk melayaniku, akan tetapi Fran tidak sama sekali mendengarkan. Apa yang sedang terjadi?

“Menurutmu siapa yang lebih penting di sini, aku atau Ferdinand?!”

"Lord Ferdinand, tentu saja."

"Apa?! Tapi aku putra pertama Archduke!” Aku berteriak. "Jangan samakan aku dengan anak haram!"

Di kastil, semua orang bilang statusku lebih tinggi dari Ferdinand karena dia anak haram dan aku tidak. Aku berasumsi Fran tidak tahu itu, tetapi ketika aku melihat ke atas untuk melihat reaksinya, dia menggelengkan kepalanya dengan putus asa.

“Saat ini, kamu menjabat Uskup Agung menggantikan Lady Rozemyne. Dia telah memberi saya instruksi ketat untuk tidak memanjakan anda sebagai putra Archduke, tapi untuk memperlakukan anda dengan cara yang sama seperti dia akan diperlakukan sebagai asuhan Lord Ferdinand.

"Tidak... memanjakan... aku?" Aku tergagap, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

Saat itulah aku ingat Rozemyne ​​berkata, “Kalau begitu, kamu tidak akan memiliki masalah dengan pelayanku yang memperlakukanmu seperti biasa,” terlintas di benakku. Aku secara alami menjawabnya dengan mengatakan "Tentu saja," tetapi itu tetap tidak masuk akal.

“Membiarkanku makan malam akan memanjakanku?”

“Membiarkan anda menggunakan status anda untuk menghindari tanggung jawab dan hukuman adalah bentuk memanjakanmu. Anda berpikir melakukan itu merupakan hal normal dan pantas menunjukkan betapa manja anda selama hidup anda, sebuah pengalaman yang tidak dimiliki oleh Lady Rozemyne,” kata Fran, sebelum berbalik menghadap Lamprecht. “Lord Lamprecht, silakan mulai makan. Kita harus membawa sisa makanan ke panti asuhan sesudahnya, jadi penundaan memiliki konsekuensi jangka panjang.”

"Aku..."

“Akan lebih baik jika anda mempercayakan Lord Wilfried kepada kami. Anda adalah pengingat akan kehidupan normalnya, dan dengan keberadaan anda, dia akan berharap untuk dimanjakan,” kata Fran dengan senyum tenang yang tidak meninggalkan ruang debat. Dia kemudian membawa Lamprecht ke tempat lain, meninggalkanku sendirian di sebuah ruangan tanpa seorang pun yang aku kenal dengan baik.

"Haruskah saya membacakan papan untuk anda, Lord Wilfried?" tanya ksatria wanita bernama Brigitte, sebelum mengambil papan dan berdiri di sampingku. “Para pelayan di sini mungkin baik dan setia, tetapi mereka tidak sedikit pun lembut. Ini pasti mengejutkan untuk anda.”

Dia telah ditugaskan untuk menjaga Rozemyne ​​setelah pembaptisannya, jadi dia mungkin bisa memberitahuku dari sudut pandang bangsawan yang tepat seperti apa kehidupan di gereja.

"Apakah pelayan disini juga keras terhadap Rozemyne?"

"Ya. Mereka melakukan yang terbaik untuk memastikan bahwa Lady Rozemyne ​​memenuhi tugasnya sebagai putri Archduke dan Uskup Agung tanpa cela. Ketika saya pertama kali mulai melayaninya, saya mengeluh kepada Fran bahwa beban yang dia tanggung terlalu besar. Tapi akhirnya dia malah menegur saya,” kata Brigitte tersenyum sedih sambil melihat ke papan. Jika keadaannya cukup buruk sampai-sampai seorang ksatria penjaga memilih untuk berbicara, maka kondisi Rozemyne ​​pasti sangat berat.

"Dan dia memiliki lebih dari sebatas ini untuk dihafal?"

"Ya. Dia tidak hanya harus belajar doa, akan tetapi perkembangan setiap ritual, poin-poin penting yang harus diperhatikan, siapa yang akan memberi berkah, dan jumlah total yang terlibat dalam setiap upacara. Tumpukan papan ini berisi jauh lebih banyak informasi daripada sekadar kata-kata doa. Dan sejauh ini, dia selalu berhasil menyelesaikan tugasnya ketika saatnya tiba.”

Aku tidak percaya betapa berbedanya kehidupan Rozemyne ​​dengan kehidupanku. Tidak pernah terpikir olehku bahwa aku benar-benar dimanjakan sejauh itu.

"Bacakan papan untukku, tolong."

"Sesuai kehendak anda."

Brigitte membacakan papan itu keras-keras untukku, dan aku mengulangi kata-katanya sampai aku menghafalnya. Ketika Lamprecht selesai makan dan kembali, matanya membelalak kaget padaku.

___________

“Saya rasa anda telah bekerja sangat keras. Itu luar biasa,” kata Fran, memujiku untuk pertama kalinya sebelum menempatkan makan malam yang cukup untuk satu orang di atas meja.

Aku baru saja menyelesaikan hafalan doa sebelum bel ketujuh, dan meskipun aku makan lebih lambat dari orang lain, makanannya masih mengepul dan hangat. Koki pasti sudah menungguku agar makan malamku masih terasa enak.

Aku mengerti sekarang. Mereka baik, tetapi mereka tidak memanjakan siapa pun.

Saat aku mulai memakan makanan hangat, aku menghela nafas. Aku benar-benar ingin kembali ke kastil. Aku ingin memberi tahu Ayah dan Ibu bahwa aku telah menghafal sebuah doa, dan meminta mereka memujiku karena telah melakukannya dengan baik.

“Makan sendirian itu agak menyedihkan,” kataku keras-keras.

“Lady Rozemyne ​​terkadang mengatakan hal yang sama.”

"Hah. Rozemyne ​​kadang-kadang makan di sini sendirian.”

Setelah makan malam, para pelayan memandikanku, dan masing-masing memberiku laporan tentang pekerjaan mereka sehari-hari. Itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Pelayanku sibuk melayani atau mencariku; mereka tidak pernah memiliki pekerjaan yang harus dilakukan ketika aku tidak ada.

Setelah laporan mereka selesai, akhirnya tiba saatnya bagiku untuk tidur. Aku kelelahan. Aku belum pernah selelah ini sebelumnya seumur hidupku. Itu pertama kalinya aku menggunakan kepalaku sekeras ini, jadi meskipun ini lebih awal dari biasanya aku beranjak tidur, aku pingsan dalam waktu singkat.

______________

"Sudah pagi, Lord Wilfried."

Tidak lama setelah aku mendengar suara itu, seseorang menarik tirai di sekitar tempat tidurku. Aku memejamkan mata sekuat mungkin untuk menghalangi sinar matahari yang cerah. “Aku masih lelah.”

“Sudah waktunya bangun.”

"Hentikan. Aku bilang aku masih lelah!” teriaku, menarik selimut ke atas kepalaku hanya untuk dicabut dengan paksa. Aku membelalakkan mataku, mencari siapa yang berani-beraninya membangunkanku dengan cara sekejam ini, hanya untuk melihat bahwa itu bukan pelayanku yang biasa. Fran memaksa, membuatku langsung meluncur turun.

“Sudah saya bilang bahwa ini waktunya bangun. Silakan ganti baju dan sarapan. Saya sudah memberi anda waktu sebanyak yang bisa saya luangkan.”

Pagi datang lebih awal di gereja, dan ini adalah pertama kalinya aku benar-benar dipaksa turun dari tempat tidur. Fran mengganti pakaianku, lalu menyajikan sarapan untukku. Kepalaku benar-benar pusing saat makan, karena biasanya di jam ini aku masih di tempat tidur.

“Setelah sarapan, saatnya berlatih harspiel,” kata guru musik Rozemyne ​​sambil membawa alat musik. Ukurannya untuk anak kecil, dan pemandangannya saja sudah cukup membuatku meringis.

“Aku tidak piawai memainkan harspiel. Aku tidak suka.”

“Dalam hal ini, anda harus selalu berlatih agar bisa berkembang. Musik adalah hiburan budaya para bangsawan,” katanya.

Aku tahu memainkan alat musik merupakan hal penting bagi bangsawan, tetapi tidak semua orang hebat dalam memainkan harspiel. Karstedt pernah berkata bahwa suatu hari nanti aku bisa mengambil alat musik yang kusuka, yang menjelaskan alasan mengapa dia piawai bermain seruling. Tetapi ketika aku mengatakan itu kepada guru musik, dia hanya memiringkan kepalanya.

“Saya telah menghabiskan Doa Musim Semi dengan Lord Karstedt di masa lalu, dan meskipun dia lebih suka seruling daripada harspiel, dia tidak mampu memainkan yang terakhir. Mempelajari nada dan lirik lagu harspiel adalah dasar dari mengembangkan indra musik. Ingin memainkan alat musik lain bukanlah alasan untuk tidak memainkan harspiel.”

"A-Apa-apaa...?" Aku tergagap. Baik Karstedt maupun guru musikku tidak pernah mengatakan hal semacam itu.

“Belum lagi, karena telah dibaptis tahun ini, anda dan Lady Rozemyne ​​akan memulai debut di musim dingin. Saya telah dengar dari Pendeta Besar bahwa ada konser di mana semua anak memainkan lagu harspiel di depan umum. Jika anda tidak berlatih, apakah anda tidak mempermalukan diri sendiri ketika anda tidak dapat melakukan apa yang semua anak lain mampu lakukan?” dia bertanya, mengingatkanku ketika kemarin aku adalah satu-satunya yang tidak bisa membaca karuta.

Pipiku memerah. Memikirkan hal yang sama terjadi di depan para bangsawan membuatku merasakan campuran aneh antara menyedihkan, frustrasi, dan benar-benar mengerikan.

“Apakah Rozemyne ​​berlatih setiap hari?”

“Ada kalanya jadwal yang penuh membuatnya tidak bisa berlatih, tetapi ketika dia berada di gereja, dia berlatih setiap hari tanpa henti. Keterampilan akan berkarat jika tidak menghabiskan waktu untuk mengasahnya,” kata si instruktur sebelum mengeluarkan beberapa lembar musik. “Tidak ada yang meningkat secara drastis dalam semalam, jadi latihan harian adalah kuncinya. Silakan lanjutkan hingga anda dapat memainkan setidaknya satu lagu sebelum musim dingin. Jangan pikirkan yang lain. Fokus saja pada satu lagu.”

Aku hanya perlu mempelajari satu lagu sebelum musim dingin, jadi mungkin aku bisa melakukannya.

Hari itu, meskipun itu adalah latihan harspiel, yang aku lakukan hanyalah menyenandungkan not pada lembaran musik; Aku tidak diizinkan menyentuh instrumen sekali pun.

Ketika latihan berakhir pada bel ketiga, instruktur memujiku dengan senyum manis. "Bagus. Setelah kembali ke kastil, silakan berlatih menggerakkan jari-jari anda selaras dengan tangga nada yang telah anda pelajari. Anda mempelajarinya dengan sangat cepat, jadi anda pasti memiliki ingatan yang baik.”

Ada rasa geli di dada, mungkin karena tidak terbiasa dipuji. Dia mendorongku untuk terus berlatih, mengatakan bahwa satu lagu ini adalah semua yang aku butuhkan untuk belajar unjuk kebolehan di debut musim dingin.

Saat di kastil, bel ketiga adalah saat tutor pagiku akan tiba. Tapi tidak ada tutor. Aku pun tenang, berpikir bahwa aku akhirnya mendapatkan waktu luang, hanya untuk Fran datang membawa banyak barang.

“Sudah waktunya membantu pekerjaan Pendeta Agung.”

"Hah….?"

“Pendeta Agung mengurus sebagian besar pekerjaan Uskup Agung di luar melakukan doa seremonial, jadi untuk mengurangi bebannya, Lady Rozemyne membantunya dengan mengerjakan dokumen dari bel ketiga hingga keempat. Sekarang—bergegaslah, Sir Lamprecht.”

Fran membawa aku dan Lamprecht ke ruang Ferdinand. Ada sejumlah pelayan di sana, semua mengurus pekerjaan mereka sendiri. Membantu di sini mungkin akan membuatku merasa sedikit bangga, karena rasanya aku sejajar dengan orang dewasa.

Saat aku melangkah masuk, bertekad untuk bekerja seperti anak-anak yang aku lihat di workshop kemarin, Ferdinand melirik dari balik dokumen. “Ah, kamu. Wilfried, duduk di sana dan berlatih mempelajari alfabet. Ada batu tulis dengan contoh untuk Kau tulis. Lamprecht, ini ada beberapa matematika yang perlu dikerjakan,” katanya sambil menunjuk ke meja tempat para pelayannya meletakkan batu tulis, kertas, dan kartu. Dalam sekejap mata, di sana juga terdapat tinta dan kalkulator.

“Menulis huruf?! Jadi aku tidak akan membantu pekerjaanmu?!”

“Pertanyaan konyol. Bagaimana Kau bisa membantuku saat Kau bahkan tidak mampu baca tulis?” tanya Ferdinand, bahkan kali ini tidak repot-repot menoleh dari dokumennya.

"Tapi Rozemyne—"

“Dia mampu menulis dengan baik bahkan sebelum aku bertemu dengannya. Dia dengan cepat mempelajari kata-kata baru, dan saat ruang buku diperkenalkan, dia membaca kitab suci dengan sangat antusias sehingga aku sendiri hampir tidak perlu mengajarinya apa pun yang berhubungan dengan menulis,” lanjut Ferdinand. Rozemyne rupanya belajar menulis tanpa bantuannya.

Sebenarnyaapa-apaanadikku ini ?

“Rozemyne ahli dalam matematika, seperti yang Kau harapkan dari seseorang yang memiliki workshop dan telah menghabiskan banyak waktu dengan pedagang. Papan di depan Lamprecht berisi semua pekerjaan yang biasanya dia lakukan. Aku yakin kau akan menanganinya dengan baik, karena Kau telah dengan murah hati menawarkan untuk menggantikannya.”

Lamprecht melebarkan matanya ke tumpukan papan. Dia selalu berempati dengan diriku yang tidak ingin belajar matematika, mungkin karena dia sendiri payah dalam hal itu.

“Kupikir aku di sini untuk bekerja, tapi malah hanya latihan menulis? Aku tidak akan repot-repot melakukan itu. Aku keluar dari sini!" Aku menyatakan, melompat dari kursi untuk melarikan diri seperti yang selalu aku lakukan.

Tapi Ferdinand mengeluarkan schtappe dan segera meneriakkan sesuatu. Beberapa berkas cahaya keluar dari schtappe dan melilitku, membuatku tidak bisa bergerak sama sekali. Dengan pita sihir yang menyatukan kedua kakiku, aku dengan kaku jatuh tertelungkup.

"Lord Ferdinand?! Apa-apaan yang—” Lamprecht mulai kaget, tetapi Ferdinand menyela dengan melangkah maju, mengangkatku seolah-olah aku adalah barang, dan dengan kasar meletakkanku kembali ke kursi.

“Aku tidak akan membiarkanmu lari. Kau mengatakan bahwa Kau hari ini akan bertukar posisi dengan Rozemyne. Jika Kau benar-benar putra Archduke, Kau setidaknya harus bertanggung jawab atas janji yang Kau buat,” kata Ferdinand, mengikatku ke kursi dengan tali yang sebenarnya sebelum menghilangkan pita sihir.

Dia sangat kasar dan tidak sopan bahkan sampai aku tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak tahu mengapa dia diizinkan melakukan ini kepadaku, atau mengapa tidak ada yang mengatakan apa pun kepadanya.

"Lamprecht, segera bekerja," perintah Ferdinand. “Sekarang bukan waktunya bengong. Kau membuang-buang waktu.”

Fakta bahwa Lamprecht segera melesat, menegakkan punggung, dan langsung bekerja memberi tahuku bahwa aku tidak bisa menang melawan Ferdinand. Tanpa pilihan lain, aku meraih batu tulis.

Ruangan Ferdinand sangat sepi. Satu-satunya suara yang terdengar adalah goresan pena, bunyi kalkulator, permintaan izin yang diredam, dan gemerisik kertas yang tenang saat orang-orang menyerahkan pekerjaan yang telah mereka selesaikan. Rasanya seperti aku akan mati lemas. Aku pada awalnya mencoba berlatih menulis, tetapi segera menyingkirkan batu tulis ketika tanganku mulai sedikit sakit. Ferdinand menyadarinya dan berdiri, berjalan untuk memeriksanya.

“Apakah hanya segitu yang bisa kamu lakukan?”

“Lord Wilfried sudah berusaha keras, Lord Ferdinand,” jawab Lamprecht mewakiliku.

Ya. Ini adalah latihan yang jauh lebih keras daripada yang biasa aku lakukan. Pujilah aku lebih banyak , pikirku, menyemangati Lamprecht dalam hati. Tapi Ferdinand hanya menatap Lamprecht dengan mata dingin yang sama yang dia berikan padaku.

“Itu karena kamu memanjakan Wilfried sedemikian rupa sehingga dia tumbuh menjadi sangat malas dan bodoh.”

Lamprecht tersentak, matanya terbuka lebar. Mulutnya mengepak seolah-olah dia akan memprotes, tetapi dia pada akhirnya hanya menggigit bibirnya dan terdiam.

Ferdinand mendengus meremehkan dan kemudian mengalihkan mata emasnya yang sedingin es kepadaku. “Wilfried, tidak ada seorang pun di kastil yang mau jujur padamu, jadi di sinilah aku harus memberitahukan kenyataan padamu. Kau tidak memiliki tekad, atau dedikasi, atau sikap yang dibutuhkan putra seorang archduke. Kau memiliki darah bangsawan, tetapi itu terbuang sia-sia pada anak bodoh dan egois sepertimu.”

Itu tidak benar; Aku memiliki sikap yang tepat untuk putra seorang archduke. Terlebih lagi, hanya Ferdinand yang menyebutku bodoh dan egois. Tidak ada orang lain yang melakukan hal senada. Semua yang dia katakan di sini keliru.

“Ferdinand! Kamu tidak sopan!" Aku berteriak.

“Tidak sopan? Tidak, aku mengatakan yang sebenarnya. Kau telah dibaptis, namun Kau tidak bisa membaca, menulis, atau berhitung. Kau adalah anak bodoh tidak kompeten yang memakai status sebagai putra archduke untuk menghindari segala macam tanggung jawab. Jika diminta untuk membantu pekerjaan Sylvester, Kau tidak akan bisa membantunya sedikit pun. Kau adalah pemborosan ruang yang tidak berguna. Jangan harap aku ikut-ikutan memanjakanmu.”

Aku menggeram dan memelototi Ferdinand. Sebanyak aku ingin berteriak bahwa dia salah, aku tidak bisa merangkai kata-kata.

"Lord Ferdinand, itu sudah keterlaluan!"

“Kamu sepertinya juga bermalas-malasan, Lamprecht. Rozemyne pasti sudah daritadi menyelesaikan pekerjaan sebanyak itu. Kamu lambat. Aku rasa baik pelayan maupun tuannya sama-sama tidak becus,” kata Ferdinand, menepis protes Lamprecht sebelum menatap lurus ke arahku. “Wilfried, ayahmu mengalami banyak penderitaan karena masalah suksesi, dan selama tidak ada masalah dengan manamu, dia berharap kamu menggantikannya sebagai putra sulungnya.”

Aku tahu itu dengan baik. Baik Ayah maupun Nenek mengatakan bahwa aku akan menjadi archduke berikutnya.

“Sylvester tampaknya berpikir bahwa seorang pemimpin bisa menjadi tidak kompeten seperti yang dia inginkan selama dia memiliki sekutu yang kompeten. Tetapi ada perbedaan antara mengumpulkan sekutu yang kompeten dan menyeret sekutu ke dalam lumpur, memaksa mereka untuk mengimbangi kegagalanmu yang tak berkesudahan. Dan tidak seperti Sylvester, Kau tidak memiliki karisma dan kekuatan semangat untuk mengumpulkan sekutu secara alami.”

"Lord Ferdinand, anda terlalu berharap banyak dari seorang anak kecil," protes Lamprecht.

“Kamu menyebutnya anak kecil, tetapi dia sudah dibaptis. Terlebih, dia bukan sembarang anak, tetapi anak archduke. Dalam keadaan normal, Wilfried perlu berusaha lebih keras dan memikul tanggung jawab lebih banyak daripada Rozemyne, yang hanya diadopsi ke dalam keluarga archduke. Namun, apakah menurutmu Wilfried memang berusaha lebih keras atau memikul lebih banyak tanggung jawab daripada dia? Tidak."

Argumennya terlalu masuk akal untuk tidak disetujui. Sehari di sini sudah cukup bagiku untuk menyadari betapa berbakatnya Rozemyne, serta betapa keras dia bekerja setiap harinya. Semua pelayannya bekerja sama untuk memastikan dirinya cocok untuk tugasnya sebagai Uskup Agung dan putri archduke. Dia diberi segunung tugas setiap hari yang selalu dia selesaikan.

Tapi aku, di sisi lain... Apa yang aku lakukan? Satu-satunya ingatanku adalah melarikan diri dari pekerjaan.

"Lord Ferdinand, anda tidak salah, tapi..." Lamprecht memulai, hanya untuk Ferdinand bungkam dengan tatapan tajam, tampak jauh, jauh lebih marah daripada saat bersamaku. Untuk sesaat mata emas mudanya tampak berubah warna, dan sesaat kemudian Lamprecht terkesiap, membeku di tempat dan gemetar seolah terpaku oleh tatapan itu. Saat Ferdinand mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat ke arahnya, Lamprecht mengeluarkan erangan lemah tidak nyaman.

“Wilfried bukan satu-satunya orang bodoh tidak becus yang tidak berusaha keras dalam hidup. Kau pun sama. Jika Kau peduli dengan tugas masa depanmu, Lamprecht, belajar ikat dia ke kursi dan paksa dia untuk belajar. Veronica sudah tidak ada lagi di sini.”

Apa yang dia maksud dengan itu?!seruku dalam hati.

Ferdinand lalu melirik ke arahku. “Rozemyne ​​adalah gadis yang unik dalam lebih dari satu hal, jadi aku tidak berharap Wilfried menghasilkan hasil yang sama. Tetapi jika dia ingin diterima sebagai putra archduke, dia harus bekerja setidaknya sekeras dirinya. Apakah aku salah?"

“Tidak, anda benar.” Lamprecht dengan susah payah memaksa kata-kata itu keluar. Sepertinya Ferdinand telah memberikan kutukan atau sesuatu padanya, hanya saja tanpa memegang schtappe di tangannya. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan pada Lamprecht, tetapi yang bisa aku lakukan hanyalah gemetar ketika ketakutan yang tak terlukiskan menumpuk di hatiku.

“Aku menerima laporan dari Fran bahwa Wilfried berhasil menghafal kata-kata doa tadi malam, dan berhasil menyenandungkan tangga nada lagu harspiel pagi ini. Aku telah memaksa diriku sendiri untuk menerima bahwa dia tidak dilahirkan sebagai orang bodoh. Dia bisa berhasil saat dia berusaha dan jelas cukup mampu melakukannya, yang berarti kesalahan jatuh pada orang yang memanjakan tanggung jawab dan membuatnya menjadi orang bodoh. Sadarilah bahwa ini adalah tanggung jawabmu!” Ferdinand menyatakan, sebelum menurunkan pandangan dan menghela nafas kecewa.

Pada saat itu, Lamprecht tersungkur ke atas meja.

“Lamprecht! Ferdinand, apa yang kamu—"

"Wilfried," kata Ferdinand, menyelaku dengan suara berat. Meski terdengar aneh, itu sangat luar biasa sehingga benar-benar terasa seperti ada beban yang menekan perutku.

Dia menatapku dengan mata kejam—dingin, gelap, celah emas yang sama sekali tidak menunjukkan kehangatan padaku. Itu adalah mata yang menakutkan tidak seperti apa pun yang pernah aku lihat sebelumnya, dan bahkan tanpa menyadarinya, gigiku mulai bergemeletuk.

“Tidak ada yang aku inginkan selain melayani seseorang yang malas, manja, dan tidak becus sepertimu. Jika Kau terus seperti ini, aku sendiri yang akan membesarkan adikmu dan menghancurkan masa depan politikmu dengan sekuat tenaga.”

Baik Ayah maupun Nenek telah mengatakan bahwa aku akan menjadi archduke berikutnya, dan ku pikir itu benar, apa pun yang terjadi. Aku bahkan tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan seseorang akan datang dan menentang kata-kata itu. Mendengar bahwa masa depanku tidak benar-benar terjamin seperti hantaman di kepala yang membuatku ingin menangis.

“Sudah tradisi bagi anak dengan mana terbanyak yang lahir dari istri pertama archduke untuk menjadi archduke berikutnya. Kau akan melakukannya dengan baik untuk mengingat ini,” katanya.

Aku menelan ludah, tepat saat bel keempat mulai berbunyi. Hariku yang dihabiskan untuk bertukar posisi dengan Rozemyne telah berakhir.

Post a Comment