Setelah makan siang selesai, tibalah waktunya pelajaran sore, dan para siswa berkumpul di ruang kelas alkimia dengan buku teks di meja. Mayoritas dari mereka, bagaimanapun, memiliki perhatian yang sama.
“Instruktur Darius juga tidak akan datang hari ini, kan?” Guy berbisik pelan, dan semua orang tampak tidak nyaman. Memang, instruktur alkimia, Darius Grenville, menghilang begitu saja.
“Menurutmu apa yang mereka katakan itu benar? Bahwa dia hilang di labirin?" kata Guy.
“Sulit untuk mengatakannya. Beda ceritanya jika dia siswa, sulit untuk membayangkan hal itu terjadi pada anggota pengajar. Oliver, bagaimana menurutmu?” Chela dengan polos bertanya.
Oliver merespon tanpa membiarkan perasaan yang sebenarnya muncul ke permukaan. “Aku dengar bahwa hanya instruktur yang mempertahankan kedalaman labirin yang paling rendah. Jika memang kecelakaan benar-benar terjadi, mereka bahkan bisa dianggap lalai. Namun, itu hanya satu kemungkinan.”
Dia berusaha sebaik mungkin memberikan respon biasa dan datar agar tidak menimbulkan kecurigaan. Untungnya, tidak ada yang curiga.
Pada titik ini, Pete ikut serta dalam percakapan. “Aku juga dengar banyak rumor yang terdengar palsu. Seperti ada pertikaian di antara para pengajar, atau bahwa dia dibunuh oleh penyihir yang memiliki dendam terhadap Kimberly."
"Pete, jangan bicara omong kosong seperti itu," tegur Chela. Kimberly adalah tempat beranak pinak bagi rumor yang tak terhitung banyaknya, tapi menggali secara sembarangan adalah cara yang pasti untuk memperpendek umur seseorang.
“Hmm, apa yang sebenarnya terjadi.”
Sebuah suara tiba-tiba datang dari atas mereka. Para siswa melihat ke atas dengan heran menemukan seorang pria berdiri terbalik di langit-langit. Rambut ikal emas menutupi kedua sisi kepalanya, seperti rambut Chela.
"Ayah?!"
"Paman!"
Dua suara berteriak serempak. Salah satunya adalah Chela, sedangkan satunya adalah Stacy Cornwallis di sisi lain ruangan. Pria itu setengah membalik dan mendarat di tanah, lalu langsung memeluk gadis di depannya dengan erat.
“Ya, ini ayahmu! Sudah berapa lama, Chela? Kau jadi jauh lebih cantik dalam waktu pergiku yang singkat.”
Chela menerima pelukan paksa pria itu —tapi hanya selama lima detik. “Ini bukan waktu atau tempatnya! Kemana saja kamu ?!”
“Oh, semuanya. Aku tahu aku sibuk. Aku minta maaf karena membuat kalian merasa kesepian. "
“Mestinya kamu lebih dulu minta maaf pada seseorang!”
Chela menegurnya, menunjuk temannya, Nanao, di sebelahnya. Menyesuaikan kembali pakaiannya, pria itu menoleh padanya.
"Ya tentu saja. Sudah enam bulan sejak terakhir kali aku melihatmu. Apakah kamu bersenang-senang, Nanao?”
"Ya. Aku juga senang melihat anda baik-baik saja, Lord McFarlane." Dia tersenyum dan mengobrol menyenangkan dengan pria itu.
Pada saat itu, Oliver dan yang lainnya teringat cerita yang dia ceritakan kepada mereka tentang bagaimana dia datang ke akademi itu dari negeri jauh Azia. Dari penyihir yang menemukannya di medan perang Yamatsu.
“Aku sungguh tidak bisa mempercayaimu, menyeretnya ke belahan dunia lain, mengajarinya bahasa, dan kemudian meninggalkannya! Apa kau tahu seberapa besar dia menderita sejak ia mulai sekolah?”
“Aku sedikit khawatir tentang itu, tetapi aku tahu Kau ada di kelasnya. Aku tahu dia akan baik-baik saja.”
“Ayah mana yang menyerahkan semua tanggung jawab pada putrinya? Kamu tidak pernah berubah!"
Nada bicara Chela menjadi semakin agresif saat dia mulai menguliahi ayahnya.
Pria itu meredam amarahnya dengan tangan yang terlatih saat dia mempelajari Nanao.
“Kamu terlihat sehat, Nanao. Aku tau Kau memiliki lebih banyak pertemuan yang luar biasa selain dengan putriku. Apa kalian teman-temannya?”
Dia menoleh ke Oliver dan yang lainnya. Mereka masing-masing memperkenalkan diri, tetapi pria itu mengalihkan pandangan ke podium.
“Aku ingin tetap mengobrol, tetapi secara teknis aku di sini untuk memimpin kelas. Mungkin lain waktu. Ah, Nn. Cornwallis. Aku senang melihatmu baik-baik saja.” Dia memanggil gadis lain yang menatapnya, lalu dengan malas melangkah ke podium. Setelah sampai, dia menyapu ruangan.
“Sekarang, izinkan aku memperkenalkan diri. Aku Theodore McFarlane, dosen paruh waktu Kimberly. Aku tidak mengajar mata pelajaran apa pun secara khusus. Sebagai gantinya, aku kesana-sini mengisi untuk instruktur lain. Aku harap kita semua bisa akur.”
Dia memperkenalkan diri dengan riang. Salah satu siswa meneriakkan pertanyaan.
"Permisi! Apakah itu berarti anda akan jadi instruktur alkimia kami mulai sekarang? ”
“Tidak, tugasku hanya berada di sini untuk beberapa kelas. Aku mungkin seorang instruktur, tetapi sebagian besar pekerjaanku ada di luar akademi ini. Aku tidak bisa tinggal lama di kampus."
“Lalu apakah Instruktur Grenville akan kembali?”
Instruktur ikal itu sedikit mendesah pada nama ini. “Jika dia kembali hidup-hidup. Tapi aku curiga kita tidak akan lagi pernah melihatnya."
Semua siswa menelan ludah. Dia baru saja menyiratkan bahwa penyihir Darius Grenville sudah mati.
“Asal tahu saja, tidak jarang penyihir menghilang. Tetapi ketika kalian telah hidup di dunia ini selama diriku, kalian akan tahu. Ini adalah salah satu saat di mana pihak yang hilang tidak kembali. Namun, aku bukan nabi. Itu hanya firasat.”
Rasa dingin menjalar di punggung Oliver. Tenang. Tidak mungkin dia bisa menangkapnya. Aku tidak ceroboh , katanya pada diri sendiri.
“Kabarnya, kepala sekolah telah menghubungi pengganti. Bagi kalian yang merupakan murid Darius atau berharap menjadi murid Darius, aku turut berduka. Tapi aku jamin instruktur alkimia kalian yang berikutnya juga akan luar biasa. Kalian hanya harus bertahan denganku sampai dia tiba."
Theodore mengubah topik pembicaraan, mencegah siapa pun membicarakan Darius lagi. Lega, Oliver memarahi dirinya sendiri. Jangan lengah. Pria ini tidak boleh diremehkan.
“Sekarang, bisakah kita mulai? Errr, pelajaran apa hari ini…? ‘Penawar chuckleshroom'? Hmmm."
Ekspresi aneh muncul di wajah Theodore saat dia membolik-balik buku teks. Dia berpikir selama beberapa saat.
“Membuat ini dengan normal akan sangat melelahkan. Baik! Saat kalian selesai membuat penawar itu, berikan padaku, dan aku akan meminumnya.”
Para siswa menatapnya dengan ngeri. Dia sepertinya tidak peduli.
“Aku akan menilai kalian berdasarkan kualitas. Aku juga akan memberikan kritik mendetail, tentu saja. Setiap orang sudah menyiapkan peralatan di atas meja masing-masing? Lalu mulailah!"
Dia bertepuk tangan dan memberi isyarat agar mereka memulai. Saat dia melihat para siswa dengan panik mulai bekerja, dia terus bicara.
“Ini bukan resep sulit, jadi kalian bisa mendengarkanku mengobrol, kan? Oh, petualangan terbaruku ini liar. Apakah ada di antara kalian yang membaca serial Perjalananku ke Timur?”
Seorang gadis pirang di sudut ruangan mengangkat tangan. "Saat ini aku menggunakan waktuku dengan Volume Dua Belas—"
“Saya sudah membaca semuanya!” Pete mengangkat tangan pada waktu yang hampir bersamaan dan juga berteriak. Sang instruktur mengabaikan Cornwallis yang terkejut —gadis pirang— dan memusatkan perhatian pada Pete.
"Hebat! Perjalananku didanai oleh penjualan buku-bukuku, jadi Kau terus memberiku makan! Bolehkah aku tau namamu?"
"Pete Reston, Pak!"
“Pete, eh? Baik! Aku berkomitmen untuk mengingatnya. Lain kali aku akan membawakanmu suvenir."
Dia berjalan ke meja kerja Pete untuk mengamati dia dengan penuh semangat mencampur penawarnya.
“Aku menulis serial itu berdasarkan energi dan semangat destinasiku. Itu tidak terlalu membantu dalam mempelajari suasana dan budaya sebuah wilayah yang sebenarnya. Dalam perjalanan terakhirku, aku bahkan menemukan bahwa ada banyak hal dalam tulisanku yang perlu diperbaiki.”
Instruktur ikal itu meletakkan tangan di alisnya sebagai refleksi.
"Contohnya,,,?" Oliver bertanya, terus memperhatikan penawarnya.
“Mm, contohnya, makanan yang disebut soba di Yamatsu. Dalam Jilid Tiga, aku menyatakan, 'Ini adalah hidangan mie dingin dengan rasa yang sangat lembut dan disajikan dengan sup dingin yang sangat asin.' Tapi aku salah. Itu bukan sup; itu saus! Dan tidak dituangkan ke atas mie; mienya diangkat dan dicelupkan kedalamnya!"
Dia memasukkan tangan ke dalam saku mantelnya dan mengambil dua tongkat panjang dan tipis. Dia mencengkeram keduanya di antara jari-jari tangan kanannya.
“Juga, begini cara memegang sumpit. Cerdas, bukan? Ambil mi seperti ini... lalu seruput dalam satu suap. Tata krama di sana berbeda, jadi tidak apa-apa jika membuat banyak suara."
Dia menirukan cara makan soba. Pria, setengah tidak percaya pada budaya makanan asing, menoleh ke gadis di sebelahnya.
“Apa itu benar, Nanao?”
"Tepat. Itu mengingatkanku, aku belum makan soba sejak datang ke sini.”
“Kau menginginkannya? Baik. Kalau begitu aku akan membawakannya untukmu lain kali,” instruktur itu berjanji dengan santai sambil melanjutkan nostalgianya.
Chela menyimak dengan kesal, lalu akhirnya memadamkan api kuali. "Aku selesai."
“Itulah putriku! Krim dari krim hasil panen!” [1]
Theodore mengambil botol berisi penawar racun dan meminumnya, seperti yang dia katakan. Seketika, banyak gelembung mulai berbusa dari mulutnya.
"Blrrbllrbl!"
"Ya ampun, aku memasukkan terlalu banyak bubblegrass. Tanganku pasti tergelincir berkat semua ocehanmu yang tidak relevan."
“Blrggrble...! Putriku sayang! Ini lebih dari sekedar 'tergelincir'!"
Theodore akhirnya berhasil menelan gelembung dan bicara. Saat itu, ada suara berbeda yang bicara di belakangnya. "Aku juga sudah selesai."
“?! Tunggu, Nanao! Mustahil Kau bisa menyelesaikannya secepat itu—,” Oliver memulai.
"Oke! Ronde kedua!"
Sebelum Oliver bisa menghentikannya, instruktur menenggak ramuan Nanao. Dia menelan ludah, dan sedetik kemudian, air mata mengalir dari kedua matanya seperti air mancur.
"Mataku! Mataku! Nanao, bagaimana kamu bisa? Pahitnya bawang merah sama sekali tidak mereda!"
“Mmm? Apa aku membuat kesalahan di suatu tempat?”
“Itu karena kamu tidak mencucinya dengan air garam setelah dihaluskan! Berapa kali aku bilang padamu untuk tidak mengambil jalan pintas dalam resep?” Oliver mengomelinya saat dia dengan cepat menyiapkan botol penetral.
Theodore menghela napas, dan akhirnya, air mata mulai melambat.
“Ph-Fiuh... Terima kasih. Sudah berapa tahun sejak terakhir kali aku menangis seperti itu? Itu lebih intens dari yang ku duga. Um, katakan, berapa banyak lagi yang harus aku minum?”
"Hanya tiga puluh delapan lagi, Ayah."
“Itu akan membunuhku!” dia berteriak karena terlambat sadar.
Stacy memelototi mereka, lalu mengangkat tangan. “P-Paman! Saya juga sudah selesai!”
“Hmm? Oh, ya, ya.”
Pria itu mengusap matanya dengan sapu tangan, lalu melangkah ke arahnya. Stacy kaku seperti papan saat dia meminum penawarnya yang sudah selesai.
“Mm, bagus sekali. Pemanasannya merata, dan bahan-bahannya diolah dengan halus, jadi cukup halus. Rasanya juga menyegarkan. Aku tidak akan terkejut melihat yang ini dijual di toko."
“K-kamu memuji saya! Um, saya—"
“Pertahankan itu.”
Dia dengan cepat menilainya dan kemudian pergi tanpa obrolan lebih lanjut.
Stacy berdiri di sana, sendirian.
“Sir, saya juga sudah selesai!”
“Oh! Ya, Pete! Aku punya harapan untuk yang satu ini!"
Theodore langsung mendatangi anak berkacamata itu dan menghabiskan botolnya, tidak repot-repot mempelajari isinya. Dia menikmati rasanya dengan wajah lurus, yang tiba-tiba berubah menjadi sangat gembira.
“Oh, bagus sekali! Itu sebagus Ms. Cornwallis! Aku tahu dari penawar ini bahwa Kau belajar dengan sangat giat."
“K-Kau memuji saya, Pak!”
Pete tersipu merah karena pujian itu.
Tapi di depan matanya, cahaya memudar dari wajah Theodore.
“....”
“S-Sir?” Pete dengan hati-hati memanggil instrukturnya. Pria itu jatuh ke lantai, memeluk lututnya, lalu menjatuhkan diri ke samping.
“Hidup ini penuh dengan keputusasaan... Aku ingin mati...,” dia mulai bergumam.
"Oh tidak!" Oliver berseru. “Dia overdosis dan tiba-tiba mengalami depresi! Dia butuh penawar, sekarang!”
“Serius, apakah kau benar-benar badut?” Chela menegur ayahnya. “Segala obat bisa menjadi racun jika diminum terlalu banyak!”
Keduanya mulai berusaha mencoba menyelamatkan instruktur itu. Namun, sebelum mereka pergi jauh, Guy mengambil sampel chuckleshroom dari mejanya.
“Jika dia overdosis pada penawar, bukankah seharusnya dia memakan jamur itu sendiri untuk membatalkannya? Ini, yang ini diiris sangat tipis."
“Tunggu, Guy! Kau tidak bisa begitu saja—”
Sebelum Katie bisa menghentikannya, dia memasukkan jamur ke dalam mulut Theodore. Dia memaksanya untuk mengunyah dan menelan, dan ekspresi pria itu langsung tenang.
“Bwa-ha-ha-ha-ha-ha! Langit penuh dengan pelangi!"
“Sial, itu terlalu efektif!”
"Guy! Kamu harus berpikir sebelum bertindak!”
Situasi yang semakin parah membuat Oliver ingin mencengkeram kepalanya. Sementara mereka berusaha untuk mengembalikan kelas ke jalur yang semestinya, suasana hati Theodore terus-menerus merosot dari posisi terendah terendah ke tertinggi tertinggi.
Bahkan setelah kelas alkimia selesai dan mereka pindah ke kelas berikutnya, enam sekawan itu masih tidak bisa berhenti bicara tentang apa yang baru saja terjadi.
"Ayahmu orang yang lucu, bukan?"
"Tolong jangan ungkit dia lagi... Aku bisa merasakan uap keluar dari telingaku."
Chela menutupi wajahnya karena malu. Bagi mereka itu merupakan hal baru.
“Dia bertingkah seperti itu hampir setiap saat. Orang-orang memanggilnya 'berjiwa bebas', tetapi tidak dapat disangkal bahwa dia tidak memiliki rasa tanggung jawab yang dibutuhkan sebagai orang tua atau instruktur. Itu membuatku menderita tanpa akhir."
Dia menghela napas, menyesali pengalaman tersebut. Di sebelahnya, Pete dengan gugup menunggu kelas seni pedang mereka dimulai.
“Akhirnya waktunya untuk duel penuh...”
"Tenang, Pete. Tidak perlu terburu-buru."
Oliver mencoba menenangkannya saat mereka berdiri di barisan. Saat itu, Mr Garland muncul di hadapan mereka di ruang kelas besar yang biasa, mengenakan mantel putih.
"Mari kita mulai. Seperti yang aku katakan terakhir kali, kalian akan memasukkan mantra dalam duel hari ini. Jadi, meskipun telah dipisahkan oleh pengalaman di masa lalu, aku sekarang akan memasangkan kalian berdasar kebijaksanaanku sendiri. Banyak yang akan berada diatas level kalian. Pikirkan ini sebagai pengalaman belajar."
Dengan menyingkir, Garland mulai merapalkan mantra tumpul pada pedang semua orang seperti biasa. Dia kemudian secara acak memilih satu dari setiap tiga pasang siswa untuk memulai duel sementara sisanya menonton. Para siswa melangkah maju saat dia memanggil mereka.
"Ah."
“—Mm.”
Dan kebetulan Pete dan Stacy berakhir sebagai lawan. Dia meninggalkan kesan yang cukup ketika melemparkan namanya ke ring untuk battle royal, dan dia bahkan mengingatnya. Mereka bersiap pada jarak satu langkah, satu mantra.
"Pete melawan salah satu kerabatmu, kan?" tanya Guy pada Chela.
"Ya. Ini akan menjadi pertarungan yang sulit baginya."
Dia menyaksikan duel mereka dengan intens. Oliver melakukan hal yang sama. Ini kesempatan pertama Pete untuk menunjukkan hasil jerih payahnya bersama teman-temannya.
"Duel tidak berakhir dengan satu poin," kata Garland. “Terus bertarung sampai waktunya habis. Sekarang —mulai!”
Garland memberi isyarat dimulainya duel. Pete dengan panik menyiapkan pedang.
"Jangan panik, Pete!" Oliver berteriak dari luar arena. “Fokus untuk mendapatkan satu poin sebagai permulaan!”
Dia menyemangati Pete dalam upaya untuk membuatnya lebih tenang.
Pelipis Stacy bergerak-gerak. "'sebagai permulaan'? Aku tahu kau juga meremehkanku,” gumamnya, tatapan tajam di matanya. Dia mengarahkan ujung kaki ke lawannya. “Ayo, bibit non-sihir. Aku akan menunjukkan perbedaan level kita.”
Berusaha untuk tidak menyerah pada intimidasinya, Pete melangkah maju.
"Gah ?!"
Saat dia mencoba mengayun, lawan telah membacanya dan menangkapnya dengan dorongan. Dampaknya mengirimnya terbang, dan dia mendarat di punggungnya. Stacy menatapnya dengan dingin.
"Berdiri," dia menuntut tanpa ampun. Kita masih punya banyak waktu.
Pete mengertakkan gigi dan berdiri. Memulihkan posisi, dia menyerang lawannya, yang tampaknya tidak terganggu sedikit pun.
"Haaah!"
Dia dengan terampil menangkis serangan, yang ditujukan ke pergelangan tangannya. Tidak seperti sebelumnya, saat dia membalas serangan pertamanya, kali ini Stacy tetap bertahan. Pete melepaskan rentetan serangan, yang dia blok dengan mudah.
Dia mendengus. “Seranganmu ada dimana-mana. Bahkan untuk pemula, Kau buruk. Kau tidak memiliki sedikit pun akal sehat."
Dia menghindari dorongan dan menyapu kakinya. Pete kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai secara dramatis. Dia kemudian melompat, marah.
"Pete, tetap tenang!" Guy berteriak dari kerumunan. “Ini duel dengan sihir, ingat?”
“-!”
Pete tersentak karena amarah. Benar, mantra diizinkan sekarang. Tidak perlu terus bertarung dalam jangkauan pedang. Mengubah taktik, Pete melompat mundur.
Stacy menghembuskan napas kasihan. "Bodoh. Apakah Kau benar-benar berpikir Kau memiliki kesempatan yang lebih baik jika dengan mantra?"
Keduanya berdiri terpisah, saling menatap satu sama lain. Pete melepaskan tembakan pertama.
“Tonitrus!”
Dia merapalkan mantra petir. Seolah ingin menyatakan tejad untuk menang, dia melanjutkan dengan tembakan kedua dan ketiga. Tapi Stacy bahkan tidak bergeming. Dia terus-menerus menghindari serangan, bergeser ke samping cukup untuk menghindar dan mempertahankan diri dengan tenang dengan athame-nya, yang diperkuat dalam sihir lawan.
“Kemana kau membidik? Tonitrus!”
Dia melepaskan mantra sambil menghindar. Ia menembak tepat melalui keteledoran Pete, menyerangnya tanpa ampun.
“Ah —gah!”
“Pete!” Katie berteriak saat Pete pingsan karena serangan itu. Kali ini, dia tidak langsung bangun. Dia kejang di lantai, anggota tubuhnya lumpuh.
“Apakah kamu sekarang tahu bahwa kamu beda level?” Stacy bertanya dengan dingin. “'Aku sudah baca semuanya.' Ha! Jangan terlalu percaya diri hanya dengan satu sanjungan!"
Kata-katanya diwarnai dengan amarah.
Guy mengerutkan alis karena bingung. “.....? Kenapa dia marah? ”
“Aku tidak tahu. Aku kira mereka tidak pernah bicara..."
“..........”
Katie ikut kebingungan saat Chela mempelajari duel tersebut. Akhirnya, Pete cukup pulih untuk berdiri, tetapi itu tidak mengubah apa pun. Dia mati-matian melawan musuh dengan pedang dan mantra, tetapi keterampilan luar biasa Stacy berulang kali menjatuhkannya.
“Itu lagi! Aku tidak bisa menonton lebih jauh! Apa ini belum berakhir ?!”
"Tidak, tunggu, Katie," kata Oliver, meraih bahunya sebelum dia ikut campur. “Dia belum menyerah. Dan... mungkin masih memiliki harapan.”
"Hah?"
"MS. Cornwallis meremehkannya. Itu kelemahannya."
Dia dengan hati-hati mengamati arena saat ia bicara. Hanya dia dan Chela yang menyadari kegigihan yang terus membara dalam mata Pete, meskipun dia tidak mampu bergerak sendiri.
"Kamu tidak belajar, ya, dasar lemah?" Stacy meludah, bosan dengan pola yang berulang tanpa henti ini. Dia masih percaya mereka berada dalam jangkauan rapalan mantra. Tapi Pete menyerang dengan kekuatan penuh.
“Yaaah!”
“-?!”
Serangan gila itu membuatnya lengah. Stacy dengan cepat melepaskan mantra petir, tetapi mantra itu meleset, hanya menyerempet kepalanya —karena dia mencondongkan tubuh ke depan sejauh yang dia bisa ketika berlari. Merasakan bahaya, Stacy langsung melompat mundur. Pete mengulurkan tangan kanan untuk menahan diri agar tidak jatuh, lalu dilanjutkan dengan serangan.
“-!”
“Guh...!”
Mata Stacy melebar, menatap ujung pedang yang mengarah satu inci dari dadanya. Suara Pete dipenuhi dengan frustrasi. Dia tidak bisa menjembatani celah kecil antara dia dan musuhnya.
“Serangan Pahlawan[2], huh? Hampir saja,” gumam Oliver.
Teknik seni pedang gaya Rizett Hero's Charge adalah serangan mendadak yang mengandalkan kemiringan ekstrim ke depan untuk mengecoh penilaian jarak lawan mereka.
Chela, yang mengajarinya gerakan itu, mengangguk.
"Ya. Bahkan Ms Cornwallis tidak bisa memperkirakan serangan berisiko itu. Sayang, dia kurang memiliki ketajaman dalam melakukannya."
Itu adalah pengalaman pahit bagi mereka berdua juga. Dengan enggan Pete kembali ke posisi. Keheningan terasa berat.
“Apakah itu ide Michela?” Stacy akhirnya bergumam.
“....”
Pete tidak mengatakan apa-apa. Menerima kebisuannya sebagai penegasan, gadis itu memutar bibirnya dengan marah.
“Kalian semua benar-benar membuatku kesal!”
“Sudah waktunya! Cukup!"
Suara Garland menggema dengan kuat beberapa menit kemudian, dan duel mereka pun berakhir.
“Huff.... Huff....”
"Kamu melakukannya dengan baik, Pete."
Oliver menepuk bahu remaja yang terengah-engah itu. Pete menggigit bibir dan menunduk.
“Aku tidak bisa... mendapatkan satu poin....!”
Air mata menetes dari matanya. Oliver mengangguk, dan Chela tersenyum lembut. Air mata itu adalah bukti bahwa dia sampai akhir tidak pernah menyerah pada pertandingan.
“Kau tidak perlu bersedih. Masih ada kesempatan lain,” kata Chela.
"Ya. Lawanmu juga sangat kuat,” tambah Oliver, lalu melihat ke seberang medan perang ke mana Stacy dengan marah menginjak tanah. Pemuda bernama Fay berdiri di sampingnya, dan dia dengan tenang membalas tatapan Oliver.
“Masuk akal dia ingin berpartisipasi dalam battle royal, Ms. Cornwallis itu. Kita tidak bisa meremehkannya."
Dia dengan jujur menilai kemampuannya. Ekspresi Chela, sementara itu, cukup rumit.
Dua hari kemudian, setelah makan malam selesai dan para siswa sudah kembali ke asrama, mereka berenam tetap tinggal di kampus seperti kesepakatan mereka.
"Semuanya sudah ada di sini, kalau begitu?"
Atas sinyal Chela, mereka merapalkan mantra penajam pada pedang mereka dan memasuki cermin ke dalam labirin. Ketika semua orang telah mendarat di aula, Guy mengamati sekeliling mereka.
“Aku baru sadar, ini pertama kalinya kita berenam pergi ke labirin sendirian. Aku sedikit gugup."
“Tidak apa-apa, tidak apa-apa! Tidak ada yang perlu ditakutkan jika kita semua di sini!" Katie berkata dengan ceria, tapi Oliver menyela.
“Maaf memperburuk mood, tapi sejujurnya, labirin itu penuh dengan berbagai hal menakutkan. Ada risiko yang tak terhitung jumlahnya, seperti tersesat, diserang binatang buas, terluka karena jebakan, atau bahkan bertemu dengan siswa lain."
“Urk!”
"Di level satu, kita umumnya harus mengkhawatirkan item pertama dan keempat dalam daftar itu," kata Chela. “Semakin tinggi kita berada, akan semakin banyak siswa. Aku pernah bertemu dengan siswa senior yang jahat sebelumnya, dan itu tidak menyenangkan."
“Unnngh!”
Oliver dan Chela bergabung untuk meredam nyali Katie. Oliver kemudian menjelaskan formasi mereka.
“Nanao dan aku akan berada di depan, dan Chela akan menjaga di belakang. Kalian bertiga di tengah, tetap berkumpul dalam formasi segitiga. Ini mungkin terdengar berlebihan, tapi formasi ini seharusnya memberi kita pertahanan yang kokoh dari segala arah."
“Oke... Bagaimana jika ada yang terpisah?” Tanya Pete.
“Jangan coba bergerak dalam kegelapan. Tetaplah di tempat dan tetap rendah. Aku janji kita akan menemukanmu."
Pete mengangguk, dan semua orang membentuk formasi seperti yang diinstruksikan Oliver. Begitu mereka siap, Nanao bicara kepada kelompok itu.
“Semuanya sudah siap, ya? Kalau begitu, lets go!"
Enam pasang kaki dipasang di aula. Saat Chela melihat-lihat bagian belakang, dia melihat sapu terpasang di punggung gadis Azian.
“Nanao, kamu bawa sapu? Aku ragu akan ada banyak tempat untuk terbang di level satu."
"Tidak apa-apa. Kami masih saling pdkt, termasuk menghabiskan waktu bersama."
Nanao tersenyum dan mencengkeram gagang sapu.
Oliver menyeringai. Itu sangat mirip dengannya.
Katie, yang sedang berjalan di tengah, mengamati anak berkacamata di sebelahnya.
“Hmm? Pete, kamu laki-laki hari ini. "
“B-bagaimana kamu bisa tahu ?!” Pete mundur karena shock.
Gadis berambut keriting itu meletakkan tangan di dagu. “Ini seperti... aura? Kamu tampak lebih tenang hari ini, jadi kurasa."
Pete menggerutu. Sekarang setelah dia terbangun, jenis kelamin biologisnya tidak akan stabil sampai dia belajar bagaimana mengendalikannya dengan benar.
Oliver, sebagai teman sekamarnya, tahu ini adalah "hari laki-laki" sejak pagi.
“Katie, kami akan mengandalkanmu untuk membimbing kami ke sana. Kemana kita mesti pergi?”
"Um, aku pikir itu lurus ke kanan, lalu belok kiri di persimpangan ketiga."
Katie menjelaskan rute. Mereka mengikuti instruksinya, ketika tiba-tiba, sekelompok makhluk kecil memotong di depan mereka. Mereka bulat, dan anggota tubuh mereka kecil.
“Oh! Sarang tikus bola!"
"Berhenti. Kalian bisa mengamati satwa liar di kemudian hari."
Guy mencengkeram kerah Katie dengan kuat saat dia mencoba mengejar makhluk-makhluk itu.
Dia tampak jengkel, jadi Oliver menjelaskan.
“Banyak makhluk sihir di level satu bertubuh kecil dan pemalu. Namun, jika lengah, kalian tetap saja bisa terluka parah. Misalnya, celah ini....”
Dia menarik athame-nya dan memasukkannya ke dalam celah di dinding. Seketika, penjepit raksasa menempel pada bilahnya. Oliver menarik kembali senjatanya, menarik seekor krustasea sebesar anjing ukuran sedang.
"Lihat? Ini sarang kepiting retak. Penjepit mereka sangat kuat, dan jika memasukkan tangan, jari kalian dapat putus dengan mudah. Hati-hati dengan ruang gelap yang sempit.”
“Ooh... Itu kepiting yang besar dan kelihatannya enak.”
“Mata kamu bagus sekali, Nanao. Mereka sangat enak saat segar dan direbus dalam air garam."
“Jangan fokus pada makanan! Oliver, cepat kembalikan saja!”
Katie menegurnya, dan Oliver mengembalikan kepiting itu ke sarangnya.
Kemudian keenamnya kembali melanjutkan perjalanan.
Saat berjalan, Guy sepertinya mengingat sesuatu.
“Kalau diingat-ingat, bukankah Kimberly punya Labyrinth Gourmet Club? Rupanya, mereka mengumpulkan makhluk dari bawah sini dan memasaknya untuk mencari makanan lezat baru. Cerdik, bukan?”
"Tidak juga! Aku yakin mereka membuat sesuatu seperti kobold sauté dan troll rebus!” Tidak ada perdebatan dengan Katie tentang itu.
Di sebelahnya, Pete mengendus udara. “Apakah hanya firasatku, atau apakah ada yang berbau harum?”
“Tidak, aku juga menciumnya. Ini sangat harum, seperti sesuatu yang sedang dimasak." Chela dengan curiga setuju. Karena bingung, mereka berbelok di sudut dan menemukan sumbernya.
“Mmgh?”
"Apa, tahun pertama?"
Beberapa wajah menoleh untuk melihat mereka. Sekitar sepuluh siswa sedang duduk mengelilingi api unggun di plaza darurat yang didirikan di aula. Separuh dari mereka tampak seperti tahun pertama, dan separuh sisanya adalah tahun kedua hingga keempat. Tidak yakin apakah mereka bisa lewat dalam diam, Oliver dengan ragu-ragu menyapa mereka.
"Selamat malam. Um, apa yang kalian lakukan?”
“Kami adalah Labyrinth Gourmet Club, dan ini adalah pesta penyambutan anggota baru kami! Mau gabung?!"
Pemuda tertua berdiri dan memberi isyarat kepada mereka. Saat itu, siswa lain berlari dari dalam aula. Di tangan mereka ada massa hitam kemerahan yang menyeramkan.
"Sir! Aku menemukan lintah besar ini! Apakah kita bisa memakannya? ”
“Kamu benar-benar punya nyali, anak baru! Oke, mari kita coba memasaknya! ”
“Sir, haruskah aku khawatir? Penglihatanku menjadi samar! Apa jamur yang aku makan tadi?”
"Ha ha ha ha! Ini, minum penawarnya! Kamu akan muntah darah dan mati jika tidak!"
Labyrinth Gourmet Club mengobrol dengan riang tentang hal-hal yang meresahkan saat memanggang makanan.
Oliver membungkuk. “Sepertinya kita menganggu. Kalau begitu, Kami pamit.”
Mereka berenam beringsut di sekitar area dan pergi secepat yang mereka bisa.
Setelah berada di tikungan dan di luar jangkauan pendengaran, Katie akhirnya angkat bicara.
"Sudah kubilang mereka penuh dengan orang aneh!"
“Oh, berhentilah! Ini tidak berbeda dengan minuman beraroma acak di toko!” Guy berdebat.
Chela melirik ke belakang. "Selain etika makan labirin... Orang yang mengajak kita untuk bergabung dengan klub cukup terkenal."
“Ah, aku pikir begitu. Jadi dia Kevin Walker, sang Survivor?” Oliver mengangguk mengerti.
Guy tampak kecewa. "Benarkah...?! Aw, man! Aku harus tetap mengobrol!”
"Apa? Apakah dia orang penting atau semacamnya?” kata Katie.
"Tentu saja," jawab Chela. “Kudengar dia menghabiskan setengah tahun tersesat di kedalaman labirin, dan akademi menyatakannya meninggal. Mereka bahkan mengadakan pemakaman, tapi kemudian dia kembali hidup-hidup! "
"Setengah tahun? Disini? Mustahil. Tidak ada yang bisa sekuat itu...," ejek Pete.
“Berkat itu ia melewatkan kelulusannya, jadi dia masih kelas enam saat ini. Aku tidak tahu apa yang mungkin dia berikan pada kita, tapi akan sangat menarik untuk ikut barbekyu itu.”
Oliver setengah bercanda. Katie menggelengkan kepala dengan marah, tapi Chela tampak agak sedih.
“Ya, mereka sepertinya sedang bersenang-senang. Jadi itu disebut barbekyu?”
“? Chela, apa kau belum pernah ke sana sebelumnya?” Oliver bertanya.
“Aku malu mengakuinya, tapi tidak... Di rumah, kami tidak pernah makan atau memasak di luar dapur.”
“Ah, kamu ketinggalan!” kata Guy. “Baiklah, ayo kita segera adakan barbekyu. Kita bisa melakukannya di workshop, kan?”
“Tentu, tapi jangan sampai ada ide konyol tentang makanannya. Aku menolak untuk pergi berburu di labirin."
Katie dengan tajam menurunkan kakinya. Seketika, semua orang berhenti di tempat. Di depan mereka terbentang aula yang panjang dan sempit —dan menutupi dinding, langit-langit, dan lantai adalah siput raksasa.
"Ugh, ini sarang siput!" Guy mengerang. “Hei, bisakah kita menemukan cara lain?”
"Mengapa? Mereka tidak akan menyakiti manusia," kata Katie bingung.
Dia dengan mudah melangkah ke aula, dan sol sepatunya terjepit di dalam lendir.
“Biarkan aku lewat, kawan. Maaf!"
Dia dengan lembut namun berani menyingkirkan siput di depannya dan melangkah ke depan. Kelima temannya menatap dengan tidak percaya saat dia mencapai ujung aula dalam waktu singkat.
"Lihat? Sudah kubuatkan jalan. Itu akan segera ditutup, jadi bergegaslah!” teriaknya, menunjukkan ruang yang telah dia kosongkan. Dipaksa untuk bertindak cepat, kelompok itu melemparkan diri mereka satu per satu ke dalam aula. Tidak ada siput yang berusaha melukai mereka, dan mereka dengan selamat berhasil mencapai sisi seberang.
“Mudah, bukan?”
"Kecuali fakta bahwa ujung celanaku semuanya bau." Guy menatap pakaian berlendirnya dengan jijik.
Katie mengabaikannya dan menjatuhkan pandangan ke lantai. “Ini musim reproduksi mereka. Jika kalian lihat lebih dekat, kalian juga dapat menemukan bayi. Sini, lihat? Sangat kecil dan imut!”
“Wah! Jangan biarkan mereka merayap di tangan kalian! Taruh kembali di tanah!" Guy melompat mundur saat dia mengulurkan bayi siput untuk dilihatnya.
Oliver, bagaimanapun, tidak bisa menghilangkan perasaan resah. “Hei, Katie, apakah hanya firasatku, atau... apakah kita melihat banyak makhluk sihir di rute ini? Kita mestinya tidak terlalu dalam kan."
“B-benarkah? Mungkin memang begitu." Dia segera membuang muka.
Guy, merasakan apa yang sedang terjadi, mengerutkan alis. “Dasar... Apakah kamu sengaja memilih rute ini? Seperti mungkin setelah bertanya kepada Miligan tentang distribusi satwa liar labirin?”
"Ha ha ha ha! Tentu saja tidak!"
Katie tertawa seperti robot dan mulai berjalan lagi. Begitu dia merasakan mata semua orang membuat lubang di punggungnya, dia akhirnya menyerah pada tekanan.
"Maksudku," gumamnya, "bukankah rute yang lebih hidup lebih menyenangkan?"
“Jadi ini sudahdirencanakan!”
“Yah, selama kita sampai di sana dengan selamat.”
Oliver mendesah pasrah dan mengikuti arahan Katie.
Setelah dua puluh menit berlalu, mereka berenam sampai di aula satu arah.
"Oh, tunggu," kata Katie. Tempat ini mungkin sedikit berbahaya.
"Tahan. Apa yang Kau maksud secara spesifik dengan 'berbahaya'?” Guy bertanya dengan cemas. Katie tidak merespon, malah mengeluarkan bola benang dari tasnya dan melemparkannya ke aula. Tiba-tiba, paku terbang keluar dari setiap sudut koridor, mengubah bola menjadi bantalan.
"Seperti itu."
“Sedikit?! Jika salah langkah kita akan jadi landak”
Saat Guy berteriak padanya, Oliver dengan hati-hati mengintip ke aula. Pengamatan yang cermat mengungkapkan lubang kecil yang tak terhitung jumlahnya, seukuran ujung jari kelingking, di dinding, lantai, dan langit-langit. Itu adalah sumber dari jarum-jarun itu.
“Itu... bukan jebakan. Itu koloni bowshells."
“Ya... Tapi jarumnya kecil, jadi tidak bisa membunuh manusia. Mereka mungkin sangat menyengat, tapi hanya itu.”
"'Hanya itu'? Tidak, terima kasih! Jadi bagaimana kita mengatasinya”
Pete terdengar sangat prihatin, sebagaimana mestinya. Tapi Katie melangkah di depan mereka, dengan penuh percaya diri.
"Serahkan padaku. Kau hanya perlu membakar dupa jenis tertentu, dan mereka akan langsung tidur.”
Dia mengeluarkan pembakar dupa, meletakkannya di lantai, dan menyalakannya dengan mantra api. Begitu asap mulai naik, dia juga mendorongnya ke aula dengan sedikit angin sihir.
“Oke, disana. Sekarang kami tunggu lima menit.”
Dia terus mempertahankan mantra angin. Merasa lega bahwa dia telah membawa peralatan yang sesuai, lima orang lainnya menunggu sinyal. Baru beberapa menit berlalu, Nanao tiba-tiba berbalik.
“...? Aku dengar suara aneh mendekati kita."
Gadis Azian itu dengan hati-hati mengintip ke lorong ke arah mereka datang. Oliver juga berbalik; dia mendengar sesuatu dikeluarkan dengan tekanan tinggi saat koridor mulai dipenuhi dengan gas putih.
“Tembak —ini jebakan!” Oliver berkata dengan kaku. Uap air mengalir keluar dari celah di dinding dan dengan cepat mendekati mereka. Jika itu benar-benar uap yang memenuhi aula, maka itu akan menjadi panas mendidih.
“Lari, secepat mungkin!” Chela berteriak. “Kalian akan hangus terbakar jika itu menyentuhmu!”
Merasakan bahaya, Chela mendesak teman-temannya untuk bergerak.
Katie tampak ngeri. "Hah?! Tidak, tunggu! Dupa itu masih—"
“Tidak ada waktu! Cepat pergi!" Oliver memaksa mereka untuk terus maju, dan enam sekawan itu pergi ke aula. Jika mereka ingin menghindari luka bakar fatal di sekujur tubuh, mereka tidak punya pilihan lain. Kira-kira tiga puluh detik berlari, setelah mereka tidak bisa lagi mendengar uap, mereka akhirnya berhenti.
"Huff! Huff!K-kita selamat, huh? Oh jantungku...."
“Kamu... Kamu....”
Katie lega, tapi suara Guy bergetar. Lima orang lainnya berbalik dengan kaget untuk melihatnya.
“Apa yang akan kalian lakukan dengan pantatku?”
"Uwah!"
Pete berteriak melihat pemandangan itu, dan empat orang lainnya menelan ludah bersamaan. Anak jangkung itu berdiri di sana tampak sangat menyedihkan, dengan lusinan jarum tertancap di pantatnya.
Sepuluh menit kemudian, berkat bantuan Oliver, semua jarum telah dicabut dan lukanya sembuh. Bagian belakang Guy sama seperti baru.
“Katiiiiie! Ada yang perlu ku bicarakan denganmu!"
“Maafkan akyuh! Sorhy!"
Tentu saja, rasa sakit itu masih segar di benaknya. Penuh amarah, Guy meraih pipi pemandu itu dan menariknya. Oliver tidak mencoba campur tangan. Sebagai gantinya, dia berdiri di samping Chela dan menghela nafas.
“Beberapa jebakan hanya diaktifkan untuk sekelompok orang. Guy layak mendapatkan simpati kita, tapi ayo anggap ini sebagai pengalaman penting.”
"Sepakat. Benar-benar sangat beruntung bahwa satu-satunya tempat yang tidak dijangkau dupa adalah jalan yang diambil Guy."
Keduanya mengambil pelajaran itu dengan sepenuh hati. Guy, setelah selesai menghukum Katie, membebaskannya. Dia meletakkan tangan di pinggul dengan mengancam dan mendengus.
“Hmph... Oke, cukup untuk saat ini. Tapi jangan pernah melupakan jasa pantatku. Lebih berhati-hatilah dalam memimpin kami mulai sekarang! Mengerti?"
“A-Aku akan mencoba yang terbaik...”
Air mata menggenang di mata Katie karena rasa sakit saat dia melanjutkan membimbing kelompok itu ke tujuan mereka.
"Bisa dikatakan, kita sudah melangkah cukup jauh," kata Oliver sambil mengikuti. “Bukankah mestinya segera tiba?”
“Y-ya. Kami hampir sampai. Tepat di atas bukit ini—"
Katie dengan gugup melihat peta. Tapi begitu mereka melewati setengah aula, dia tiba-tiba berhenti.
“Oh! Ini dia! Batu... Tidak, Caputalis!”
Merespon mantranya, balok-balok yang menyusun dinding menata ulang diri mereka sendiri untuk membuat pintu masuk setelah beberapa saat. Katie melompat, dan teman-temannya mengikuti.
“Kerja bagus, semuanya! Sekarang masuk! Inilah markas rahasia kita!"
Dia melompat kegirangan saat mereka tiba. Dengan jentikan tongkat, dia menyalakan lampu kristal di langit-langit. Teman-temannya bergumam ooh kagum saat melihat pemandangan tersebut.
“Ya, ini bagus.”
Oliver adalah orang pertama yang berkomentar. Bengkel itu lebarnya sekitar sepuluh yard dan panjangnya lima belas yard, dan tingginya tiga yard dari lantai ke langit-langit; itu sekitar ukuran dua kamar asrama dua tempat tidur. Di bagian belakang ada lilin dan kompor, dikelilingi lemari yang penuh dengan alat peracik ramuan seperti kuali.
Di dinding kiri ada satu pintu, dan di dinding kanan ada dua.
"Pasokan yang cukup baik juga," kata Guy. “Tapi mungkin agak sulit untuk enam orang.”
“Hee-hee-hee, kamu akan berpikir begitu, bukan? Tapi kekhawatiranmu tidak berdasar!”
Katie menyeringai saat dia melangkah lebih jauh ke dalam workshop. Dia membuka pintu kiri dan melangkah ke ruang gelap.
“Ini ruang utama. Biarkan aku buatkan cahaya—"
Dia menjentikkan tongkat ke langit-langit seperti sebelumnya. Tiba-tiba, lampu raksasa menyala, menerangi kegelapan. Apa yang terhampas di depan mata mereka adalah sebuah ruangan yang berukuran sepuluh kali lebih besar dari yang terakhir. Pete ternganga ke langit-langit tinggi dengan kagum.
“Apa-apaan ini? Itu besar! Apa kita juga boleh pakai yang ini?”
"Tentu saja! Menurut Ms Miligan, ini adalah workshop berkualitas tinggi meskipun berada di lapisan pertama.”
Katie bicara dengan bangga, dan gema suaranya di ruang yang luas memperkuat efeknya.
Chela berjalan berkeliling, memeriksa item di daftar mental. "Ya, Ms. Miligan memang benar tentang itu," katanya. “Ada air, lampu, dan kompor, belum lagi semuanya memiliki elemen rumah yang baik. Kita paling cepat bisa mulai memakai tempat ini sebagai workshop besok.”
"Setidaknya pantatku tidak diubah menjadi bantalan." Guy menggosok pantatnya dengan getir. “Baiklah, kalau begitu! Ayo bagi ruangnya! Di mana aku harus meletakkan kebunku?”
"Tenang. Mari kita tulis keinginan kita di selembar kertas. Aku ingin memelihara hewan; Guy ingin merawat tanaman. Apa yang kalian ingin dilakukan?”
Katie mengeluarkan buku catatan dari tasnya dan mulai menulis dengan pena. Mereka saling Tatap.
Naluri pertama Oliver adalah meletakkan dasar-dasarnya. “Untuk saat ini, aku ingin menggunakan ini sebagai basis untuk menjelajahi labirin. Aku akan mulai dengan memastikan tempat ini memuaskan sebagai sebuah safe house dan menyiapkan beberapa tempat tidur."
“Oh? Maksudmu tidur di sini? Kedengarannya menarik.”
"Lihat? Nanao mengerti. Itulah markas rahasia yang sebenarnya,” kata Guy. “Aku suka suara ini... Yeah! Ayo siapkan jebakan di sekitar area! Pangkalan harus punya pertahanan ketat!"
“Seperti yang menusuk pantat?”
"Pete, dasar kau—!"
Guy mencoba meraih Pete karena menggodanya, tetapi anak berkacamata itu pergi. Chela memperhatikan saat mereka kejar-kejaran di ruang luas itu. Dia tidak bisa menahan senyum. “Heh-heh-heh.”
“....? Ada apa, Chela?” Oliver bertanya.
“Oh —aku tidak yakin kenapa, tapi aku juga merasa senang. Aneh, kan? Aku belum pernah merasakannya sebelumnya."
Ekspresi Chela adalah campuran kegembiraan dan kebingungan.
“Kita mungkin akan begadang semalaman membicarakan hal ini,” kata Katie pelan. “Dan ini sudah terlambat. Jika kalian semua tidak keberatan, mengapa kita tidak... bermalam di sini malam ini?”
Tidak ada yang keberatan, jadi mereka semua menetap untuk menghabiskan malam pertama mereka di pangkalan rahasia.
__________________________
Post a Comment