“Hibiya menerima tantangan! Ini akan luar biasa! Harapan pemula versus pemain top sekolah, satu lawan satu!”
“Tidak mengejutkan, mengingat kepribadian mereka. Ini adalah olahraga tim, teman-teman!” Hedges menggelengkan kepalanya. Lalu dia menghela nafas, memotong mantra pengeras suara. “Kendati, tak tahu malu. Aku ingin melihat Ms. Hibiya terbang sedikit lebih lama.”
Hanya komentator siswa di sebelahnya yang mendengar. Dia dengan cepat memotong mantranya sendiri.
"Instruktur, maksud anda—"
“Bakat mereka mungkin seimbang. Tapi pengalaman dalam olahraga? Dan... spesialisasi?”
Jelas tidak ada keraguan dalam benaknya. Dia telah menonton ace Swallows selama bertahun-tahun. Tidak perlu ada yang diperdebatkan tentang kedepannya.
“Bawakan sapu padanya dan dia lebih cepat dan lebih kuat dari siapa pun. Untuk itulah Diana Ashbury dilahirkan, bagaimana penyihir ini menjalani seluruh hidupnya... seperti yang akan dipelajari Ms. Hibiya.”
_______
“Hahhhhhhh—!”
Dengan meraung, Nanao mengayunkannya kembali. Mereka beradu bersama-sama seperti seluruh tubuh mereka adalah pisau, saling menjatuhkan, mendengar tulang mereka menjerit.
"Baik sekali!" Ashbury berseru, gembira. “Belum pernah melihat ayunan seperti itu! Tidah usah segan-segan! Tunjukkan semua yang kamu punya!”
Tidak semua gerakan daratnya diterapkan di udara, tapi ayunan Nanao tidak berhenti. Dan Ashbury tidak hanya mem-blok, ia membelokkan setiap serangan -yang itu saja sudah merupakan sebuah prestasi. Sejak bentrokan pertama pemukul, dia hanya membiarkan Nanao berlatih dengannya.
“Tidak kusangka kamu akan sebaik ini! Akan sangat memalukan menjatuhkanmu dalam pertarungan sepihak.”
Ashbury menangkis serangan dan menambah kecepatan, menaikkan ujung sapu sampai dia meluncur ke angkasa. Nanao mengikuti, terbang semakin tinggi. Ace Blue Swallows memanggil dari balik bahunya.
"Ikuti aku. Usahamu patut mendapatkan hadiah—aku akan menunjukkan keajaiban padamu.”
Undangan untuk terbang lebih tinggi lagi. Seratus yard, lima ratus, seribu, dan mereka tetap terbang keatas. Meninggalkan penonton dan rekan setimnya jauh di belakang. Ashbury tampaknya tidak peduli. Mereka menerobos awan, menuju apa yang ada di baliknya.
“Ngh....!”
Saat mereka melintasi tanda empat ribu yard, Nanao merasakan sesuatu yang tidak beres. Sapunya semakin sulit dikendalikan. Semakin tinggi mereka terbang, semakin bergelombang penerbangannya, dan semakin banyak mana yang dibutuhkan untuk melawannya dan mempertahankan kecepatan.
Dengan alasan yang bagus—mereka semakin tinggi, semakin sedikit udara yang tersedia, dan semakin sedikit partikel sihir di dalamnya. Karena sapu tidak menarik kekuatan dari udara, itu akan menambah serapan kekuatan cadangan pengendara.
“Huff...!”
Jejak napas putih mengalir dari bibir Nanao. Suhunya sudah lama di bawah titik beku, dan mereka berada di setengah atmosfer permukaan. Bahkan untuk seorang penyihir, ini adalah lingkungan keras. Jika dia naik lebih jauh, hidupnya akan dalam bahaya. Instingnya memperingatkan untuk kembali sekarang.
Tapi dia tidak berhenti. Selama lawan masih ada di depannya, Nanao tidak akan mundur. Ini bukan hanya keras kepala di pihaknya—jika dia menyerah dan berbalik, Ashbury akan berbalik dan menyerang, dan pukulan dari belakang saat terbang ke bawah bukanlah kabar baik.
Tetapi jika mereka terus terbang, itu adalah ujian ketahanan. Musuh juga berjuang dengan ketinggian. Bahkan pengendara sapu paling ulung pun tidak bisa mengudara selamanya; begitu dia mencapai puncak, dia harus berbalik. Dan Ashbury seharusnya, secara teori, mencapainya sesaat sebelum Nanao.
Itu satu-satunya kesempatannya untuk memenangkan ini. Baca lintasan Ashbury dan potong dia, daratkan pukulan dari samping. Mengingat betapa melelahkannya penerbangan ini, kemungkinan besar pukulan seperti itu akan terhubung.
“Huff”
Tapi Ashbury tahuitulah yang direncanakan Nanao. Dan itulah mengapa—dia melakukan sesuatu yang tidak pernah bisa Nanao prediksi.
"Lanjutkan," katanya.
Dan kakinya meninggalkan pijakan kaki. Mereka berada lebih dari delapan ribu yard di udara. Sebuah jurang terbuka antara mereka dan bumi di bawahnya, di ketinggian yang bahkan burung pun tidak berani terbang.
Tapi Ashbury melepaskan sapunya.
“........?!”
Lawannya di atas terbelah dua. Itu tidak masuk akal, dan Nanao bingung karenanya.
Terlempar bebas ke udara, inersi lintasan Ashbury ke atas memberi penyihir itu beberapa detik sebelum dia mulai jatuh, dan dia menggunakan itu untuk membalik dirinya sendiri. Dia sekarang menatap lurus ke arah Nanao—dan mata mereka bertemu.
Sementara itu, sapunya masih meroket lebih tinggi. Butuh beberapa detik untuk membakar mana yang terakhir Ashbury alirkan. Tanpa beban, tanpa menurunkan berat badannya, sapu terbang lebih cepat. Dan pada akhir ledakan kecepatan itu, ia membentuk busur melintasi langit dan kembali— mencapai tangan Ashbury tepat saat dia akhirnya mulai jatuh.
“Itulah keajaiban Ashbury, Nanao Hibiya.”
Sapu terselip di antara pahanya, dan kakinya menangkap pijakan kaki. Sapu dan pengendaranya kembali bergabung dengan mulus—dan sudah dengan kecepatan penuh. Dia telah membalikkan arah jauh lebih cepat daripada yang bisa dilakukan oleh belokan konvensional, membuat penyihir itu siap untuk melesat ke arah lawannya. Nanao berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan, baik dalam hal kecepatan maupun penentuan posisi.
Ini adalah Ciri Khas Ashbury. Dalam sejarah permainan sapu, tidak ada yang pernah mengalahkannya.
"Jatuh kau."
Kedua bayangan itu bersilangan, dan penyihir itu mendaratkan pukulan terakhir. Terpukau, Nanao mengayunkan tongkatnya—dan beberapa saat kemudian, penonton mengetahui hasilnya.
"Ah-!" Katie menutup mulutnya dengan tangan.
“Nanao!” Chela memanggil nama temannya.
Guy dan Pete sama sekali tidak bisa berbicara.
Seorang gadis, jatuh melalui tirai awan dari jauh di atas. Untuk waktu yang sangat lama, yang bisa mereka lakukan hanyalah menonton.
____________
“Mm......?”
Udara dingin yang mengalir melewatinya memberi jalan ketika sesuatu dengan lembut mengangkatnya. Kehangatan yang lembut, cukup untuk membangunkannya—dan dia melihat wajah seorang anak laki-laki mengintip ke wajahnya.
“Oliver....”
Namanya keluar dari bibirnya. Dia tersenyum.
“Masih hidup, begitu. Kau terluka? Sakit kepala? Mual?"
Dia memeriksa dirinya sendiri dan menggelengkan kepala. Sensasi kembali ke anggota tubuhnya, dan menyadari itu, dia meletakkannya di tanah. Dia stabil sekarang. “Kalau begitu, waktunya kamu meninggalkan lapangan. Kamu kali ini kalah, Nanao.”
Dia meletakkan tangan di bahunya. Ada keheningan yang panjang. Gadis Azian menatap medan perang di atas dan mengangguk.
“Lawan yang luar biasa. Dia tidak meninggalkan ruang untuk dendam. ”
__________
“Awww, Hibiya turun! Kekalahannya yang pertama! Bahkan rookie paling menjanjikan kita tidak bisa meladeni si ajaib! Mr. Horn si Catcher menangkapnya dengan aman dan mengawalnya keluar dari lapangan,” kata komentator. “Diana Ashbury tetap menjadi teror! Ashbury Turn yang menang! Apakah tidak ada orang yang sanggup mengalahkannya ?!”
“Jangan terlalukeras menjualnya. Tentu, ini luar biasa, tapi penonton tidak bisa melihatnya,” gerutu Hedges.
Begitu dia melihat Ashbury akhirnya menembus awan sendiri, dia mendengus.
“Itu caranya menunjukkan rasa hormat. Dia akan menang dalam pertarungan normal, tapi dia berusaha mengalahkan lawan dengan turn itu. Itulah betapa terbangnya Ms. Hibiya membuatnya terkesan… Dan aku akan menyebutnya sebagai debut liga senior yang cukup menjanjikan.”
“Sepenuhnya setuju! Masih banyak aksi kedepannya, penggemar berat! Mari beri Ms. Hibiya tepuk tangan meriah! Kita tahu dia akan mengubah kekalahan ini menjadi inspirasi dan kembali dengan lebih kuat dari sebelumnya!”
__________
Meski Nanao dan Ashbury menjadi pusat perhatian, pertandingan secara keseluruhan cukup seimbang; akhirnya, Blue Swallows muncul dengan kemenangan satu poin.
“Wah, nyaris saja.”
“Sialan! Kita hanya butuh satu lagi!”
Wild Geese meratapi kekalahan mereka dalam perjalanan ke ruang ganti. Saat mereka masuk, Nanao menundukkan kepalanya kepada mereka.
“Aku tidak berguna di paruh terakhir. Aku minta maaf."
“? Apa yang kamu bicarakan? Kau menjatuhkan satu Swallow.”
“Dan berduel dengan Ashbury pada debut liga seniormu. Itu benar-benar gila.”
Kerendahan hatinya disambut dengan pujian. Dia tampak terkejut, jadi kapten pun datang.
“Ini bukan perang. Memenangkan pertandingan jelas penting, tetapi tujuan sebenarnya adalah untuk menunjukkan penampilan yang baik kepada penonton.”
"Kapten?"
“Dan dalam hal itu, kamu telah unjuk kebolehan. Jangan putus asa, Nanao. Kalah dari Ashbury Turn dianggap sebagai suatu kehormatan di antara para pengendara sapu.”
Dia menyeringai dan mengedipkan mata padanya. Oliver telah berada di sisinya selama ini, jelas menunggu sesuatu seperti ini.
“Dia lawan yang kuat, tapi pertandingan itu sendiri bisa dimenangkan,” kata Oliver. “Mari kita tempatkan Nanao dalam formasi yang tepat lain kali. Dan aku punya beberapa ide tentang strategi—”
"Oh, Horn bersemangat!"
“Istrinya dijatuhkan sih! Itu akan membuat siapa pun murka. ”
“Kudengan dia menangkapnya dengan ekstra gentel.”
“Yah, ya, memang harus begitu. Kan istrinya yang jatuh!”
“Um, bisakah kita menganggap ini lebih serius?” Oliver tidak mahir menerima godaan.
Kapten menabraknya di bahu dan kembali ke tim. Mereka mungkin kalah dalam pertandingan, tetapi tugasnya belum selesai.
“Horn benar. Waktunya postmortem. Nanao sekarang sudah merasakan liga senior, jadi lain kali, kita ingin dia bekerja sebagai anggota utama tim ini,” kata sang kapten. “Melihat pertandingan secara keseluruhan, ku pikir kita terlalu bersemangat dalam menyerang....”
_________
“Ur...”
“Eek.....”
Sementara itu, di ruang Swallows, seorang anak laki-laki dan perempuan berdiri tegak, takut untuk duduk, gemetar seperti tahanan yang menunggu eksekusi.
“....? Mengapa mereka gemetar?”
“Menunggu omelan Ashbury. Hibiya hampir menjatuhkan satunya dan satunya memang dijatuhkan.”
"Ah."
Ini membuat mereka terlihat sangat kasihan. Tapi sesaat kemudian, rekan satu tim baru datang dan menyelamatkan mereka dari teror lebih lanjut.
“Tenang, kalian berdua. Ashbury sudah pergi.”
“Hah?”
"Dia sudah pergi....?"
“Melewatkan postmortem, bahkan tidak ganti baju, hanya keluar mengelak dengan seringai di wajahnya. Dia pasti sangat bersenang-senang saat melawan rookie itu. Tampaknya dia benar-benar melupakan kesalahan kalian.”
Rekan setimnya mengangkat bahu, dan kedua pemain bernasib sial itu terkulai ke bangku di belakang mereka.
“Kita selamat....!”
“Terima kasih, Hibiya.... Terima kasih...!”
“Jangan berterima kasih pada musuh! Maksudku, aku mengerti, tapi...”
Seluruh tim mengangguk. Menang atau kalah, baik atau buruk, mereka selalu bergantung pada suasana hati kartu as mereka. Begitulah cara Blue Swallows melakukan sesuatu.
__________
“Nanao, Oliver, kalian datang! Pertandingan yang bagus!”
“Hampir saja! Jika mereka menjatuhkan satu lagi, itu akan jadi perpanjangan waktu!”
Selepas pertemuan, Oliver dan Nanao menemukan teman-teman mereka menunggu di luar. Gadis Azian itu tersenyum.
“Lawan yang kuat, dan pelatihanku terbukti tidak cukup. Aku akan mengasah diriku sehingga aku bisa menang lain kali.”
"Itulah semangat. Potensimu tidak terbatas, Nanao,” kata Chela sambil meletakkan tangannya di bahu gadis itu.
"Jika Kau bergabung dengan kami, keberatan pergi ke kafetaria dan mengambil meja?" Oliver bertanya. "Kami akan menyusul segera setelah kami ganti baju." "Kedengarannya bagus," kata Pete. “Lakukan dengan cepat!” Dia menuju keluar, dan tiga lain mengikutinya.
Saat dia melihat mereka pergi, Nanao berkata, “Mereka semua terlalu baik. Inilah aku, barusaja kalah.”
Nada suaranya turun saat dia berbicara. Oliver berdiri diam di sampingnya saat dia menundukkan kepala, tangannya terkepal erat.
“Kekalahan yang memalukan. Aku tidak pernah punya kesempatan...”
Dia belum pernah melihatnya menyesali sesuatu sejauh ini, tidak sekalipun sejak mereka pertama kali bertemu. Oliver melangkah di depannya dan meletakkan tangan di bahunya. Dia sudah mempersiapkan apa yang harus dikatakan dalam situasi ini jauh sebelumnya.
“Yang penting bukan menang atau kalah. Yang penting kamu selamat dan sehat, Nanao.”
Ini adalah bagaimana perasaan aslinya. Bukan hanya sebagai cathcer tetapi sebagai teman.
“Kamu tidak terbang gila-gilaan, dan kamu jatuh tepat ke arahku. Kau muncul tanpa cedera serius. Menurut penilaianku, itu nilai penuh.”
“.................”
Nanao tidak berbicara sepatah kata pun tetapi hanya menatapnya. Saat mereka berdiri sendirian di aula, ada keheningan panjang. Dan kemudian bibirnya terbuka.
"Lantas..."
“?”
"Kurasa nilai penuh patut mendapat hadiah, Oliver."
Dia berbicara dengan sungguh-sungguh. Sadar akan hal itu, dia berpikir keras, kemudian berdeham, mengambil keputusan—dan merangkulnya.
Parfum yang tersisa sudah lama hilang. Tapi tetap saja nadinya berpacu, dan dia dipaksa untuk mengendalikan diri.
"Apa itu cukup?" Dia bertanya. “Heh-heh-heh.”
Sambil tertawa terbahak-bahak, Nanao menariknya mendekat. Kenyamanan kehangatan satu sama lain membuatnya sulit untuk dilepaskan.
“Sebentar lagi.”
“....”
Dan tanpa dia sadari, dia telah membuang kesempatan untuk mengakhiri pelukan itu. Mereka berdiri diam dalam pelukan satu sama lain selama sepuluh menit.
____________
Makan malam berlangsung meriah, dimeriahkan oleh pembicaraan tentang pertandingan hari itu. Pada saat mereka kembali ke asrama, hari sudah larut. Pete tertidur di atas sebuah buku, dan Oliver menggendongnya ke tempat tidur, menarik selimut untuk menutupinya.
"Selamat malam, Pete," katanya sambil mengusap lembut kepala bocah itu.
Yakin temannya sedang tidur, dia meninggalkan kamar, lalu asrama, dan menuju ke gedung sekolah yang gelap.
Pada jam ini, perambahan meninggalkan garis antara labirin dan sekolah yang tidak jelas. Dia dengan cepat memilih pintu masuk dan terjun ke lapisan pertama. Kegelapan yang mengintai di aula ini membuat tidak mungkin untuk tetap tenang.
"Aku terlambat—aku harus cepat."
Dia memeriksa arlojinya dan mempercepat langkah. Dia merasakan topeng di sakunya. Dia bermaksud mengenakannya begitu dia bertemu dengan rekan senegaranya, tetapi mengingat risiko terlihat sebelum dia mencapai mereka, mungkin dia harus memakainya sekarang.
“Di sini harusnya.”
Dia menemukan sudut terpencil dan merogoh sakunya. Saat jari-jarinya menutup topeng…
“Mm? Oliver....?”
Sebuah suara dari belakang. Jantungnya melompat keluar dari dadanya, dan dia berputar. Apakah itu-? Tapi tidak; itu adalah anak laki-laki tinggi, dalam kantong tidur, di dalam apa yang tampak seperti barrier basic.
"Guy?! Apakah yang kamu-?!"
“Oh... itu Kau, Oliver,” jawab Guy mengantuk. “Saran Kevin. Cara yang bagus untuk membiasakan diri dengan perkemahan labirin... Hei... apa kau barusan menyembunyikan sesuatu?”
Guy menggosok matanya akan tetapi melihat gerakan tergesa-gesa Oliver. Untuk menutupi, dia dengan cepat mengganti topengnya dengan sesuatu yang lain, mengeluarkan sebungkus kue.
“Hanya menggigit sedikit perbekalan. Kau mau?”
“Oh... well, aku.... Terlalu...ngantuk...”
Guy kembali tertidur, tetapi sesuatu tentang caranya berguling mengusik Oliver, dan dia berlutut di samping temannya.
"Tunggu, Guy, biarkan aku melihat punggungmu."
“Mm...?”
Guy melihat ke atas, dengan mata muram; Oliver dengan paksa melepaskan kantong tidur darinya, lalu melepas kemejanya. Tubuhnya dipenuhi luka dan goresan baru.
"Apa ini?!" Oliver terkesiap. “Kau baru saja... mengoleskan salep? Tak ada mantra penyembuhan ?!”
“Ah....ya, itu masalahnya. Aku belum bisa menggunakan mantra penyembuhan. Dan dengan keterampilanku seperti itu, aku tidak akan melewati lapisan kedua tanpa cedera.” “Kalau begitu jangan pergi sendirian! Diam; Aku akan menyembuhkanmu!” Oliver mengeluarkan tongkat, menggelengkan kepalanya.
"Sungguh, kau dan Pete... Dan Katie juga selalu seperti ini. Kalian selalu saja seenaknya, tapi ini jelas terlalu berlebihan. Tidak terjadi ap—”
“Tapi begitu sesuatu terjadi, sudah terlambat. Kau sekarang harus melatih dirimu, atau Kau akan tidak berdaya ketika ada masalah.”
Guy membelakangi Oliver, membiarkan sihir penyembuhan bekerja. Suaranya suram.
“Turun ke lapisan kedua membuatnya sangat jelas bagiku. Aku tahu betapa berbahayanya kalian semua dan betapa gilanya kalian kembali dengan selamat ... belum lagi betapa lemahnya aku.”
“.....”
“Aku tidak bisa mengejarmu yang mengejutkanku. Jadi biarkan aku pergi terlalu jauh. Selama itu tidak membunuhku, kan? Dan lain kali...”
Dia melingkarkan lengan di kepala Oliver. Saat dia menarik temannya mendekat, suara Guy semakin keras.
"Lain kali, aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian."
Ini jelas merupakan motivasi utama Guy. Lengan di lehernya membuat Oliver sangat menyadari hal itu, dan dia tersenyum. “Kamu sudah cukup matang, Guy.”
“Aduh, diam. Ini masalah pria. Bisa kan."
“Benar, aku sendiri tidak pernah keberatan sedikit bekerja keras.”
Dia mengangguk dan dengan lembut membebaskan dirinya, berdiri.
"Maaf aku membangunkanmu," Oliver meminta maaf. “Tetap saja, jika kamu akan berkemah di sini, letakkan garis alarm lebih jauh. Dan jangan terlambat masuk kelas.” “Kamu mengerti. Namun, menggambar ulang itu sangat menyebalkan...” Tapi anak laki-laki itu mulai memperbaiki lingkaran sihirnya.
Oliver pergi, marah pada dirinya sendiri karena gagal menyadari Guy terbaring di sana. Kacau. Kesalahan seperti itu bisa merugikanmu.
__________
Dia berjalan cukup lama, akhirnya mencapai sebuah ruangan di luar lorong—tempat pertemuan yang telah diatur sebelumnya. Semua rekan-rekannya berkumpul.
"Oh, ini dia, Yang Mulia."
Kelompok yang terdiri dari enam orang itu termasuk Gwyn, Shannon, Teresa—dan gadis kelas tujuh yang blak-blakan yang menghadiri pertemuan terakhir. Dia menatapnya seolah tengah menilainya.
“Tidak dalam suasana hati yang terbaik di sana, ya? Apa kau akan baik-baik saja? Malam kita akan panjang, Kau tahu. Bisa jadi sulit untuk tahun kedua.”
Pertanyaan yang blak-blakan, perhatian dan sikap merendahkan yang setara. Dia tahu itu tetapi hanya menggelengkan kepalanya, tidak mendebat. Dia pikir wajar saja jika siswa yang lebih tua akan merasa seperti itu. Dan cara terbaik untuk mengubah pandangan mereka adalah dengan menunjukkan apa yang bisa dia lakukan.
“Tidak,” kata Shannon. Semua memperhatikannya. Tapi dia tidak bisa membiarkannya memanjakannya. Dia bukan kakaknya; dia adalah tuannya. Bahkan jika dia masih harus mengingatkan dirinya sendiri tentang itu.
Yakin lokasinya bersih, dia mengeluarkan topeng dan memakainya. Kemudian dia mengambil tempat sebagai kepala kelompok, berbicara dari balik bahunya.
"Ayo. Mari kita amati medan pertempuran. ”
Dia berangkat, dan rekan-rekannya mengikuti. Mereka melebur ke dalam kegelapan labirin. Tidak ada seorang pun di sini yang menunjukkan keraguan—bahkan jika dalam waktu yang tidak terlalu lama, kegelapan ini mungkin akan menelan mereka.
END
Post a Comment