Update cookies preferences

Nanatsu no Maken Vol 2; Chapter 2; Bagian 3

 


Beberapa menit kemudian, dia merawat lukanya tanpa bantuan dari Oliver.

"Ini, medalimu."

Rossi mengeluarkan medali dari saku mantelnya dan melemparnya dengan singkat padanya. Oliver menangkapnya, dan saat dia memeriksanya, Rossi mendesah berlebihan.

“Ini tidak terlihat bagus sekarang. Aku kalah dalam satu pertempuran yang tidak aku inginkan. Bahkan dikuliahi.”

“Aku agak angkuh. Maaf."

Oliver memberikan permintaan maaf singkat setelah memeriksa apakah medali itu asli.

Rossi mendengus. “Dan aku memakan tindakan anak kecil yang baik itu. Jangan minta maaf. Masa bodo. Kita sudah selesai sekarang. Selamat tinggal." Dia melambaikan tangan dan pergi.

Oliver berpikir sejenak, lalu memanggilnya. "Mr. Rossi —seperti yang aku katakan saat duel, Kau memiliki insting yang bagus. Tergantung bagaimana Kau memolesnya, itu bisa jadi senjata yang cukup ampuh. Tapi tetaplah apa adanya, dan pada akhirnya kamu akan menabrak tembok." [1]

“……”

“Aku sarankan kau memilih salah satu dari tiga gaya dasar dan mempelajarinya kembali dari awal sebelum Kau mengambil kebiasaan buruk. Belum terlambat untuk membuat gaya sendiri setelah Kau kuasai dasar-dasarnya. Sebenarnya, gaya Koutz membutuhkan naluri yang baik, jadi mungkin cocok—”

“Persetan dengan ocehanmu!”

Rossi berbalik, tidak tahan lagi dengan nasihat Oliver. Dia menatap Oliver, matanya penuh kebingungan.

“Berhenti menuangkan garam ke lukaku! Kau sudah mendapatkan medali, bukan? Apa lagi yang kamu mau dariku?”

Oliver menggigit bibir. Dia menyadari bahwa pemenang yang baik seharusnya tidak menguliahi yang kalah. Tapi dia tidak bisa tinggal diam.

“Aku sadar aku ikut campur. Tapi aku hanya merasa itu sia-sia,,,, Sebenarnya, aku iri dengan bakat unikmu.”

"Apa?"

“Dalam duel tadi, yang aku lakukan hanyalah meniru apa yang diajarkan guruku. Tak satu pun dari itu berasal dari imajinasiku. Seolah itu adalah segalanya. Aku hanya peminjam, pengurus sesuatu milik orang lain... Tidak ada yang benar-benar milikku.”

Dengan ekspresi pahit, Oliver menatap telapak tangannya. Mereka bisa menangani banyak hal dengan mudah, seperti teknik seni pedang dan mantra yang tepat untuk suatu situasi. Namun, dia tidak pernah merasa melebihi instruksi gurunya.

“Jadi aku hanya ingin Kau menghargai bakat yang Kau miliki. Itu saja. Aku minta maaf Aku selalu terdengar seperti sedang menguliahi." Oliver dengan malu-malu mengalihkan pandangan.

Rossi mengerutkan alis dan mengamati anak itu. “Anak baik memiliki masalah tersendiri, eh? Terserah...” katanya singkat, lalu berbalik dan pergi untuk selamanya kali ini.

Begitu dia menghilang di tikungan, Oliver akhirnya menarik napas lega. Kemudian sebuah suara datang dari belakang.

"Kerja bagus, my lord."

“...?!”

Dia melompat ke depan seperti kelinci yang terkejut, secara bersamaan berputar. Tatapannya tertuju pada seorang gadis kecil berlutut yang muncul entah dari mana.

“Saya adalah saksi duel kalian. Kemenangan anda pasti membuat dia tahu diri. Saya sangat terkesan."

"Oh,,,,, itu Kau, Ms. Carste."

Dia menghela napas lega begitu dia menyadari siapa dia —di sana berlutut gadis yang dulu diperkenalkan kakaknya pada malam dia mengeksekusi Darius Grenville. Namanya Teresa Carste; lahir dan dibesarkan di labirin, penguasaan invisibility-nya tak tertandingi.

“Terima kasih atas pujiannya, tapi itu bukan duel yang mengesankan. Aku bahkan kena pukul di babak pertama. Aku benar-benar muak dengan betapa hijaunya diriku." Oliver bicara dengan jujur, bahkan tidak berusaha menahan topeng karena Teresa sendiri mungkin telah melihat semuanya.

Gadis itu menggelengkan kepala dengan kuat. "Dia bahkan tidak akan bisa menangkap bayangan anda jika dia menghadapi versi Anda yang malam itu."

Dia menyelinap mendekat, tidak membuat suara. Udara pun nyaris tidak bergerak.

“Aku mengagumi versi mentah diri anda, seperti pedang telanjang. Kebaikan anda adalah selubung yang menutupi kecemerlangan."

“-!”

Sepasang mata menatapnya, dan dia mundur. Teresa meraih tangan kanannya dengan kedua tangan.

“Jika menebasku akan membelah awan, saya mohon lakukan saja. Sebuah kehormatan menjadi batu asah anda, my lord." Dia meletakkan tangan di gagang athame-nya.

Oliver menatap matanya. "Pipimu merah, Ms. Carste."

Dia bermaksud membuatnya lengah. Teresa menegang untuk sesaat, lalu segera menempelkan tangan di pipinya.

“Aku punya kecurigaan tentang ini ketika kita pertama kali bertemu, tapi ini bukan cara bicara normalmu, kan? Aku hargai kau melakukannya demi aku, tetapi aku pikir kau berlebihan. Santai aja."

Dia mendorong lebih jauh. Dia cukup sadar bahwa dia dalam posisi untuk memimpin banyak orang, tetapi itu tidak berarti dia ingin menciptakan fanatik. Terlebih tidak keluar dari anak kecil. Jadi dia mencoba untuk menekankan bahwa itu bukan seleranya.

“I-itu tidak benar.... tuan.”

Respon yang tidak terduga membuatnya sedikit terpeleset. Bagus, pikir Oliver sambil mengamatinya. Hal terakhir yang dia inginkan adalah melatih gadis muda ini menjadi tangan kanan pembalas dendam. Bahkan jika keinginan seperti itu sangat kontradiktif.

“Aku tidak akan memakai dan meninggalkanmu sebagai batu asah atau sebagai pengikut. Ingat itu."

“M-maafkan saya!”

Teresa lari, tidak bisa menyembunyikan betapa terguncang dirinya. Dia dengan cepat menghilang ke dalam kegelapan labirin. Keheningan kembali, dan Oliver merenungkan perilakunya: Apakah aku bertingkah dewasa?

Sementara itu, Rossi sedang menuju akademi setelah berpisah dengan Oliver, kenangan akan kalahnya dirinya berkecamuk dalam benaknya.

“Sialan.... Ah, sial, aku sangat kesal!”

Rasa frustrasinya telah mencapai titik didih. Dia bisa saja menelan penghinaan karena kalah. Tapi kepahitan yang berbeda mendominasi hatinya.

“Apa yang dikatakan si kecil itu? Mempelajari kembali salah satu gaya dasar dari awal? Oh, sangat mudah. Dia pikir si cecunguk itu siapa?"

Rossi merengut. Dia amat membenci Oliver Horn sejak pertama kali melihatnya di kelas seni pedang. Oliver menghargai gaya dasar dan berpegang pada metode ortodoks; bertolak belakang dengan dirinya. Tapi yang terpenting, dia bisa melihat dalam ilmu pedang Oliver kerja keras luar biasa yang dibutuhkannya untuk sampai ke sana.

“Sungguh 'berapa banyak' yang dia latih? Dia mereplikasi buku teks dengan sempurna. ”

Rasa dingin menjalar di punggung Rossi. Dia mengambil teknik dari sekumpulan gaya yang berbeda, tetapi dia dan semua orang setuju bahwa dia tidak mengikuti satu gaya pun. Mengincar kaki dan menggunakan serangan tinju adalah teknik yang secara khusus dia kembangkan untuk melawan lawan yang "disegani". Tetapi keadaan tidak terlihat baik jika pemuda seusianya bisa merusak strateginya dalam satu duel.

Namun, Oliver Horn melakukannya. Melihat kembali ke belakang, satu-satunya serangan yang terhubung dengan Rossi adalah pukulan di wajah. Semua serangan pedang yang lebih berbahaya ditahan, tidak pernah menyentuh tubuh Oliver. Dia benar-benar dibungkam oleh metode paling ortodoks.

"Bedebah sinting satu itu," kata Rossi jujur. Itu bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh pemuda berusia lima belas tahun pada umumnya. Jika dia sangat berbakat atau memiliki naluri yang baik, itu mungkin masuk akal. Tapi setelah beradu pedang dengannya, Rossi tahu bahwa Oliver Horn bukan tipe macam itu. Hanya saja dia mengisi setiap hidupnya dengan latihan. Itulah satu-satunya hal yang dapat dia pikirkan. Semua itu demi segera mendapatkan apa yang mungkin dia miliki dalam sepuluh atau dua puluh tahun. Pelatihan untuk mencapai itu pasti sangat ketat —bahkan menyiksa.

"Aku hanya ingin kamu menghargai bakat yang kamu miliki."

“....”

Rossi telah menjalani jalan duri selama bertahun-tahun. Dan untuk alasan inilah Rossi memahami bobot kata-kata itu, entah suka atau tidak. Langkahnya melambat sampai akhirnya, dia berhenti. Menggaruk bagian belakang kepalanya, dia menghembuskan napas dalam-dalam.

“Haah, baiklah. Aku bisa mengemis pada Instruktur Garland. Belajar dengan cara yang benar memang bukan gayaku, tapi… aku benci kalah.”

Dia akan kembali menghadapi segala macam hal yang dia remehkan selama ini. Rossi tahu ini adalah jalan yang tidak akan pernah dia pilih tempo hari, dan itu membuatnya tertawa getir. Apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada gunanya melawan setelah menyaksikan ilmu pedang seperti itu.

“Kau kalah, kan?”

Tepat ketika dia mulai mencoba menerima situasi baru dirinya, sebuah suara dingin bergema di telinganya dari belakang.

“Yang dibutuhkan hanyalah pandangan sekilas untuk mengenali pecundang. Siapa yang mengalahkanmu?”

Nada suara itu sudah melewati ejekan atau sarkas —ini murni cemoohan. Wajah Rossi langsung menegang. Dia tidak perlu berbalik untuk mengetahui siapa yang ada di sana.

“Dari semua orang yang bisa aku temui, itu Kau, eh?”

Jauh di dalam benaknya, itu masuk akal. Menantang seseorang berduel, kalah total, dan kemudian melarikan diri tanpa cedera tidak pernah terdengar di Kimberly.

“Sebelum aku membuang waktu, izinkan aku bertanya: Masih ada medali yang tersisa untuk diberikan padaku, kan?”

Arogansi predator merembes ke udara di antara mereka.

Menghembuskan nafas dan menguatkan diri, Rossi meletakkan tangan di athame pinggangnya. “Ah, lucu. Apa aku ini bank?!” teriaknya, lalu menarik senjatanya dan berbalik menghadap lawan. Tatapannya tertuju pada mage yang berdiri dalam diam, bahkan tidak meraih senjata meskipun Rossi benar-benar ingin bertarung.

“....!”

Saat mata mereka bertemu, keringat yang tidak enak muncul di pipi Rossi. Orang ini setajam pisau cukur, jauh melebihi tahun pertama mana pun. Dahulu, dia merasakan sesuatu yang serupa saat dia melihat seorang Pemburu Gnostik —tentara garda depan dunia sihir.

“Kamu benar, karena aku tidak punya apa-apa untuk ditawarkan. Aku hanya akan mengambilnya."

Dan dengan pernyataan yang sangat arogan itu, lawan Rossi pun menghunuskan pedang.

Rossi langsung melesat ke depan —dan menerima kekalahan keduanya malam itu.

Oliver berhasil keluar dari labirin tanpa masalah lebih lanjut, dan baru lewat pukul dua pagi ketika dia kembali ke kamar asrama.

"Aku kembali," bisiknya agar tidak membangunkan teman sekamarnya dan masuk ke dalam. Nyaris menerangi kegelapan dengan lampu redup, dia mengulurkan tangan untuk melepas sabuk yang menahan athame-nya —ketika dia menyadari keadaan temannya di tempat tidur.

“Huff.... Huff....”

“....?”

Pete sedang tidur miring, hampir setiap tarikan napasnya menggigil.

“Huff... Huff! Huff! Huff....!”

Napasnya menjadi lebih cepat dan nyeri.

Prihatin, Oliver bergegas menghampiri. "Kamu baik-baik saja, Pete?"

"Ah...?"

Dia menepuk pundaknya, dan anak itu membuka kelopak matanya dengan mengantuk.

Oliver dengan lembut meletakkan tangannya di dahi Pete. “Kamu demam... Dan sirkulasi manamu akan mengamuk."

“Sakit... Aku merasa mual... Tidak bisa... bernapas...”

"Ya, benar. Kau akan segera merasa lebih baik. Aku akan melepas atasanmu, oke?”

Dia membantu Pete duduk, lalu membuka kancing baju piyamanya. Payudara Pete yang membengkak menandakan dia saat ini dalam bentuk wanita.

“...? Tunggu, apa yang kamu...?”

Pete bingung. Setelah berhasil melepaskan atasan Pete, Oliver menarik napas dalam-dalam dan mengendalikan mana yang mengalir di dalam tubuhnya. Persiapannya selesai, dia meletakkan telapak tangan kanan di punggung teman sekamarnya yang terbuka.

"Ah...."

Pete langsung merasakan sesuatu yang hangat mengalir ke dalam dirinya.

Oliver melanjutkan untuk menjelaskan sambil mengusap punggung Pete. “Ini seni healing. Dengan mengirimkan manaku padamu melalui tangan, aku dapat menyesuaikan aliran mana tubuhmu. Ini hanya solusi sementara, ingat itu."

Setiap penyihir tahu seni ini. Itu seni sihir healing yang paling primitif. Mana yang telah menjadi stagnan di dalam Pete mulai bergerak lagi dengan dorongan Oliver, dan napas Pete yang terengah-engah menjadi rileks.



[1] Hit a wall; menghadapi rintangan.

"Aku merasa lebih baik..."

“Kamu harus. Seperti yang dikatakan kakak kelas itu, tubuhmu masih belum terbiasa dengan mana wujud wanitamu. Saat jenis kelamin berubah, aliran manamu juga berubah. Lintasannya telah banyak berubah sehingga manamu tidak dapat mengalir dengan benar. Distribusi manamu tidak aktif, yang menyebabkanmu merasa mual.”

Dia menjelaskan apa yang terjadi hingga temannya bisa mengerti. Tidak cukup hanya menyembuhkannya —kombinasi keduanya adalah cara terbaik untuk membuat Pete lega.

“Di saat seperti ini, moderasi eksternal adalah solusi terbaik. Kau mengarahkan mana yang diperluas ke bagian tubuh yang membutuhkannya, kira-kira seperti itu.”

“Mm....!”

Sentakan hebat menjalar ke seluruh tubuh Pete, membuat dirinya kejang.

Meninggalkan tangan di bahunya, Oliver bicara dengan nada tenang. "Tenang, Pete. Tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Perhatian dalam suara dan kehangatan tangannya membantu Pete memercayai teman sekamarnya. Tidak ada alasan untuk melawan. Perlahan, dia tenang, menyerahkan dirinya dalam perawatan Oliver.

“Apakah ini sering terjadi?”

“Mm?”

“Apakah kamu sering melakukan ini? Kau sangat cekatan. Kau, seperti... jago dalam hal itu.” Komentar itu mencuat dari bibir Pete saat dia menerima perawatan tersebut.

Pertanyaan itu membuat Oliver terdiam sesaat; lalu dia mengangguk. “Ya, aku punya pengalaman. Tidak jarang sirkulasi mana mage menjadi kacau, bahkan jika itu bukan kasus yang jarang terjadi seperti punyamu. Itu terjadi ketika mereka sakit, misalnya, atau selama masa pubertas. Dan..."

Sebuah ingatan muncul kembali dengan jelas di benaknya saat dia melanjutkan seni healing. Saat itu, dia sangat buruk dalam hal itu. Dia putus asa, tidak mengharapkan percakapan santai seperti malam ini. Setiap malam, dia menghadap punggungnya dan menekan air mata yang mengancam akan meluap.

“Ah, rasanya enak. Terima kasih, Noll.”

Terlepas dari ujung jari canggung dan hatinya yang tidak berpengalaman, dia selalu tersenyum padanya, seolah memberinya pelukan hangat.

"...selama masa kehamilan."

Dia melanjutkan sisa perawatan dengan diam. Pete menikmati perasaan yang menyenangkan. Tiba-tiba, dengan rasa sakit mereda dan pikirannya yang jernih, dia merasakan serangan panik saat menyadari situasinya saat ini. Dia dalam wujud wanita, setengah telanjang, dan Oliver masih menyentuh kulit telanjangnya.

“H-hei... Apa kamu sudah selesai?”

“Mm? Oh maaf. Aku terlalu fokus. Bagaimana perasaanmu? Sirkulasi manamu seharusnya jauh lebih tenang sekarang.”

Oliver dengan cepat menghentikan perawatan untuk memeriksa temannya. Sambil menarik napas lega, Pete menilai dirinya sendiri.

“Aku merasa jauh lebih baik, wow. Rasa mualku hilang, dan aku bisa bernapas."

"Itu bagus. Tapi seperti yang aku katakan sebelumnya, ini hanya tindakan sementara. Sampai tubuhmu belajar untuk mengontrol mana perempuan, kamu harus sering melakukan ini.”

Pete mengangguk sambil mengenakan atasan piyama.

“Orang-orang bilang akan memakan waktu setidaknya dua bulan, atau hingga satu tahun,” katanya.

“Ini pasti tidak akan segera membaik, tapi pada akhirnya, itu akan mereda. Anggap saja seperti rasa sakit yang tumbuh. Dan aku akan ada di sini, jadi kamu selalu bisa mengandalkanku.” Oliver bicara dengan nyaman, meletakkan tangan di atas kepala Pete dan membelai rambutnya yang pucat. Rasanya menyenangkan, tapi sesaat kemudian, Pete tersadar dan meraih lengan Oliver.

“Jangan asal menyentuh kepala seseorang.”

"Oh maaf. Aku tidak tahu apa yang merasukiku. ”

“K-kita harus bangun pagi besok. Ayo lekas tidur.” Pete terbungkus selimut seolah mencoba melarikan diri.

Oliver berbalik untuk kembali ke tempat tidurnya ketika suara teredam datang dari dalam selimut.

"Dan terimakasih."

Karena tidak dapat melihat wajah temannya, itu adalah cara terbaik yang bisa dilakukan Pete.

Oliver dengan senang hati menerima rasa terima kasih canggungnya sambil tersenyum.

"Selamat malam, Pete."

___________________________

Post a Comment