Update cookies preferences

Unnamed Memory Vol 2; 5. Diriku Yang Tak Kau Tau

Anak itu berdiri membeku di depan gerbang kota. Dia kembali dari menjalankan tugas di kota berikutnya. Jalanan tidak terlihat berbeda. Namun, mereka seharusnya sibuk dengan orang-orang. Anak itu tidak bisa memata-matai satu orang pun di jalan raya. Toko-toko lengang, seperti rumahnya sendiri.









Mengembara di kota untuk mencari seseorang —siapa pun itu— anak itu akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa tempat tersebut benar-benar kosong. Dia benar-benar bingung. Semuanya terasa seperti mimpi buruk. Mungkin dia baru saja menemukan jalan ke kota lain yang tampak identik dengannya?

Semuanya tampak familiar; coretan-coretan di dinding yang sudah ada selama bertahun-tahun, boneka-boneka tua yang menghiasi jendela etalase.

Dia kembali ke rumahnya, berpegang pada secercah harapan terkecil.

Di atas meja dapur, ibunya telah menyiapkan makan siang untuknya.

Aromanya seperti rumah, dan dia merasakan air mata berlinang. Makanannya masih cukup hangat.

Dia makan, air mata mengalir di pipinya, dan kemudian berlari ke kota berikutnya dengan kaki lelah untuk memberi tahu mereka apa yang telah terjadi.

________________

Pertempuran Asdra Plains sangat mengerikan melebihi hampir semua perkiraan.

Sepuluh ribu tentara Tayiri seluruhnya telah hilang, kecuali sekitar lima ratus orang yang meninggalkan tempat itu. Cuscull pada akhirnya kehilangan kurang dari lima puluh mage. Hasil mengerikan seperti itu memaksa negara-negara netral mengevaluasi kembali kekuatan sihir, serta bahaya yang ditimbulkan Cuscull.

Namun, pertempuran Asdra bukanlah satu-satunya hal yang memicu pertimbangan ulang.

Pada saat yang hampir bersamaan dengan pertempuran, satu kota di masing-masing Empat Negara Besar diserang.

Serangan-serangan ini mirip dengan yang diderita kota-kota Tayiri: Bangunan-bangunannya dibiarkan utuh, hanya penduduknya yang lenyap. Hanya kota-kota besar yang menjadi target, dan negara-negara yang tadinya menganggap diri mereka penonton dalam konflik tersebut sekarang harus mempertimbangkan dengan serius pesan yang dikirim Cuscull.

Oscar, saat ini penobatannya tinggal empat hari lagi, menerima laporan tentang serangan itu dan meringis.

Biasanya, dia diangkat menjadi raja akan menjadi perhelatan agung dengan kehadiran semua orang penting dari setiap negara. Namun, dengan adanya bayangan krisis, itu ditetapkan menjadi event sederhana hanya untuk tamu domestik. Seiring dengan rencana dan persiapan penobatan, dewan kerajaan sibuk berusaha menangani situasi politik.

"Jadi itu seberapa buruk?" Oscar bertanya.

Suzuto, berdiri di depan Oscar, dengan gugup memberi laporannya tentang menghilangnya warga kota. “Sama seperti serangan di kota-kota Tayiri, bangunan tidak mengalami kerusakan. Di dalamnya.... Yah, itu benar-benar seolah-olah semua orang menghilang begitu saja tanpa jejak. Beberapa restoran bahkan masih memiliki semangkuk sup panas di atas meja.”

“Fenomena yang sangat aneh,” komentar Oscar.

“Meskipun saya tidak dapat menemukan tanda-tanda kehidupan manusia, terkadang saya... merasa ada sesuatu di sana.”

“Perasaan seperti apa?”

“Rasanya seperti aku merasakan kehadiran atau semacam sensasi. Aku menyadari sesuatu, tapi aku tidak pernah benar-benar melihat orang di sana. "

“Aku...mengerti....,” kata Oscar, ragu. Cerita itu semakin dia dengar semakin aneh. Dia ingin pergi dan melihat dengan matanya sendiri tetapi dia tahu itu hanya akan membuat semua orang marah.

Oscar membubarkan Suzuto, lalu menoleh ke Doan, yang menunggu di sudut ruang kerja. "Bagaimana menurutmu?" Oscar bertanya.

“Sejujurnya, saya tidak tahu bagaimana hal seperti itu bisa dilakukan,” jawab Doan.

"Mungkinkah itu ulahnya?"

“Saya akan bilang harusnya begitu. Dia tidak bertanggung jawab menimbulkan masalahnya sendiri, karena itu berarti ada penyihir lain yang mampu melakukan hal-hal yang tidak mungkin."

“Aku rasa itu benar. Tidak ada penyihir lain yang terlibat,” Oscar beralasan.

Setelah setengah tahun, dia mengira dia telah menyaksikan dan memahami betapa luar biasanya Tinasha, tetapi kenyataannya adalah bahwa kekuatannya di medan perang melampaui apa pun yang bisa dia bayangkan. Jika itu benar tentang Oscar, yang telah mengenalnya, orang-orang hanya bisa menebak betapa tidak siapnya negara lain. Tidak diragukan lagi, mereka mengkhawatirkan nyawa mereka.

“Ugh. Dia hanya tidak tahu batasannya, dan itu menyulitkan kita,” keluh Oscar.

"Sebenarnya, bisa dibilang dia sangat siap untuk ini," kata Doan dengan tenang. Dia benar. Itulah mengapa dia menghilang dari Farsas.

Oscar menghela napas. Als, yang juga ada di ruangan itu, angkat bicara. Cezar telah memutuskan untuk mengirim pasukan, tapi Gandona masih ragu-ragu.

"Begitu," kata Oscar, meletakkan kakinya di atas meja dan menyilangkannya. Dia membasahi bibirnya yang kering dengan lidahnya.

.....Jawabannya selama ini sudah ada.

Tinasha hanya mencari waktu yang tepat, dan sekarang waktunya telah tiba. Oscar mendengus, mengayunkan kakinya ke bawah dan berdiri. "Siapkan pasukan. Kita kerahkan setelah penobatan." Als dan Doan membalas dengan membungkuk hormat.

xxx



Sejak pelindung cantiknya menghilang, Oscar telah diresahkan oleh pemikiran yang tak menghilang hari demi hari.

Sudah berapa lama Tinasha merenungkan situasi yang kita hadapi sekarang ini?

Dia yakin dia sudah tahu siapa raja Cuscull jauh sebelum Farsas tau.

Itulah mengapa dia menyingkirkan kucing familiarnya setelah pekerjaannya selesai, dan itulah alasan dia bergegas untuk mematahkan kutukan Oscar.

Oscar yakin ada alasan berbeda mengapa dia sampai melatih dirinya.

Dia mungkin meninggalkannya dengan pilihan, jadi dia tidak akan berakhir seperti dia —tidak berdaya dan terhina.

Tinasha adalah penyihir yang emosional, rela berkorban, dan canggung. Dia selamanya terjebak dalam waktu, tetapi dia pada akhirnya memilih untuk mengambil tindakan. Dia melompat menerjang nasibnya.

Adapun masa depan yang dibayangkan Tinasha.... Oscar tahu dia tidak bertindak untuk melindungi masa depannya sendiri.

Namun, pilihan apa yang tersisa?

Oscar merenungkan pertanyaan itu saat dia melihat ke bawah ke kota dari serambi di sepanjang benteng kastil.

Penobatannya dilangsungkan tanpa hambatan, dan orang-orang menyambut raja muda mereka dengan sorak-sorai yang liar dan antusias ketika dia dihadirkan didepan mata publik. Itu adalah adegan yang sering dibayangkan Oscar sendiri. Dia tahu sejak dia masih kecil hari seperti itu akan datang, namun dia tidak membayangkannya tidak lebih dari tonggak sejarah sederhana.

Dia mungkin satu-satunya orang dalam sejarah yang dikutuk oleh salah satu penyihir dan kemudian mendapatkan perlindungan dari penyihir lain. Kedua hal itu, bagaimanapun, terjadi sebagai akibat dari beban kerajaan yang telah dia pikul selama yang dia bisa ingat. Sebagian besar hidupnya berada di luar cengkramannya; jalan seorang pangeran telah ditentukan sebelum dia pernah melihatnya.

Bisa dikatakan —memilih Tinasha sekarang adalah satu-satunya hal yang dia lakukan atas kemauannya sendiri.

Oscar tidak pernah membayangkan masa depan seperti ini ketika dia masih kecil. Itu membuat apa yang terjadi mulai saat ini menjadi lebih penting.

Raja baru melambai kepada orang-orang dan kembali ke kastil. Tanpa penundaan sesaat, para pejabat istana dan staf mengerumuninya. Saat dia mondar-mandir, Oscar berjalan menyusuri lorong, memberi perintah kepada Kepala Mage Kumu, Als, dan Doan tentang perjalanan keesokan harinya ke Tayiri.

“Pastikan kita bisa berteleportasi kapan saja. Seluruh lawan kita adalah mage. Rencanakan cara untukku sendiri agar bisa keluar dalam skenario terburuk. Aku mungkin bisa mengatur sesuatu jika aku melakukannya."

"Baik. Yang Mulia pengiriman juga benar-benar pilihan terakhir kami, tapi...”

“Tayiri tidak menahan diri, dan kita juga tidak bisa. Farsas harus menggunakan segala yang ada demi memastikan keamanan."

Akashia —Pembunuh Penyihir. Selama Oscar memegang pedang itu, dia memiliki keunggulan yang kuat atas para mage. Tentu saja, pengusungnya juga harus seorang pendekar pedang yang tangkas, tapi Tinasha telah memastikannya dengan instruksi teknisnya yang menyeluruh. Pada akhirnya, Oscar tahu dia bahkan bisa membunuh penyihir jika dia mau.

Dia bisa, tapi apakah dia mau adalah cerita lain.

Saat grup itu berjalan menyusuri lorong, memperkuat rencana, seorang anak muncul dari pintu ke ruang tunggu. Dia melompat ke depan Oscar, melambaikan tangannya lebar-lebar dan berteriak. “Anda akan membunuh penyihir itu, kan? Saya juga ingin pergi!”

Ledakan mengejutkan membuat semua orang terdiam. Saat kerutan tipis melintas di wajah Oscar, Suzuto berlari dari ujung lorong.

"Apa yang sedang kamu lakukan? Kau sedang bicara dengan Yang Mulia!" Suzuto mengomel, menjepit lengan anak itu di belakang punggungnya. Dia membungkuk ke Oscar. “Aku sangat minta maaf, Yang Mulia. Itu sangat lancang."

“Apakah ini adik kecilmu?”

“Tidak, dia adalah anak dari salah satu kota yang diserang... Dia sedang pergi saat tragedi itu terjadi. Dia tidak punya tempat tujuan, jadi saya membawanya kembali ke sini."

“Ah, begitu.”

Terbukti, saat Suzuto sedang dalam penyelidikan, dia menemukan seorang anak dari kota yang penduduknya tiba-tiba menghilang dan membawanya ke tempat aman di kastil. Lengannya masih menempel di belakang punggungnya, anak itu berkata, "Aku sudah mendengar semuanya. Penyihir itu membunuh semua orang, bukan? Aku juga ingin pergi! Aku akan membalas dendam!”

"Tidak. Anak kecil harus bersekolah,” Raja Oscar yang baru dinobatkan dengan tegas bersikeras.

Namun, anak itu tidak mundur, dan melarikan diri dari cengkeraman Suzuto untuk kembali meneriaki raja. “Kalau begitu biarkan aku meminjam pedangmu! Aku akan pergi membunuh penyihir itu."

“Dengarkan baik-baik…,” Oscar memulai. Dia meraih kerah anak itu dan mengangkatnya dari permukaan sehingga keduanya sejajar. Anak itu menendang kakinya, dan Oscar menatapnya dengan tatapan kaget. “Tidak ada orang normal yang bisa menandingi penyihir itu, bahkan jika kau memang memiliki pedang ini. Paham? Jika Kau mengerti, maka jaga dirimu baik-baik.”

“Kamu hanya mengatakan itu karena kamu tidak ingin membunuhnya! Bawa aku bersamamu!"

Semua orang di sekitar mengerutkan kening melihat perilaku liar anak itu. Kumu memelototi anak itu. “Berani-beraninya Kau bicara dengan Yang Mulia seperti itu…”

"Tidak apa-apa. Selain itu, dia mengatakan beberapa hal lucu. Aku tidak ingin membunuhnya, bukan? (I don't want to kill her, do I) Kau tepat sekali,” Oscar mengakui.

“Tapi kamu seharusnya menjadi raja!” teriak anak itu.

“Dengar.... Jika seorang mage atau penyihir ingin menembak jatuh sebuah kota, mereka hanya akan mengirim beberapa serangan besar dari atas tanpa mempedulikan bangunannya dan itu akan berakhir. Pikirkan betapa rumitnya dia saat membuat orang-orang menghilang tapi membiarkan sisanya tidak tersentuh. Jika kamu tidak menggunakan kepalamu, kamu tidak akan bisa melihatnya lagi.”

Ketika raja mengatakan hal itu, mata anak itu melebar dan terdiam. Setelah berpikir untuk sesaat, dia bicara dengan takut-takut. “Ibuku... masih hidup?”

"Mungkin. Aku akan meminta penjelasan dari penyihir itu," kata Oscar, meletakkan anak itu kembali ke lantai.

Dia terhuyung-huyung dengan harapan samar yang telah diberikan kepadanya, tetapi dia juga takut akan kemungkinan kekecewaan. Dengan agak menuduh, anak itu bertanya, "Tapi bagaimana jika mereka benar-benar sudah mati?"

Jelas dia bahkan takut untuk bertanya, dan mata Oscar menyipit. Wajah tampannya menjadi kosong.

Dia mengamati anak itu dengan mata seorang raja yang duduk di singgasananya— seseorang yang memiliki sejarah panjang dan tanggung jawab yang berat.

Saat keagungan yang tak tertahankan dari seorang raja menekannya, anak itu menelan ludah.

Oscar mengarahkan mata birunya langit ke bawah saat dia bicara.

"Jika memang begitu, maka aku akan membunuhnya." Nada suara Oscar membuat Als merinding. Itu bukan kebohongan. Dia serius setiap kata.



___________________



Pada tengah malam saat bulan berkilau seperti mutiara, Pamyra memasuki kamar sang Lady lalu menemukannya menggambar rangkaian transportasi jarak jauh.

“Lady Aeterna, mau kemana?” tanya Pamyra.

Wanita yang berdiri di tengah ruangan tersentak dan berbalik. “Oh, Pamyra. Jangan asal menyelinap. Juga, jangan panggil aku seperti itu.”

“Maafkan saya, Lady Tinasha.”

Setelah mendengar nama sapaan yang direvisi, Tinasha menjulurkan lidahnya seperti anak kecil yang tertangkap basah saat tengah membuat ulah.

Saat ini, hanya Pamyra yang tahu tentang sifat asli Tinasha, yang sepenuhnya berlawanan dengan kepribadian yang ditunjukannya saat bertindak sebagai pengantin raja.

Beberapa hari setelah menjadi pelayan Tinasha, Pamyra memperhatikan bahwa penyihir itu seperti menyembunyikan sesuatu. Begitu mereka sendirian, dia menanyai Tinasha tanpa ampun sambil menjanjikan kesetiaan. Setelah cukup lama memohon dan merasa diyakinkan, dia akhirnya tampak memenangkan kepercayaan penyihir.

“Tidak peduli apa pun yang terjadi, saya ada di pihak anda. Jika anda pernah mendapati saat dimana anda tidak dapat mempercayai saya, bunuh saya di tempat."

Ketika Pamyra pertama kali memohon padanya, Tinasha menatapnya dalam diam. Namun, dia dengan cepat lelah oleh ketekunan pelayan itu.

"Baiklah, baiklah ... Sebagai permulaan, jangan panggil aku Aeterna jika hanya kita berdua."

Tinasha mengakuinya dengan senyum jengkel, dan sikapnya berubah jauh lebih tenang dan sopan daripada sebelumnya. Pamyra mengira itu adalah jati diri penyihir itu, dan dia senang melihatnya.

Namun, sekarang bukan waktunya untuk bersuka ria. Sementara kekuatan Tinasha memang sangat besar, dia hanya memiliki dirinya sendiri dan dia sangat terisolasi di Cuscull. Pamyra menginginkan seseorang yang bisa lebih dipercaya oleh keduanya dan baru-baru ini bertanya-tanya apakah Renart akan menjadi orang itu.

Mengabaikan keresahan Pamyra, Tinasha kembali mengerjakan rangkaiannya. “Aku akan keluar sebentar. Jika seseorang datang, lindungi aku."

“Tunggu, ah—” Pamyra mencoba bertanya kemana dia pergi, tapi sesaat kemudian penyihir itu menghilang dari ruangan tanpa jejak.

"Aku tidak percaya wanita ini!" Pamyra berseru, tapi tidak ada yang mendengarnya. Bulan melayang dalam diam dan pucat di langit.



___________________



Dari balkon, bulan tampak merah.

Seolah seperti itu diwarnai dengan darah, batin Reust, putra mahkota Tayiri, cukup sinis. Rambutnya diikat dan membentuk bayangan panjang di punggungnya.

Hampir sepuluh ribu tentara tewas di Dataran Asdra, karena penilaiannya yang buruk. Sesuatu yang pahit bergolak di perut Reust saat matanya tetap tertuju pada langit.

Tayiri memiliki sejarah panjang dalam menganiaya para para mage.

Selama seribu tahun terakhir, negara tersebut telah menyaksikan lebih dari sekadar bagian berdarahnya. Tidak sekali pun keyakinan Tayiri bahwa Irityrdia adalah satu-satunya dewa sejati yang pernah terguncang.

Bilah Pemecah Dunia dan Pucat Tidur (World-Splitting Blade and Sleeping Paleface) adalah beberapa nama lain untuk Irityrdia, yang menyatakan bahwa manusia dengan sihir itu tamak, tidak murni, tidak dibenarkan untuk tumbuh, dan semestinya tidak dilahirkan. Dikatakan bahwa mereka yang memiliki sihir tidak dapat menahan pikiran atau tubuh mereka di depan Irityrdia dan akan terus mengamuk yang membahayakan orang-orang tidak bersalah. Orang-orang kuno Tayiri menjadi saksi kebenaran tersebut, takut akan tuhan mereka, dan menjauhi mage. Itu adalah tradisi yang bertahan hingga zaman modern. Berbagai mage telah mencoba menyulut pemberontakan, hanya untuk dipadamkan berkali-kali oleh pasukan kerajaan yang luar biasa.

Ketika Cuscull mendeklarasikan kemerdekaan, tidak ada yang mengira itu akan bertahan lama. Semua orang mengira keberadaannya karena raja Tayiri terlalu lemah.

Reust merasakan hal yang sama, namun para prajurit yang bersikeras dia kirim telah dimusnahkan.

Menyesal karena meremehkan dan tidak mengerahkan pasukan yang lebih besar, Reust mengutuk diri sendiri karena dia tidak mengambil alih komando. Namun, sekarang itu sudah terlambat. Dalam sepekan, pasukan dari Farsas, Cezar, dan Gandona akan tiba di ibu kota Tayiri. Setelah mengkritik ayah kerajaannya karena memanggil bala bantuan, diam-diam Reust masih berharap untuk mencapai sesuatu dengan kekuatan Tayiri sendiri sebelum bantuan tiba.

"Besok aku akan menyusun pasukan lagi dan memimpin mereka sendiri...."

Reust menatap langit, tekad pahit di hatinya. Tapi saat dia melihat keluar, langit yang diterangi cahaya bulan tiba-tiba berubah.

“....!”

Secara refleks, dia menghunus pedangnya.

Lengkungan itu adalah tanda kemunculan mage setelah teleportasi jarak jauh. Dia sudah melihatnya berkali-kali, dan dia selalu bisa menebas para mage begitu mereka muncul. Kali ini, bagaimanapun, itu datang dari langit, tempat yang tidak bisa dijangkau pedangnya. Reust berharap dia membawa busur, tapi itu tidak jadi soal sekarang.

Saat dia menggertakkan giginya karena frustrasi, ruang yang melengkung itu melebar.

Sesaat berikutnya —seorang penyihir muncul.

Dia langsung mengenalinya sebagai penyihir yang menyerang kota Tayiri.

Dia begitu berani untuk menunjukkan dirinya sebelum menyerang dan mengumumkan bahwa dia memang seorang penyihir. Warna rambut dan matanya sesuai dengan laporan, tapi kecantikannya jauh melebihi apa yang dibayangkan Reust.

Dia seperti cahaya bulan yang diberikan wujud. Itu menentang semua hukum suci, dan dia tidak mengerti mengapa dia diberkati dengan paras seperti itu. Bulu mata panjangnya bergerak perlahan. Dari bawah keduanya, dia melontarkan pandangan tajam ke bawah.

“Pangeran Reust?” dia memanggil dengan suara sejelas air dingin.

Kegelapan di matanya begitu dalam hingga rasanya Reust bisa jatuh selamanya. Sesuatu dalam mata itu membuatnya tertarik.

Dia begitu hidup dan mencolok sehingga Reust mengira dia akan berhenti bernapas. Hanya satu pandangan dan itu benar-benar membuatnya terpikat.

Suara Reust serak, dan dia tidak bisa langsung menjawab. Setelah beberapa saat, dia akhirnya memberikan jawaban. "Apa yang kamu inginkan, penyihir?"

Dia mengangguk kecil, melayang di udara. Cara dia bicara menunjukkan bahwa dia memilih kata-katanya dengan sangat hati-hati. “Tidak ada gunanya terus menyerang Cuscull. Aku ingin Kau membatalkan perjalananmu."

“Ucapkan omong kosong yang tidak tahu malu. Apa tujuanmu?”

Penyihir itu sedikit menghela nafas karena cemoohan dan permusuhannya, lalu mengacungkan satu jari putih pucat padanya. “Ini semua akan berakhir dalam dua pekan lagi. Jika memungkinkan, aku tidak ingin Kau mengerahkan bala bantuanmu sampai saat itu."

"Apa yang baru saja Kau katakan? Apa maksdunya?"

Penyihir itu tidak menjawab. Reust bingung bagaimana menafsirkan kata-katanya.

Apakah dia hanya membuang-buang waktunya, atau apakah dia punya niat lain?

Melayang di udara, penyihir itu balas menatap Reust tanpa ekspresi. Gaun sutra tipis hitamnya berkibar tertiup angin; dia sebentar lagi sepertinya akan menghilang.

Reust dikejutkan oleh perasaan aneh bahwa penyihir itu tidak benar-benar ada di sana.

Dia membersihkan tenggorokannya yang kering dan mengambil satu langkah ke depan. "Jika Kau meminta bantuan, turunlah dari sana, penyihir menyedihkan."

“Penyihir menyedihkan? Tidakkah kalian mengerti bahwa sikap itu telah membawa kalian ke situasi saat ini?" penyihir itu bertanya retoris, satu sisi mulutnya berubah menjadi seringai kejam.

Pemandangan itu membuat sentakan ketakutan dan rangsangan mengalir melalui Reust. Dia memiliki perasaan berbeda bahwa tangan putihnya yang sepenuhnya inhuman dapat menjatuhkannya ke dalam kegelapan tak berujung.

Dia memikirkan apa yang harus dia katakan sebagai jawaban. Keheningan sama artinya dengan mengaku kalah, jadi dia menunjukkan seringai di wajahnya. “Para mage mengacaukan dunia dewa kami dengan keinginan egois mereka. Kuasa seperti itu adalah dosa. Turun. Jika Kau melakukannya, aku akan mendengarkanmu."

Reust tidak mengira dia akan mematuhi perintahnya, tetapi yang mengejutkan, penyihir itu turun dengan cepat sampai dia melayang setinggi mata dengannya, meskipun masih di luar jangkauannya.

Sekarang dia memandangnya pada ketinggian yang sama, Reust mengakui bahwa penyihir itu memiliki tubuh yang sangat mungil untuk seseorang yang anehnya mengintimidasi. Gelombang pusing ringan menerpa Reust saat merasa dia akan pas di pelukannya jika dia harus memeluknya.

Senyuman pahit mengubah raut penyihir itu. “Kamu jauh lebih tinggi dariku. Kau mungkin juga jauh lebih fleksibel. Tapi bukankah kamu menganggap konyol jika aku iri padamu dan mencoba mengusirmu hanya karena itu? Menggunakan nama dewa untuk memburu mereka yang berbeda hanya menunjukkan betapa lemahnya manusia."

Pantulan bulan melemparkan kesedihan mengerikan di wajahnya.

Mata gelap penyihir itu tampak melayang dan terayun-ayun di sepanjang lautan malam. Reust ingin tahu apakah dia tercermin di dalamnya.

“Kau mencoba memakai olah kata untuk memperdayaku. Kekuatan yang dimiliki makhluk sepertimu tidak wajar."

Setiap manusia di dunia berbeda; semua itu memang duah diduga. Namun, para mage berbeda dalam cara yang lebih signifikan. Seorang penyihir mengerti hal itu lebih baik dari siapapun.

Mendengus, penyihir itu bertanya pada Reust, "Apa kau pernah mengayunkan pedang ke kepala bayi?"

"Apa....?"

“Pernahkah kamu membakar ibu dan bayinya yang menangis di tiang pancang?”

“Apa-ap...?”

Tenggorokan Reust menjadi kering. Dia tahu apa yang dia coba katakan. Saat darah mengering dari wajahnya, penyihir itu menjelaskan, “Negaramu mengizinkan semua itu terjadi. Bukan sebagai kegilaan tapi sebagai rutinitas. Aku telah melihat pemandangan yang lebih mengerikan. Itulah realitas Tayiri."

Reust tidak bisa berkata-kata. Namun, nada suara penyihir itu tidak kasar atau mencemooh. Dia bicara dengan sikap acuh tak acuh.

“Sebagai putra mahkota, Kau pasti tahu sejarah bangsamu dan tentang pemerintahan negara lain. Kau mesti menyadari betapa anehnya Tayiri. Tiga ratus tahun telah berlalu sejak Abad Kegelapan, dan tidak ada negara lain yang masih elitis tanpa henti seperti tanah airmu. Kau harus bisa memahami bahwa apa yang Kau lakukan sama dengan memotong kakimu sendiri.”

Beberapa rasio dari anak-anak dengan sihir lahir dari orang tua tanpa bakat sihir. Tayiri mengucilkan anak-anak itu, apapun keadaan mereka. Anak-anak itu memang lahir menentang Irityrdia. Tidak ada gunanya mempertimbangkan apakah itu benar atau salah. Dengan kata lain, itu adalah sesuatu yang paling tidak puas untuk tidak dipikirkan ... Reust tidak memiliki pilihan itu lagi.

Penyihir itu mengibaskan rambut hitam panjangnya. Cahaya putih bersinar di ujung jarinya, lalu berubah menjadi kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya yang indah dan menghilang ke dalam kegelapan taman.

Setelah selesai, suara penyihir itu menjadi nada protes. “Tidak peduli mage macam apa kamu, masih ada aturan yang harus kamu ikuti. Tidak peduli bagaimana Kau berjuang, Kau tidak dapat menghidupkan kembali orang dan bangsa. Itu berlaku untuk semua orang —mage tidak terkecuali. Kau mungkin berpikir pengguna sihir berbeda dari orang normal, tetapi kenyataannya mereka hampir identik.”

“Omong kosong penyihir...”

“Tidak peduli siapa aku, masih ada seorang pria yang bisa menebasku dengan mudah. Bahkan kekuatanku ada batasnya,” kata penyihir itu sambil tersenyum. Untuk sesaat, dia (she) tampak hampir senang mengetahuinya.

Senyumannya segera lenyap, dan wajahnya menjadi kaku. Mata yang dingin dan gelap mengamati Reust. “Aku sudah memberikan peringatanku. Pikirkan baik-baik."

Tiba-tiba, dia membuka kedua lengannya lebar-lebar. Reust menyadari bahwa dia sedang bersiap untuk berteleportasi dan berteriak secara refleks, “Jika kamu ingin aku menghentikan bala bantuan, tanyakan lagi besok! Datanglah padaku! Jika tidak, aku tidak akan melakukan apa yang Kau minta!"

Dia tidak menerima jawaban.

Tanpa mantra, penyihir itu menciptakan rangkaian sihir dan lenyap. Tidak ada jejak wanita yang tersisa saat angin berhembus.

Tertinggal dalam bayang-bayang penyihir yang telah begitu memikat jiwanya, Reust menghabiskan beberapa saat menolak untuk beranjak dari balkon.

Akhirnya, dia kembali ke kamar, kehilangan keinginan untuk menyusun pasukannya keesokan harinya.

_______________

Post a Comment