Update cookies preferences

Eighty Six Vol 10; Chapter 1; Bagian 2

3

Keesokan harinya, Alice segera mendapati dirinya dalam situasi yang mengkhawatirkan berkaitan dengan anak itu.

“—mengalihkan pandangan darinya selama dua detik, dan dia lari entah kemana. Sial, entahlah, mungkin Nouzen pergi sendiri...”

Saat kapten regu Shin datang padanya setelah berpatroli, memberitahunya dengan wajah pucat bahwa Juggernaut Shin hilang, Alice menggelengkan kepalanya dalam upaya untuk mencegah sakit kepala yang akan datang.

Berkat unit jamming Legiun yang kuat, Eintagsfliege, transmisi radar dan radio sama sekali tidak efektif. Dan untuk menghindari serangan mendadak, Prosesor harus terus berpatroli di area tempur. Kadang-kadang, mereka bertemu dengan unit legiun, yang bisa meningkat menjadi pertempuran besar-besaran. Ini membuat patroli menjadi pekerjaan rutin yang menegangkan bagi semua skuadron.

Dan di tengah patroli yang menegangkan itu, anak paling muda dalam skuadron hilang.

"Diterima. Aku akan meminta peletonku mencarinya. Minta peleton lain terus berpatroli.”

__________

Untungnya, dia menemukan pembuat onar kecil itu tak lama kemudian.

“—Nouzen.”

Setelah mendengar suaranya, Shin, yang berdiri diam di atas tumpukan puing-puing yang tertutup salju, berbalik untuk menatapnya.

Militer Republik telah dihancurkan oleh Legiun dalam dua pekan pertama perang, memaksa warga Republik untuk meninggalkan sebagian besar wilayah mereka dan menutup diri di balik tembok benteng. Dengan demikian, reruntuhan kota yang membentuk medan perang dari sektor Eighty-Six tidak memiliki kehadiran manusia...

...dengan pengecualian Eighty-Six inhuman.

Alice membuat Juggernautnya berlutut, dan kemudian dia berjalan ke arahnya dengan senyum pahit. Mengapa dia pernah berpikir dia dewasa dan patuh? Melihatnya sekarang, jelas dia adalah anak yang cukup tempramen.

“Aku penasaran apa yang merasukimu ketika kamu menghilang di tengah-tengah patroli... Kamu tidak pernah tahu di mana Legiun mungkin menunggu. Jangan pergi sendiri lagi.”

Bahkan satu Löwe, dengan berat lima puluh ton, dapat bergerak tanpa mengeluarkan suara. Ada kasus-kasus dimana Prosesor gagal menyadari Legiun yang menyelinap sampai mereka berhadapan langsung dengan monster mesin itu.

"Dan berjalan di sekitar medan perang di luar unitmu... Kamu akan langsung mati jika ranjau self-propelled menemukanmu."

"Maaf... Tapi sekarang tidak ada Legiun di area ini."

Alice berhenti, menatap anak itu dengan bingung. Dia terdengar sangat percaya diri tentang itu. Shin turun dari gunung kecil puing-puing dan beton kuat. Dia mendekatinya, langkah kakinya teredam meskipun sol sepatu tempurnya keras. Laras senapan serbu 7,62 mm terikat di bahunya, pistol itu jelas terlalu besar dibanding dengan fisik kecilnya.

“Jadi, apa yang kamu lakukan di sini?” Alice bertanya.

Ketika dia menemukannya, dia sedang berjongkok di atas gundukan beton, sepertinya mencari sesuatu. Begitu dia mendengar pertanyaannya, matanya yang merah darah tampak sedikit tenggelam.

“Aku ingin mencari sesuatu milik Teito.”

Jawabannya membuat Alice terdiam sesaat.

“Mayatnya mungkin sudah hilang, jadi aku mencari bagian dari unitnya... Setidaknya, kupikir itulah yang harus kulakukan.”

Shin mengalihkan pandangan ke jalan utama reruntuhan kota, tapi selain bekas luka bakar yang tertinggal di aspal, tidak mayisakan apapun. Tidak dengan Juggernaut Teito yang hancur atau Löwe yang Shin jatuhkan. Bahkan tidak ada tiga unit ringan pengiring kemudian dihancurkan. Tidak sebanyak fragmen yang tersisa dari salah satu mereka.

“Legion punya unit khusus yang mengumpulkan puing-puing... Tausendfüßler. Mereka bisa membersihkan sisa-sisa pertempuran sebesar itu dalam waktu kurang dari satu malam.”

Mereka mengambil segala sesuatu yang bisa mereka temukan tanpa diskriminasi. Kawan atau lawan. Sisa-sisa unit yang hancur, pecahan peluru, kendaraan, dan pesawat di pangkalan militer yang ditinggalkan. Mereka dengan rakus mengumpulkan semuanya dan membawanya ke perut Weisel yang terletak jauh di kedalaman wilayah Legiun. Weisel sendiri adalah pabrik raksasa otonom yang melahap puing-puing itu dan menggunakannya untuk membangun lebih banyak Legiun, yang mereka luncurkan secepat asap hitam membubung dari pipa knalpot mereka.

Semua untuk menghancurkan musuh yang mereka tetapkan: setiap dan semua manusia yang bukan bagian dari kerajaan yang menciptakan mereka.

Pangkalan garis depan Republik sebenarnya memiliki unit otonom yang mengisi banyak peran yang sama. Pangkalan ini memiliki produksi kecil dan pabrik otomatis, membuatnya mandiri bahkan di medan perang. Tentu saja, manusia yang angkuh menolak untuk meninggalkan keamanan dinding mereka, yang berarti mereka membutuhkan semacam sistem pemberian makan otomatis untuk memberi makan Eighty-Six.

Jadi yang Alice tahu, unit Teito mungkin sudah berada di tungku daur ulang pangkalan mereka...tapi dia tidak mengatakan itu padanya. Memberitahu seseorang bahwa Juggernaut mereka menggunakan suku cadang dari puing-puing unit sesama prajurit yang sudah mati dapat memberi mereka perasaan bahwa mereka mengkanibal rekan-rekan mereka. Dan itu adalah kebenaran brutal yang tidak perlu Shin hadapi... Setidaknya, belum.

Bagaimanapun juga, Alice tersenyum padanya. Dia benar-benar telah keliru dalam menilai anak ini. Ekspresi dan emosinya mungkin redup. Dia memang tampak bebeda dari apa yang terjadi di sekitar, dan cara dia menghindari tatapan mata wanita itu menunjukkan kecenderungannya untuk menghindari interaksi pribadi.

Tapi dia tidak sepenuhnya acuh tak acuh terhadap orang-orang di sekitarnya. Justru sebaliknya.

"Manis sekali. Kamu ingin sesuatu untuk mengingatnya, bukan?”

Apakah dia mendapati dirinya di medan perang yang tak kenal ampun, di mana kematian mengintai di setiap sudut, karena alasan ini saja? Tapi Shin dengan lembut menggelengkan kepala.

"Aku ingin memberinya peringatan, tapi aku tidak bisa."

Jejak samar emosi berkedip di balik mata merah darahnya. Menghukum diri sendiri...?

“Ini pertama kalinya unit Legiun sedekat itu denganku, jadi aku tidak berpikir mereka akan bergerak secepat itu. Tapi aku tahu itu dekat. Jadi aku bisa memberinya peringatan...dan karena aku tidak hati-hati, dia—”

Alice mengulurkan tangan ke anak itu, meletakkan tangan di atas kepalanya. Alice tinggi, dan Shin masih kecil. Kesenjangan ketinggian di antara mereka cukup signifikan. Dengan kata-katanya terpotong, Shin menegang karena terkejut dan menatapnya. Alice kembali menatapnya dan berkata:

"Siapa pun yang membutuhkan orang lain untuk memperingatkan mereka dalam situasi seperti ini sama saja dengan mati."

Kata-kata itu suram dan dingin. Dia melanjutkan, menatap mata merah anak itu saat dia perlahan melebarkannya.

“Itulah jenis medan perang yang kita hadapi. Jika kamu tidak mencoba melindungi diri sendiri, kamu pada akhirnya akan mati. Dan kita tidak akan selalu ada untuk menjaga orang-orang yang tidak bisa melakukannya.”

Daya tembak Juggernaut lemah, dan strategi utamanya melibatkan beberapa unit yang bekerja bersama-sama untuk menembak ke sisi dan belakang musuh, di mana armor mereka berada pada titik tertipis. Sesama pasukan harus bekerja sama untuk bertahan di medan perang ini. Tetapi pada akhirnya, adalah tanggung jawab setiap orang untuk melindungi nyawa mereka sendiri.

Ada kalanya seseorang terdampar di tengah pertempuran. Ketika unit pengiring seseorang tidak dapat menawarkan dukungan apa pun. Dan ketika seluruh rekan satu regu... dimusnahkan. Kasus seperti itu selalu terjadi. Dan orang-orang yang membutuhkan orang lain untuk meng-cover mereka biasanya tidak bertahan dalam situasi semacam itu. Dan tanggung jawab atas kematian mereka tidak terletak pada orang-orang yang tidak mampu melindungi mereka.

“Jadi jangan biarkan apa yang terjadi pada Teito membebanimu. Itu bukan salahmu... Yang ada, kurasa dia pada akhirnya senang memiliki teman sepertimu.”

“...”

“Jadi, ingatlah dia... Itu adalah penghargaan terbesar yang bisa kamu berikan untuknya.”

Dan satu-satunya penghargaan yang bisa diberikan seseorang untuk orang lain di medan perang ini.

"Ya…."

"Jika ada yang bersalah atas apa yang terjadi, itu adalah aku, kaptennya... maafkan aku."

Shin kembali menggelengkan kepala dengan lembut. Alice tersenyum melihat gestur singkatnya dan menepuk rambut hitamnya lagi. Bagaimanapun, dia adalah anak yang baik. Terlalu baik untuk dunia yang kejam ini. Tapi hanya butuh beberapa saat bagi Shin untuk menatapnya dengan perasaan tidak senang... Rupanya, dia tidak terlalu senang diperlakukan seperti anak kecil.

Alice melepaskannya, dan dia berjalan beberapa langkah sebelum mengalihkan pandangan padanya lagi.

“Kapten Araish—”

“Panggil aku Alice. Pangkatku tidak ada artinya.”

Untuk memperjelas rantai komando, Prosesor diberi pangkat seragam. Tapi karena mereka tidak diperlakukan lebih baik atau gaji yang sesuai, pangkatnya sekedar pajangan.

“Kenapa kamu di sini, Kapten?”

Memanggil orang yang lebih tua dengan nama depan mereka adalah jembatan yang terlalu jauh baginya, sepertinya.

“Oh, alasan yang sama denganmu... kurasa Teito mungkin meninggalkan sesuatu, jadi aku datang untuk melihat apakah ada yang bisa diambil.”

Alasan sebenarnya adalah dia datang untuk mencari si anak iseng yang muncul dan menghilang di tengah patroli—tapi dia tidak mengatakannya.

Shin memiringkan kepala. Alice sendiri baru saja mengatakan bahwa Tausendfüßler mengumpulkan potongan-potongan reruntuhan Juggernaut. Dia mungkin tidak mengerti mengapa dia datang ke sini untuk mencari sisa-sisa Teito jika dia tahu itu.

“Benar, aku belum memberitahumu tentang hal itu... Well, aku akan menjelaskannya saat kita kembali ke pangkalan. Kamu meninggalkan pertnermu di sana. Masuk dan ayo balik.”

Juggernaut Shin berjongkok di balik puing-puing, tampak ditinggalkan.

“Ini adalah nisan orang-orang yang gugur kemarin. Teito Kurusu, Atori Laishi, Nana Ouka, dan Amala Kii.”

Sebelum rekan seregunya—yang jumlahnya telah berkurang menjadi empat belas setelah korban tempo hari—Alice mengangkat sesuatu tentang kelompok itu untuk dilihat. Pecahan logam kecil, hanya beberapa sentimeter, dengan masing-masing nama mereka terukir di atasnya. Potongan-potongan pecah yang kebetulan mereka temukan, yang namanya terukir di dalamnya dengan paku. Agak kasar, seperti nisan kuburan.

Warga Republik di dalam tembok kemungkinan akan menertawakan alasan lucu untuk nisan ini. Tapi tidak ada anak laki-laki dan perempuan di ruangan ini yang tertawa. Empat belas pasang mata, masing-masing dengan warna unik tersendiri, menatap dengan tulus dan serius pada pecahan logam itu.

Mereka adalah satu-satunya penyelamatan yang bisa diharapkan di medan perang tempat mereka terpenjara.

“Kita Eighty-Six tidak mendapatkan pemakaman. Nama kita telah dicoret dari setiap catatan, dan bagaimanapun juga kita tidak akan meninggalkan mayat. Jadi ini adalah nisan kita. Kita mengukir nama rekan seperjuangan yang gugur, dan suatu hari nanti, nama kita pun akan begitu... Ini adalah bukti keberadaan kita.”

Bahkan jika potongan-potongan kecil bukti ini hanya akan berkarat di suatu tempat di medan perang, tanpa ada yang berduka atau bahkan melihatnya. Bahkan jika angin dan pasir suatu hari nanti akan memakainya sampai memudar, tidak akan ditemukan di mana pun.

“Mari kita berjanji, semuanya. Kita akan mengukir nama-nama rekan yang gugur di potongan unit mereka dan meminta orang-orang yang selamat untuk membawanya. Dengan begitu, mereka yang bertahan hingga akhir dapat membawa semua orang ke tujuan akhir mereka.”

Di medan perang seperti Sektor Eighty-Six, yang didominasi oleh Legiun, serpihan Juggernaut atau potongan logam atau kayu adalah yang paling bisa diharapkan.

“Mari kita ingat rekan-rekan seperjuangan kita. Meski hanya untuk sesaat.”

Alice telah menghabiskan tiga tahun bertarung di Sektor Eighty-Six, di mana tingkat kelangsungan hidup tahunan Prosesor kurang dari 0,1 persen. Dan semua orang yang telah berjuang bersamanya selama waktu itu sekarang sudah tiada.

Semua orang di unit ini kemungkinan besar akan meninggalkannya juga.

Dia menatap mata merah jernih yang menatapnya dari kursi pipa di sudut barisan belakang dan tersenyum.

Dia sama seperti adiknya, yang meninggal karena penyakit di kamp konsentrasi. Seandainya dia masih hidup, kemungkinan dia akan setua dia. Tapi dia tidak pernah mencapai usia itu.

“Aku akan membawa kalian semua bersamaku ketika saatnya tiba. Jadi kalian... tidak perlu takut.”

___________________

2

"Sialan."Dia mendengar suara panik seseorang melalui Para-RAID. Dan tidak lama kemudian, dia melihat Juggernaut Shin diselimuti awan sedimen hitam. Sesuatu telah jatuh dari langit, menembus tanah dengan gelombang kejut eksplosif dan melemparkan sejumlah besar sedimen ke udara.

Kekuatan gelombang pasang hitam itu menghempaskan Juggernaut ringan itu, dan Shin bersama unitnya tak berdaya.

_______________________________

Mata merah darah Shin terbuka. Dia berkedip dua kali, lalu ketiga kalinya, dan menjulurkan kepala untuk melihat sekeliling. Jelas dia tidak memahami situasi yang ada dihadapannya. Saat dia duduk di samping ranjang pipa sederhananya yang sempit dan mengawasinya, Alice berpikir bahwa masuk akal jika dia bereaksi seperti itu. Dia menutup buku hardcover di tangannya dan memanggilnya.

"Kamu sudah bangun, Nouzen?"

"Kapten."

Dia menjawab dengan suara serak, tetapi nada dan tatapannya untungnya jernih. Rupanya, dia tidak mengalami kerusakan fatal pada otaknya. Dia meletakkan tangan di atas seprai pudar dan mendorong dirinya ke atas. Menyadari bahwa dia berada di kamar barak tua buatan, dia menoleh ke arahnya dengan tatapan cemas.

"Kenapa…?"

“Ya, kurasa kau tidak ingat. Unit-unit jarak jauh Legiun... tipe Pengeboman Skorpion menghempaskanmu, dan kau pingsan. Legiun menggunakan dukungan artileri dari garis belakang saat mereka mundur. Mereka belum pernah dimobilisasi sejak kamu bergabung, tapi...tampaknya, mereka sekarang aktif. Jadi sekarang kamu tahu bahwa bahkan jika Legiun mulai mundur, kamu tidak boleh ceroboh.”

Tipe Skorpion adalah unit artileri Legiun, dipersenjatai dengan meriam proyektil 155 mm. Mereka selalu bersembunyi jauh di kedalaman wilayah Legiun, dan Alice tidak pernah benar-benar melihatnya. Lagipula...

“Tipe Scorpion memiliki jangkauan tiga puluh hingga empat puluh kilometer . Mereka jauh di luar jangkauan deteksi Juggernaut. Kita tidak tahu apakah mereka ada di sana sampai mereka mulai melepaskan tembakan.”

Persenjataan modern memiliki jangkauan sangat luas. Bahkan turret tank pendek yang dimaksudkan untuk pertempuran jarak dekat dapat menembak dua kilometer ke segala arah, dan tergantung jenis amunisi yang digunakan, Howitzer dapat mencapai target sejauh empat puluh kilometer.

Serangan yang dicapai dari jauh di luar jangkauan dari apa yang bisa dilihat di permukaan. Dari jarak yang tidak bisa dibayangkan oleh seseorang yang tidak berpengalaman dalam pertempuran.

Alice dan Eighty-Six tidak dibekali dengan senjata artileri dengan jarak yang sama, jadi jika Skorpion muncul, itu selalu berada di luar jangkauan meriam 57 mm Juggernaut, dan mereka tidak berdaya dalam menghadapi bombardir musuh.

“Dan kamu tidak tahu...?” tanya Shin.

“Yah, berdasarkan berapa banyak Ameise yang ada, kita mungkin bisa menebaknya.”

Legiun juga tidak bisa melihat empat puluh kilometer ke depan. Bahkan sensor optik paling canggih pun tidak dapat mendeteksi sesuatu yang tersembunyi jauh di luar cakrawala. Karena unit jarak jauh tidak dapat memastikan lintasan tembak mereka atau mengarahkan pembidik mereka sendiri, mereka membutuhkan bantuan Unit Scout yang ditempatkan di dekat lokasi pengeboman.

“...”

Tapi ini terlalu berlebihan untuk dimengerti oleh pendatang baru di medan perang. Shin jatuh termenung ke dalam keheningan dan tampaknya berada dalam kebingungan.

“Bagaimanapun juga, aku senang kamu baik-baik saja... Atau itulah yang normalnya aku katakan, tapi...”

Shin menatap mata Alice, dan dia memeriksa wajahnya secara bergantian. Pipinya masih berbentuk bulat seperti bayi, dan dia memiliki perban putih tepat di atas alisnya dan di sekitar lengan rampingnya. Dan ada memar dan koyak lain di sekujur tubuhnya, terlalu banyak untuk ditutupi.

“Kau terlalu ceroboh... Berapa kali harus kuberiitahu? Berhentilah mencoba melawan Legiun sendirian.”

Hari ini semua lukanya merupakan luka pertempuran hari ini. Beberapa dari luka-luka itu berasal sewaktu dia dihempaskan oleh tembakan Skorpion, tapi dia mendapatkan sebagian besar dari luka-luka itu sebelum itu terjadi.

Dia terlalu dekat dengan Grauwolf dan menghindari salah satu pedang frekuensi tingginya. Dan meskipun dia menghindari serangan langsung, bilahnya masih mengenai blok kokpit dan menghancurkan layar optik. Fragmennya terbang di sekitar blok kokpit dan menghujani seluruh tubuhnya.

Sudah sebulan sejak Shin ditempatkan di skuadronnya. Dan meskipun dia sendirian melakukan jenis pekerjaan yang tidak akan pernah diharapkan dari seorang pemula, dia secara teratur merusak formasi saat bertempur dan menantang Legiun seorang diri. Aksinya sangat berbahaya.

Alice hanya bisa menghela nafas gugup. Dia harus memarahinya tentang hal itu, tetapi dia tidak pernah mendengarnya.

“Kita melawan Legiun sebagai unit terkoordinasi. Di sini, di Sektor Eighty-Six, tidak perlu jago-jagoan. Tidak ada yang peduli jika Kamu berhasil melakukan pembunuhan pertama atau jika Kau mengalahkan musuh dalam satu lawan satu. Kecerobohan sama saja dengan bunuh diri. Bekerja samalah dengan rekan satu regumu.”

“Jika aku mengalihkan barisan Legiun, itu akan memberi celah pada rekan sereguku untuk dieksploitasi.”

"Mungkin saja, tapi itu bukan aksi yang bisa kamu lakukan di peti mati berjalan itu."

Armor aluminium alloy Juggernaut terlalu tipis dan rapuh. Bahkan bagian yang paling kuat, armor bagian depan, tidak dapat menahan tembakan senapan mesin. Pada akhirnya, yang bisa mereka lakukan hanyalah menghindari serangan Legiun, tetapi mobilitas Juggernaut jauh lebih rendah dari mereka. Jadi meski mereka mungkin bisa menghindari serangan dari jarak yang aman, mereka tidak akan bisa mengelak lagi jika musuh melihat mereka dalam jarak dekat.

"Tapi—" Shin coba menekan argumen itu dengan kegigihan yang tidak seperti biasa.

“Nouzen,” Alice memotongnya dengan suara rendah.

Rupanya, ini adalah salah satu bukit yang dia rela mati. Dan dia mungkin melakukannya karena keinginan tulus untuk melindungi rekan seregunya. Tapi Alice juga enggan mengalah. Tidak akan pernah.

"Cukup. Aku tidak ingin ada rekan sereguku harus hidup dengan rasa bersalah karena seorang rekan gugur hingga mereka bisa bertahan.”

Rasa malu dan pengecut hidup karena seseorang mengorbankan diri untukmu. Dan Alice tidak kehilangan harga dirinya. Dia bukan tipe orang yang memalukan yang membiarkan anak paling muda mati untuk dirinya.

“Atau apakah kamu benar-benar berusaha bunuh diri? Karena asal kau tahu, tidak ada tempat di satuanku untuk—”

"Aku tidak boleh mati."

Kali ini, Shin yang memotong kata-katanya. Nada suaranya sangat tajam, kontras dengan sikap pendiamnya. Alice terdiam dan hanya memperhatikannya sejenak. Dia mengalihkan tatapan merahnya ke bawah, menolak bertemu dengan matanya.

“Aku tidak sanggup untuk mati. Belum. Jadi... tidak boleh.”

Mata dan nada suaranya sangat kaku. Sepertinya dia berbicara karena rasa kewajiban, tetapi ada nada gelap dan tragis di dalamnya.

Seolah dia berbicara tentang tekadnya. Dari obsesinya.

“Apakah itu...”—pertanyaan itu keluar dari bibir Alice sebelum dia bisa menahan diri—“...ada hubungannya dengan...bekas luka di lehermu?”

Dia bisa melihat Shin menahan napas sejenak. Dia dengan cepat meletakkan tangan ke tenggorokan, meraba-raba, dan ketika dia menyadari dia tidak bisa merasakan perbannya, mata merahnya melebar. Alice mengerucutkan bibir merahnya dengan gugup. Gestur itu saja sudah membangkitkan lebih banyak kata dari yang bisa diucapkan.

Guren telah memberitahunya tentang hal itu.

Aku yakin ada cerita di balik apa yang terjadi pada lehernya.

Ada emosi yang melingkar di tenggorokannya...seperti kalung, atau rantai, mencekiknya di balik perban itu.

Tapi itu bukan sesuatu yang sederhana seperti emosi. Lehernya yang pucat dan ramping memiliki memar berwarna darah yang bergerigi. Bekas luka itu membuatnya seolah-olah kepalanya telah dipenggal dan kemudian dijahit kembali ke tempatnya. Apa pun yang terjadi padanya jelas-jelas dilakukan karena amarah. Itu bekas luka yang sulit untuk dilihat.

Alice memperhatikan mata yang lebar dan merah itu menatapnya. Merasakan tatapannya bertemu dengan mata yang membeku ini, Alice terkejut. Dia ketakutan. Anak ini, yang tidak memperlihatkan sedikit pun ketakutan atau kegusaran saat melihat kematian rekannya atau intensitas medan perang, menatapnya dengan lebih takut dari yang pernah dia lihat.

Dia takut ditanya tentang hal itu. Takut mengingatnya. Takut ... untuk membicarakannya.

“Aaah, maafkan aku.” Alice buru-buru mundur. “Aku salah. Aku tidak bermaksud untuk mengorek.”

Dia bengong, dan setelah melonggarkan pakaian, dia melepas perbannya, karena dia pikir perban itu mungkin akan mencekiknya. (Republik tidak mengirim dokter, karena ini adalah medan perang drone, dan mereka adalah babi humanoid.)

Dia tidak bermaksud melihatnya, tapi dia melakukannya. Itu jelas sesuatu dimana dia tidak ingin dilihat orang lain.

"Maafkan aku. Kupikir kau bisa memakainya setelah bangun tidur, tapi seharusnya aku tidak bertanya... Tunggu, jangan lakukan itu!”

Rupanya, Shin tidak mendengarnya. Dia mengencangkan jari-jarinya, yang menutupi tenggorokannya. Kukunya menggali ke dalam bekas luka. Menyadari hal ini, Alice meraih tangannya. Dengan lembut, agar tidak membuetnya terkejut atau membuatnya takut. Dan setelah memastikan dia tidak menolak cengkeramannya, dia dengan lembut menarik tangan itu dari lehernya.

Meskipun dia tidak lagi berusaha menyakiti diri sendiri, napasnya tetap cepat dan dangkal. Rasanya seperti dia masih terperangkap dalam cengkeraman kepanikan sedingin es. Wajah mudanya kaku dan pucat seperti kain, dan pupil matanya mengerut.

Tatapannya yang beku mengintip ke masa lalu, dan dia tidak bisa melihat kenyataan di hadapannya.

“Nouzen.”

Dia tidak merespon.

“Nouzen. Tatap aku."

Masih tidak ada respon... Mungkin dipanggil dengan nama belakangnya tidak cukup berarti baginya.

“Shin.”

Matanya, yang terpaku pada satu titik di angkasa, sedikit goyah. Dia mengalihkan perhatian padanya, meski hanya sedikit. Melihat kesempatan itu, Alice mulai berbicara, menjaga suaranya tetap rendah dan setenang mungkin.

“Shin. Tatap aku. Kamu aman sekarang. Tatap aku."

Dia mengulang kata-kata itu, dengan lembut mencengkeram tangannya. Setelah beberapa saat ... cukup lama, tubuhnya yang kecil dan tegang akhirnya rileks.

Dia menutup matanya dan menghela nafas, berbicara pada saat yang sama.

"Maafkan aku."

"Tidak apa-apa," kata Alice, menggelengkan kepala samar-samar.

Menyebutkan bekas lukanya dengan sembarangan adalah kesalahan di pihaknya. Dia seharusnya tidak perlu meminta maaf.

“Aku hanya... merasa sedikit sakit, itu saja. Itu tidak ada hubungannya dengan bekas lukanya.”

Cara dia mengatakannya membuat Alice menyadari sesuatu. Cara dia menyembunyikan bekas lukanya, cara dia takut orang lain mungkin melihatnya... Bukan hanya karena dia tidak ingin orang-orang mengintip atau dia tidak ingin mengingatnya.

Dia tidak ingin orang yang meninggalkan bekas luka itu disalahkan. Meskipun orang itu sengaja melakukannya.

Jika demikian...

Alice dengan cepat membuka syal di lehernya. Membentangkan kedua tangan, dia mengulurkannya di atas bahunya dan meletakkan syal di leher Shin. Setelah mengikat simpul lembut, dia melepaskan tubuhnya.

Shin menegang saat dia melakukannya. Dia membungkuk, seolah-olah tengah memeluknya. Tapi setelah merasakan sensasi lembut di sekitar tenggorokannya, Shin berkedip sekali. Dia melihat ke bawah, dengan lembut mencubit kain tipis berwarna biru itu dengan gerakan muda.

“Dengan begini, kamu bisa menyembunyikannya sedikit lebih santai tanpa ditanya orang. Perban itu terlihat terlalu menyakitkan.”

Itu seperti cara diam untuk mengatakan ada semacam cedera di balik perban itu.

“Tapi itu tidak sakit.”

"Ya. Tapi...,” kata Alice, mengingat kembali apa yang baru saja dilihatnya.

Sejujurnya dia tidak bisa memahami perasaan Shin. Seseorang telah menyakitinya cukup parah hingga meninggalkan bekas luka yang sangat lama dan menyakitkan di tenggorokannya. Dan hatinya juga terluka karenanya. Seseorang yang hanya melihat bekas luka itu membuatnya terlempar ke dalam kilas balik. Dan tetap saja, dia bersikeras untuk tidak menyalahkan orang yang melakukan itu padanya. Alice tidak bisa membayangkan merasakan hal yang sama.

Meski begitu.

“...kau tidak ingin itu mengundang perhatian atau dilihat orang, kan? Kamu tidak ingin mereka menyalahkan seseorang yang melakukan ini kepadamu, dan Kamu juga tidak ingin orang lain menyalahkannya. Kamu ingin melindungi orang itu, kan?”

Ini pasti yang dirasakan anak ini. Itulah kesan yang dia tangkap.

“...!”

Kata-kata itu membuat Shin menatapnya lagi. Untuk sesaat... Untuk sesaat, mata merah darah tanpa emosi itu bergetar hebat hingga seolah dia akan menangis. Alice menatap balik ke mata itu dan tersenyum. Seolah mengatakan dia bisa menangis jika perlu, tetapi pada saat yang sama, berpura-pura seolah dia tidak memperhatikan cara menyedihkan air matanya menolak untuk jatuh.

“Itulah permintaan maafku karena telah mengorek. Kau bisa memakainya... Itu syal yang sangat bagus, Kamu tahu. Jaga baik-baik.”

“Tapi...bukankah itu sangat berarti bagimu, Kapten? Kamu selalu memakainya...”

“Ah, jangan khawatir. Dulu saat aku bergabung dengan skuadron pertamaku, kapten lamaku yang memberikannya kepadaku. Aku punya kebiasaan buruk ini...”

Dia memutar jari seperti cakar dan mengarahkannya ke tenggorokannya.

“Aku akan terus menggaruk leherku seperti ini. Jadi mereka pikir mungkin aku tidak akan menggaruk diriku sendiri jika ada sesuatu di leherku.”

Itu adalah kebiasaan yang dia kembangkan setelah adiknya meninggal. Dia terserang penyakit, dan kematiannya sama sekali tidak damai. Dia membentuk tik menggaruk dirinya setiap kali dia memikirkannya. Kaptennya tidak tahan melihat itu dan memberikan syal yang menjadi ciri khasnya. Kapten tersebut merupakan kandidat pilot di Angkatan Udara Republik. Mereka ditinggalkan di medan perang setelah menjadi Eighty-Six, dan syal itu adalah salah satu barang pribadi terakhir yang mereka miliki.

Dikatakan bahwa di masa lalu, ketika satu-satunya yang bisa diandalkan untuk mendeteksi musuh adalah mata mereka sendiri, pilot pesawat tempur akan mengenakan syal. Bukan karena iseng, tapi karena menoleh akan membuat lehernya bergesekan dengan kerah seragamnya. Itu benar-benar bagian dari peralatan penting untuk pilot saat itu.

Tapi setelah menara radar dan pesawat jet menjadi kekuatan udara utama—dan lebih-lebih setelah Legiun mencuri superioritas udara dari umat manusia—itu menjadi tidak lebih dari simbol kerinduan akan masa lalu atau jimat keberuntungan yang paling baik.

Jadi jika tidak ada yang lain, itu bisa berguna untuk menjagamu aman dari rasa bersalahmu sendiri.

Itu telah menjadi kenang-kenangan baginya sejak saat itu. Kapten lamanya menyelesaikan masa bakti di unit itu dan pindah ke skuadron Spearhead, unit pertahanan pertama dari kawasan pertama front timur. Lokasi pertempuran paling ganas. Salah satu kawasan paling mematikan di Sektor Eighty-Six, yang memakan jutaan nyawa.

“Itu sudah cukup lama membantuku. Jadi mulai sekarang, itu akan membuatmu tetap aman.”

__________

Post a Comment