"Kapten! Kapten!”
Seorang pengintai berlari ke pintu masuk biro prefektur, kehabisan napas. Pawoo berdiri di sana bersama petugas keamanan gedung lainnya, menyilangkan lengan dan wajah muram di jalan buntu saat ini. Dia memberi perintah kepada wakil di sebelahnya sebelum mendekati seorang Pasukan Sukarela muda.
“Jejak kaki yang mengarah ke biro hanya pengecoh! Akaboshi saat ini berada di dekat gerbang barat! Sepertinya dia kehilangan akal sehatnya!”
"Apa yang terjadi? Apa yang Kau lihat? Cepat ambilkan air untuk pria ini!”
“Aku melihat beberapa pria bertopeng kelinci menyerangnya, anak buah Kurokawa. Dia kalah jumlah, tetapi mereka tetap tidak memiliki peluang!” Gubernur. Mengapa Kau terlibat...?
Pawoo mendecakkan lidah. Saat anggota lain merawat pengintai itu, dia melanjutkan.
"Kau perlu mendengarnya. Aku sarankan Kau duduk.”
"Apa....?"
“Aku melihat jamur besar meledak di kawasan perbelanjaan,” katanya. Giginya bergemeletuk ketakutan, tapi dia terus menekankan. “Itu di Klinik Panda! Dimana adikmu...”
Darah Pawoo naik, dan wajahnya berubah menjadi ekspresi murka. Dia mengatupkan rahang dan mendorong pria itu ke samping. Ketika deputi melihatnya melangkah pergi, dia mengejarnya.
"Kapten!"
“Turunkan level ancaman untuk area ini. Kirim regu dua, tiga, dan empat ke gerbang barat dan regu sembilan ke utara.”
"Apakah kamu pergi sendiri?! Kita sedang berhadapan dengan buronan kelas kakap Jepang lho!”
"Aku tidak ingat meminta pendapatmu," Pawoo mendidih saat dia melompat ke atas sepeda motor besarnya. “Kau bisa mencoba memberi tahuku apa yang harus dilakukan setelah Kau mendaratkan satu pukulan padaku dalam latihan. Sampai saat itu, patuhi perintahku dan jangan mengacau. Paham?"
“La-laksanakan!”
Pawoo memacu sepeda motor putihnya dengan kecepatan tinggi tanpa menunggu jawaban dari deputi itu. Kemudian dia mengayunkan tongkat logamnya, menghantam tanah dengan kekuatan sedemikian rupa sehingga meluncurkan kendaraannya ke udara dan ke atap.
Milo...!
Pawoo menjadi tidak sabar saat dia melaju ke arah jamur yang menjulang tinggi, sepedanya melesat membentuk garis perak melintasi pemandangan malam Imihama.
_______
Dari atas atap, ia mengamati kota. Jamur besar berdiri tegak dan memancarkan cahaya redup di jalanan di bawah. Spora berjatuhan seperti butiran salju, dengan lembut menyapu pipi Bisco. Setelah pertempuran sengit, penjaga berkepala kelinci telah mundur secara massal, meninggalkan tubuh rekan mereka yang jatuh di tempat mereka terbaring. Sekarang, di tengah kota yang ramai itu, hanya menyisakan keheningan yang mencekam.
Aku mencemaskan Jabi. Harus kembali ke gorong-gorong. Tapi di mana Pasukan Sukarela?
Bisco merenungkan langkah selanjutnya dengan hati-hati, sebelum mengendus dan melihat ke bawah kakinya, di mana penjaga berkepala kelinci yang sangat mungil telah mencoba merangkak pergi selama beberapa waktu. Dengan bunyi gedebuk, dia mengangkat kaki ke punggungnya.
“Gyaaah!” terdengar suara bernada tinggi. Bisco meraih telinga dan menariknya sekuat tenaga, melengkungkan punggung orang itu sampai topengnya lepas dengan bunyi letupan, dan jalinan kepang merah jambu jatuh di bahu orang itu. Dia adalah seorang wanita dengan rambut merah muda yang mengingatkan pada ubur-ubur.
“Wah, wah, wah! Tahan, tahan, tahan! Aku... menentang semuanya—jujur! Pria yang... baik dan lembut sepertimu tidak mungkin menjadi musuh kami, kan? Hanya saja, Kau tahu, gubernur! Dia memaksaku melakukannya!"
Gadis muda itu menatap Bisco dengan lemah lembut. Senyumnya berkedut, dan dia berkeringat.
"Katakan padaku. Siapa kalian? Apa ini sudah semuanya? Bagaimana dengan Pasukan Sukarela?”
“K-kau tidak akan membunuh gadis muda yang malang, manis, dan lugu sepertiku, kan? Dengar, a-ayo kita buat kesepakatan! Aku akan keluar dari pasukan, meninggalkan semuanya. Aku akan bergabung dengan pihakmu, hanya...”
“Kau sulit mendengar atau apa? Mungkin akan membantu jika aku membuka tengkorakmu, ya?”
“Tidak! Tolong jangan! Jangan tengkorakku! Aku butuh itu untuk hidup!”
Tiba-tiba, Bisco mendengar dengungan samar mesin di malam hari. Menajamkan telinganya, dia pikir dia bisa mendengarnya datang dari arah kawasan perbelanjaan dan semakin keras. Sesuatu melompati atap, datang langsung ke arahnya.
Sepeda motor…?
Begitu fokusnya pecah, gadis ubur-ubur itu bergegas pergi seperti tikus. Bisco mulai mengejarnya, saat tiba-tiba suara gesekan ban di genteng semakin keras, dan sebuah sepeda motor besar melaju ke arah remang-remang lampu di seberang jalan. Melompati celah, itu meluncur lurus ke arah Bisco. Tidak lama setelah dia menyadari pertarungan akan pecah, sebatang besi terbang ke arahnya, menabrak genteng.
Bisco melompat mundur pada detik terakhir dan menghindari serangan fatal itu, akan tetapi pecahan genteng terbang melewatinya, melukai pipinya dan mengeluarkan darah. Melalui debu dan puing-puing, Bisco melihat ujung kepala perak yang berkilauan, dan tatapan membunuh wanita itu tertuju padanya. Sosoknya yang montok sepenuhnya bertentangan dengan cara dia mengayunkan tongkat besinya yang berat, dan dia memutar sepeda motornya untuk kembali menyerang Bisco. Dia melompat mundur dari serangan sembrononya, menarik busur dan melepas anak panah dalam satu gerakan lihai. Panah itu sangat akurat, tetapi tiba-tiba tongkatnya menebas udara, dan panah itu menghilang. Satu ayunan, dan dia telah menjatuhkannya dari langit saat tengah terbang. Bisco melanjutkan dengan panah kedua, dan panah ketiga, tetapi wanita itu menangkis semuanya dengan angin puyuh baja, meninggalkannya tanpa goresan.
Dia jago...!
Melihat kekuatan dan tekadnya, Bisco mengubah taktik, mengarahkan busur ke atap di depannya. Saat sepeda motor memburu, hendak menabraknya, dia menembakkan panah, dan jamur besar meledak dengan bunyi Boom! keluar dari genteng, meledakkan wanita itu dan kendaraannya tinggi-tinggi ke udara.
“Grh!”
“Kalau motoran lihat-lihat, nona! Sim-mu mesti dicabut!” ejek Bisco sambil tersenyum. Tapi wajahnya menjadi kaku ketika dia melihat dia menendang sepeda motor yang jatuh bebas untuk kembali di udara dan melesat ke arah Bisco dengan kecepatan yang menakutkan. Dia memutar tubuhnya seperti angin puyuh, tongkat besinya menebas udara seperti pisau saat meluncur ke sisi Bisco.
“Kraaaaargh!” dia berteriak. Bisco menahan hantaman itu dengan busur, tetapi kekuatannya yang kuat mengirimnya terbang melintasi jalan dan terperosok masuk ke sebuah gedung, meninggalkan lubang besar. Terdengar suara benturan keras dan awan debu. Wanita itu mengerutkan kening, mengamati lokasi hantaman dengan hati-hati untuk mencari tanda-tanda pergerakan, dan memutar tongkatnya.
Pukulan itu seharusnya sudah menghancurkannya. Bisco Akaboshi... kau hanya segini ya?
Wanita itu tampak agak kecewa... sampai matanya melebar seperti sesuatu yang berkilauan di bawah cahaya neon. Dia menggerakkan tongkat untuk memblokir, dan terdengar dentang keras logam yang menusuk. Sebuah panah hitam mencuat dari tongkat besi heksagonalnya, berhenti hanya setengah lusin sentimeter dari matanya. Kekuatan panahan ini... Dia bukan manusia...!
Wanita petarung itu mengatupkan giginya saat butiran keringat muncul di dahinya. Bisco melompat, menerobos atap tipis bangunan dan mendarat di depannya.
"Apaan itu tadi? Kamu cukup kuat,” katanya sambil tersenyum. “Di mana Kau belajar gerakan itu? Mereka mengajari calon istri cara mengayun tongkat di Imihama?”
Kecepatan dan kekuatan tembakan Bisco seperti peluru. Tidak ada manusia biasa yang mampu melakukan seperti yang dia lakukan. Lebih-lebih wanita.
"Aku Pawoo Nekoyanagi, kapten Pasukan Sukarela Imihama," balasnya dengan suara kasar, kemarahannya jelas terdengar. “Menyerahlah dan tunggu hukumanmu, Pelindung jamur, atau aku akan membelah kepalamu menjadi dua.”
Dengan mantel mengepul di belakangnya, Pawoo tampak semegah Valkyrie dari mitos Barat. Namun, Bisco bisa dengan jelas melihat kemarahan di matanya. Keingintahuannya terusik, dia memberinya senyum berkilau.
“Bukankah seharusnya kamu mengatakan itu sebelum menyerangku?” Dia bertanya. “Kamu sepertinya menginginkan aku mati. Apa salahku, membunuh keluargamu?”
"Aku peringatkan kau!"
Tongkat Pawoo menabrak tanah di bawah Bisco. Rambutnya tergerai ke belakang saat dia bergerak, memperlihatkan Karat yang menggerogoti wajah cantiknya. Saat Bisco menghindari serangannya, dia berpikir:
Sial, Karat itu terlihat buruk. Aku terkejut dia mampu bergerak segesit ini ketika dia sekarat.
Dia melompat melintasi atap, menghindari ayunan demi ayunan, sebelum tiba di sepeda motor Pawoo. Dengan kekuatan luar biasa, dia mengangkat sepedanya di atas kepalanya dan mengayunkannya seperti tongkat baseball.
“Ryaargh!”
Sepeda itu melindungi Bisco dari tongkat Pawoo yang terayun turun. Memindahkannya seperti perisai besar, dia menangkis pukulannya satu demi satu, sampai kendaraan itu penuh penyok, dan gumpalan api meletus dari mesin.
“Kraaaaargh!” Dengan teriakan, Pawoo melepas ayunan menakutkan ke bawah yang membelah kendaraan kesayangan itu menjadi dua. Namun dalam situasi hidup mati ini, kecerdasan Bisco lebih cepat dari semula. Dia melemparkan mesin yang menyala itu ke arah Pawoo, menarik busur, dan melepaskan tembakan. Ledakan itu menembus udara di antara mereka. Bisco terhempas mundur ke atap kawasan permainan, ke papan nama besar yang menggambarkan maskot berbentuk seperti pin bowling, yang runtuh dalam awan debu.
Pawoo mendorong tongkatnya ke tanah seperti pasak, merobek alur ke atap, memelototi Bisco, yang berdiri menantang di seberangnya.
Bahkan hantaman paling ringan tongkat itu bisa saja mematahkan tulang. Pawoo belum pernah melihat seseorang menerima hantaman sebanyak ini dan masih hidup. Matanya yang penuh kebencian diwarnai dengan kebingungan.
“Karatmu itu benar-benar buruk lho. Aku tidak akan banyak bergerak, atau itu mempercepat penyebarannya.”
“Dasar keparat tak tahu malu! Berapa banyak kota yang telah dilumpuhkan dengan Karat di belakangmu?”
“Aku sudah lelah mengatakannya, tapi jamur tidak menyebarkan karat. Jamur memakannya. Jamur adalah satu-satunya cara untuk menyingkirkannya.” Bisco meludahkan gigi yang patah, berlumuran air liur dan darah, dan berbalik menghadap Pawoo. "Aku telah bepergian ke mana pun Karat paling tebal, mencoba menyembuhkannya, dan melihat terima kasih yang aku dapatkan."
Bahkan saat Bisco bertarung habis-habisan, dia berbicara dengan jelas, hampir sembrono, sambil tersenyum. Pawoo tampak sedikit terkejut saat dia menjawab.
“Kau pikir aku akan percaya cerita semacam itu?! Jamur tidak lebih dari balas dendam! Satu-satunya tujuanmu adalah menghancurkan sebanyak-banyaknya!”
"Kau salah. Aku sedang mencari Pemakan Karat.” Bisco menatap mata Pawoo dan berbicara dengan tenang.
"Pemakan Karat...?"
Mata Pawoo terbelalak. Lawannya terbuka lebar, namun dia tidak bisa berhenti menatap matanya. Mata itu membara, bukan dengan kebencian atau permusuhan, tetapi dengan tekad kuat yang memaksanya untuk menahan senjatanya.
“Itu sebuah jamur. Yang bisa menyerap Karat dari apa pun, manusia atau mesin. Aku sudah mencarinya selama ini... Demi menyelamatkan orang terdekatku. Jatuhkan senjatamu dan biarkan aku lewat; Aku tidak ingin cari ribut dengan orang-orang di sini.”
“Sungguh nista. Kau pikir kau bisa menipuku? Tarik busurmu, Akaboshi, dan biarkan aku menghabisimu di tempatmu berdiri!”
Kenapa dia tenang sekali...? Apa dia coba membuatku bingung? Tidak penting. Dengan serangan berikutnya, aku akan mengakhirinya!
Melihat keragu-raguannya, Bisco menyeringai. Saat dia mengangkat tongkatnya ke arahnya, dia mengambil waktu untuk menyerangnya dengan komentar licik.
“Yah, kurasa aku tidak datang ke sini dengan tangan kosong. Aku memang bertemu dokter itu di sini. Sungguh dia banyak membantu,” katanya sambil memperhatikan wajah Pawoo. “Dr. Nekoyanagi, bukan? Dia sangat mirip denganmu. Kamu kenal dia?"
“Maksudmu...Milo...?” Tatapan Pawoo hancur seolah-olah kutukan telah patah. Tiba-tiba terlihat sangat gelisah, mata birunya bergetar. "Kamu... dasar keparat, apa yang kamu lakukan padanya ?!"
"Apa yang ku lakukan?" Bisco mengulangi, menyeringai lebar. “Menurutmu apa yang kulakukan? Kau tahu julukanku, bukan?”
Bahkan sebelum Bisco selesai bicara, Pawoo melesat ke arahnya dengan kemarahan di matanya. Penjelmaan amarah, dia mengangkat tongkatnya dan menjatuhkannya ke kepala Bisco...
Tapi Bisco tidak terlalu gentar. Batang besi hanya berhasil menembus dagingnya sebelum berhenti. “Gr?!”
"Dasar bodoh."
Sesuatu yang putih dan bulat, seperti kantung udara, muncul dari tongkat yang terhubung dengan Bisco, menahan pukulan itu. Kemudian lusinan lagi muncul di sepanjang tongkat, dari ujung hingga gagang, tumbuh dari logam itu sendiri. Jamur bulat, kulit putihnya yang indah berkilau.
Dia menginfeksi tongkatku...!
Panah yang dia blokir secara langsung telah dilumuri racun. Dengan setiap ayunan tongkatnya, balon udara di dalamnya menyebar. Bisco bertarung secara bertahan dan melontarkan ejekan karena mengulur waktu, menunggu benih yang ditanamnya tumbuh.
Selagi Pawoo teralihkan, Bisco melakukan serangan balik. Dia melesat ke arahnya dan menendang perutnya, meluncurkannya tinggi-tinggi ke udara.
"Kau bisa tahu kapan mereka tumbuh dengan miselium putih yang muncul di sepanjang permukaan logam," kata Bisco, menyeringai dan menarik busur sampai batas. "Jika Kau tidak terganggu, mungkin Kau akan memenangkan yang satu ini."
“Akaboshiiiii!”
“Sudah waktunya Kau pensiun dan menikah,” katanya. "Sulit bagiku untuk membidik wajah cantik seperti itu."
Tidak mungkin Pawoo bisa menghindari tembakan Bisco sekarang. Dia melihat tanpa daya saat anak panah yang terinfeksi itu bersarang di bahunya yang berkarat, dan rasa sakit itu membuyarkan pikirannya.
Milo...! Ampuni dia, tolong..! Tolong jangan ambil dia...!
Pawoo dengan lembut menutup matanya dan jatuh ke tanah. Bisco melompat melintasi atap untuk menangkapnya dalam pelukan, sebelum mendarat dengan sedikit kehilangan keseimbangan.
"Ya ampun, dia tidak seringan kelihatannya."
Sambil memegangi Pawoo di atas bahunya, Bisco turun ke jalan belakang dan hendak berlari, ketika dia melihat rambut panjang sutranya terseret ke tanah. Tidak tahan melihat pemandangan menyedihkan itu, dia menyesuaikan tubuh Pawoo sehingga dia membawa rambutnya dengan hati-hati di lengannya, sebelum pergi layaknya Hermes kedalam gang-gang gelap kota.
Post a Comment