Update cookies preferences

Nanatsu no Maken Vol 2; Chapter 1; Bagian 2

 


Dengan berakhirnya kelas pagi, tibalah waktunya makan siang. Di kafetaria, satu-satunya topik pembicaraan antara enam sahabat itu adalah bakat baru Nanao.

“Rahangku benar-benar menyentuh lantai. [1] Sudah enam bulan sejak tahun ajaran dimulai, namun, Nanao —kau tetap saja mengejutkan kami,” kata Chela, setengah kagum dan setengah takut. Nanao tertawa saat merobek pai dagingnya dengan lahap.

“Tidak kusangka pelajaran terbang ternyata akan menyenangkan. Aku tidak sabar menunggu yang berikutnya!"

“Hebat, hebat sekali... Jangan kira kamu bisa berbagi beberapa tip padaku, eh, Nanao?” Guy berkata, depresi melayang di wajahnya. Dia sering jatuh saat kelas sapu sehingga jika tidak segera berkembang, dia tidak akan lagi bisa menaiki sapu. Nanao menghembuskan napas dari hidungnya sambil berpikir.

“Dari apa yang aku lihat, Kau berusaha terlalu keras dalam mengendalikan sapu. Sapu adalah penerbang, dan kita adalah penunggangnya. Ingatlah itu dan cobalah untuk lebih mempercayakan dirimu kepada partnermu."

“Fokus mengkomunikasikan ketulusan pada pasanganmu merupakan hal penting, daripada menggunakan tangan untuk mengarahkan mereka. Perhatikan Katie,” tambah Chela.

“Eh-heh-heh-heh. Tapi aku tidak sehebat Nanao,” kata Katie malu-malu, sambil menggaruk-garuk kepalanya. Benar-benar dikalahkan oleh saingannya, Guy menunduk ke tanah dengan cemberut.

"Kamu juga banyak jatuh, kan, Pete? Mungkin kita berdua harus mendapatkan pelajaran dari para gadis."

“La-lakukan apa yang kamu inginkan. Aku akan berlatih sendiri,” jawab Pete tajam, menolak untuk berbicara lebih banyak. Sebaliknya, dia fokus memotong ikan haring di piring dan membawanya ke mulutnya. Guy menatap Oliver dengan sedih.

“Dia masih dalam fase rebel. Usia yang sulit, bukan, Ibu?"

“Itu masa pubertas untukmu, Ayah. Apa yang bisa kau lakukan?"

“Kalian berdua bukanorang tuaku!”

Pete membanting meja karena lelucon mereka. Kelompok itu tertawa terbahak-bahak ketika seseorang menyela:

“'Ello. Senang melihat kalian semua dengan semangat yang tinggi, eh?" Pembicaranya memiliki aksen Ytallian yang kental.

Kelompok itu menoleh ke sumber suara dan melihat seorang remaja dengan mata berbentuk almond berdiri di depan mereka, dengan senyum yang sangat ramah di wajahnya. Mereka tahu bahwa dia adalah siswa kelas satu, tetapi tidak ada dari mereka yang pernah berbicara dengannya sebelumnya.

“Halo,” jawab Oliver, agak ragu-ragu. "Kamu siapa?"

“Tullio Rossi, tahun pertama. Ah, Kau tidak perlu memperkenalkan diri. Aku sudah cukup familiar dengan kalian semua, Oliver,” jawab Rossi sambil menyeringai. Pandangan matanya melintasi meja dan mendarat pada Nanao. “Sungguh pertunjukan yang sangat mengesankan pagi ini, Nanao. Untuk perjalanan pertamamu, itu cukup bagus. Beberapa orang memiliki semua bakat, eh? Aku benar-benar serius. Maukah Kau sedikit membagikannya padakuk?”

Rossi memberikan pujian itu dengan ironi yang berat dan bahkan terlalu terlalu terbiasa.

Chela segera menyela. "Pendidikan keluarga Nanao tidak bisa disimpulkan dengan kata-kata manis seperti bakat, Mr Rossi."

“Ah, Michela. Tidakah tahu itu. Aku juga punya mata. Ha ha! Kau tidak bisa membunuh garuda hanya dengan bakat,” jawab Rossi, dengan kilatan tajam di matanya.

Oliver mengawasinya dengan saksama sekarang. Pemuda itu tidak langsung menyatakan diri sebagai musuh, tapi dia jelas berbahaya.

“Tapi pikirkan tentang kita semua, eh? Dengan semua sorotan mengarah padamu, semua orang tertinggal dalam kedinginan. Sangat sepi di luar sana. Aku 'selalu' merasa tidak dianggap. Semakin banyak, semakin meriah —apakah aku benar, rekan-rekan tangguhku?!”

Dia praktis meneriakkan kata-kata terakhir itu dan berbalik menghadap seluruh kafetaria. Oliver merasakan banyak sekali tatapan mata di meja mereka.

“Apa yang ingin Kau maksud, Mr Rossi?” tanyanya kaku.

“Baiklah, sekarang. Tidak ada yang terlalu gila. Kita sudah berada di Kimberly selama enam bulan, bukan? Aku pikir kita harus meneladani para senior dan memutuskan siapa yang paling kuat di tahun pertama."

Pernyataannya mengirimkan desas-desus ke seluruh siswa. Itu teori yang sangat sederhana: Selama ada banyak pesaing kuat, mereka secara alami akan mencari siapa yang terkuat.

“Tentu saja, pemenang de facto adalah Nanao. Aku tidak mempermasalahkannya. Tapi apa salahnya memberi kita kesempatan menantang 'er? Beberapa dari kami berharap bisa berada di sana ketika garuda menyerang —termasuk aku, tentu saja.”

Rossi kembali tersenyum, sementara Oliver menatap tajam ke arahnya. Dia merasakan tatapan seseorang tertuju padanya dan Nanao, mengintai sejak mereka mengalahkan garuda. Jadi, pernyataan ini tidak mengejutkan baginya. Dia sudah menduga orang ini pada akhirnya akan mengonggong.

“Kita bertarung, sampai pria atau wanita terakhir. Bertarung untuk menyelesaikan sesuatu dan untuk siapa yang terkuat. Kalau tidak, aku tidak akan tidur dengan nyenyak. Jadi, apakah kalian dengar? Maju dan sebut nama kalian, eh? Siapa yang ingin ikut pesta?” Rossi berteriak, tidak mau melewatkan momen itu. Kegembiraan para siswa bergemuruh.

Seorang gadis dari meja yang jauh berdiri. "Aku ikut!" teriak gadis pirang pendek.

Mata Chela membelalak. “Cornwallis? Sungguh?"

“S-siapa itu?”

“Stacy Cornwallis, kerabatku. Keluarga kami selalu berjauhan, jadi kami jarang berbicara di sekolah,” jawab Chela dengan getir.

Stacy, bagaimanapun, berdiri teguh, lubang hidungnya mengembang karena kegembiraan.

Di sebelahnya, seorang pemuda berdiri, jelas terlihat kesal. “Serius? Kau ingin ikut? Kau gemetar seperti kami saat garuda itu menyerang."

“F-Fay! Kau salah! Aku hanya menonton dengan saksama!” Stacy mengklaim. Nada suaranya berubah sangat kekanak-kanakan. Ini sepertinya sikap khas dirinya, berbeda dengan sikap Chela yang santun dan sopan.

Pemuda bernama Fay menghela nafas. “Yah, aku rasa begitu... aku juga akan bergabung, Mr Rossi. Aku tidak akan membuat klaim apa pun tentang kekuatanku, tetapi aku tidak bisa hanya duduk dan melihat anak ini melemparkan dirinya pada anjing,” [2] katanya sambil mengangkat tangannya. Rossi terkekeh setelah menyaksikan interaksi mereka.

“Bagus, sangat bagus! Jika kau memiliki semangat, Kau dipersilakan bergabung. Ah ya —bagi kalian yang tidak ikut dalam pertarungan garuda, anggap ini sebagai kesempatan untuk menebus harga diri kalian! Atau apakah kalian lebih suka menghabiskan sisa tahun ini dengan menanggung rasa malu?”

Itu adalah tantangan terselubung dalam kepedulian sahabat. Serangkaian suara terdengar, menandakan bahwa mereka ikut dalam kompetisi.

Nanao tersenyum bahagia melihat kegembiraan yang meningkat di ruangan itu. “Aku suka betapa bersemangatnya kalian semua. Gelora muda yang bagus. Apa aku juga boleh bergabung?” dia bertanya, mengangkat tangannya.

Rossi tersenyum lebar.

“Nanao, kamu adalah juara sejati. Kau benar-benar memahami martabat seorang raja. Tapi bagaimana denganmu, Oliver? Nanao ingin bergabung. Apakah Kau puas hanya dengan duduk dan menonton?" tanyanya, sambil menusuk teman perempuannya.

Setelah beberapa saat, Oliver berbicara dengan pelan. “Aku tidak peduli dengan trofi yang menyebutku tahun pertama terkuat, tapi aku juga tidak punya alasan untuk mundur dari pertandingan dengan teman sekelasku. Aku akan bergabung. Apakah Kau puas sekarang, Mr. Rossi?”

Nadanya berduri saat dia menerima tantangan itu. Mata mereka terkunci, dan bibir Rossi melengkung dengan kegembiraan kejam. Sekarang Oliver akhirnya tahu hati yang berbahaya dan pugilistik di balik penampilan ramah Rossi.

"Kalau begitu tidak ada alasan aku tidak bergabung," tambah Chela.

“Apa—? Chela?!”

“Tunggu, kamu juga?!”

Teman-teman mereka berteriak kaget saat gadis ikal dengan tenang mengangkat tangannya.

Rossi bersiul, kegembiraannya meningkat saat melihat senyum gigih Chela. "Menyenangkan! Kau membuatku sangat senang. Memiliki peserta sebanyak mungkin merupakan sesuatu yang penting bagi kita.” Dia kemudian mengalihkan pandangan ke meja di dekat pintu masuk dan meninggikan suaranya sehingga mereka bisa mendengarnya sampai ke sana. “Dan bagaimana denganmu, Mr Andrews? Selalu saja membual tentang keahlianmu dalam seni pedang, bukan? Dan selain itu, salah satu dari tiga orang yang mengalahkan garuda!"

Remaja berambut panjang yang dipanggil Rossi dengan namanya —Richard Andrews— diam-diam bangkit.

“Maaf, tapi aku pass. Fokusku adalah menghadapi diriku sendiri, bukan orang lain. Pikiranku sudah bulat.”

"Mm, begitu. Menyelipkan ekor dan lari, eh? Aku kecewa!"

“Katakan apapun semaumu. Maaf."

Andrews mengabaikan ejekan itu dan meninggalkan kafetaria. Rossi memiringkan kepala saat melihatnya pergi.

“Ah, dia pergi. Benar-benar kejutan. Aku yakin dia akan mengambil umpan."

“Mungkin dulu, dia akan melakukannya,” kata Chela. “Aku harap Kau tidak lupa bahwa aku ikut dalam tantanganmu sekarang. Melecehkan Rick adalah kecerobohanmu."

Dia memelototinya, senyumnya yang sebelumnya hilang.

Rossi segera angkat tangan. “Brrr. Maafkan aku, itu hanya sedikit senda gurau. Aku tidak memiliki maksud apa-apa,” dia meminta maaf, tersenyum malu-malu. Dia kemudian dengan cepat kembali ke topik utama. “Sekarang setelah kita mengumpulkan penantang, mari kita putuskan. Turnamen biasa akan membosankan, bukan? Aku ragu kalian semua menginginkan duel yang layak di halaman sekolah."

Nada suara Rossi kental dengan sarkasme saat dia mengamati para penantang. Dia kemudian mengeluarkan koin logam dari sakunya dan mengangkatnya untuk dilihat semua orang. Logam itu sekitar dua kali lebih besar dari belc, mata uang umum Yelgland.

“Jadi mari kita adakan kompetisi perebutan medali. Jika kalian mage, kalian harus bisa membuat medali unikmu sendiri. Selama tujuh hari ke depan, kita semua akan menyimpannya secara diam-diam. Selama waktu itu, kalian bebas bertarung dengan siapa pun yang kalian inginkan. Jika kalah, kalian harus menyerahkan satu medali kepada pemenang. Ketika kalian kehilangan semua medali, kalian gugur. Pada hari terakhir, empat orang dengan jumlah medali terbanyak akan berduel. Itu menarik, bukan?”

Para siswa saling tatap dengan heran. Nanao melipat tangan, dengan ekspresi konflik di wajahnya.

“Mm. Maafkan aku, tapi aku tidak tahu cara membuat medali.”

“Oliver bisa mengajarimu. Aku percaya kita bisa menyelesaikannya pada akhir hari ini, bukan? Anggap saja sebagai bentuk asuransi. Aku ingin 'menghadirkan penonton untuk setiap pertempuran, tetapi itu mungkin tidak dapat dilakukan di sembarang tempat. Jika kita memiliki bukti kemenangan itu jelas sangat bagus untuk kita semua.”

Ini masuk akal bagi Oliver. Jika, misalnya, pertempuran berlangsung diam-diam di labirin, maka para pemenang akan membutuhkan bukti nyata akan kemenangan mereka agar event tersebut dapat berjalan dengan lancar. Tentu saja, itu saja tidak cukup untuk menutupi semua bentuk kecurangan, tetapi Tullio Rossi tampaknya bukan tipe yang menikmati kekacauan tak terkendali. Rossi menghabiskan lima menit berikutnya menanyakan nama masing-masing peserta dan menuliskannya di gulungan.

“Semua nama peserta sekarang telah tercatat. Dan dengan itu... Mulai!” dia tiba-tiba mengumumkan, mengangkat gulungan itu.

Para siswa menjadi kaku.

"Ada apa? Silakan bertarung. Siapa peduli jika kalian tidak bisa membuat medali? Kalian tidak dapat memalsukan hasil dengan benar sekarang.”

Sambil mencibir, dia menyalakan bara api. Tiba-tiba, semua orang menjadi sangat sadar satu sama lain. Siapa yang paling mungkin aku kalahkan? Siapa yang paling berbahaya untuk dilawan? Siapa yang akan membuatku disegani jika kukalahkan? Pikiran mereka berpacu dengan perhitungan berdarah dingin. “Aku tahu ini tiba-tiba, tapi bisakah aku meminta duel, Ms. Hibiya?” Yang pertama angkat bicara adalah seorang gadis dari meja terdekat.

Para siswa berdengung saat Nanao berdiri tanpa ragu sedikit pun. "Tapi tentu saja. Di mana?"

“Kita mungkin akan dapat masalah jika melakukannya di sini, jadi mari kita pergi ke halaman. Aku kira penonton akan mengikuti kita."

Nanao mengangguk pada usulannya, dan mereka keluar dari gedung bersama.

Katie untuk sesaat menatap mereka, bingung, dan kemudian dengan cepat berdiri dengan bingung. "Hah? Hah?! Tunggu, mereka sudah bertarung?!” dia berteriak.

“Semua peserta berhak menantang duel lawannya. Lebih awal, lebih baik. Dan gadis ini cukup serius,” kata Chela, mencoba memuji keberanian sang peserta. Dia juga bangkit, lalu mengikuti gadis-gadis itu, dengan murid-murid lainnya mengikuti di belakang.

Beberapa menit kemudian, kedua peserta itu berdiri di halaman dekat kafetaria, berhadapan.

“Jarak awal dua puluh yard. Itu aturan umumnya. Kalian tidak ada yang keberatan kan?”

“Aku tidak keberatan. Namun, aku masih kesulitan memakai sihir. Apakah Kau keberatan jika aku tetap berpegang pada permainan pedang?"

“Tentu —jika kamu bisa cukup mendekatiku,” kata gadis itu, menyeringai dengan percaya diri. Mereka masing-masing menarik athame dan merapal mantra.

""Securus!""

Pedang mereka, dialiri dengan sihir, bersinar dengan cahaya putih. Masing-masing merapalkan mantra antikilling bukan pada pedang miliknya, tapi pada pedang lawan. Ini penting, karena kecuali jika mereka percaya satu sama lain secara implisit, itu adalah cara terbaik untuk menghindari serangan mematikan yang tidak disengaja. Jika seseorang lemah dalam casting, hasilnya akan meledak di wajah mereka pada kontak pertama.

“Me-menurutmu dia akan baik-baik saja...?” Katie resah. "Dia tidak akan terluka, kan?"

“Sulit dikatakan,” kata Chela. “Bagaimana menurutmu, Oliver?”

“Tujuan si lawan sudah jelas,” jawabnya mantap. “Dia tahu Nanao lemah dalam sihir dan ingin mengakhiri duel dari luar jangkauan seni pedangnya. Dan berdasarkan sikap tenangnya, dia sepertinya memiliki pengalaman dalam duel penyihir.”

“Jadi Nanao dalam masalah?”

Katie menyilangkan lengan, tampak khawatir.

Oliver dengan tenang namun tegas menggelengkan kepala. “Itu mungkin rencana lawan, tapi sejujurnya? Dia salah dalam menilainya. Dia benar-benar meremehkan apa yang bisa dilakukan Nanao dengan pedang,” dia dengan percaya diri meyakinkannya. Lalu akhirnya, duel pun dimulai.

"Mulai!" sang mediator, tahun kedua, berteriak. Hampir seketika, Nanao melesat ke depan dalam garis lurus yang hampir sempurna. Dia bahkan tidak mencoba menipu lawan. Satu-satunya hal yang ada di pikirannya adalah menutup jarak dan menebas lawannya.

"Impetus!"

Lawan menunggu sesaat sebelum merapal mantra. Menyadari bahwa Nanao dapat menghindar jika dia terlalu cepat memakainya, dia membiarkannya mendekat sebelum melepaskan amukan angin yang menderu untuk mengirim Nanao terbang, dan itu akan membuktikan kemenangan yang tidak dapat diubah.

"Hrmph!"

Akibatnya, butuh beberapa waktu sebelum dia bisa menerima kenyataan bahwa Nanao malah menebas secara horizontal, mendorong pukulan ke samping.

"Hah?"

Melihat sesuatu yang mustahil, gadis itu membeku. Beruntung, instingnya muncul, dan dia berhasil menahan serangan lanjutan, tapi pertahanan setengah hati seperti itu tidak ada artinya di hadapan Nanao. Tebasan diagonal dengan mudah mendorongnya ke samping, berhenti satu inci dari lehernya.

“Mm, maafkan aku. Aku secara naluriah menahan. Apa ini dihitung sebagai kemenangan?” gadis Azian itu bertanya pada penonton. Hanya ada sedikit perlawanan sehingga dia ragu-ragu untuk menebas. Lawannya dan penonton berdiri membisu. Akhirnya, mediator tersadar.

“Pemenangnya adalah Nanao Hibiya!”

Kegairahan muncul di antara kerumunan. Mengabaikan mereka, Nanao menyarungkan pedang, meletakkan tangan di bahu lawannya, dan tersenyum.

“Ayo kita bertarung lagi suatu hari nanti.”

"Hah? Oh,” gadis itu bergumam lemah, bahkan tidak sadar telah kalah.

Chela menghela napas dengan kagum. “Itulah yang sudah kuduga... Tidak, bisa kukatakan, duel yang lebih hebat dari yang kubayangkan.”

“Lawan tidak pernah memiliki kesempatan. Tidak ketika dia bahkan tidak tahu tentang Flow Cut Nanao,” komentar Oliver tanpa ampun. Bagaimana dia bisa tahu? Ini pertama kalinya Nanao menggunakan teknik itu pada sesama siswa tahun pertama. Itu adalah teknik rahasia pribadinya, mirip dengan Flow Cut gaya Koutz, namun sangat berbeda — Flow Cut Dua Tangan. Namun, bukan karena alasan curang dia merahasiakannya. Faktanya, dia telah berkonsultasi dengan Master Garland dan Oliver sebelum memutuskan untuk melakukannya. Jika siswa lain melihat teknik ini di kelas, itu pasti tidak akan berakhir dengan baik. Tak satu pun dari mereka mampu menirunya, bahkan jika mereka mau, dan itu hanya akan membuat mereka merasa tidak kompeten meski masih pemula. Siapa yang bisa pulih setelah kalah dengan cara seperti itu?

“Hanya berada di puncak kelas tidak cukup untuk menantang Nanao lagi,” kata Oliver. “Hanya seseorang yang lebih kuat dari tahun pertama yang bisa berharap untuk berdiri di posisi yang sama.”

"Aku setuju. Sejujurnya, aku menggigil,” kata Chela sambil menekan bahu untuk menenangkan diri.

Nanao, dengan kemenangan pertama di tangan, kembali kepada mereka, dan gadis ikal itu pub menyambutnya dengan proklamasi lantang:

“Oliver, Nanao —dengarkan aku. Aku bersumpah akan bertahan sampai hari terakhir."

Oliver, Nanao, Katie, Guy, dan Pete menatapnya dengan heran. Biasanya, Chela hanya mengawasi mereka selangkah di belakang. Tapi sekarang dia meyuarakan perasaannya.

“Dan aku sarankan kalian berdua melakukan hal yang sama. Mari kita bertiga bertahan saat peserta lain gugur — dan kemudian kita bisa melakukan duel yang adil. Itu akan menjadi kesimpulan yang paling menarik, tidakkah kalian setuju?" Tanya Chela, meski dia tidak mau menerima jawaban negatif.

Nanao mengangguk dengan keras.

"Aku menerima. Bagaimana menurutmu, Oliver?” dia menjawab, lalu melihat ke arah remaha yang berdiri di sampingnya.

Oliver terlalu bingung untuk menjawab dengan cepat. Yang bisa dia ingat hanyalah pertama kali dia dan Nanao beradu pedang —saat dia menyadari bahwa dia adalah pria yang ditakdirkan untuknya— dan air mata sebening kristal yang telah dia tumpahkan.

"Baik... Kalau untuk kompetisi, aku tidak keberatan,” jawab Oliver setelah menenangkan diri. Tidak peduli akan perasaannya, dia tidak mungkin bisa mengelak selamanya. Dia harus menghadapinya lagi setidaknya sekali dalam tujuh tahun mereka bersama di akademi. “Hari terakhir menandai waktu duel kita. Aku akan melakukan yang terbaik untuk bertahan sampai saat itu juga."

Respon yang tegas, dan dia bertatapan dengan Nanao.

Chela tersenyum. “Aku akhirnya bergabung juga. Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku merasakan kegembiraan semacam ini?" gadis ikal bergumam pelan, api yang belum pernah ada sebelumnya menyala di dalam dirinya. Bagaimanapun, dia adalah seorang penyihir. Dia tidak akan duduk frustrasi di pinggir lapangan dan menonton dunia kecil Oliver dan Nanao lagi.

_______________

Kelas pertama mereka sore itu adalah teknik sihir. Mata pelajaran ini, seperti pelajaran terbang, ditambahkan ke kurikulum mereka setelah enam bulan pertama tahun ajaran. Banyak siswa yang sangat gembira merasakan bidang studi baru ini.

“Kya-ha! Selamat siang, semuanya, dan selamat datang di teknik sihir! Aku guru kalian, Enrico Forghieri. Senang bertemu dengan kalian! Kya-haha-ha-ha!”

Saat kelas dimulai, seorang lelaki tua memasuki ruangan, terkekeh gila-gilaan dan memegang permen lolipop di satu tangan. Seluruh kelas tercengang.

"Kurasa ini guru paling gila yang pernah kita miliki," bisik Guy kepada teman-temannya, tidak mampu menahan diri.

Orang tua yang dimaksud menjilat lolipop, menyeringai lebar.

“Guy, kamu bahkan belum pernah bertemu pria ini sebelumnya! Kau tidak boleh begitu saja—”

“Tidak, dia benar. Jangan lengah."

Katie mencoba memarahi Guy, tetapi Oliver menyela singkat. Mereka semua mengamati ketika lelaki tua bernama Enrico itu mulai membuat garis besar kelas.

“Apa yang aku ajarkan, pada dasarnya, adalah dasar dari masyarakat sihir kita. Dengan kata lain, teori dan teknik yang memungkinkan terciptanya berbagai alat dan struktur sihir. Tanpa mereka, sihir tidak memiliki bentuk —kita tidak akan lebih baik dari penipu yang mencolok! Mustahil, katamu! Benar-benar konyol, katamu! Tentu saja aku ingin kotak trik yang aku kerjakan dengan sangat keras diturunkan dari generasi ke generasi! Enrico memekik, merentangkan tangannya lebar-lebar. "Bahkan Kimberly sendiri adalah kotak trik indah yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita! Bagian pertama jalur aku terlibat dalam pembangunannya, namun ada beberapa bagian dari tempat ini yang menjadi misteri bahkan bagi keluargaku. Tapi itu wajar! Karena tidak seperti penemuan membosankan non-sihir, penemuan dunia sihir itu hidup! Ada begitu banyak cerita tentang penyihir yang dimakan oleh keluarga mereka sendiri sehingga kita bisa menggunakan perkamen yang mereka tulis untuk kertas toilet! Kya-ha-ha-ha! Benar-benar mengasyikkan!”

Pidato orang tua itu cepat, lidahnya terus menerus menjentikkan permen.

“Aku menghabiskan banyak waktu untuk merenungkan bagaimana menjelaskan dunia yang menakjubkan ini kepada kalian dengan cara tercepat. Memulai dari teori dasar dan melanjutkan ke atas akan menjadi metode yang paling umum —tetapi itu juga akan membuat kita semua tertidur! Elemen pembelajaran yang paling penting adalah pemahaman yang membuat telapak tangan kalian berkeringat, diikuti oleh logika dan intuisi berbeda yang ditemukan di puncaknya! Tolong jangan khawatir —aku janji, kelasku takan pernah membosankan!”

Enrico menjentikkan tongkat, dan seketika, beberapa kotak naik dari sudut ruangan. Para siswa melihat item misterius dengan ketakutan.

“Rekayasa terbalik —apa kalian pernah dengar konsep ini? Sederhananya, ini melibatkan mempelajari sesuatu dari atas ke bawah. Ini adalah metode yang digunakan untuk mempelajari proses pembuatan dan prinsip pengoperasian subjek dengan mengamati, membongkar, dan menganalisis produk jadi alih-alih mempelajari prinsip-prinsip dasar dan menggunakannya untuk membuat produk. Apa yang kuinginkan dari kalian semua adalah mencobanya sendiri."

Instruktur menyapu ruang kelas, melanjutkan kuliah.

“Kalian melihat empat kotak yang muncul di ruangan ini, kan? Itu semua adalah jebakan sihir yang akan aktif dalam waktu satu jam. Buka dan hentikan tepat waktu, dan kalian semua akan baik-baik saja. Namun, jika gagal melakukannya, kalian akan berada dalam sedikit masalah. Khususnya, anggota tubuh kalian akan terkoyak, dan kulit kalian akan dilelehkan oleh racun yang sangat menyakitkan. Namun, semua itu tidak akan membunuh kalian."

Para siswa bergumam karena khawatir. Enrico mengerutkan bibir menjadi seringai.

“Jika kalian tidak ingin itu terjadi, berusaha keraslah dalam membuka perangkap. Setiap kotak memiliki mekanisme unik tersendiri, tetapi jangan khawatir —aku tetap akan memberi kalian petunjuk. Dan ini sedikit saran: Aku sarankan kalian menunjuk seseorang yang memiliki pengalaman dalam bidang ini sebagai pemimpin. Manfaatkan waktu kalian sebaik mungkin. Dilihat dari kelas sebelumnya, membuang-buang waktu paling sering menjadi alasan dibalik petaka.

Sekarang, apakah kalian siap? Lalu mulailah! Semangat, anak-anak! Hidup kalian bergantung pada persahabatan dan kerja sama! Kya-ha-ha-ha-ha!”

Semua orang langsung bertindak, sangat sadar bahwa ini bukan lagi kelas yang sederhana.

“Siapapun yang berpengalaman, maju sekarang juga! Kita kehabisan waktu!”

“Jika kita telah belajar sesuatu dari enam bulan terakhir ini di Kimberly, instruktur tidak melebih-lebihkan! Seseorang benar-benar akan kehilangan anggota tubuh jika gagal!"

Oliver dan Chela segera mendapat perintah. Wajah para siswa memucat saat menyadari bahaya yang mereka hadapi. Enrico mengamati saat kelas menjadi hiruk-pikuk untuk beberapa saat sebelum meninggikan suara.

“Petunjuk pertama! Perangkap sihir dibagi menjadi tiga kategori besar: berjangka waktu, bermuatan pegas, dan bermuatan pegas dengan jangka waktu. Hari ini, kalian menghadapi tiga jebakan berjangka waktu dan satu jebakan bermuatan pegas dengan jangka waktu. Ini akan membuat segalanya lebih mudah jika kalian mengidentifikasinya terlebih dahulu!”

Oliver menggertakkan gigi. Jika salah satunya adalah jebakan bermuatan pegas, maka mereka harus ekstra hati-hati dalam menanganinya. Mereka tidak punya pilihan selain mengujinya secara individu, dia sadar, dan dia pun mulai mengajar teman-teman sekelasnya.

____________________



[1] Hiperbola; benar-benar terkejut.

[2] Aku tidak bisa membiarkannya dikritik dan diserang,

Post a Comment