Update cookies preferences

Eighty Six Vol 7; Chapter 1 Bagian 3

 


Dengan laki-laki yang sedikit pusing dari seluruh cobaan berat, dan dengan para gadis bahkan lebih kelelahan daripada sebelum mereka memasuki kamar mandi (karena terlalu banyak bermain-main), mereka semua meninggalkan fasilitas dan menghabiskan waktu bersantai di ruang tamu.

Paviliun ini dibuat menggunakan bangunan kuno, dengan halaman dalam bergaya peristyle [1] yang baru-baru ini ditutup dengan langit-langit kaca. Sekarang tempat ini telah dijadikan hotel, itu berfungsi sebagai tempat peristirahatan. Ada banyak sofa besar yang memungkinkan satu hingga dua orang berbaring dengan nyaman.

Sofa-sofa itu cukup luas sehingga tidak perlu ada jarak ketat di antara kursi, dan mereka dihiasi dengan bulu domba yang terasa selembut awan. Ruang tamu didinginkan oleh AC, dan pelayan yang mengenakan setelan nasional Aliansi berjalan ke seberang ruangan, membawa nampan dengan kendi berisi minuman dingin dan gelas.

Sofa-sofa itu cukup empuk sampai bisa tenggelam, dan bulu yang tersebar di atasnya terasa menyenangkan saat disentuh. Merasa tergoda, Shin memejamkan mata tetapi kemudian mengangkat kelopak matanya yang sangat berat karena takut tertidur. Beberapa bagian dari dirinya merasa seperti semakin berpuas diri, tetapi itu tidak berarti dia bermaksud berhenti bersantai.

Satu bulan atau lebih telah berlalu sejak berakhirnya operasi Gunung Dragon Fang di Karajaan. Kali ini, detasemen mereka dikecualikan dari kegiatan operasional, yang juga berarti mereka harus istirahat dari perencanaan pelatihan perwira khusus. Karenanya, meski Shin tahu dia lebih baik mengadopsi pola pikir penurut daripada yang membuatnya tetap hidup di medan perang. Terutama karena dia menyadari ini adalah lokasi yang dipilih bagi mereka sebagai tempat beristirahat yang sangat mereka butuhkan.

Mereka saat ini berada di wilayah Aliansi Wald, negara pegunungan yang terletak di sepanjang perbatasan barat daya Federasi. Lebih spesifiknya, mereka berada di hotel resor kesehatan yang terletak di ibu kota keduanya, Hesturn. Negara ini membanggakan gunung tertinggi di benua itu, Gunung sakral Wyrmnest, yang berfungsi sebagai jantung konfederasi negara-negara kecil. Tanah datar kecil yang ada di antara puncak-puncak yang menampung negara-negara kecil ini.

Mengingat kecilnya jumlah lahan yang layak huni serta sedikitnya populasi, semua warga negara —baik pria maupun wanita— diharuskan mengikuti wajib militer. Kebijakan wajib militer universal ini memberikan kekuatan militer yang cukup besar kepada negara. Tujuh ratus tahun yang lalu, dia memperoleh kemerdekaan dari Kekaisaran Giadian.

Sebagai ganti raja, sebuah dewan dibentuk dari orang-orang berpengaruh di setiap negara di konfederasi. Seratus enam puluh tahun yang lalu, mereka memberikan semua hak suara kepada warga sipil mereka, beralih ke pemerintahan Republik —satu abad setelah Republik San Magnolia menetapkan preseden tersebut.

“Bolehkah aku duduk di sebelahmu?”

Shin mendongak, tahu betul bahwa suara itu adalah suara Lena. Dia memberinya izin dengan gerakan sederhana, dan dia duduk di sampingnya di sofa. Rambut perak panjangnya masih agak basah. Dan saat dia membuka bibirnya, dia tampak malu karena alasan yang tidak bisa diketahui Shin.

“Aku minta maaf atas apa yang terjadi sebelumnya. Eh, maksudku, tiba-tiba berteriak...."

"Tidak apa-apa."

Menurut pendapat Shin, percakapan yang terjadi setelah itu jauh lebih buruk. Tapi dengan mengungkitnya hanya akan membuatnya semakin runyam. Seorang perwira wanita tampak mendekati mereka, sepatunya lace shoesnya [2] berderap di lantai. Dengan gerakan terlatih dan tangkas, dia mengulurkan wadah kaca ke arah mereka.

“Maukah kamu membeli es krim? Kamu sudah cukup main-main, jadi kamu pasti sedang menginginkan sesuatu yang dingin.”

Karena banyak negara di antara pegunungan tersebut membentuk Aliansi, ada beberapa kelompok etnis yang membentuk populasi negara itu. Yang paling besar adalah Caerulea dengan mata biru. Pelayan ini kemungkinan memiliki campuran darah L'asile, dilihat dari rambut pirang gelapnya dan warna matanya yang hampir nila. Dia mengenakan gaun yang memadukan warna hijau hutan tempat hotel dibangun, dengan aksen merah cerah.

“Teko ini isinya susu kental. Ini produk khas Aliansi. Kami memiliki banyak peternakan sapi perah, jadi kami sangat bangga dengan kualitas produk susu kami. Kami harap kalian menikmatinya.”

"Terima kasih."

"Terima kasih banyak."

Shin dan Lena berterima kasih kepada pelayan itu dan menerima minuman yang dia tawarkan. Wanita itu tersenyum pada mereka.

“Sayangnya, di masa-masa sulit ini, tidak banyak variasi makanan. Jadi kami harap kalian tidak keberatan dengan terbatasnya pilihan.”

Aliansi Wald adalah negara pegunungan. Puncaknya begitu curam sehingga, hingga hari ini, rel kereta api sulit mencapai negara ini, dan permukaan batu tinggi di wilayahnya membuktikan hampir tidak memiliki tanah yang subur. Hanya sedikit pertanian yang bisa mereka kelola ada di lembah, yang hampir tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk.

Biasanya, negara dalam posisi seperti itu akan beralih ke teknologi dan perdagangan sebagai kompensasi melalui impor. Dan memang, Aliansi mengandalkan perdagangan untuk mengatasi minimnya pangan. Tetapi ketika Perang Legiun pecah, masing-masing negara di benua itu menjadi terisolasi.

Itu adalah masalah besar bagi Aliansi, yang secara efektif terputus dari rantai pasokan makanannya. Meskipun situasi mereka tidak terlalu ekstrem seperti Republik —yang hampir 100 persen makanannya hasil dari pabrik sintesis— Aliansi mesti sangat bergantung pada produksi makanan pabrik untuk memberi makan penduduknya.

Shin dan Lena ditawari buah beku dengan susu kental manis dan es krim serut berornamen yang meleleh begitu masuk ke mulut mereka. Itu luar biasa segar dan sedikit berbau tanah. Saat Lena membawa satu sendok ke mulutnya, matanya terbuka lebar.

“Ini sangat enak......! Belum lagi aroma hutan yang menyenangkan. Aku penasaran bagaimana mereka membuatnya."

"Aku pikir mereka menggunakan daun pinus," jawab Shin.

“Daun pinus? Oh...”

Lena menyipitkan mata dengan rasa penasaran pada sendok es krimnya.

“Masakan di berbagai negara pasti berbeda-beda... Ini pertama kalinya aku makan makanan yang mengandung daun pinus di antara bahan-bahannya.”

“Aku setuju dengan pernyataan pertama itu, tapi aku pernah melihatnya digunakan sebagai alternatif daun teh untuk menetralkan bau daging di Federasi. Kami bahkan menggunakannya di Sektor Eighty-Six.”

Eighty-Six awalnya adalah warga Republik San Magnolia, meskipun Shin enggan mengakui fakta tersebut. Menggunakan daun pinus untuk teh mungkin juga diintegrasikan ke dalam budaya Republik.

"Itu mungkin saja, tapi ..." Lena menggembungkan pipinya dengan marah.

“Mungkin suatu hari nanti kamu harus mengunjungi Sektor Eighty-Six, Lena. Kau bisa menikmati pemandangan indah puing-puing dan menghargai makanan hasil sintesis.”

Lena menyadari nada bercandanya, tentu saja.

“Oh, aku tahu semua tentang itu. Aku harus memakannya berkali-kali selama serangan skala besar."

"Dan itu mengingatkanmu tentang apa? Aku tidak akan kecewa dengan jawabanmu, jadi jujur saja."

“Hmm.... Yah, dulu....”

Itu adalah salah satu lelucon lama Eighty-Six. Sambil menahan tawa, Lena berpura-pura merenungkan jawabannya sejenak, lalu...-

"Hulu ledak plastik," kata mereka serempak.

Lena terkekeh, yang membuat bibir Shin melengkung tersenyum. Tapi tawanya segera mereda, dan dia menyipitkan matanya. Aula tempat mereka berada dulunya adalah halaman, tetapi sekarang, langit-langit telah dilengkapi dengan kaca yang tersusun dalam pola geometris. Cahaya masuk melalui kaca, menghiasi lantai putih dengan cahaya dalam bentuk itu. Warnanya berubah tergantung pada waktu. Itu adalah keindahan tak berwujud —seni yang terbuat dari cahaya.

Cahaya tidak tetap itu terpantul di mata Lena.

“Tempat ini sangat indah. Tenang... Dan ke mana pun Kau menatap, pemandangannya sangat indah.”

“....”

Sebagai mana wilayah Aliansi yang kecil, resor kesehatan yang menampung hotel ini jauh dari front depan. Di sinilah drone polipedal pertama di dunia —Feldreß asli— dikembangkan. Bertahun-tahun yang lalu, warga negara pegunungan ini menggunakan senjata ini untuk mencegah lima belas divisi tank yang dikirim oleh Kekaisaran. Dan mereka tetap teguh meski dihadapkan pada ancaman Legiun.

Dan berkat itu, kemelut perang akhirnya tidak sampai ke negeri ini. Tidak ada tembakan meriam yang bergema di kejauhan. Tidak ada dengungan hanggar. Bahkan ratapan tak henti-hentinya dari Legiun terasa jauh di sini. Shin tidak bisa terbiasa dengan keheningan ini.

Kemelut perang selalu menjadi latar belakang kehidupan sehari-harinya. Deru artileri tidak pernah berhenti, dan aroma oli mesin serta asap selalu melayang-layang di udara. Awan pasir dan debu pertempuran selalu menyelimuti seluruh dunia. Karena itu adalah versi "normal" menurutnya, baginya, gagasan tentang orang-orang yang menikmati ketenangan konstan ini sepenuhnya asing.

Tapi meski begitu... Dia mulai merasa bahwa dia bisa bersantai di sini. "Ya aku setuju."

xxxxxx

Masih ada beberapa saat sebelum makan malam, dan Lena sesekali kembali ke ruang tamu hotel untuk mengambil barang-barang yang dia perlukan saat mandi. Lena dan Annette berbagi kamar, tetapi Annette belum kembali. Tempat tidur mereka telah disiapkan saat mereka keluar; ketika Lena kembali, dia dengan senang hati menyelam ke atas seprai yang bersih dan telah merasa nyaman dan bermalas-malasan untuk waktu yang lama.

Dia masih sedikit pusing setelah mandi. Mungkin dia terlalu bersenang-senang. Apapun alasannya, segera setelah dia sendirian lagi, semua ketegangan terkuras dari tubuhnya, dan kelembutan yang menyenangkan mengacaukan kesadarannya. TP, yang dia tinggalkan di kamar, terhuyung-huyung ke arahnya dan menyapanya dengan meong bernada tinggi yang familiar.

Lena tidak tahan untuk penempatan mereka di Kerajaan. Tidak melihat Lena atau Shin selama lebih dari dua bulan membuat kucing hitam itu sedikit lebih melekat dari sebelumnya. Merasa TP membuat dirinya nyaman di perutnya, Lena dengan santai mengelusnya dengan satu tangan, dan ia mendengkur puas.

Ketika kesadarannya mulai berkurang, dia memikirkan kembali kejadian-kejadian menjelang hari ini dan akhirnya berhenti pada sebuah ingatan. Dia mengingat kata-kata yang Shin katakan padanya setelah pertemuannya melawan Phönix di medan perang beku Kerajaan.

Kata-kata putus asa, seperti kata-kata anak hilang. Kata-kata yang mengungkapkan kelemahan dan rasa sakitnya tetapi juga berisi keinginan terkuatnya.

Aku pasti akan kembali. Jadi jangan tinggalkan aku.

Aku ingin menunjukkan laut padamu.

Jadi, apakah aman untuk mengasumsikan... ia mungkin memikirkanku...?

Saat pikiran itu terlintas di benaknya, Lena diliputi rasa malu. Dia menutupi pipi dengan tangan saat mulai berguling-guling di tempat tidur.

Apakah aku terlalu memikirkannya...?

Tapi itu adalah satu-satunya maksud yang masuk akal. Aku pasti akan kembali , katanya. Jadi jangan tinggalkan aku, katanya ... Aku ingin menunjukkan laut padamu , katanya. Jika dia tidak bermaksud seperti itu, bagaimana lagi dia bisa menafsirkannya?!

Tapi.... Tidak... Aku pasti terlalu terburu-buru....

Pada hari-hari menjelang liburan ini, Shin menghabiskan waktu untuk belajar di kota terdekat dengan markas mereka. Lena, yang sudah menyelesaikan pendidikan tinggi, juga terdaftar sebagai siswa di sana karena suatu alasan, jadi mereka sering belajar bersama. Dan melalui interaksi mereka yang meningkat, Shin sepertinya bisa memahami emosinya. Dia mulai lebih sering tersenyum dan sesekali bercanda.

Bagi Lena, ini adalah kehidupan sekolah yang benar-benar menyenangkan dan tak terlupakan, tapi... sepanjang waktu, Shin tidak pernah sekalipun menyebutkan keinginan itu. Emosi kasar yang dia tunjukkan saat pertama kali membuatnya tidak bisa ditemukan.

Maka Lena menyimpulkan bahwa dia hanya terlalu memikirkannya. Namun dia tidak bisa menemukan penjelasan lain akan apa yang dia maksudkan.... Dan setiap kali dia memikirkannya, perasaannya akan carut marut.

Memijat pipinya yang memerah, Lena kembali berguling-guling di tempat tidur.

Ketika Shin dan Lena bertukar pikiran, mereka sedang dalam operasi dan tidak dalam kondisi pikiran untuk mengkonfirmasi perasaan mereka. Tetapi pada titik ini, Lena berpikir bahwa jika dia harus merasa seperti ini, dia seharusnya membicarakannya dengan tenang segera setelah operasi berakhir...

Tunggu, setelah operasi? Bicarakan dengannya —dengan tenang? Tidak, tidak, aku tidak bisa; Aku tidak bisa melakukan itu! Tidak, tidak, tidak, itu sangat memalukan! Aku tidak bisa menanyakan itu padanya!

Bagaimana jika aku....?

Aku bertanya kepadanya....

Dan ternyata semua itu salah....?!

Lena berguling ke kiri dan ke kanan di atas tempat tidur, tangannya tergenggam di depan wajahnya yang memerah. Dia sangat cemas dan takut jika dia tidak terus bergerak, dia merasa seperti akan menjadi gila. Pertama-tama, dia begitu sibuk dengan perasaan Shin, cukup untuk menjadi sadar diri dan malu... Bagaimana perasaanku tentang Shin…?



Pintu kamarnya terbuka dengan dentingan.

“Aku kembali, Lena. Mereka membagikan air lemon. Kamu mau? Aku cukup yakin lemonnya sintesis, tetapi mintnya asli. Tunggu..."

Menatapnya, Annette menatap Lena dengan ragu.

"Apa yang sedang kamu lakukan?"

“Annette…!” Lena menatap temannya dengan putus asa.

Tempat tidurnya berantakan, dan rambut perak berkilau yang sebelumnya disisirnya dengan cermat sangat compang-camping.

"Annette, aku.... Menurutmu bagaimana perasaan Shin tentangku......?"

Annette terdiam lama sebelum akhirnya menghela nafas panjang dan dalam. Seolah ingin melepaskan tekanan batin yang telah menumpuk di dalam dirinya.

“Lena...”

“Urgh…”

“Aku sudah lama mengenalmu, aku mengerti kau benar-benar bodoh, tapi kupikir aku berhak memukulmu kali ini. Benarkan?”

"Maafkan aku.."

TP mengeong melengking dengan teriakan yang terdengar menegaskan dan sama sekali tidak peduli.

xxxxxx

Shin kembali ke kamar, merasa sedikit pusing. Beberapa bagian dari dirinya juga merasa bahwa dia tidak bisa terlalu santai. Begitu dia memasuki ruangan, ingatan tertentu muncul samar-samar di benaknya. Menatap langit-langit kayu yang ditata secara artistik, Shin mengikuti ingatan itu.

Itu adalah percakapan yang dia lakukan beberapa hari yang lalu dengan rekan-rekannya, saat mereka berada di akademi perwira khusus. Itu lebih dari hal-hal biasa, hal-hal sepele, dan aneh saat ingatan itu telah merayap padanya sejak awal. Itu adalah pemandangan yang sangat biasa-biasa saja.

Tapi akhirnya, Lena-lah yang mengisi sebagian besar ingatan itu. Percakapan mereka sebulan yang lalu di Kerajaan. Kata-kata yang dia ucapkan.

Jangan tinggalkan aku...

Dia harus mengakui fakta... Dia harus berhenti menutup mata terhadap kebenaran. Dia harus mengakui bahwa dia telah menghadapi keinginan aslinya secara langsung... dia telah menyadari apa yang akan memungkinkannya untuk terus hidup, bahkan jika itu kebohongan.

Perasaannya pada Lena.

Pikiran itu membuat Shin merasa canggung, dan dia membiarkan kepalanya membentur bantal. Itu bukanlah emosi yang dia kenal, dan itu membuatnya jauh lebih sulit untuk dihadapi. Itu membuatnya dalam suasana hati yang gelisah dan resah. Dia tidak tahu harus berbuat apa dengan dirinya sendiri.

Dia takut —tidak diragukan lagi— dan tidak bisa memaksa dirinya sendiri untuk mengambil langkah selanjutnya. Jika seseorang menyebutnya pengecut karena hal itu, dia tidak punya pilihan selain setuju. Selama hari-hari yang mereka habiskan untuk belajar pada waktu istirahat mereka, dia bermaksud untuk berbicara dengan Lena tentang hal itu beberapa kali, tetapi pada akhirnya, dia tidak bisa mengatakan apa-apa. Mengingat betapa lembek dirinya hanya membuatnya semakin tertekan.

Shin tidak begitu tahu kapan dia mulai merasa seperti itu. Sebelum menyadarinya, dia telah mengambil tempat tinggal permanen di dalam hatinya. Dan ketika mereka berreuni dan mulai bertarung bersama di medan perang yang sama, tempat yang dia tempati secara bertahap semakin besar. Sampai pada titik di mana dia tidak lagi bisa menipu dirinya sendiri.

Dan begitu dia menyadari emosi itu, dia tidak lagi bisa kembali mengabaikannya. Memilah ingatannya, dia menyadari bahwa semua yang pernah dia lakukan adalah mendorong keinginannya kepadanya dengan egois. Ingat kami. Teruslah hidup. Jangan tinggalkan aku.

Dia telah mengabulkan semua keinginan itu, dan dia merasa seperti tidak bisa membiarkan dirinya memanfaatkan kebaikannya lebih lama lagi.

Aku ingin menunjukkan laut padamu. Aku ingin melihat laut bersamamu.

Dan sekarang dia menyadari siapa dia sebenarnya yang telah membuat keinginan itu...

“—N.”

Tapi meski begitu, keinginan itu adalah keinginan egois Shin. Sejauh ini Lena telah menjawab semua keinginannya, tetapi tidak ada alasan dia juga harus menjawab keinginan ini.

“Shin...”

Dia bisa saja menolaknya. "Yo, Shin."

Dan selain itu, terhadap seberapa banyak dia telah mendukungnya sejauh ini, dia tidak memiliki apa-apa untuk ditawarkan sebagai balasan. Karena itu....

“Hei, bodoh, aku sedang berbicara denganmu.”

Shin tersentak dan melihat sekeliling, lalu matanya tertuju pada Raiden, yang rupanya telah kembali ke kamar. Dia berdiri di depan pintu, membuat wajah Shin yang belum pernah dilihat sebelumnya. Dia tampak jengkel dan sekaligus muak. Seolah-olah dia dipaksa untuk menelan makanan penutup yang sangat dia benci.

"Apa?"

"Kamu tahu..," kata Raiden, menghela napas berat. "Kamu benar-benar berubah, bung."

Post a Comment