Update cookies preferences

Nanatsu no Maken Vol 4; Chapter 1; Kutukan

 


Bagi siswa Kimberly, maju satu tahun berarti melangkah lebih dalam ke jurang kegelapan. Contoh kasus: mata pelajaran terbaru dalam kurikulum mereka.

“Astaga, semua orang terlihat sangat tegang,” kata Guy. “Ini pelajaran baru; Aku mengerti. Meski begitu...”

Setiap kursi penuh, tetapi ruangan itu sangat sunyi.

"Memang begitulah mereka seharusnya," jawab Chela. “Kita di sini untuk mempelajari kutukan—dan dari semua bidang sihir, hanya sedikit yang berbahaya untuk ditangani.”

“Kutukan, ya....?” kata Katie. “Ibu dan ayahku tidak pernah memberi tahuku apa pun tentang itu, jadi aku sendiri tidak terlalu familiar. Kau bilang itu berbahaya? Juga, ada apa dengan air ini?”

Katie menunjuk ke meja. Ada kendi air di depan geng mereka yang terdiri dari enam orang berkumpul di sekeliling meja kerja besar dengan wastafel di kedua sisinya. Sangat mirip dengan kelas alkimia.

“Seperti halnya bidang apapun, satu kesalahan nyawa kalian bisa melayang,” Oliver menjelaskan, suaranya muram. “Tapi karena merugikan orang lain adalah tujuan dari kutukan, kesalahan disini jauh lebih berbahaya. Jika teknik sihir lainnya adalah obat, maka kutukan seperti penyakit. Jika tidak berhati-hati, itu dapat melakukan beberapa kerusakan nyata -pada tingkat yang lebih mendasar, merusak tubuh dan pikiran.”

Pete mengerutkan kening. “Itu membuatnya terdengar seperti kutukan itu tidak memiliki manfaat sama sekali. Lagipula untuk apa kita mempelajarinya?”

“Yah, untuk satu hal—itu memang memiliki kegunaan. Jika harus membasmi sejumlah besar hama, aspek pilu dari kutukan sangat berguna. Aku akan mengabaikan rinciannya, tapi itu mungkin bisa untuk melibas habis seluruh kawanan dengan satu kutukan saja. Aku pernah mendengar beberapa penyihir bahkan dapat memusnahkan keseluruhan spesies.”

"Seluruh spesies?!" Katie meratap. "Itu sangat ekstrim!"

“Hmm, bisa berguna untuk mengusir serangga jahat dari ladang,” kata Guy, jelas tertarik.

Bukan pertama kalinya keduanya mengambil posisi yang berlawanan. Oliver mulai menyeringai—tapi kemudian dia bergidik, merasa seperti terdapat seekor ulat merayap di punggungnya.

“Sudahi bicaranya. Dia datang,” katanya, melirik ke arah pintu masuk.

Semua orang mengikuti matanya.

Pintu terbuka—dan kegelapan masuk.

"Apa-?" “Eek…?!”

Tanpa kecuali, setiap siswa merasakan hawa dingin yang sangat kuat hingga membuat mereka merinding seketika. Itu adalah rasa takut—dan rasa jijik kompulsif. Seperti cara manusia secara naluriah mundur dari tatapan segerombolan serangga.

Massa kegelapan mengalir melalui pintu dan meluncur di lantai. Ketika sampai di podium, tangan pucat seperti mayat muncul dari dalam, bersama dengan wajah—yang terlihat sangat muda. Baru pada saat itulah para siswa menyadari bahwa itu bukanlah kumpulan kegelapan, tetapi seorang wanita yang mengenakan kain hitam pekat.

“Selamat datang di tahun kedua kalian. Maaf jika aku membuat kalian khawatir.”

Suara itu menakutkan, seperti domba dengan pangkal tenggorokannya hancur. Tepi kedua bibir melengkung ke atas, dan setiap siswa tersentak ke belakang, kaki kursi mereka berdenting. Tak satu pun dari mereka pernah melihat senyum di mana tidak adanya senyum itu jauh lebih disukai.

“Pertama, izinkan aku menyapa. Aku adalah instruktur kutukan, Baldia Muwezicamili. Aku mungkin tidak terlihat jauh lebih tua dari kalian, tapi aku setua Vana. Penyebabnya adalah kutukan, kalian tahu; tubuhku tidak dapat menua lebih jauh. Oh, Vana maksudku Vanessa.”

Murid-muridnya mengira ini pasti lelucon menjijikkan. Siapa yang akan memakai nama panggilan untuk monster itu? Tidak.... wanita ini mungkin saja. Dia dan hanya dia.

“Hari pertama kelas selalu merupakan teori inti, tetapi pertama-tama, peringatan penting. Kalian jangan pernah menyentuhku; dan jangan pernah menyentuh apa pun yang aku sentuh sampai aku memberikan izin tegas. Jangan melangkah di mana aku telah berjalan. Dan mungkin yang terbaik adalah kalian tidak menghabiskan lebih dari dua jam di tempat yang sama denganku. Gagal mengikuti aturan ini, itu mungkin terbukti menarik.”

Nada suaranya cerah dan ramah dan isinya sangat tidak menyenangkan. Sebuah tangan pucat mencengkeram dadanya, dia berbicara dengan sedih. “Seperti yang kalian lihat, aku sangat terkutuk. Aku sudah lama kehilangan jejak berapa banyak kutukan yang kusembunyikan. Tapi aku cukup yakin itu meraih rekor dunia. Sebagai contoh, mari kita lihat....”

Dia menunjuk ke bagian belakang kelas, dan para siswa secara refleks menoleh untuk melihat. Ada tanaman berjajar di belakang—yang berubah menjadi cokelat di depan mata mereka. Baldia bertemu dengan tatapan ngeri murid-muridnya dengan senyum sayang dan melanjutkan.

“Tanaman tanpa resistensi akan berakhir seperti itu. Sebatas tumbuh di ruangan yang sama denganku, mereka layu. Kalian semua penyihir, jadi kalian bisa bertahan meski sebentar, tetapi non-penyihir mana pun pasti sudah mati. Dan itulah yang akan terjadi pada kalian jika melupakan peringatan itu, paham?”

Pada titik ini, beberapa siswa menutup mulut dengan tangan. Melihat mereka mulai berdiri, Baldia mengangguk, jelas sudah terbiasa dengan ini.

"Itu benar; jika kalian mulai merasakan sesuatu, pakai bak cuci. Jangan coba menahannya. Ini adalah mekanisme pertahanan alami tubuh kalian. Normalnya kalian mual jika berada serungan denganku. Sama sekali tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Bahkan sebelum penjelasannya selesai, beberapa siswa telah mengosongkan perut mereka, Pete di antaranya; Oliver berdiri, menepuk punggung temannya. Dan Pete bukan satu-satunya yang terpengaruh.

“......”

"Guy....!"

Chela yang melihatnya lebih dulu. Vitalitasnya yang biasa terkuras, anak lelaki jangkung itu duduk membisu, wajahnya pucat, sama sekali tidak mengeluarkan suara. Baldia melihatnya dari seberang ruangan dan berbalik ke arahnya.

“Mm? Kau yang di sana, tidakkah Kau dengar? Jangan ditahan. Muntahkanlah.”

"Tidak, terima kasih. Aku tidak ingin muntah hanya karena melihat wajah seseorang untuk pertama kalinya.”

“Ohh?” Senyum Baldia semakin dalam. Dia meninggalkan podium, mengalir di lantai seperti cairan kental—atau mungkin seperti kawanan serangga yang sedang mencari-cari. “Manis sekali. Bagus. Sudah bertahun-tahun sejak ada yang mengatakan itu! Siapa namamu?"

“Guy....G-Greenwood.”

"Guy! Heh-heh-heh. Kau menggemaskan. Dan sangat besar! Cowok biasa.”

Semakin dekat dia, semakin dia menjadi mual. Guy mengatupkan rahang, coba melawannya. Seketika itu, dia berada tepat di depannya, wajah pucatnya mencondongkan tubuh ke dalam. “Tapi itu tidak akan berhasil. Muntahkan. Muntahkan saja.”

“Ur....!”

Mendengarkan suara itu tepat di telinganya terlalu berlebihan. Dia terguling ke depan, muntahan memaksa naik ke tenggorokannya. Teman-temannya dengan cepat menyela. Mantra Oliver menangkap muntahan itu, mengarahkannya ke wastafel, dan mantra penyembuhan Chela meredakan rasa sakitnya.

"Bagus sekali," kata Baldia, jelas senang. “Jika Kau muntah hari ini, jangan khawatir. Dua atau tiga kelas lagi dan Kau tidak perlu muntah lagi. Setelah Kau selesai, ada air wangi di atas meja; pakai untuk berkumur, dan mulutmu akan berterima kasih untuk itu.”

Itu gunanya air. Semuanya masuk akal sekarang. Oliver harus mengakui, meskipun dengan enggan, bahwa itu adalah pilihan yang cerdas.

Guy masih terengah-engah, dan Katie bergegas mendekatinya.

"Guy, kamu baik-baik saja?! Haruskah kita pergi ke ruang perawatan?!”

"Tidak, aku baik-baik saja. Ini mereda...”

Dia terhuyung-huyung berdiri dan berhasil kembali ke kursinya. Baldia tersenyum tipis untuk terakhir kali padanya, lalu kembali ke podium.

“Semuanya sudah tenang? Kalau begitu mari kita mulai teorinya,” dia memulai. “Pertama, apa itu kutukan? Sederhananya, kutukan adalah penyakit menular yang dibawa oleh hubungan immaterial: berbicara dengan seseorang, berasal dari wilayah yang sama dengan mereka, jatuh cinta dengan mereka hingga Kau tidak bisa tidur. Semua hubungan ini bisa menjadi saluran untuk penularan kutukan.”

Dia baru saja memulai kuliah, seolah-olah tidak ada hal aneh yang terjadi. Itu memaksa semua orang tersadar — tidak peduli berapa banyak siswa yang muntah, itu tidak akan dianggap sebagai sebuah masalah di sini.

“Sifat dan kekuatan hubungan itu akan menentukan tipe kutukan mana yang bisa kalian gunakan. Ada kecenderungan yang berbeda untuk hubungan yang erat, terjalin, dan picik untuk membuat kutukan lebih mudah dikembangkan. Sama seperti jamur yang tumbuh jika kalian tidak mengeluarkan udara dari ruangan. Itu adalah hal yang sama! Kalian memilih lingkungan, mengikuti langkah-langkah untuk mengolahnya, dan kemudian melepaskannya ke target—itulah prosedur dasar kutukan besar apa pun. Ingat itu!"

“....!”

Oliver mendengar pena tergores. Air beraroma di satu tangan, Pete telah pulih dari mual, dan mencatat dengan panik. Semua orang fokus pada penjelasan Baldia.

“Kutukan adalah sesuatu yang menyendiri. Mereka lahir dari hubungan, jadi mereka selalu mencari seseorang untuk dipengaruhi, selalu putus asa untuk menemukan orang lain untuk ditulari.” Dia melanjutkan: “Non-penyihir memiliki takhayul bahwa pilek sembuh ketika orang lain tertular. Dengan kutukan, ini sebagian benar. Jika Kau memilih target yang tepat dan mengikuti langkah-langkah yang sesuai, kutukan akan berpindah ke mereka. Tentu saja, ini tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya, akan tetapi ini adalah prosedur sementara yang umum ketika mencoba memecahkan kutukan.”

Suaranya diliputi ironi—namun dengan kelembutan yang terpendam. Seolah penjelasan tentang kutukan ini benar-benar menggambarkan dirinya sendiri.

“Tapi ada kalanya itu satu-satunya pilihan. Jika kutukan tumbuh terlalu besar, tidak ada yang bisa mematahkannya. Ketika itu terjadi, yang bisa kalian lakukan hanyalah menemukan wadah yang cocok dan menjebaknya. Seperti itu!”

Saat berbicara, Baldia membuka bagian depan pakaian hitamnya, memperlihatkan sesuatu yang ada di bawahnya—pemandangan yang membuat setiap siswa terkesiap: Beberapa wajah bengkok menonjol dari kulit pucat dadanya. Tonjolan itu memiliki mata yang bergerak, sangat melotot saat mengamati.

“Beberapa kutukan yang kupendam sangatlah kuat hingga bisa memusnahkan umat manusia jika sampai bebas. Jika kutukan sampai tahao mustahil dikendalikan, kami menyebutnya maelstrom. Secara historis, satu negara dibakar habis sebagai upaya menghentikan penyebaran maelstrom,” jelas Baldia. “Itulah masalahnya, sungguh. Cara kerja kutukan, jika kalian mengacau—bukan hanya perapal yang mati. Semua orang yang dekat dengan mereka akan turut mati, dan dalam skenario terburuk, korban dapat menyebar melampaui imajinasi terliar kalian.”

Setiap siswa tahu —instruktur di depan mereka adalah skenario terburuk yang dipersonifikasikan. Baldia Muwezicamili adalah destinasi kutukan yang terlalu besar—penyihir yang menelan maelstroms secara penuh.

“Di kelasku, kalian harus selalu mengingat hal itu. Kalian tidak ingin menyakiti teman-teman kalian... kan?”

_______________

“Dia yang paling menakutkan,” Katie sedih.

Kelas telah berakhir, dan itu saat makan siang. Geng ini berkumpul di sekeliling meja di Fellowship.

“Kita memiliki banyak guru kejam, tapi...dia berbeda. Kurasa dia akan benar-benar mendengarkan, bahkan mungkin peduli dengan perasaan kita,” lanjut Katie. “Tapi karena itulah dia sangat menakutkan. Semakin dekat dengannya, semakin dekat kutukannya kepada kita. Semakin ramah dia, semakin pengertian, semakin kita menyukainya—aku hanya tahu semua perasaan itu akan mengundang kutukan. Dan aku merasa sebagian dari dirinya menginginkan hal itu.”

Semua orang membiarkan kata-kata Katie meresap. Mereka hanya mendengarkan dalam diam, tidak ada yang menambahkan komentar.

“Aku tau bahwa pembawa kutukan memang ada. Aku hanya... kupikir kau bisa mendekati mereka seperti binatang beracun, kau tahu? Jika mereka tidak bermaksud jahat, tidak ada hal buruk yang akan terjadi. Jika Kau tulus dan sabar, Kau bisa membangun hubungan yang baik,” jelasnya. “Tapi... itu sama sekali tidak benar, kan? Tidak masalah jika mereka jahat— hanya perlu terhubung dengan mereka. Jika beracun, Kau harus berhati-hati—tetapi itu tidak akan berlaku terhadap kutukan. Semakin tulus kalian, semakin banyak kebaikan yang kalian tunjukkan..... semakin besar kemungkinan untuk dikembalikan dan menggigit kalian.”

Dan pemahaman bahwa sesuatu yang ironis bisa benar-benar ada sangat sulit untuk dia terima. Oliver tahu seluruh bidang kutukan pada dasarnya tidak sesuai dengan keberadaan Katie Aalto.

"Aku tahu ini membuat frustrasi, tapi kau sangat benar," katanya sambil mengaduk gula ke dalam tehnya. “Cara paling sederhana dan paling efektif untuk menghindari kutukan adalah dengan menghindari semua kontak dengan siapa pun yang menyembunyikannya. Tidak menunjukkan ketertarikan, tidak memperhatikan, tetap acuh tak acuh. Dengan begitu kalian tidak akan pernah bisa dikutuk.... tapi itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.”

Di seberang meja, Chela mengangguk. “Ya, itu pendekatan yang sama sekali tidak praktis. Jika mereka tepat berada di depanmu, dan Kau dapat melihat dan mendengarnya—mustahil untuk tetap acuh tak acuh. Bukan hanya manusia—makhluk dari semua lapisan kehidupan bergantung pada hubungan dengan makhluk lain. Fakta bahwa hewan, serangga, dan tumbuhan rentan terhadap kutukan membuktikannya.”

Manusia tidak bisa begitu saja menghindari pembawa kutukan. Menjadi hidup membutuhkan koneksi ke hal-hal di sekitarmu.

“Seorang penyihir terkenal pernah mengungkapkan konsep universal itu sebagai berikut: 'Sungguh, kutukan menertawakan semua kehidupan secara setara.'”

Keheningan suram menyelimuti meja. Enam sahabat itu merasakan hawa dingin aneh, tetapi bukan karena Baldia Muwezicamili secara khusus—mereka merasa seolah-olah sekilas telah melihat kejahatan besar yang bersembunyi di bawah permukaan dunia.

"Aku tidak menganggapnya menakutkan," gumam Guy, memecah kesunyian. Semua mata menoleh ke arahnya. "Dia hanya tampak kesepian bagiku... Untuk semua ocehannya tentang muntah." Dia menghela nafas.

"Guy....." kata Oliver, agak khawatir. “Aku tidak bermaksud memberi tahukan bagaimana perasaanmu, tetapi itu adalah kesan yang berbahaya untuk dimiliki. Ini berlaku untuk penyihir secara umum, tapi orang yang mahir mengutuk seringkali sangat karismatik. Itu membuat mereka lebih mudah membangun koneksi dengan orang lain—lebih mudah mengutuk seseorang yang menyukaimu .”

“Aku paham logikanya. Tetap saja, bagaimana aku bisa tidak menyukai seseorang ketika aku menyukainya? Ini tidak bekerja seperti itu. Hati kita tidak melakukan apa yang kita perintahkan kepada mereka.”

“.....!”

Oliver tidak bisa mendebatnya. Jika emosi manusia dapat dikalahkan dengan logika, hidup akan jauh lebih sederhana. Dia sendiri terus-menerus berjuang dengan dorongan yang bertentangan dengan tujuannya dan gejolak yang menyertai setiap keputusannya. Dan kemungkinan besar dia akan melakukannya selama sisa hidupnya.

“Akankah kamu memilih dia daripada kami, Guy?” Katie bertanya, terdengar cemas. Dia tahu memaksakan pilihan itu merupakan sesuatu yang salah. Sadar bahwa itu adalah pertanyaan egois, dia tetap memilih untuk menanyakannya. Itulah cara Katie perhatian pada teman-temannya. Dia ingin menjaga Guy tetap dekat—sesuatu yang dia sendiri mampu menyuarakannya dengan jujur.

Guy menyeringai dan menepuk kepalanya. Cara dia membalas perhatiannya.

“Jangan bodoh. Aku tidak mengatakan itu. Aku tidak akan mulai membencinya karena dia membawa kutukan, hanya itu. Jangan khawatir, dia tidak benar-benar melilitkan jari jemarinya padaku. Mengerti, Pete?”

“K-kenapa bawa-bawa aku? Aku tidak pernah khawatir!”

Guy berpaling dari Katie, meletakkan lengannya di atas bahu Pete. Anak berkacamata itu mencoba mengguncangnya tetapi tidak berhasil.

“Ditambah lagi, jika kita membicarakan tipe, aku memilih kulit yang lebih sehat! Cari yang tenang, kau tahu? Sama seperti sayuran, sedikit kecanggungan tidak masalah jika tumbuh kuat dan rasanya enak. Itu gadis yang ingin aku nikahi.”

"Hmm. Seperti gadis tahun pertama itu?” “Rita? Guy, dia lebih muda.”

"Oh? Apakah tidak tertarik?” tanya Chela.

“Kurasa tidak juga, tapi tempatku tumbuh, tipe kakak yang berkuasa, jadi kupikir begitulah seharusnya pengantin petani. Beri aku seorang gadis muda yang pemalu, dan itu tidak terasa benar. Maksudku, adik perempuan itu imut dan semacamnya — seperti yang itu. Benar benar."

“Jangan usap kepalaku! Aku bukan adikmu! Danaku laki-laki hari ini!” Rambutnya benar-benar acak-acakan, Pete akhirnya berhasil menggeliat. Semua orang tertawa, tetapi tepat ketika Oliver membiarkan dirinya bersantai....

Sebuah suara baru menimpali. “Oh, kita membicarakan hal-hal nakal? Biarkan aku ikutan!”

Seorang gadis menyela masuk ke sebelah Pete, berbicara seolah dia memang pantas berada di sana. Mereka tahu dia seusia mereka, tetapi tidak satu pun dari mereka yang pernah berbicara dengannya. Anak berkacamata itu menjauh, bingung.

“S-siapa kamu? Mengapa Kau asal menyela—? ”

“Aw, jangan semenyebalkan itu, Mr. Reston. Aku ingin sekali bicara denganmu! Dan setidaknya aku ingin membuatmu mengingat namaku. Keberatan jika aku duduk denganmu?”

Dia mencabut tongkat putihnya dan, dengan mantra kilat, menyeret sebuah kursi dari meja terdekat. Oliver membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tetapi suara lain datang dari balik bahunya.

“Jika itu di mana diskusi ini akan, aku harus bertanya-apa tipe-mu, Ms. Hibiya? Yang berotot? Slim?"

Anak laki-laki yang sama-sama tidak dikenal ini menjulang di atas Oliver dan berbicara langsung dengan Nanao. Gadis Azian itu berhenti makan, kepalanya miring ke satu sisi.

“Maksudmu seleraku pada pria? Mm...., aku tidak terlalu memikirkannya. Mohon beri aku waktu untuk memikirkan topik ini.”

"Tidap perlu repot-repot, Nanao," kata Oliver. Lalu dia beralih ke para pendatang baru. “Aku tidak mengatakan kalian berdua tidak bisa bergabung dalam percakapan, tetapi kalian benar-benar harus menyimpan pertanyaan itu untuk seseorang yang kalian kenal sedikit lebih baik. Kalian hampir tidak bisa menyalahkan kami karena menganggap pendekatan kalian lancang.”

Pria pendatang baru itu menyandarkan tangannya ke meja di depan Oliver. “Kaku sekali! Kau tidak bisa sedingin itu kepada kami, Mr. Horn. Aku tidak ingin cinta dalam hidupmu direnggut, tapi Ms. Hibiya bukan milikmu. Setiap orang punya kesempatan!”

“Itu bukan poinku. Aku sedang membicarakan sopan santunmu.”

"Dan kau nyaris tidak menyembunyikan betapa posesif dirimu," gadis itu mencibir.

"Jangan terus berpura-pura seolah-olah Kau adalah satu-satunya jiwa yang tidak egois, Mr Horn."

Alis Oliver berkedut. Merasakan ketegangan meningkat, Chela memulai, “Kurasa itu sudah cukup—”

"Sedikit terbawa suasana, bukan?"

Suara baru ketiga—tapi yang ini langsung bisa dikenali. Seorang pemuda tinggi dengan senyum semilir berdiri di ujung meja.

"Mr. Rossi....?” Oliver berkata, mengedipkan mata padanya.

"Halo, Oliver. Aku tidak bermaksud mengganggu, tetapi aku tidak bisa 'menahan lidahku'. Upaya mereka, mereka sangat licik kan?”

Rossi menggelengkan kepala secara dramatis sebelum menatap kedua penyusup itu.

“Kalian menginginkan sesuatu yang menjadi milik orang lain, kalilan harus mematuhi beberapa aturan. Menyela tanpa memberi hormat, dan bukan hanya Oliver yang akan membuatmu kesal.”

Mereka berdua mengerutkan kening, tapi Rossi hanya terkekeh.

“Tapi di mana aku hanya ingin tertawa—semua orang punya kesempatan, bukan? Ha ha ha! Lucu sekali! Tidak ada yang bisa lebih jauh dari kebenaran. Tak satu pun dari kalian 'sunguh-sungguh pernah menghadapi salah satu dari mereka berenam ini, 'kan?"

“........!”

“.................”

“Apakah kalian mengambil bagian dalam battle royale? Tolong, dengarkan aku. Apa yang kalian lakukan saat itu? Apakah kalian mengalami sakit perut yang membuat kalian harus absen? Ach, malang sekali.”

Suaranya meneteskan sarkasme, dan wajah kedua siswa itu menjadi tegang—lalu nada Rossi tiba-tiba menjadi serius.

“Sepertinya kalian tidak punya hak untuk menyuarakan sesuatu seperti itu. Kalian tidak berhak berbicara dengan Oliver, Nanao, atau teman-teman mereka.”

"Kau pikir kamu siapa?"

"Mereka menghajarmu, bukan?"

“Benar! Aku kalah dalam pertempuran —tapi setidaknya aku bertarung.” Rossi terlihat cukup bangga akan hal itu. Tidak ada jejak rasa malu.

“Namun, kalian berdua bahkan tidak berani kalah. Jika itu mengganggu kalian, maka 'bagaimana kalau kalian mulai dengan membuktikan bahwa kalian 'punya seupil nyali, eh?'

Jari-jarinya membelai gagang athame-nya. Melihat mereka berdua terguncang oleh tantangan, dia melakukan itu tanpa menahan diri.

“Ah, satu hal terakhir. Aku katakan murni dengan niat baik: kalian hanya memperhatikan apa yang ada di depan kalian, tetapi melirik ke belakang. Apakah kalian bahkan menyadari siapa lagi yang memelototi kalian?

Keduanya tersentak dan memindai ruangan. Kebanyakan orang di sekitarnya hanya ingin tahu, tetapi ada tatapan tajam yang datang dari segala arah.

Richard Andrews dengan elegan mengaduk secangkir teh. Stacy Cornwallis dan Fay Willock sedang berbagi kue tar. Joseph Albright sedang melahap pai dengan keganasan karnivora. Namun, kedelapan mata itu tertuju pada para si penyusup, pandangan yang sama di setiap pikiran: kalian pikir kalian siapa?

“Eep....!”

“Sa-sampai nanti!”

Keduanya berbalik dan melarikan diri dari mereka seperti kelinci ketakutan. Oliver memperhatikan mereka pergi, lalu menghela napas.

“Aku tidak yakin bagaimana menanganinya. Terima kasih, Mr. Rossi.” Dia berbalik ke ruangan. "Terimakasih semuanya."

Tetapi empat orang yang dia sapa telah mengalihkan perhatian mereka kembali ke makanan mereka, bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Mengangkat bahu, Oliver kembali menghadapi Rossi.

“Dengan senang hati,” jawab Rossi. "Tapi kamu lengah!" Dia mendekat, tatapannya tajam. “Perilaku mereka? Tidak pantas, ya. Tapi Kau membiarkan dirimu terlalu terbuka. Jika dia penting bagimu, perkuat pertahananmu. Kita semua bukan anak kecil. ”

“Ugh....”

"Lain... Nanao, tanganmu?"

"Hmm? Seperti ini?”

Tidak yakin apa maksudnya, Nanao mengulurkan tangan. Dengan penuh gaya, Rossi meraihnya dan dengan mulus menempelkan bibir di punggungnya.

"Ah-!"

“Wah!”

Pete dan Katie sama-sama memekik.

Oliver menjadi kaku karena shock, dan Rossi tersenyum licik padanya.

“Jika kau sampai lengah, dia akan dicuri, seperti itu. Risikonya jelas kan?”

Oliver terlonjak, menjatuhkan kursinya. “Rossi!”

“Bara menjadi api! Ha ha ha! Ciao!”

Rossi berbalik dan lari, tertawa. Oliver memelototinya tetapi memilih untuk tidak mengejar. Ketika dia duduk kembali, dia melihat mulut gadis Azian itu masih terbuka lebar.

“Nanao, mana tanganmu! Sekarang!"

"Hah? Lagi?"

Dengan bingung, dia mengulurkan tangannya yang baru saja dikecup. Oliver meraihnya, mengeluarkan saputangan yang dibasahi ramuan, dan mulai menyeka punggung tangan itu. Dia sangat fokus pada tugas itu sehingga dia tidak menyadari Guy menahan tawa.

“Reaksi itu sedikit berlebihan, kawan. Itu hanya ciuman di tangan.”

“Dan itu bisa saja langkah dalam ritual Mantra! Tidak ada yang namanya terlalu berhati-hati!”

“Aku ragu Mr Rossi akan merendahkan diri dengan cara itu, tetapi jika itu membuatmu merasa baikan....,” kata Chela.

“Kamu sendiri tidak akan mencium siapa pun, tetapi kamu tidak ingin orang lain melakukannya kan?”

Katie menatap tajam ke arah Oliver, tapi dia tidak menyadarinya. Saat keheningan yang tidak nyaman mereda, Chela meletakkan tangan di dagunya.

“Tetapi jika masalah seperti ini muncul, maka mungkin ini saatnya untuk mengakui bahwa kita sudah cukup umur.... Oliver, kita mungkin perlu menyesuaikan sikap kita.”

Dia mengangguk beberapa kali. Tanpa sekali pun berhenti menyekanya kuat-kuat.

"Ya, aku juga memikirkan hal yang sama," jawabnya. “Mari kita berkumpul malam ini. Adakah yang punya rencana yang tidak bisa dihindari?”

“Oliver, ini mulai sakit....”

Hanya ketika Nanao angkat bicara, dia akhirnya memindahkan saputangan dari tangannya. Dia menatapnya dengan sangat serius sehingga yang lain hampir tidak bisa menahan tawa.

“Jika tidak, mari kita berkumpul di markas rahasia kita jam delapan malam ini. Ini penting.”

__________

Post a Comment