Update cookies preferences

Sabikui Bisco Vol 1; 3

Seperti yang Kau lihat, hutan jamur bermunculan di Gurun Besi, hanya sepuluh kilometer dari perbatasan barat. Aksi terorisme jamur telah dilaporkan di Gifu, Tagakushi, dan yang terbaru, Gunma, sejak awal Juni. Pihak berwenang Imihama mencurigai bahwa kejahatan itu dilakukan oleh satu orang dan telah meminta agar Gunma membagikan apa pun informasi yang mereka miliki mengenai si teroris. Namun, Prefektur Gunma telah mengumumkan bahwa teroris, salah satunya adalah Bisco Akaboshi, telah terbunuh di perbatasan selatan baru beberapa hari yang lalu, dan muncul pertanyaan apakah informasi palsu ini dirilis dengan sengaja, dan jika demikian, siapa yang harus disalahkan...?

Di ruangan gelap, televisi memancarkan cahaya pucat yang berkedip-kedip ke kulit wanita di ranjang rumah sakit. Dia adalah gabungan kecantikan dan kekuatan, anggota tubuhnya yang panjang dan elegan masih dengan lembut menonjol dengan otot halus, seperti macan kumbang. Wajahnya mulai lelah, tapi meski begitu, ekspresi tekad yang menggelitik muncul di matanya.

Namun, kecantikannya dirusak oleh Karat yang menutupi separuh tubuhnya, menempel di kulitnya seperti nasi yang dibakar. Dari paha kiri, itu merangkak ke atas tubuhnya, di atas dadanya dan ke atas, dengan lembut melingkari leher dan memberikan bayangan berwarna karat yang kejam di atas wajah sempurnanya. Dari satu pandangan di wajahnya, jelas bahwa penyakitnya sudah berada dalam tahap akhir.

Bulu matanya berkibar saat dia berkedip dan berbalik dari televisi, melepaskan infusnya. Dia bangkit dari tempat tidur dan berdiri tegak, membiarkan rambut hitam panjangnya jatuh tergerai di pinggangnya. Langkah kakinya yang telanjang bergema di sekitar ruangan saat dia berjalan ke sebuah tongkat yang bersandar di dinding dan mengambilnya dengan tangan. Itu adalah tongkat besi biasa, sedikit lebih dari batang logam heksagonal, hampir setinggi wanita itu sendiri dan beratnya lebih dari lima kilogram. Itu bukan senjata seorang wanita.

Tapi dia mengayunkannya dengan kelincahan luar biasa, menebas udara dengan kekuatan yang cukup untuk membuat tirai terbang. Ruangan itu mulai berderit dan mengerang, meskipun tongkat itu tidak terlalu banyak menyerempetnya. Lalu dia menarik napas dalam-dalam dan mengayunkannya lagi, dan lagi. Merobek udara, rambutnya berhamburan, seolah-olah menari-nari dengan marah, saat seluruh gedung bergetar ketakutan, sampai dia memberikan satu dorongan terakhir, berhenti hampir dua sentimeter dari monitor TV.

Pemberitahuan darurat muncul di berita. Reporter itu bergegas mengucapkan kata-katanya saat gambar jalanan di Imihama yang dipenuhi jamur muncul di layar, diselingi dengan rekaman buram si pelaku yang berambut merah saat dia melarikan diri melewati atap rumah.

"Pelindung jamur," kata wanita itu pada dirinya sendiri, sama sekali tidak terganggu. “Momok wilayah. Kalian di awaktu yang tepat. Wabah kalian belum membunuhku. Aku masih bisa bertarung...!” Suaranya yang dalam mengeluarkan amarah tak terkendali.

Pendapat populer menyatakan bahwa jamur merupakan sumber Karat, dan pembasmian mereka bersama dengan Pelindung jamur yang membantu menyebarkannya adalah misi utama dari kurang lebih setiap organisasi bersenjata akhir-akhir ini. Dan wanita ini, Pawoo Nekoyanagi, adalah kapten dari salah satu organisasi semacam itu, yang dikenal sebagai Pasukan Sukarela Imihama.

“Pawoo! Kamu memadamkan semua lampu lagi!”

Saat Milo memasuki ruangan, batang besi itu merobek udara sekali lagi, menghentikannya beberapa milimeter dari hidungnya. Kekuatan ayunan itu mengacak-acak rambut biru langitnya. Sementara Milo berdiri di sana, membeku ketakutan, Pawoo menjatuhkan tongkat dan mendekatkan wajahnya ke wajahnya.

“Kau terlambat, Milo.”

Kemudian senyum licik muncul di bibirnya, dan dia melingkarkan lengan di sekelilingnya, menariknya erat-erat ke dadanya.

“Tunggu.... Pawoo... Tidak bisa...bernafas...”

“Apa ada pelacur yang merayumu lagi? Karena itulah aku menyuruhmu memakai tudung kali ini.”

"Tidak, bukan itu," kata Milo, entah bagaimana berhasil membebaskan kepala dari cengkeramannya dan melemparkan tatapan mencela. “Aku melihat anak kecil dengan sengatan lalat kalajengking, jadi Kau tahu... Tapi kemudian Pelindung jamur muncul—di Jalan Karakusa! Itu menakjubkan! Tiba-tiba ada jamur besar ini, dan....”

"Kamu tidak boleh membuat pasienmu khawatir, Milo," katanya, menariknya lebih dekat ke tengah kalimat, sebelum tertawa manis seolah kedewasaannya sebelumnya adalah sebuah sandiwara dan menambahkan, "Belum lagi kakakmu."

Pawoo Nekoyanagi, pemimpin dan petarung terkuat Pasukan Sukarela Imihama, dan adiknya, Milo, sihir medis Klinik Panda. Orang mengatakan mereka adalah dua mutiara yang jatuh ke Imihama dari Surga. Ketika ditempatkan bersebelahan, orang dapat melihat kemiripan antar keluarga, tetapi kedua kakak beradik itu memiliki aura yang sangat berbeda. Si kakak dibekali murka iblis, si adik berhati malaikat, seolah-olah Tuhan menugaskan mereka masing-masing lawan jenis.

Milo merasa kakakny bersikap berbeda hari ini, dan ada rasa sakit yang aneh di ulu hatinya. Jadi dia membiarkan dirinya dipeluk olehnya, merasakan lengannya yang kuat namun lembut di sekelilingnya. Sesekali, sentuhan lembut kulitnya tergantikan dengan logam kasar dan gesekan yang membuat hati Milo sakit.

Tiba-tiba, alarm berbunyi dari saku seragam yang tergantung di dinding, dan sebuah suara bisa terdengar berteriak di balik kebisingan latar belakang.

“Dalam pengejaran kriminal yang melarikan diri ke arah timur menuju area biro. Bagian dua, regu tiga sampai delapan, waspada. Kami ulangi...."

Pawoo menjatuhkan adiknya, melangkah ke dinding dan menyambar peralatannya.

“Ini Akaboshi Pemakan Manusia. Kena kau.”

“Pawoo!”

Pakaiannya terdiri dari setelan kulit full-body yang menutup lehernya, selendang yang terbuat dari serat keramik, dengan seragam Pasukan Sukarela yang menutupi bagian atasnya. Itu adalah armor yang akan menahan setiap pedang atau peluru nyasar tanpa banyak kesulitan. Untuk melengkapi semua ini, dia mengenakan sepasang pelindung kaki baja dan menyisir rambutnya yang panjang ke belakang untuk melengkapi sebuah kopiah besar seperti pelindung yang melindungi dahinya. Dalam beberapa saat, dia adalah Pawoo si wanita pejuang, pahlawan Penjaga Imihama.

“Pawoo, jangan! Kamu harus istirahat!” Milo memohon, menempel padanya. "Karat hampir sampai di hatimu! Apa lagi yang lebih penting daripada nyawamu?!”

“Nyawamu, Milo. Kunci semua pintu. Bahkan jika Gubernur sendiri yang datang, Kau tetap di dalam. Paham?"

“Kamu yang harus tetap di dalam, Pawoo! Terlalu berbahaya!"

Mata Pawoo melebar untuk sesaat. Milo tidak pernah hilang kesabaran atau meninggikan suara padanya, namun sekarang dia berdiri dengan api di matanya, menghalangi pelariannya.

“Kamu selalu mempertaruhkan nyawamu untukku, tanpa berhenti memikirkan bagaimana perasaanku! Well, tidak kali ini! Kau akan kembali ke tempat tidur! Aku akan bicara dengan Pasukan Sukarela!”

“Kau tidak akan membiarkanku pergi? Tidak peduli apa yang aku katakan? Tidak peduli apa yang terjadi?”

“Kapan Kau pernah mendengarkan perkataanku, Pawoo? Sekarang giliranku yang keras kepala!”

"Jadi begitu. Terima kasih, Milo....”

Milo membeku ketika Pawoo mengulurkan tangan dan dengan lembut membelai wajahnya. Dia menatapnya dengan kasih dan kesedihan di matanya, dan kemudian...

Bam! Dia melepas pukulan cepat dan tajam ke bagian belakang lehernya, dan tubuh Milo ambruk. Menangkapnya dalam pelukan, dia membaringkannya di tempat tidur.

Siapa yang akan melindungimu setelah aku pergi? Siapa yang akan membuatmu aman dari Karat, dari kekejaman, dari kejahatan?

Aku belum boleh mati, Milo. Aku akan berjuang sampai nafas terakhirku untuk mencegah dunia ini menyarungkan taringnya padamu.”

Untuk beberapa saat, dia duduk di sana, membelai wajah cantik adiknya yang sedang tidur, sebelum alat komunikasi di sakunya kembali berdering. Tanpa mendengarnya, Pawoo berdiri dan berlari keluar dari klinik dan ke jalanan, seragamnya menari-nari di belakangnya.

________

"Kakak macam apa yang menggunakan seni bela diri pada adiknya sendiri ?!"

Tidak lama kemudian Milo tersadar. Saat dia melihat ke pintu klinik yang terbuka, dia menghela nafas dengan putus asa.

Tidak, hari ini aku harus...!

Milo berlari ke ruang obat dan menguncinya dua kali, sebelum mencari-cari di saku mantelnya. Dia mengeluarkan beberapa potongan jamur, meskipun orang lain terganggu oleh teroris di jalanan. Saat dia mengatur spesimen warna-warni di mejanya, matanya berbinar.

“Aku belum pernah melihat spesies ini sebelumnya! Salah satu dari ini pasti salah satunya....!”

Milo meletakkan tas kulit usang di atas meja dan membuka kunci rumitnya. Di dalamnya terdapat mesin yang tampak kasar dengan tiga silinder tebal dan kabel yang berantakan. Milo menyalakan api dan menambahkan potongan jamur bersama dengan beberapa larutan ke dalam silinder. Kemudian, dengan jari gemetar, dia mulai bergerak.

________

Seperti yang telah Kurokawa singgung, pemerintah menawarkan obat yang dapat mencegah Karat. Namun, obat itu mahal dan perlu diminum secara teratur. Itu bukan sesuatu yang biasanya bisa dilakukan oleh dokter kota tua seperti Milo.

Tapi Milo berbeda. Dia bekerja untuk merekayasa balik obat—tindakan pengkhianatan tertinggi, belum lagi hampir mustahil tanpa pengetahuan farmasi terkini. Hanya Milo, dokter jenius Klinik Panda, yang bisa berharap untuk mengungkap rahasianya.

Dia telah mencoba segala macam bahan yang bisa dibayangkan dalam usahanya untuk menyelamatkan nyawa kakaknya. Dan sekarang dia yakin bahwa rahasianya terletak pada jamur ini. Momok nasional dan sumber Karat, menurut orang biasa.

"Oke. Ini dia. Bagaimana dengan ini...?"

Di dalam tabung menggelegak cairan hijau kental. Milo sedikit menuangkan ke punggung tangan dan mengendusnya, mengangguk senang.

Fiuh. Mari kita biarkan udara masuk.

Itu adalah malam Juli yang panas dan lembab. Menyeka keringat di dahinya dengan lengan baju, Milo bangkit dan menoleh ke jendela.

Jendelanya terbuka...?

Angin berhembus memasuki jendela yang sudah terbuka, membelai rambut biru langitnya dan mengguncang tirai. Seberkas cahaya pucat menerangi papan lantai. Milo tiba-tiba mulai merasa khawatir dan diam-diam melirik ke belakang bahunya.

“....”

Tiba-tiba, dia membeku, diliputi oleh ketakutan yang tidak bisa dimengerti.

Ada seseorang di sana....!

Dua lampu zamrud balas menatapnya dari bayang-bayang dengan rasa ingin tahu yang haus darah, seperti predator yang mengincar makanan berikutnya. Milo sama sekali tidak bisa bergerak atau bahkan memalingkan muka.

“.....”

“Jamur kulit kerang tidak bagus dalam pengobatan. Lebih baik dimakan.”

"Ah...!"

"Apa kau bisa meracik obat?" kata suara itu saat pembawanya berjalan keluar dari bayang-bayang dan menuju cahaya malam. Hembusan dari jendela mengibaskan rambut merahnya, dan Milo mendapati dirinya tetap tidak dapat menggerakkan ototnya. Pria itu seperti binatang buas. "Well?"

"Hah? Apa?"

“Ini adalah ruang persembunyian ya. Ini jamur terkuat yang aku miliki. Apa kau bisa membuat sesuatu dengannya?”

Pria berambut merah itu mengeluarkan jamur ungu dan mendorongnya ke arah Milo.

“Kamu pasti dokter yang hebat. Dari tiga orang yang aku ancam, ketiganya merekomendasikanku untuk datang ke sini.”

“Aku—aku tidak bisa!” protes Milo. “Membuat obat-obatan yang tidak sah adalah pelanggaran hukum!”

"Tapi kamu baru saja melakukannya, bukan?" pria itu menjawab.

“Ah, um...!”

“Maaf, tapi aku tidak punya waktu untuk ini. Jika banyak bacot lagi, aku akan membunuhmu. ”

Suara kasar pria itu diwarnai dengan kepahitan. Itu sudah cukup untuk membuat Milo gemetar... Lalu dia tiba-tiba mencium sesuatu yang lain, datang dari punggung pria itu.

“Baunya seperti peluru korosif Salmo... Apa kau terkena tembakan Pesawat Escargot? Itu gawat; kau tidak bisa membalutnya begitu saja...!”

"Apa...?"

"Kamu butuh lebih dari obat untuk mengatasinya!" Milo berteriak. Ketakutannya dengan cepat runtuh saat mode dokter mengambil alih dirinya. “Jika peluru itu tidak dikeluarkan, korosi tidak akan berhenti. Obat saja tidak akan cukup. Kau harus membiarkanku mengoperasimu sekarang juga!”

"Bukankah sudah kubilang aku akan membunuhmu jika kamu banyak bacot?"

“Kalau begitu bunuh saja aku. Tapi jika dia tidak menerima perawatan, kakek itu akan mati!”

Pria berambut merah itu tampak terkejut dengan semangat dadakan Milo. Dia tentu tidak menyangka bahwa, bahkan di ruangan yang gelap sekalipun, Milo dapat melihat bahwa rekan pria itu sudah tua; dan hanya dari bau mesiu, dia bahkan tahu jenis peluru apa yang dia pakai. Dia berpikir sejenak, membelai dagu, sebelum menjawab.

"Oke. Baiklah. Tapi racik obatnya dulu. Berapa lama?"

"Tergantung, biasanya paling tidak dua puluh menit," kata Milo sambil duduk di meja.

"Mereka akan sampai di sini dalam sepuluh menit," kata pria berambut merah sambil menuju ke jendela dan melirik ke luar dengan sembunyi-sembunyi. “Aku coba mengalihkan di dekat menara, tapi anehnya mereka terorganisir. Aku pikir orang-orang ini adalah pasukan sukarela.”

Tiba-tiba, sebutir peluru menembus jendela dan menancap di pintu. Pria berambut merah itu berlari kembali ke pria tua itu, mengangkatnya, dan menukik ke belakang meja Milo, tepat sebelum badai peluru menembus dinding.

Milo mulai berteriak, tetapi pria berambut merah itu meletakkan jari di bibirnya, dan Milo tiba-tiba mengatupkan mulutnya sendiri dan mengangguk dengan panik. Rupanya mengingat beberapa humor dalam hal ini, pria berambut merah itu menyeringai, dan kilatan gigi taringnya yang mempesona selalu membara di benak Milo.

“Bisco Akaboshi! Kau dicari berdasarkan dua puluh enam tuduhan terorisme jamur! Kami telah diperintahkan untuk membunuhmu jika kamu melawan, jadi mengapa kamu tidak keluar dengan mengangkat tangan?”

Sebuah suara terdengar melalui megafon, yang dibalas Bisco, “Dasar bodoh, aku memiliki sandera! Hati-hati!" Dia mengedipkan mata pada Milo, sebelum melanjutkan. "Jika kalian menembak, bajingan berpenampilan panda ini akan mati!"

Bahkan jika itu hanya gertakan, Milo merasakan hawa dingin menjalari tulang punggungnya. Dua detik, tiga. Karena masih tidak ada jawaban, Bisco bergeser ke jendela dan mengintip ke luar. Saat melakukannya, hujan peluru kembali melesat keluar jendela seluruhnya dan memenuhi ruang obat dengan lubang. Milo menjerit saat Bisco mencengkeramnya bersama kakek tua itu dan menendang pintu yang terkunci, menerjang ke ruang tunggu di luar.

“Keparat-keparat itu bahkan tidak ragu-ragu. Kupikir dokter sepertimu akan punya lebih banyak teman.”

“Aku... aku tidak yakin...,” kata Milo yang sedih sambil menggendong mesin peracik di tangannya. Bahkan sekarang, dia menolak untuk berpisah dengannya.

"Mereka akan segera memulai serangan," kata Bisco. "Maaf, tapi aku harus meledakkan klinikmu."

“Oke... Tunggu, apa?! A-ap-apa yang kamu maksud...?”

"Pegang kakek tua itu untukku."

Bisco menjatuhkan kakek tua yang tak sadarkan diri itu ke arah Milo saat dia duduk terkulai di lantai. Saat Milo meraba-raba untuk menangkapnya, Bisco menarik busur dan mencabut anak panah berwarna karat. Dia melepas tembakan ke ruangan yang baru saja mereka tinggalkan, diikuti dengan tembakan kedua, dan ketiga, ke setiap sudut klinik. Di mana dia menembak, segera mulai tumbuh tandan benda merah kecil, menembus dinding, langit-langit, dan penyangga.

"Oke. Saatnya pergi dari sini.”

"Tunggu!" kata Milo. “Aku memiliki kursi roda; kita bisa memasukkan pria ini ke sana, dan...”

"Sudah terlambat. Itu sudah dimulai.”

"Apa....?"

“Masuuuk!”

Pintu tiba-tiba terlepas dari engselnya, dan sekelompok pria bertopeng dengan persenjataan berat masuk ke dalam ruangan. Saat Milo melihatnya dengan kaget, Bisco meraihnya dan menerjang jendela di dekatnya. Kemudian, tidak beberapa saat kemudian, terdengar suara gemuruh yang sangat keras dari dalam.

Jamur merah besar yang besar menjulur menembus atap dan naik ke langit, menghancurkan bangunan itu hingga berkeping-keping. Saat topinya terbuka, hujan puing-puing menghujani tanah di bawah. Orang-orang berwajah kelinci tersapu kekuatan jamur yang membesar dan terlempar ke udara, berteriak.

“Ja-Jamur...!”

Milo menyaksikan pemandangan di depan matanya, terpesona, saat Bisco membawanya melintasi atap. Entah dari mana, sekarang ada jamur merah cerah yang menjulang di atas kota, masih menjulang ke atas dan ke langit. Di kota ini, di mana warga meringkuk dari angin di balik tembok besar, belum pernah dia melihat sesuatu yang begitu penuh dengan kehidupan dan kekuatan.

Itu cantik, pikir Milo, tercengang, sebelum dia melihat papan nama bertuliskan Klinik Panda berputar perlahan saat jatuh kembali ke tanah dan hilang di antara puing-puing. Kemudian wajahnya menjadi kaku.

“Ah.... AAAAGHHH!”

"Apa itu? Biarkan di bawah sana.”

"Kli... klinikku!"

"Ya?"

"Klinikku hilang!"

"Maksudku, kan sudah kubilang," kata Bisco, sedikit pun tidak menunjukkan rasa bersalah. Milo meronta-ronta dan menggeliat di bawah lengannya, dan dia berhenti dan meletakkannya di atap. “Maaf, tapi aku tidak punya pilihan. Jika aku tidak melakukan itu, mereka akan membunuh kita berdua.”

Milo bahkan tidak bisa menanggapi ucapan Bisco yang bermuka tebal dan terus membuat ulah, ketika Bisco tiba-tiba jatuh ke atap saat lampu sorot helikopter lewat di tempat mereka berdua berdiri.

"Tetap diam," katanya, dan Milo mengangguk ketakutan, dengan sangat cepat tutup mulut. Tanpa berdiri, Bisco mengambil beberapa anak panah di mulutnya dan, membidik ke timur, melepaskannya satu per satu ke sudut jauh kota. Anak panah itu membentuk busur besar di udara sebelum membenamkan diri di gedung tinggi dan meledak dengan bunyi Boom! Boom! menjadi jamur merah besar. Kemudian dia melihat saat helikopter yang berkerumun di langit melihat umpan dan melayang ke kejauhan.

“Mereka takan terkecoh cukup lama. Ayo jalan,” kata Bisco, meraih Milo dan pria tua itu dan menjatuhkan diri ke jalanan di bawah. Kemudian dia mengangkat tutup lubang got dan menjatuhkan Milo sebelum mengikuti, pria tua itu di bawah lengannya.

________

“Hampir saja,” gumam Bisco saat badai langkah kaki bergema di atas penutup lubang got di atas. “Menyebalkan. Sepertinya mereka mengirim semacam pasukan elit...”

Ada semacam bau apek di gorong-gorong, tapi itu tidak seburuk yang Bisco perkirakan, dan terdapat beberapa lampu neon di dinding agar dia bisa mencari jalan. Dokter itu sudah cukup tenang untuk sementara waktu sekarang, dan Bisco dengan cepat menuruni tangga untuk memeriksa bagaimana keadaannya.

Beberapa langkah darinya, dia berhenti dan menyipitkan mata. Mantel Milo dan jas lab terbentang di lantai, dan kakek tua itu terbaring tanpa pakaian. Di sampingnya, dengan alis berkedut, Milo memeriksa tubuhnya dan mengukur denyut nadinya. Sikapnya jauh berbeda dari anak kecil ketakutan yang meringkuk di pelukan Bisco beberapa saat yang lalu.

"Bagaimana keadaan dia?"

“Enam tembakan... Dua di antaranya seharusnya sudah cukup untuk membunuhnya,” kata Milo dengan nada gelisah, tak bisa berpaling dari pria itu. "Siapa dia? Denyut nadi dan pernapasannya normal...!”

"Jadi dia akan hidup?"

"Itu tergantung pada ini," katanya, mengeluarkan botol dari mesin peracik yang telah dia jaga dengan sangat gigih dan mengangkatnya ke arah cahaya. Itu sekarang diisi dengan cairan ungu yang aneh. “Aku harus melakukan operasi untuk menghilangkan peluru dan korosi. Setelah itu... Aku akan menyuntiknya dengan ini, dan semuanya tergantung padanya.”

Bisco mendengarkan Milo berbicara, lalu mengangguk puas dan berdiri. Milo melompat mengejarnya.

“T-tunggu! Kemana kamu pergi?"

“Kita tidak bisa berlama-lama di sini; mereka akan menemukan kita. Aku akan mengecoh mereka sebentar. Aku serahkan kakek tua itu ke tanganmu.” “Tidak, jangan!” teriak Milo.

Bisco berhenti dan berbalik. Bahkan dia terkejut dengan kekuatan di balik suara anak laki-laki yang tampak lembut itu. Milo mengamati wajah dan lehernya sebelum meraih lengan rampingnya di bawah mantel Bisco.

“Hei, hei, hei! Jangan asal pegang, brengsek! ”

“Kamu tidak akan kemana-mana dengan luka-luka itu! Apakah Kau berencana untuk mati di luar sana?! Duduk, sekarang juga! Aku akan merawatmu."

“Bukan aku yang perlu dirawat, jenius! Rawat kakek tua itu— Hei, lepaskan tanganmu!”

"Ya, kamu yang harus diobati! Lihat semua darah ini! Aku tidak mungkin meninggalkanmu seperti ini!”

Lalu ada pertikaian yang sangat singkat, di mana akhirnya Milo terengah-engah, melotot ke mata Bisco dengan semua tekad yang bisa dikerahkannya.

“Kalau begitu setidaknya biarkan aku menjahit wajahmu! Ada darah masuk ke matamu! Kamu tidak akan pernah bisa bertahan hidup di luar sana dengan seperti itu!”

Bisco bimbang, tak mampu menjawab desakan Milo. Dokter itu mendudukkannya, mengambil peralatan medis dari saku, dan kembali memeriksa wajah Bisco. Meskipun Bisco sendiri tampak tidak terganggu, wajahnya dipenuhi luka dan goresan, dan darah menetes dari luka di dahi ke mata kirinya. Milo memegang pisau bedah dan memotong keropeng, mengeluarkan darah, sebelum menjahit untuk menutup luka besar di kening Bisco. Dia mengoleskan salep, tetapi ketika dia mencoba membalutnya, Bisco melawan keras, seperti anjing nakal di hadapan dokter hewan, sehingga Milo menyerah. Tetap saja, puas dengan tingkat perawatannya, Milo menyeka keringatnya dan tersenyum.

"Selesai!"

“...”

“Erm, maaf, apakah itu sakit?”

"Siapa namamu?" tanya Bisco.

“Oh, Nekoyanagi. Milo Nekoyanagi,” jawabnya.

“Milo. Welll, eh....”

Bisco menatap mata biru bulat yang balas menatapnya dengan rasa ingin tahu, mencari kata yang tepat, sebelum...

"Terima kasih." Setelah berhasil mengeluarkan kata itu, dia dengan cepat bangkit dan meletakkan satu kaki di tangga yang mengarah keluar.

"Tunggu!"

“Apa lagi sekarang?!”

“Aku tidak tahu nama pasiennya,” kata Milo, tampaknya benar-benar lupa akan ancaman anak laki-laki yang berdiri di depannya. "Atau mungkin namamu, dalam hal ini..."

“Kakek bau tanah itu adalah Jabi, dan aku....”

“....”

“Bisco. Bisco Akaboshi.”

Dari atas tangga, Bisco kembali menatap Milo untuk terakhir kalinya. Mata mereka terkunci, zamrud dan safir masing-masing secara misterius saling tertarik. Akhirnya, Bisco berbalik dan, mengangkat tutup lubang got, menghilang ke dalam malam.

__________

“Bisco Akaboshi…”

Nama anak laki-laki itu menari-nari di bibir Milo saat badai merah Bisco bertiup di seluruh negeri. Untuk beberapa saat, Milo hanya menatap pantulan cahaya di permukaan air, sebelum tersadar kembali dan bergegas ke sisi Jabi.

Post a Comment