Update cookies preferences

Unnamed Memory Vol 3; 1; Konsekuensi Mencapai Kesepakatan

 

Farsas adalah sebuah negara yang terletak di dekat tengah benua.

Negeri yang luas dan stabilitas menjadi ciri negara ini. Terlebih lagi, seorang penyihir wanita tinggal di dalam istana kerajaannya.

Hanya ada lima penyihir wanita di seluruh dunia. Meski secara teknis penyihir, para wanita ini memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada pengguna sihir biasa dan telah hidup selama berabad-abad.

Sosok yang dipandang sebagai sosok terkuat dari mereka berlima adalah Tinasha. Dia jugalah penyihir wanita yang tinggal di Farsas.

Tinasha telah menyepakati kontrak untuk menjadi pelindung raja selama satu tahun, dan dia juga ratu dari kerajaan sihir kuno; dalam hal mantra, tidak ada yang tidak bisa dia lakukan.

Wanita yang kuat itu biasanya menghabiskan waktunya dengan santai membaca buku sambil menepis lamaran nikah tanpa henti dari raja muda Farsas.

______________________________

“Oscar tidak ada di sini.... Kenapa....?”

Hujan tiba-tiba turun sore itu, menyelimuti langit dengan awan tipis. Cuaca buruk telah mengakhiri pelatihan sihir Tinasha. Ketika dia kembali ke ruang kerja raja, dia anehnya tidak mendapati Oscar disana.

Tinasha memiliki rambut panjang dengan warna hitam pekat dan mata dengan warna yang sama. Usianya yang sebenarnya melampaui empat ratus tahun, meskipun tubuh fisiknya baru sembilan belas tahun, karena penyihir wanita itu telah berhenti dari penuaan. Kecantikannya seperti sebuah mahakarya, cukup untuk membuat siapa pun terkesiap, meskipun rasa heran kini mewarnai wajahnya karena sebuah perubahan.

"Bagaimana bisa dia pergi...?" gumam Tinasha.

Oscar pada jam segini seharusnya sedang bekerja; dia bahkan sudah memberitahu Tinasha pagi ini.

Namun dia tidak bisa ditemukan di mana pun. Mungkin saja dia menyelinap ke suatu tempat saat Tinasha sibuk. Memikirkan bagaimana dulu sang raja itu menyelinap dan membuat dirinya terlibat dalam segala macam situasi yang tidak menyenangkan, wajah cantik Tinasha berkedut.

"Jika dia melakukannya lagi, aku akan menggantungnya di menaraku."

Terlepas dari status kerajaannya, Oscar adalah pecinta petualangan yang sembrono. Meskipun dia yakin dia bisa keluar dari sebagian besar gesekan, itu tidak relevan. Sejak pertemuan pertama Tinasha dengannya beberapa bulan yang lalu, dia telah mengambil peran sebagai pendampingnya. Dia melangkah kembali ke lorong, pipinya menggembung karena kesal.

Di sana, dia bertemu dengan tiga dayang. “Oh, Nona Tinasha...,” kata mereka, tampak bingung melihatnya keluar dari ruang kerja.

Meskipun beberapa orang di kastil mulai hangat pada sosok penyihir wanita yang tinggal di sana, masih banyak yang takut padanya. Dengan senyum tipis bibirnya, Tinasha menunjuk ke pintu ruang kerja. “Apakah kalian membutuhkan sesuatu dari Oscar? Aku takut dia keluar.”

“Tidak.... Kami sebenarnya ingin meminta sesuatu dari anda,” kata seorang pelayan dengan takut-takut.

"Dariku?" Tinasha bertanya dengan sedikit terkejut, sambil menunjuk dirinya sendiri.

Alih-alih bekerja, Oscar malah menjamu tamu. Di sebuah ruangan kecil di luar ruang audiensi, asisten raja, Lazar, memberi tahu Tinasha tentang situasinya. “Tamunya adalah Duke Soanos, seorang anggota keluarga bangsawan di Mensanne di sebelah timur. Dia juga seorang saudagar kaya yang terkenal. Karena dia memiliki pengaruh besar di pelosok benua, dia harus dijamu dengan hormat, bahkan jika dia datang dengan tiba-tiba....”

"Oscar berurusan dengan banyak hal," kata Tinasha penuh perasaan. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun tentang bagaimana ia tadinya bersumpah untuk mengikatnya.

Lazar menatapnya dengan bingung. “Lady Tinasha, apa yang kamu kenakan...?”

“Ceritanya panjang...”

Di balik pakaian penyihir hitam yang biasa ia kenakan, dia mengenakan gaun pink muda yang cantik, dan rambutnya dikepang longgar. Sentuhan lembut riasan memberikan sedikit kepolosan pada kecantikannya yang tiada tara.

Semua itu menghasilkan kesan yang sepenuhnya berbeda dari yang biasanya keluar dari Tinasha. Sekarang dia tampak seperti gadis bangsawan muda. Dia melirik kembali ke dayang yang telah membantunya berganti baju. Salah satu dari mereka menjadi pucat dan menundukkan kepalanya. “Saya benar-benar sangat menyesal. Kami telah meminta sesuatu yang berlebihan dari anda..."

"Ya, benar. Akan ku lakukan sebisaku.”

Duke Soanos datang bersama putrinya. Sama seperti sang ayah, dia berdagang perhiasan dan aksesoris di setiap negara. Dulu, dia telah mendapatkan kalung dari seorang pedagang yang terkait dengan salah satu dayang.

Namun, barang yang dimaksud adalah pusaka yang dimaksudkan untuk diberikan kepada wanita itu oleh neneknya. Benda itu terjual secara tidak sengaja. Sayangnya, saat hal ini dijelaskan kepada Eleisa, putri Duke Soanos, dia menolak untuk mengembalikannya. Bahkan tawaran untuk membeli kembali dengan markup tidak membuatnya goyah. Pada akhirnya, si dayang harus menyerah pada kalung itu, dan ditegur oleh keluarganya sendiri.

“Jadi anda diminta membantu merebutnya kembali, Lady Tinasha?” Ringkas Lazar.

“'Merebut kembali' membuatnya terdengar seperti aku akan merampasnya dengan paksa. Aku akan terlibat dalam negosiasi biasa untuk mengamankan pengembaliannya.”

"Tapi bukankah Eleisa dulu menolak?" Lazar bertanya, melihat ke arah dayang yang bersalah.

Dengan ragu-ragu, dayang itu menjelaskan, “Ada sebuah legenda di keluarga saya bahwa mengenakan kalung itu di hari pernikahan berarti akan memiliki kebahagiaan seumur hidup. Itu telah diturunkan dari generasi ke generasi... Saya berencana untuk memakainya di hari pernikahan saya tahun depan.”

“Ah, seseorang pasti menginginkan sesuatu yang berharga itu kembali,” kata Lazar.

Tinasha menyela. “Pedagang suka menilai pelanggan, jadi jika aku berpura-pura menjadi orang yang royal, dia mungkin akan menerima tawaranku. Oscar mungkin ingin segera kembali bekerja; dia seharusnya senang ketika aku datang untuk membebaskannya.”

Tinasha memungut ujung gaun tebalnya. Daya pikatnya yang cool, jernih, dan didikan kerajaan memberinya suasana keanggunan yang santun.

Lazar terpesona olehnya untuk sesaat, lalu tersadar kembali dan mengangguk. "Saya mengerti. Saya akan jelaskan kepada Paduka.”

“Tidak ada waktu. Aku akan pergi bersamamu. Saat aku memperkenalkan diri, Kau dekati Oscar dan mengingatkan situasi ini padanya. Aku akan berimprovisasi,” kata Tinasha.

"Apa...? Bukankah itu hanya akan membuat situasi menjadi lebih rumit?” tanya Lazar.

“Ini akan baik-baik saja, jangan khawatir. Jika keadaan benar-benar memburuk, aku hanya akan melepaskan sihir psikologis pada semua yang ada disana.”

“Itu akan menjadi pilihan terakhir...,” kata Lazar datar ketika dia dan penyihir wanita itu berjalan ke pintu yang menuju ke ruang audiensi.

Tepat sebelum mendorongnya terbuka, Tinasha berbalik untuk tersenyum pada si dayang, dan berkata, “Serahkan padaku. Tunggu saja.”

Tinasha mengulum senyum cerah kepada dayang itu, dan dayang itu membungkuk dalam-dalam.

Dengan itu, Tinasha melangkah ke ruang audiensi.

______________________________

Biasanya, ruangan itu hanya berisi singgasana, tetapi saat ini terdapat meja lebar yang disiapkan untuk kunjungan para pedagang. Di sana, Duke Soanos meletakkan berbagai barang mahal.

Di seberang meja berdiri penguasa kastil, seorang pemuda tampan dengan fisik yang kencang. Meskipun usianya masih dua puluh satu, dia adalah raja karena penguasa Farsas harus selalu seorang pendekar pedang yang tangkas.

Pedang yang dia bawa, pedang kerajaan Akashia, adalah satu-satunya pedang di dunia yang bisa menetralisir sihir apa pun. Dengan senjata di tangannya, dia telah menaklukan semua rintangan di menara Tinasha dan membawanya pulang sebagai pelindung. Tujuan awalnya adalah memintanya untuk mematahkan kutukan yang diberikan padanya oleh penyihir wanita lain —kutukan yang membuatnya tidak pernah menjadi ayah dengan ahli waris. Kemudian dia mengusulkan agar Tinasha sendiri yang mengandung anaknya, karena dia lebih kuat daripada kutukan itu sendiri. Tak pelak, Tinasha menolak mentah-mentah. Sebagai gantinya, dia menghabiskan setengah tahun terakhir untuk meneliti dan menganalisis mantra sebelum berhasil memecahkannya, yang membuat mereka sampai ke tempat mereka berdiri sekarang ini.

Terbebas dari kutukan, Oscar sekarang dapat memilih siapa pun yang dia inginkan untuk menjadi ratunya, tetapi hatinya tetap ingin menikahi Tinasha.

Mata Oscar melebar saat dia melihat dia memasuki ruangan. “Tinasha? Apa yang sedang terjadi?"

"Saya dengar kita memiliki beberapa tamu dan datang untuk memperkenalkan diri," katanya dengan formalitas dan pesona.

Saat itu, kedua tamu menoleh untuk melihat kedatangan sosok baru ini. Duke Soanos adalah seorang pria di puncak primanya dengan kulit coklat gelap. Berlayar ke penjuru benua telah membuat dirinya menjadi orang yang kuat. Sebaliknya, putrinya Eleisa adalah seorang gadis muda yang cantik di akhir masa remajanya. Mata cokelat kastanyenya jelas-jelas berkilauan dengan rasa ingin tahu saat dia menatap Tinasha, yang menjawab tatapan itu dengan senyum anggun.

"Yang Mulia, dia ini...?" tanya Duke Soanos.

Sebelum Tinasha bisa menjawab, Oscar menimpali. "Dia calon istriku."

"Maaf?!" teriak si penyihir wanita saat rencananya hancur di depan matanya.

“Inilah mengapa saya mengatakan bahwa kita perlu meletakkan dasar terlebih dahulu....,” gumam Lazar, putus asa.

Eleisa tampak kaget dengan pengunjung aneh ini. Setelah jeda beberapa detik, dia berbalik ke Oscar. "Dia adalah ratu.... Yang Mulia?"

"Ya. Tinasha, kemarilah," Oscar memanggil, memberi isyarat dengan santai untuk mendekat.

Tinasha bergumam, “Sepertinya aku harus menggunakan sihir pikiran.”

“Masih terlalu dini, Nona Tinasha,” bisik Lazar.

Dia ingin membalik meja dan memulai semua ini dari awal, tetapi posisi Oscar lebih penting —terutama di depan tamu antarbangsa selain staf kastil. Jadi Tinasha tersenyum seperti Lady muda yang ramah dan mengitari meja untuk berdiri di sampingnya.

Dia membungkuk kepada dua tamu itu. “Sungguh luar biasa berkenalan dengan anda. Nama saya Tinasha As Meyer Ur Aeterna. Saya benar-benar minta maaf karena telah mengganggu pertemuan anda.”

Nama Tuldarr, seperti dalam Kerajaan Sihir Tuldarr yang telah runtuh empat ratus tahun yang lalu, secara mencolok hilang dalam perkenalan Tinasha. Menggunakannya akan berisiko mengungkap identitasnya. Bagaimanapun, siapa pun dengan nama yang sejelas itu tidak diragukan lagi adalah keluarga kerajaan atau setidaknya bangsawan. Itu sudah cukup untuk menjadikan Tinasha sebagai customer yang sangat penting.

Oscar mengamati Tinasha dengan penuh ketertarikan, mengamati setiap aspek dalam penampilan barunya. “Apakah ada yang terjadi? Aku tidak mengira kau akan tertarik dengan sesuatu seperti ini.”

“Saya mendengar bahwa ini adalah tamu yang tajam yang telah melakukan perjalanan jauh dan luas. Dan sepertinya mereka memiliki sesuatu yang saya inginkan.”

“Itu tidak biasa. Apa itu? Aku akan membelinya untukmu,” jawab Oscar.

"Oscar, Lazar memanggilmu," kata Tinasha sambil tersenyum, mencoba menipu Oscar dengan memanfaatkan temannya. Pelayan kerajaan itu menggelengkan kepalanya dengan marah, putus asa untuk tidak terlibat.

Tinasha hampir tergoda untuk benar-benar memakai sihir psikologis untuk mengubah ingatan semua orang.

Namun, penyihir wanita itu menghentikan dirinya dan melihat para tamu dengan ekspresi ramah di wajahnya. “Yang saya inginkan adalah kalung yang menjanjikan kebahagiaan seumur hidup ketika dikenakan di hari pernikahan, kalung yang terbuat dari mutiara dan safir besar menggunakan keahlian kuno. Saya pernah mendengar bahwa itu adalah pusaka keluarga pedagang di kota, tetapi sekarang kabarnya putri anda baru saja memilikinya.”

"Eleisa memilikinya?" tanya sang duke sambil menatap anaknya. Tinasha tidak melewatkan bagaimana mata wanita muda itu berkilat dengan keragu-raguan dan kelicikan untuk sesaat.

Apa yang telah dibayar Eleisa untuk kalung itu adalah harga yang wajar untuk potongan lama dalam kondisi baik. Namun dia menolak untuk menjualnya kembali bahkan dengan harga dua kali lipat. Tentu saja, Tinasha bisa menawar lebih tinggi, tetapi jika dia melakukannya terlalu jauh, itu bisa membuat si dayang merasa terbebani dengan perasaan bahwa dia berhutang budi karena sikapnya. Langkah pertama adalah membuka negosiasi.

Eleisa berseri-seri, seolah momen ketidakpastian yang dia tunjukkan tidak pernah ada. “Item yang saya beli...? Saya mengerti. Itu sangat banyak, saya ingin tahu yang mana... Bisakah anda memberi tahu saya terlebih dahulu mengapa anda menyukai bagian spesifik tersebut?”

“Karena saya memutuskan saya menginginkannya untuk diriku sendiri,” jawab Tinasha lugas.

Eleisa kemungkinan besar menduga bahwa mantan pemilik kalung itu terlibat. Jika firasat itu terbukti, dia akan berusaha keras dan menolak untuk melepaskan item itu. Itu sebabnya Tinasha harus menekankan bahwa dia sendiri yang mencari kalung itu. Tinasha telah hidup selama berabad-abad, dan wajahnya sempurna di hadapan tatapan tajam Eleisa.

“Kalung pernikahan? Kaumenginginkannya?” sela Oscar.

“Oscar, sudah kubilang Lazar memanggilmu. Bukankah begitu, Lazar?” Tinasha kembali mengatakannya, menatap Lazar dengan tatapan gelap yang diresapi dengan otoritas diam.

Dia mengangguk, kepalanya bergerak ke atas dan ke bawah. “Y-Yang Mulia. Saya perlu memberi tahu anda..."

“Aku akan mendengarnya nanti. Yang lebih penting lagi, tunjukkan kalung apa pun yang Kau miliki yang sesuai dengan deskripsi itu. Aku akan membelinya dengan harga yang diminta,” kata Oscar.

"Kenapa kamu begitu tertarik untuk mendapatkannya untukku?" tanya Tinasha.

“Jika Kau akan menggunakannya di pernikahan kita, maka itu itu sangat penting untukku dan juga untukmu. Tampaknya wajar jika aku membayarnya.”

“Ini bukan untuk... maksudku, aku tidak ingin kau memanjakanku! Aku akan membeli barang-barangku sendiri!” protes Tinasha.

“Ngomong-ngomong, aku senang melihatmu akhirnya siap untuk menikah denganku. Kita harus memesan gaun. Aku akan memanggil penjahit.” Oscar mencoba menarik Tinasha ke dalam pelukan.

“Terlalu cepat, terlalu cepat! Kamu diam saja!” serunya, mendorongnya menjauh dengan meletakkan tangan di dadanya. Itu adalah pertengkaran yang biasa terjadi pada keduanya. Sayangnya, mereka berdua lupa tentang tamu mereka.

Tiba-tiba teringat akan tujuannya, Tinasha lolos dari pelukan Oscar dan kembali mengalihkan perhatiannya kepada Eleisa. “Saya sangat menyesal kalian harus melihatnya. Namun, akulah yang tertarik dengan kalung itu. Jika Kau bisa berbaik hati untuk menunjukkannya kepadaku..."

Tatapan niat yang dia tunjukkan kepada Eleisa sangat lugas, tanpa ada kekuatan penyihir yang mendasarinya. Eleisa menatapnya, dengan ekspresi yang tidak dapat dipahami di wajahnya.

Ayahnya angkat bicara. “Saya telah mendengar bahwa tunangan Yang Mulia adalah Penyihir Bulan Azure. Apakah itu kamu?"

“Jadi kamu sudah tau,” Tinasha mengakui.

“Titah Yang Mulia untuk membawa anda kembali pasca perang sampai ke telinga kami,” katanya.

"Aku membayangkan itu akan...," katanya, mengecilkan diri pada kecanggungan situasi.

Belum lama ini, perang yang melibatkan setiap negara di negeri itu pecah. Pusatnya berada pada penyihir wanita itu, dan selama pengaturan pascaperang, Oscar telah memberi tahu semua orang bahwa dia adalah tunangannya sehingga dia bisa mendapatkan hak wali atas dirinya. Tentu saja, cerita liar seperti itu tidak akan tersebar dari pantai ke pantai, tetapi dapat dimengerti jika seseorang yang berurusan dengan penggerak dan pelopor di semua negara besar akan mengetahuinya.

Tinasha mulai muak dengan situasi tersebut, yang hanya menguntungkan orang lain. Mungkin sudah waktunya untuk bertindak layaknya seorang penyihir wanita dan menghancurkan segalanya.

Tinasha menghela nafas dan mulai memikirkan mantra. Lalu Elisa bertanya,

"Baginda, apakah anda benar-benar akan menjadikannya ratu anda?"

"Tentu saja. Kenapa kamu menanyakannya?” jawab Oscar.

“Dia seorang penyihir wanita,” jawab Eleisa dengan nada goyah. Tapi Tinasha sudah sangat familiar dengan apa yang dia katakan dan sorot matanya.

Ketakutan, kebencian, kecemburuan, tanpa adanya rasa simpati... Segala sesuatu yang akan diarahkan pada sesuatu yang asing dan aneh ada di dalam tatapannya.

Setelah hidup selama empat abad, Tinasha benar-benar terbiasa dengan penampilan seperti itu. Dengan mengernyit, dia mulai berbicara untuk membela kehormatan Oscar.

Namun, sebelum dia bisa, dia menyeringai. “Tapi kami sangat seimbang, jadi aku akan mengatakan itu berjalan dengan baik. Dengan dia sebagai istri, aku tidak akan menginginkan apa pun,” kata Oscar bangga, tidak malu sedikit pun. Perkataan itu jelas-jelas memiliki kepercayaan penuh pada dirinya sendiri.

Dia benar-benar teguh dalam pikirannya —sebagai raja dan sebagai jagoan pedang kerajaan.

Demi mengalahkan kutukan yang dia derita sebagai seorang anak kecil, dia tidak membiarkan dirinya memiliki kelemahan. Begitulah cara dia menjadi salah satu pendekar pedang terhebat di negeri itu dan menaklukkan menara Tinasha.

Dan itulah alasan mengapa Tinasha melatihnya menjadi seseorang yang bisa membunuhnya.

Oscar mampu membunuh seorang penyihir wanita. Jika itu bukan keseimbangan, Tinasha tidak tahu apa itu.

"Kamu sangat...," dia memulai, senyum sepenuhnya muncul di bibirnya secara alami saat mata gelapnya menyipit penuh kasih. Kata-katanya yang sudah disiapkan menghilang, karena penyihir wanita itu tidak lagi menganggapnya penting. Tangan Oscar membelai pipinya, dan dia merasa sangat nyaman.

Duke Soanos memperhatikan keduanya, lalu menghela nafas lemah dan berkata kepada putrinya, "Eleisa, keluarkan kalung itu."

“Tapi, Ayah....”

"Kita bangga menyajikan kepada seseorang dengan apa yang dia inginkan," jawabnya pelan. Eleisa menggigit bibirnya dan menarik sesuatu yang terbungkus kain dari sebuah kotak di kakinya.

Kalung yang muncul dari beludru hitam bersinar dengan tenang, seolah menjanjikan sedikit kebahagiaan.

______________

“Nona Tinasha, terima kasih banyak, sungguh!” teriak seorang dayang, membungkuk berulang kali saat dia mencengkeram kotak kalung itu ke dadanya.

Dia berlinang air mata saat dia mengungkapkan rasa terima kasihnya, dan Tinasha buru-buru melambai. “Tidak perlu merasa berhutang budi padaku. Pada akhirnya Oscar yang mengurus semuanya.”

Raja telah kembali ke pekerjaannya. Tinasha menghibur dayang yang tak henti-hentinya berterima kasih. Ketika akhirnya dia kembali bebas, penyihir wanita itu pergi ke ruang kerja Oscar. Ketika dia masuk dengan gaunnya, dia ada di sana untuk memberinya seringai sarkastik. “Mengapa kamu tampaknya memutuskan untuk menghancurkan harapanku secara berkala?”

“Mempertimbangkan situasinya, harusnya pertunangan itu jelas-jelas bohong!” bentak Tinasha.

“Meski begitu, kupikir mungkin sesuatu telah terjadi... Aku membiarkan diriku sedikit berharap.”

"Aku minta maaf untuk itu."

Begitu Duke Soanos pergi, Tinasha menceritakan pada Oscar ringkasan situasi, dan dia menghela nafas panjang. Rasa bersalah sudah menusuk Tinasha karena tindakan itu, tetapi sekarang dia merasa lebih buruk. Dia merasa seperti benar-benar melakukan sesuatu yang tidak diinginkan kali ini. Lagi pula, Oscar telah membantunya mendapatkan kembali kalung itu, dan yang harus dia tunjukkan sekarang hanyalah kekecewaan.

“Aku minta maaf karena membuatmu salah paham. Mestinya aku bertindak lebih seperti penyihir wanita dan sejak awal menyelesaikannya dengan sihir,” kata Tinasha dengan sedih.

“Tunggu, mengapa opsi ekstrem seperti itu menjadi pilihan utamamu?” Oscar bertanya, memberi isyarat kepada Tinasha. Dia melayang ke udara, memperhatikan rok gaunnya, dan duduk di sandaran kursinya.

Lazar menyeduh teh, sesuatu yang biasanya dilakukan Tinasha, dan dia menyatakan dengan nada puas, "Aku lega kamu mendapatkan kalung itu kembali dengan harga jual aslinya."

"Itu karena Eleisa tahu dia tidak bisa menang melawan yang satu ini di sini," kata Oscar.

“Hm? Apa maksudnya?" Tinasha bertanya, berbalik untuk menatapnya.

Oscar menangkap kepang longgarnya dengan jari-jari. “Benda itu untuk pernikahan, kan? Dia ingin menggunakannya sendiri, itulah sebabnya dia tidak mau mengembalikannya.”

"Oh begitu. Tapi apa hubungannya denganku?” Tinasha menekan.

“Keduanya awalnya datang untuk menjual padaku karena mengambil Eleisa sebagai ratuku. Rencana mereka menjadi kacau, itulah sebabnya mereka mundur.”

“O-oh, jadi begitu,” kata Tinasha.

Sebagai penguasa negara adidaya yang belum menikah, Oscar adalah pembeli yang ideal bagi para pedagang ayah dan anak. Eleisa mengincar posisi ratu Farsas, tetapi dia melepaskan kalung itu setelah menyadari bahwa itu tidak akan mungkin.

Dengan senyum pahit di bibir, Oscar menarik penyihir wanita itu ke pangkuan. “Itu juga alasan mengapa para dayang datang kepadamu. Itu bukan karena mereka menginginkan sihirmu. Mereka mengira Eleisa akan menyerah begitu kamu muncul. Itu karena kamu disayang seperti anak kucing peliharaan.”

“Disayang oleh siapa?”

"Olehku," Oscar merespons seketika, dan mata Tinasha melebar seperti mata kucing sungguhan.

Seketika itu, dia memeluk lutut ke dadanya dengan perasaan campur aduk. "Aku merasa seperti... aku tidak tahu apa-apa dan membuang-buang waktu semua orang."

“Aku pada akhirnya mendapat untung. Aku harus kembali bekerja, dan aku harus melihatmu dengan pakaian baru, ”jawab Oscar.

"Sepertinya aku membuatmu kesulitan," kata Tinasha.

"Tidak apa-apa."

Penyihir wanita itu menghela nafas kecil. Namun meski begitu, dia senang telah membantu seseorang. Rasanya aneh, meskipun sihirnya tidak ada bandingannya, para dayang itu tidak datang untuk memohon mantra. Namun, seperti yang dipikirkan Tinasha, dia menyadari bahwa kejadian itu tidak jarang terjadi sejak dia memalsukan kontraknya dengan Oscar.

Dia terangkat ringan ke udara, dan Oscar menjulurkan leher untuk menatapnya. “Jangan khawatir tentang itu. Aku merasa senang. Fakta bahwa mereka meminta bantuanmu berarti kamu menetap di kastil.”

“Oscar...”

Raja muda menunjukkan senyum murah hati dan kembali mengerjakan dokumennya. Dari atas, dia menatapnya.

Kontrak mereka hanya tersisa tiga bulan. Apa yang akan terjadi sebelum kadaluarsa? Dan mungkin yang lebih penting, apa yang akan terjadi setelahnya?

Bagi seseorang seperti Tinasha, yang telah hidup lebih dari empat ratus tahun, tiga bulan praktis bukan apa-apa. Meski begitu, dia masih tidak bisa membayangkan dirinya mengucapkan selamat tinggal pada Oscar. Mungkin tidak akan terasa nyata sampai hari sebelum kontrak berakhir.

"Tidak ada yang namanya... kontrak tanpa akhir," gumam Tinasha, berbalik dan meletakkan dagu di tangan.

Matanya tetap tertuju pada sang raja.

_________

Sang dayang tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika putri saudagar itu menolak untuk menjual kembali kalung itu, tetapi dia merasa senang karena dia telah mengumpulkan keberanian untuk meminta bantuan penyihir wanita itu.

Ketika dia kembali ke ruang tamu untuk dayang, semua teman-temannya bertanya bagaimana keadaannya. Dengan napas lega, dia menjelaskan, “Dia mendapatkannya kembali untukku. Dia orang yang jauh lebih normal daripada yang kukira...”

Dongeng menakutkan yang tak terhitung jumlahnya, menggambarkan penyihir wanita sebagai sosok mengerikan, itulah sebabnya semua orang takut saat mendengar seorang penyihir wanita datang ke kastil. Kenyataannya, apapun itu, Tinasha adalah orang yang sangat normal dan masuk akal.

Para dayang lain telah mengenal penyihir wanita itu selama beberapa bulan terakhir, dan mereka menyeringai pada teman mereka. “Kita kan sudah bilang! Dia sangat baik.”

“Ya, dia memang baik... aku merasa sangat lega,” kata gadis muda itu. Sekarang dia bisa mempersiapkan pernikahannya. Meskipun tidak sampai tahun depan, dia tahu waktu akan berlalu dengan cepat.

Pada saat pernikahannya, kontrak antara raja dan penyihir wanita itu akan berakhir. Apa yang akan terjadi pada raja ketika sosok yang dia kasihi pergi? Dayang muda itu menatap kalung di tangannya. "Aku harap dia bisa menjadi ratu..."

"Ayolah, pembicaraan seperti itu tidak sopan," tegur seorang gadis.

“Anak-anak, ayo, kembali bekerja,” perintah kepala dayang, bertepuk tangan, dan mereka semua berhamburan.

Dayang muda itu pergi untuk meletakkan kalung itu di dalam kotak dengan kunci sihir —tetapi tiba-tiba merasa ada yang memperhatikannya. Saat dia berbalik memeriksanya, dia melihat seorang wanita muda mengenakan pakaian yang sama dengan yang dia kenakan. Pendatang baru ini memiliki rambut hitam dan paras cantik, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang tampak aneh. Itu bukan seseorang yang dikenal gadis muda itu, dan dia memiringkan kepalanya. "Apakah kamu orang baru di sini?"

Tidak ada pengumuman tentang anggota staf baru. Anehnya, tidak ada pelayan lain yang menyadarinya.

Senyum mekar di wajah wanita asing itu seperti bunga liar yang menurunkan wobawanya. "Iya. Aku hanya akan berada di sini untuk waktu yang singkat, tetapi aku harap kita bisa akrab.” Suaranya memiliki timbre berasap, diwarnai dengan kebosanan.

Itu terdengar seperti lagu yang rusak.

Post a Comment