Update cookies preferences

Sabikui Bisco Vol 1; 2

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Jalanan sempit kota bawah dipenuhi dengan rumah bordil religius dengan nama-nama seperti Pembebasan Daging dan Ekstasi dan Rapture. Neon norak mereka ada di mana-mana, dan udara berbau minyak goreng dan parfum murahan.

Terdapat keranjang yang diisi sampai penuh dengan yuzu gunung dan ular manis mandarin, toko yang menjajakan cermin dan boneka daruma untuk peruntungan, kuali untuk mencampurkan kutukan dan pembakar dupa pengusir setan, yang keasliannya masih sangat diragukan. Di sebelah mereka, sebuah stan penuh dengan volume manga usang hasil galian reruntuhan. Di sampul depan, seorang anak laki-laki yang tersenyum melompat ke udara, berpose kuat dengan penuh energi.

Suara para pedagang yang menjajakan barang dagangan terdengar di jalan, dan kerumunan yang ramai itu masih lebih keras. Tempat ini jauh dari kesan peradaban kota. Namun Milo agak menyukai jalanan ramai ini. Dengan tudung ditarik rendah, dia berjalan melewati kerumunan dengan mudah. Dia melewati beberapa rumah bordil sebelum tiba-tiba berbelok ke gang yang tiba di warung makan yang menjual roti kukus. Aroma tercium dari gerobak bersama awan uap putih yang mengepul membuat nafsu makannya meningkat. Milo mengatur napas sebelum memeriksa uang di sakunya dan menyembulkan kepalanya melalui tirai kecil.

"Selamat malam."

"Selamat datang. Ah, Dokter!” Pemiliknya mematikan rokok yang ia hisap dan tersenyum pada wajah yang dikenalnya. “Sedikit terlambat ya. Aku sudah menyisakan dua buaya untukmu.”

“Hari ini... Hmm, ayo kita lihat. Aku akan ambil dua udang mantis juga, kumohon,” terdengar suara lembut dan menyenangkan dari seberang tenda. “Kakakku hari ini sudah baikan, dan aku ingin dia makan selagi bisa.”

"Well, itulah yang terpenting," jawab pemilik stan, membuka penanak dan melepaskan riak kepulan putih. “Tidak ada penyakit yang tak bisa disembuhkan dengan roti kukusku dan keahlian medismu. Ini, dua daging buaya dan dua udang.”

Milo tersenyum dan mengambil bungkusan yang berisi roti itu. Kemudian dia merendahkan suaranya seolah-olah untuk memastikan tidak ada yang mendengar dan berbisik di telinga pemilik stan.

"Apakah Kau memiliki... eh, barang itu?"

"Ya. Kau benar-benar aneh, Dokter. Yah, sepertinya aku tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan barang-barang itu. Kukira paling baik menyerahkan ke tangan terampilmu.”

Pemilik stan mengambil beberapa jamur dari belakang meja dan mengulurkannya. Ketika Milo mengangguk, dia membungkusnya dengan kertas dan memberinya bingkisan.

“Jangan biarkan mereka memergokimu. Jika Kau sampai tertangkap, tamatlah kota ini.”

"Terima kasih! Tidak banyak, tapi ini....”

“Ambil saja uang itu, Dokter. Kau tidak meminta apa pun ketika membantu putriku... "

Milo tersenyum dan menempelkan jari ke bibirnya sebelum memasukkan koin ke dalam saku dada pemilik stan.

“Mampirlah saat kehabisan obat,” kata Milo. “Pada hari Rabu, setelah gedung dewan...”

Sebelum dia bisa selesai bicara, sesuatu yang kecil bergegas keluar dari bayang-bayang menuju ke arahnya dan menyambar sekantung roti kukus dari tangannya. Milo terlempar ke samping dan melakukan kontak mata dengan sosok itu saat dia berbalik untuk menengok ke belakang dari balik bahunya. Itu seorang anak kecil, mengenakan pakaian compang-camping, dengan rambut acak-acakan, tetapi sorot matanya membara. Anak itu berlari ke jalan utama, melebur ke kerumunan.

"Tunggu....!"

"Maling! Hentikan anak itu!” teriak pemilik stan. Tapi bahkan sebelum dia selesai, Milo berlari ke kerumunan untuk mengejarnya. Dia dengan cekatan mengarungi lautan manusia, mengejar anak itu. Terkejut dengan skill pengejarnya, pencuri itu membalikkan gerobak oranye, mengirim buah-buahan, sebelum berlari di sepanjang bagian atas stan dan menghilang ke gang samping. Beberapa saat kemudian, Milo berbelok di tikungan dan berhenti.

“Jalan buntu?”

Milo menyipitkan matanya dan mulai mengintip ke balik bayangan gelap jalan belakang, ketika....

“Raargh!”

Anak kecil itu tiba-tiba melompat dari atas ke arahnya, memukul kepalanya dengan tongkat kayu. Milo terhuyung-huyung, berjongkok dan memegangi kepalanya yang kesakitan.

“Awww....!”

“....! Kau... wanita?!”

Anak itu goyah, dan Milo memanfaatkan kesempatan itu dengan mengulurkan tangan dan meraih lengannya.

"Tidak ada yang memukul seorang wanita dan lolos begitu saja," dia merengut, mendekatkan wajahnya, sebelum menarik tudungnya dan tersenyum. “Jadi untungnya aku laki-laki, ya? A-ha-ha!”

Dia adalah seorang pria muda yang cantik, dengan raut kerubik. Mata nilanya yang besar dipenuhi dengan kebaikan dan kebijaksanaan, dan dia memiliki kulit putih pucat dan rambut biru langit yang lembut seperti sutra. Dia tidak terlihat jauh lebih tua dari enam belas atau tujuh belas tahun, dan dengan tubuhnya yang ramping dan suaranya yang lembut, tidak heran jika anak itu mengiranya sebagai seorang wanita. Satu-satunya cacat pada kecantikannya adalah tanda hitam di sekitar mata kirinya yang memberinya penampilan tidak biasa, hampir lucu dan membuatnya mendapat julukan Dr. Panda di kalangan warga kota.

"Kamu pernah disengat lalat kalajengking, ya?" katanya, mengangkat poni anak itu dan memperlihatkan bengkak biru di dahinya. “Kayaknya. Aku melihat sekilas itu sebelumnya. Sepertinya sengatnya masih menempel. Jika racunnya menyebar, Kau bisa buta. Ke sini sebentar.”

“Hei, lepaskan aku! Apa yang kamu lakukan?" teriak anak itu, tapi Milo tidak menerima penolakan. Dia menarik anak itu mendekat, menjentikkan sakelar pada pisau bedah termalnya dan dengan ringan mengiris dahi anak itu, membuat darah dan nanah menetes ke bawah. Kemudian dia meletakkan bibirnya di atas luka dan mengisap sengat lalat kalajengking itu. Setelah selesai, dia mengambil sebongkah kecil minyak ubur-ubur, melelehkannya di pisau pisau bedahnya, dan mengoleskan salep hitam ke area yang tersengat sebelum dengan cepat melilitkan perban di sekitar kepala anak itu.

"Dan, selesai!" katanya sambil menepuknya. “Kalau mulai bengkak lagi, mampirlah ke tempatku. Klinik Panda; Kau lurus ke jalan ini dan belok kanan, dan di sebelah toko perangkat keras.”

Meski saat ini, kota-kota seperti ini mulai menunjukkan tanda-tanda menghidupkan kembali masa lalu, masih tidak jarang masyarakat memperlakukan nyawa manusia sebagai sesuatu yang harus dibuang dan meninggalkan mereka yang tubuhnya telah mengecewakan mereka. Orang-orang dengan pengetahuan medis sangat berharga, dan Milo adalah salah satunya, memiliki keterampilan yang sangat baik meskipun usianya masih muda.

“Mi-mister...,” kata anak kecil itu, menempel di kaki celana Milo dan menatapnya dengan gugup. “Erm... I-ini...” Dia menyodorkan sekantung roti kukus, tapi Milo mendorongnya kembali ke tangannya dan menepuk kepala anak itu.

“Roti buaya adalah favoritku. Kau akan menyukainya. Sekarang, pergilah, cepat pergi dari sini!”

Milo menyuruhnya pergi, anak itu menoleh ke belakang beberapa kali sebelum menghilang ke jalan yang ramai. Milo memperhatikannya pergi, mendesah puas, menarik kerudung, dan berbalik.

Melihat sepasang mata hitam besar menatap tajam ke arahnya dari kegelapan.

Milo melompat dan mundur selangkah karena terkejut saat seorang pria melangkah ke dalam cahaya, menyesuaikan pinggiran topi fedora-nya. Ada sekitar dua meter jarak di antara mereka, tetapi pria itu begitu mengesankan sehingga Milo merasa seolah-olah dia muncul tepat di hadapan hidungnya.

“Umumnya,,, aku menemukan filantropi sebagai isyarat kepuasan diri yang tak ada gunanya, mirip dengan pria gemuk yang mengeluarkan acar dari hamburgernya yang kemudian melemparkannya ke anjing,” katanya. “Tapi kau berbeda, Milo. Kau memberikan sesuatu yang Kau butuhkan, kepada orang-orang yang tidak ada hubungannya denganmu. Itu sangat mengagumkan. Bunga cantik di dunia yang busuk. Jika ini sebuah film, aku akan menyebutnya klise.”

Di sekelilingnya ada beberapa pengawal, mengawasi dengan cermat sudut-sudut gang. Mereka mengenakan topeng Immie, maskot kota, dan bahkan di jalan-jalan pusat kota Imihama yang eksentrik, pria-pria berbahu bidang itu tampak sangat aneh dimana mereka semua terpampang dengan senyum kartun yang sama.

Pria itu melambaikan tangannya, dan semua pengawal mundur selangkah.

“Ah, kurasa agak kurang pantas bagiku untuk menyebut kotaku sendiri sebagai dunia busuk, bukan?”

"Gubernur...!"

“Tidak perlu terlalu seformal itu, Milo. Tolong, panggil aku Kurokawa.” Kurokawa melangkah ke arah Milo dan menyingkirkan tudungnya. “Astaga, kecantikanmu membuatku takjub setiap melihatnya. Pernahkah Kau mempertimbangkan untuk berhenti dari profesi medis dan menjadi aktor? Sekedar bilang. Omong-omong, bagaimana mesin peracik obat yang baru dikeluarkan untukmu?”

“Ah... bagus kok, terima kasih....” Milo terlihat tidak nyaman saat Kurokawa menatapnya. "Maaf tapi aku harus pergi; kakakku menungguku di klinik....”

"Ah, tapi tentu saja," kata Kurokawa. “Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu dokter terhebat di seluruh Imihama. Aku juga tidak akan berani mengabaikan pentingnya kesehatan pemimpin Pasukan Sukarela, Pawoo Nekoyanagi.”

Dia berbicara dengan suara rendah dan tidak tergesa-gesa, tanpa pernah mengalihkan pandangan Milo, dan wajahnya muram meskipun nadanya asal-asalan.

“Namun, itu menimbulkan pertanyaan,” lanjutnya. “Mana yang lebih membuang-buang waktu: duduk bersamaku, makan kacang dan mendebatkan karakter manga mana yang akan menang dalam pertarungan, atau bekerja keras untuk menyelamatkan kakak yang tidak dapat disembuhkan?”

“Gh!”

Kurokawa telah melewati batas, dan Milo menatap mata hitam gelapnya dengan semua kebencian di jiwanya. Namun, kemarahan itu bahkan tidak setetes pun di lautan kegelapan yang tampaknya berasal dari keberadaan Kurokawa.

"Sudah waktunya untuk menyerah pada sandiwara pria sok heroik, Dokter."

Kurokawa tersenyum padanya untuk pertama kalinya, jika putaran bibirnya seperti itu bisa disebut demikian.

“Tindakanmu memang mengagumkan tapi pada akhirnya sia-sia. Tidak peduli seberapa keras Kau bekerja keras untuk menyelamatkan mereka, manusia akan mati tanpa uang. Hal yang sama berlaku untuk anak itu. Kau hanya memperpanjang penderitaan mereka!”

Kurokawa meraih kerah baju Milo dan menatap mata dokter baik hati itu. Milo sepertinya siap untuk menangis.

“Bekerjalah untukku, Dokter! Dengan keahlianmu, kami dapat merawat lebih banyak pasien, orang-orang kaya dari luar tembok kota! Akan menghasilkan banyak uang, cukup untuk semua obat yang Kau butuhkan! Dengan begitu kau bisa...” Kurokawa melihat keraguan di mata Milo yang berlinang air mata. “Kau bisa menyelamatkan kakakmu....”

Tiba-tiba, suara jeritan bergema dari arah bioskop di jalan yang diterangi lampu neon. Sama seperti kerumunan besar tamu keluar dari pintu, terdengar boom hebat! saat jamur besar membelah gedung itu, menghancurkan papan neon besar menjadi dua.

"Gubernur!"

"Apa itu tadi....?"

Pengawal Kurokawa segera mengerumuninya, mendorong Milo ke samping. Jamur meledak melalui atap penjual ikan, toko barang bekas, rumah bordil, satu demi satu, topi warna-warni mereka menyebarkan spora ke mana-mana saat orang-orang berlarian dengan berteriak. Dari topi ke topi, bayangan berbentuk manusia melayang di langit. Saat orang-orang melihatnya, mereka menatap ke udara dan menunjuk-nunjuk.

“Pelindung jamur!” “Ada Pelindung jamur di kota!” “Jangan sentuh sporanya; kalian akan tertular karat!”

Suara-suara berteriak dalam kebingungan. Dalam sekejap, jalan utama telah berubah menjadi kekacauan. Dari kerumunan datang sejumlah pria berkepala kelinci berotot yang bertindak sebagai pengawal Kurokawa. Mereka memegang satu lagi dari jumlah mereka, yang tertutup jelaga dari ujung kepala sampai ujung kaki. Yang ini terlihat lebih ringan, dan dari balik topeng itu terdengar suara bernada tinggi.

"Hai! Lepaskan aku! Aku bisa berjalan, kataku! Eek! Kau pikir apa yang kau sentuh?!”

Orang asing itu berhasil menembakkan rentetan pelecehan verbal sebelum pengawal melemparkannya ke lantai di depan Kurokawa.

“Aduh! Jadilah sedikit lebih lembut, ya?! Oh, Paman Kurokawa! Haha... Astaga, kamu terlihat gagah malam ini; apakah itu topi baru?”

Wajah Kurokawa tanpa emosi. Dia meraih telinga kepala kelinci itu dan menariknya.

“Pwah!”

Ledakan kepang jatuh di wajah gadis itu. Sisa rambutnya dipotong pendek di sekitar poni dan bagian belakang lehernya, menyerupai ubur-ubur merah muda. Dia memiliki penampilan yang agak licik, tetapi mata kuningnya besar dan cerah, seperti mata kucing, dan dari penampilan saja, dia tampak seperti wanita muda yang relatif manis.

"Erm, dengar... Ini tentang pria Akaboshi itu...," dia memulai, menatap Kurokawa dengan mata terbalik, meskipun tekanan yang dia pancarkan menyebabkan butiran-butiran keringat menetes di leher rampingnya. “Kau tahu bagaimana kau menyuruhku untuk membunuhnya? Yah... entah kenapa dia lolos... dan kemudian masuk ke kota.”

“Aku bisa melihatnya, bodoh. Kau memiliki pesawat tempur. Bagaimana Kau bisa gagal membunuh satu orang?”

“Ak—aku berhasil membunuh pria tua yang bersamanya! kurasa... Maksudku, aku menembaknya sampai sangat telak... Ack! Ack!”

Kurokawa dengan dagu menunjuk ke seorang pengawal, yang mengeluarkan sebotol air. Gadis lemah berambut merah muda itu menenggaknya seolah nyawanya bergantung padanya.

“Fiuh! Tapi si Akaboshi itu, biar kuberitahu! Kau bisa lebih memperingatkanku tentangnya! Kamu bilang dia punya busur, bukan... entah apa namanya! Itu langsung menembus isi perut Pesawat Escargot seperti... sambaran petir, atau semacamnya!”

“Hei, apa itu benar? Akaboshi berhasil menjatuhkan Pesawat Escargot dengan busur dan anak panah?” bisik pengawal di dekatnya saat Kurokawa mengelus jenggotnya dengan penuh ketertarikan.

"Tampaknya dia mencoba melarikan diri ke utara menuju biro," kata seorang pengawal. "Dia tidak akan pergi jauh."

“Aku tidak ingin Pasukan Sukarela sampai mengalahkan kita. Temukan duluan dan habisi dia. ” Saat Kurokawa bicara, dia tiba-tiba berhenti untuk berpikir, lalu melanjutkan. “Bagi jadi dua kelompok. Tujuh puluh persen dari kalian mencari di area sekitar kantor. Tiga puluh persen sisanya, cari di jalanan.”

"Ja-jalanan?" tanya salah satu dari mereka dengan gugup, tapi tatapan tajam Kurokawa membuatnya diam, dan dia membungkuk dengan tergesa-gesa dan bergegas ke atap seperti pemain akrobat, sebelum pergi mengejar jejak jamur.

“Erm... Tuan Kurokawa? Bagaimana dengan pesawatku? Itu lumayan mahal, kau tahu...”

"Tentu saja, sayang. Aku akan menambahkannya ke pembayaran asuransi jiwamu.” Kurokawa mengambil pistol dari saku dalamnya dan menyerahkannya padanya. “Untuk saat ini, ambil ini dan bergabunglah dengan yang lain mencari di jalanan. Mereka totalnya berjumlah dua puluhan orang.”

"Hah? Apaaaa?! Maksudmu, seperti, melawan Akaboshi sendiri? Dengan benda kecil ini?”

“Ingat siapa yang membayar gajimu, sayang. Tentu saja, jika Kau tidak mau, aku selalu bisa membuatmu digantung karena melanggar kontrak. Mana yang lebih kamu suka?"

“Bedebah licik...!” gumam gadis ubur-ubur itu, menggigit bibirnya, sebelum mendorong dirinya sendiri dan berlari keluar dari gang. Beberapa pengawal berkepala kelinci mengikutinya, membuat pejalan kaki mengikuti mereka.

(gadis ubur-ubur; gadis yang terlihat lemah)

“Aku harus berbicara dengan Markas Pusat tentang proses perekrutan mereka...,” kata Kurokawa, mengangkat bahu. “Well, kemana anak kesayanganku pergi?”

Tapi Milo berhasil lolos dari Kurokawa dan melarikan diri ke kerumunan orang tanpa diketahui. Sebelum pergi, dia melihat ke belakang untuk terakhir kalinya, hanya untuk dengan cepat menarik dirinya ke samping saat tatapan seperti laser Kurokawa menyapu ke arahnya. Kemudian dia berlari sampai ke ujung jalan dan menghilang di tikungan.

"Haruskah kita mengejarnya, Gubernur?" tanya seorang pengawal.

"Hmm, tidak, kurasa tidak perlu," kata Kurokawa. “Aku hanya bersenang-senang dengannya hari ini. Tapi maksudku, sungguh, sekarang. Lihat semua ini...”

Dia berbalik untuk menatap reruntuhan bioskop favoritnya, atapnya dipenuhi jamur, dan tertawa terbahak-bahak.

“Kamu benar-benar melakukannya sekarang, Akaboshi. Aku menantikan maraton Star Wars besok.”

“Apakah itu film sci-fi, Pak?”

Kurokawa bahkan tidak melirik pengawal yang mencoba menghiburnya dengan obrolan ringan. "Yah, tidak masalah," katanya, menyesuaikan topi dan berjalan pergi. “Sepertinya aku akan cukup sibuk dengan pekerjaan kedepannya.”

Post a Comment