Hujan bercampur darah di bebatuan.
Kekuatan Kagar perlahan terkikis oleh dingin, badai lembab, tapi dia lebih peduli dengan menghapus bercak darah yang tersebar di tanah. Dia menoleh ke belakang untuk memeriksa lawannya, tetapi tidak ada tanda-tanda. Itu sudah cukup lama — dia dikejar oleh seseorang yang tidak mau muncul.
"Sialan ... Apakah ini ulah penyihir wanita itu ...?"
Ketika Kagar mencoba meninggalkan kota kastil Farsas, seseorang menyerangnya. Dia pikir itu pasti seseorang yang telah Tinasha perdaya, tetapi penyerang hanya melancarkan beberapa serangan acak, mempermainkannya. Matahari telah terbenam, dan tidak banyak orang di sekitar. Kagar menekankan tangannya ke sisi tubuhnya yang berdarah.
“Andai saja aku bisa menggunakan transportasi array …”
Sejak dia menderita luka pertama, Kagar hampir tidak bisa merapalkan mantra. Serangan pertama itu pasti telah menempatkan semacam sihir penyegel di dalam tubuhnya. Dia berbelok di tikungan terdekat, hampir tergelincir di jalan licin.
Tidak lama setelah dia berbelok ke jalan berikutnya, cahaya putih melintas di hadapannya.
"Hah....?"
Tiba-tiba, penglihatannya meredup, dan dia pingsan.
Kagar melihat genangan darah yang menyebar dengan cepat dan kakinya tergeletak di tanah.
“Ah...Aaaaaahhh!” pekiknya, tangisan paniknya menggema di gang. Kemudian, dia mendengar suara langkah kaki menciprat melalui genangan air. Seorang wanita muda bertubuh mungil berdiri di bawah tirai hujan. Dia tidak mengenakan jubah, rambut basah peraknya berkilauan seperti pisau, dan itu menarik perhatian Kagar. Dia mengulurkan tangan padanya, penglihatannya kabur.
"To...long....."
“Kamu ingin aku menolongmu? Kau sepertinya tidak menyadari siapa yang membunuhmu." Suaranya kejam. Pada saat Kagar menyadari apa yang dia maksud, semuanya sudah terlambat.
Utusan itu tidak bisa berkata-kata ketika dia sadar bahwa yang mengikutinya selama ini, mage yang jauh lebih superior, adalah gadis ini.
Kebencian yang tak terhapuskan membara di matanya. “Beraninya kau tanpa malu menunjukkan diri di sini. Tuanmu membunuhnya, kamu tahu, di depanku. Bahkan jika aku mengulang semuanya, kejahatanmu akan bertahan selamanya. Apakah kamu mengerti?"
Dua bola merah bersinar dalam kegelapan. Terdengar geraman rendah seekor makhluk. Makhluk yang muncul di belakang gadis berambut perak itu hanya memiliki wajah maut. Kagar tahu bahwa akhir hidupnya sudah dekat dan menjerit.
“L-Lord Lanak… Ah, guh…”
Teriakan seraknya segera menjadi campuran pekikan dan gelegak. Di tengah bau darah menyengat dan suara mengunyah ... gadis itu menyibakkan rambut peraknya yang basah dan berbalik menuju kastil.
xxx
Familiarku akhirnya bisa menyelinap masuk melalui celah di penghalang Cuscull. Mereka telah mengumpulkan cukup banyak mage di sana, termasuk banyak mage spiritual."
Semua yang mendengarkan laporan penyihir wanita di ruang kerja tampak kesal. Lazar dan Miralys berdiri dengan wajah pucat di dinding, sementara Oscar memainkan patung porselen sambil mendengarkan. Jelas dari ekspresinya bahwa dia menganggap ini sama sekali tidak ia harapkan.
"Dengan begitu banyak mage, apakah mereka berencana menyulut perang?" Oscar bertanya.
“Aku tidak bisa mengatakan dengan pasti. Rupanya, mereka juga mencoba men-summon iblis.”
"Berapa banyak tentara reguler yang mereka miliki?"
“Sama dengan jumlah mage mereka. Sekitar dua ratus. Bukan jumlah yang besar, tapi familiarku tidak bisa masuk ke istana, jadi mungkin ada lebih banyak lagi.”
Biasanya, sebuah kastil ditempati oleh dua puluh hingga tiga puluh mage. Negara besar bisa memiliki hingga lima puluh mage, tetapi tidak pernah ada negara dengan dua ratus mage siaga.
Oscar menangkap sesuatu dari perkataan Tinasha. "Kau bilang istana. Apakah mereka monarki?"
“Tampaknya. Aku tidak tahu siapa rajanya, tapi sepertinya dia bukan penguasa dari wilayah sebelumnya."
“Jika itu adalah negara yang sedikit banyak berdasar pada sihir, maka penguasa mereka mungkin juga seorang mage.” Oscar menyilangkan tangan di belakang kepala dan mengistirahatkan kakinya di atas meja. Dia biasanya tidak akan menunjukkan pose malas seperti itu dan hanya melakukannya ketika memikirkan sesuatu yang rumit. “Untuk saat ini, dan aku minta maaf atas masalah ini, tetapi bisakah Kau mengirimkan pengintai secara berkala? Aku tidak berpikir ini akan berakhir dengan damai."
"Dimengerti," jawab Tinasha.
Oscar memiliki firasat buruk tetapi tidak bisa berbuat apa-apa pada tahap ini. Dia menurunkan kakinya ke lantai dan mengambil dokumen yang belum dia urus. Kemudian dia teringat sesuatu yang lain dan melihat ke atas.
“Oh, aku hampir lupa. Kelihatannya, Ettard sedang tidak enak badan."
Jenderal Tua Ettard adalah orang militer tertua di Farsas dan salah satu simbol kepemimpinan bangsa. Berdiri di dinding, Miralys tampak semakin suram setiap detik.
"Miss Miralys, Kau datang ke sini atas rekomendasi Jenderal Ettard, bukan?" Lazar bertanya dengan prihatin dalam suaranya setelah memperhatikan gadis itu.
“Ya… Kami hanya kerabat jauh, tapi dia tetap berusaha sebaik mungkin dalam membantuku. Ini semua berkat Jenderal Ettard, saya bisa ada di sini sekarang,” Miralys mengakui. Rambut pirang mudanya tampak kusam dan kurus, mungkin karena betapa tertekannya dia. Meskipun wajahnya masih memiliki sisi kekanak-kanakan, dia sangat cantik. Dalam beberapa tahun, dia pasti akan memalingkan kepala setiap orang di kastil.
Miralys tiba kurang dari setahun yang lalu melalui pengaruh Jenderal Ettard, dan dia baru berusia enam belas tahun. Itu adalah kesempatan bagus untuk mempelajari etiket istana. Dengan pengalaman seperti itu, dia akan menghadapi sedikit kesulitan di masa depan. Kemungkinan karena dia adalah dayang putra mahkota dan sering kali dalam studinya, Tinasha mengajarinya cara menyeduh teh, dan Lazar mengajarinya seluk beluk tugas istana. Dia tumbuh dan menjadi dewasa dari hari ke hari.
Oscar menatap dayangnya, dagunya bertumpu pada tangannya. “Kau bisa mengunjungi Ettard kapan pun Kau mau. Aku yakin dia akan senang melihatmu.”
"T-terima kasih banyak," kata Miralys.
"Itu mungkin sudah dimengerti dari usianya yang sudah sangat tua, tapi tampaknya, dia kesulitan bangun belakangan ini."
Kesuraman dalam kata-kata Oscar menyebabkan penyihir wanita itu menjawab dengan tenang, “Sepertinya itu sangat mendadak. Aku juga khawatir."
“Ya, pria tua itu selalu menyukai Als. Aku sendiri berhutang besar padanya,” jawab Oscar.
Sebelum datang ke kastil, Als sering mengunjungi rumah Ettard untuk belajar teknik pedang. Ketika dia masih muda, Ettard adalah pendekar pedang terkemuka di negara itu, dan dia tidak berusaha untuk mengajarkan apa yang dia ketahui kepada anak-anak. Dia juga sering menginstruksikan Oscar muda tentang dasar-dasar berpedang.
Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, setelah Ettard mengetahui kutukannya, dia memberi tahu Oscar di tengah pelatihan permainan pedang, " Yang Mulia, keputusasaan menggerogoti seseorang. Keinginan anda harus tak tergoyahkan. Hasilnya akan sejalan dengan itu. ”
Apa yang dia katakan menegaskan kekuatan kejujuran dan tekad. Bahkan sekarang, Oscar seringkali mengingat pelajaran itu.
Pangeran itu mendongak dan bertemu dengan tatapan penyihir wanita itu. “Jangan mati sampai aku mati, mengerti?”
Tinasha tampak sedikit terkejut, lalu menyeringai sedih padanya. Tiga hari berselang, Ettard meninggal dalam tidurnya.
Dia tidak meninggalkan keluarga dekat. Setelah pemakaman khidmat dan tenang, harta warisannya dibagikan, sesuai dengan keinginannya, di antara orang-orang yang dekat dengannya. Dengan izin dari raja, Als mengambil posisi Ettard perihal pengetahuan tentang kutukan penyihir yang ditempatkan pada sang pangeran.
Jenderal muda, yang sekarang berdiri sebagai kepala perwira militer dengan nama dan substansi, menghela nafas dengan menyesal setelah mendengarkan Oscar menceritakan kisah yang panjang. "Aku tidak pernah menyangka kamu memiliki kutukan semacam itu pada dirimu ..."
“Ini menyebalkan, kan?”
Dua hari setelah Ettard dimakamkan dengan aman, Als datang ke ruang kerja untuk memberikan penghormatan. Saat minum teh bersama Oscar, Lazar, dan Tinasha, Als diberi tahu tentang keadaan Oscar, dan tentara itu menyampaikan belasungkawa yang tulus. Dia melirik Tinasha dari seberang meja.
"Bukankah itu berarti keadaan akan terlihat buruk jika Nona Tinasha tidak setuju untuk menikah denganmu?"
"Ya, akhir dari garis keturunan bangsawan," Oscar sependapat.
"Aku tidak akan menikahinya!" Tinasha menyalak.
Anehnya Oscar dan Als tampak senada, sementara Tinasha sama sekali tidak. Wajahnya tegang karena kesal. "Aku sedang menganalisis kutukan saat kita berbicara!"
"Kamu tidak perlu berusaha terlalu keras," kata Oscar dengan malas.
“Jangan coba meredam antusiasmeku!”
Penyihir wanita itu tampak siap menggigit kepala Oscar, dan Als menatapnya dengan rasa ingin tahu. “Apa yang tidak Kau sukai dari Yang Mulia?” dia bertanya balk-blakan, karena tuannya tampaknya hampir tidak memiliki kekurangan.
Pertanyaan seperti itu tampaknya menjadi pukulan telak bagi Tinasha. Dia belum pernah menerima pertanyaan seperti itu sebelumnya, dan matanya melebar. “Aku… Jika kamu bertanya padaku apa, lalu… Apa yang tidak aku suka?”
“Jangan tanya aku,” kata Oscar.
Lazar, yang telah meminum tehnya dalam diam sampai saat itu, berbicara. “Mungkin cara dia suka menggoda orang lain? Itu kebiasaan yang sangat buruk.”
"Mungkin saja," Tinasha menyetujui.
“Tenang, Lazar…,” Oscar memperingatkan, menatapnya dengan dingin, dan Lazar menyusut dengan lemah.
Merasakan percakapan ini bisa menjadi rawa, penyihir wanita itu menyela, “Namun, kontrak kami masih tersisa setengah tahun lagi. Aku yakin aku akan melakukan sesuatu pada kutukan itu."
"Semoga saja," kata Oscar samar, lalu mengangguk.
Tinasha merasa mereka tidak saling berhadapan tentang subjek ini, tetapi lebih baik tidak terlalu memikirkan banyak hal. Memutar matanya ke arah Oscar, dia bangkit.
Ketika dia melakukannya, kakinya terbentur meja, dan mangkuk gula jatuh dari tepi. Mangkuk berbunyi saat menyentuh lantai.
"Oh maafkan aku."
"Apakah kamu baik-baik saja?"
Tinasha membungkuk untuk mengambil mangkuk itu. Untung hanya tutupnya saja yang rusak. Dengan lambaian tangannya, gula yang tersebar naik dan kembali ke piring seperti sebelumnya. Dia menyerahkannya kepada Lazar dan mulai mengambil potongan tutup yang pecah dengan tangan.
Oscar mengawasinya, tampak bingung. “Kamu tidak akan memperbaikinya?”
“Kau tidak dapat memulihkan sesuatu yang rusak. Meskipun Kau dapat menghentikan waktu, Kau tidak dapat memundurkannya. Jika potongannya lebih besar, aku bisa memperbaikinya, tapi itu tidak mungkin setelah hancur… Maaf.”
“Tidak, aku tidak peduli. Jangan potong jarimu. ”
Als melihat pemandangan itu, menghela nafas kepada siapa pun secara khusus, dan berkata, "Jadi bahkan sihir pun tidak sempurna."
“Itu adalah kebenaran dari semua makhluk hidup.” Penyihir wanita itu tertawa.
Als mengangguk, terkesan… lalu melihat jam di dinding dan melompat berdiri. “Wah, aku harus keluar untuk patroli kota. Akhir-akhir ini, orang-orang melaporkan penampakan roh iblis."
"Di kota? Aku belum mendengar apapun tentang itu,” kata Oscar.
“Yah, tidak ada yang pasti. Yang kami tahu adalah bahwa itu mungkin satu. Ini murni desas-desus. Seseorang melihat sesuatu yang tampak seperti anjing liar dengan mata merah menyala. Kemungkinan besar mereka salah, dan kami belum menerima laporan cedera,” jelas Als sambil mengangkat bahu, dan alis Tinasha berkerut.
“Itu mengkhawatirkan. Jika itu benar-benar roh iblis, entah itu cukup pintar atau ada yang mengendalikannya. Mungkin tidak ada laporan cedera karena mereka melakukan pekerjaan dengan baik memastikan tidak ada yang akan ditemukan,” penyihir wanita itu berhipotesis.
Oscar, Als, dan Lazar saling bertukar tatap. Oscar menyilangkan tangan di belakang kepalanya. “Mungkin, tapi kita masih belum punya bukti. Laporkan kepadaku jika Kau menemukan sesuatu. Jika memang ada roh iblis, kita akan membawanya ke cahaya,” perintah putra mahkota, berdiri untuk kembali bekerja sendiri.
xxx
Mimpi tentang masa lalu yang sudah lama berlalu yang tidak akan pernah datang lagi.
Gadis itu tertidur sambil meringkuk di tempat tidurnya yang hangat, tetapi menyadari bahwa, pada suatu saat, dia telah diambil darinya. Mengedipkan mata yang berat karena tidur lalu terbuka, dia melihat dia sedang menuju ke koridor yang redup.
“Aeti, apakah kamu sudah bangun..?” terdengar suara yang baik. Dia digendong dengan nyaman di pelukan seseorang. Dia menatap anak laki-laki yang menggendongnya .
Dia mengenalnya dengan baik; dia lebih dekat dengannya daripada siapa pun. Dia tersenyum lega. "Apa yang sedang terjadi?"
“Sesuatu yang baik akan terjadi. Aku tahu kamu harus melihatnya. "
"Sesuatu yang penting?"
“Ya, sangat penting. Sepenting dirimu."
Dia tertawa mendengar kata-kata manisnya. Dia belum pada usia di mana sanjungan seperti itu benar-benar bisa mempengaruhinya.
Tetap saja, dia tahu dia memang merawatnya, dan dia sangat mencintainya. Memang benar dia lebih penting baginya daripada siapa pun. Merasa lega, matanya kembali menjadi berat. “Tapi aku masih mengantuk.”
"Kamu boleh tidur."
"…Ngantuk…"
Sekali lagi, matanya terpejam.
Keduanya berjalan menyusuri koridor panjang.
Matahari baru saja mulai terbenam ketika Oscar sampai di tempat pemberhentian yang baik dalam pekerjaannya dan pergi ke kamar Tinasha untuk mendapatkan persetujuannya atas penyelidikan Cuscull. Dia mengetuk pintu dengan ringan, tetapi tidak ada jawaban.
"Tinasha, kamu di sana?"
Dia menyentuh gagang pintu, dan pintu itu terbuka dengan mudah. Pintu itu jelas tidak terkunci. Sebaliknya, Oscar melihat penghalang disusun di pintu masuk. Dia sedikit ragu kemudian melangkah masuk. Untungnya, kemungkinan besar karena dia adalah pemegang kontraknya, blokade sihir memungkinkannya lewat tanpa rasa tidak nyaman atau efek sakit.
Begitu Oscar masuk, dia melihat Tinasha. Dia tertidur di kursi di samping mangkuk scrying dengan sigil mengambang di atasnya. Dia menyenggol bahunya, tapi dia jelas terlalu lelah, bahkan tidak merespon.
“Jangan tidur di kursi…,” ujar Oscar pelan.
Dia menggotongnya. Biasanya, dia tidak berat, tetapi karena dia tidak sadarkan diri dan tidak menggunakan sihir, beratnya terasa. Tetap saja, dia ringan. Dia bergerak sekali tetapi tidak bangun.
Dia menatap penyihir wanita itu dalam pelukannya. "Sungguh tidak berdaya." Tubuhnya yang ramping dan lembut.
Biasanya, dia coba untuk tidak terlalu memikirkannya, tetapi sekarang dia telah menyentuh sosok yang begitu memikat, keinginan untuk memilikinya bergejolak di dalam benak Oscar. Dia ingin mencium kulit putih porselennya dan meninggalkan bekas. Tidak masalah jika itu mungkin, dia hanya ingin memilikinya. Perasaan yang mirip dengan ketidaksabaran yang berlebihan membara jauh di dalam dadanya, tetapi Oscar tahu perasaan ini tidak menunjukkan apa yang sebenarnya dia inginkan.
Tinasha telah mempercayainya bukan dengan hati atau tubuhnya, tetapi hidupnya — dan melakukannya dengan agak sembrono.
Dia bisa membunuhnya kapan saja.
Gagasan bahwa dia melakukannya dengan sengaja adalah sesuatu yang tidak disukai Oscar. Namun, bahwa dia bisa melakukan itu secara tidak sadar tampak memikat baginya.
Oscar berpikir kapan dia menjadi begitu terikat. Dia menggelengkan kepalanya pada dirinya sendiri, menyadari bahwa dia seburuk kakeknya.
Jika dia bukan penyihir wanita…Tidak, Oscar menolak untuk berpikir seperti itu. Jika itu masalahnya, mereka kemungkinan tidak akan pernah bertemu, dan dia tidak ingin begitu saja mengesampingkan bagaimana Tinasha hidup dan keputusan yang dia buat berdasarkan pengalaman itu.
Dia tampak sempurna, tetapi dia tidak stabil.
Dia tidak ingin mengetahui setiap detail masa lalunya. Tidak apa-apa jika dia tidak pernah memberitahunya.
Yang diinginkan Oscar bukanlah hati, atau tubuh, jiwa, atau hidupnya. Sebaliknya, dia ingin dia merasa terikat padanya. Oscar menginginkan Tinasha untuk meraih tangannya dan mengatakan bahwa dia lebih berharga baginya daripada apapun. Seperti seorang anak kecil. Dia tahu itu bodoh, tetapi kebodohan sepertinya bukan hal yang buruk bagi Oscar.
Oscar membawa penyihir wanita itu ke tempat tidur dan membaringkannya dengan hati-hati, agar tidak membangunkannya. Ketika dia coba menarik lengannya dari bawah, dia tiba-tiba terangkat. Matanya membelalak karena heran, atau mungkin ketakutan, saat dia menatap Oscar.
Ini adalah pertama kalinya Oscar melihat Tinasha terlihat seperti ini, dan itu mengejutkannya. Secara naluriah, dia meletakkan tangan di atas kepalanya. "Tinasha."
“Oh… Oscar…?”
"Ya."
Di pelukannya, dia menghela nafas panjang, dan dia bisa merasakan ketegangan mengering dari penyihir wanita itu. Dia melepaskannya, menyadari dia tampak pucat, tapi matanya masih menyala dengan cahaya yang sama seperti biasanya.
"Maaf. Aku mengalami mimpi buruk…,” jelas Tinasha.
“Karena kamu tidur di kursi. Jika mau tidur, istirahatlah dengan benar,” Oscar menginstruksikan, sekali lagi meletakkan tangan di kepalanya.
Tinasha menunjukkan senyuman, meski senyum itu tampak agak lemah.
Penyihir wanita itu berkedip padanya, matanya bersinar. “Apakah kamu membutuhkan sesuatu?”
“Tidak, itu bisa nanti. Kau beristirahatlah,” jawab Oscar.
Situasi Cuscull tidak begitu mendesak sehingga dia perlu mendorongnya untuk mendapatkan jawaban ketika dia merasa tidak sanggup melakukannya.
Oscar mengacak-acak kepala Tinasha, mengacak-acak helai rambut hitam pekat itu.
Pada dirinya sendiri, dia membisikkan harapan agar tidak ada yang menyakiti penyihir wanita itu, bahkan dalam mimpinya.
xxx
Secangkir teh disajikan di depan Oscar di kantornya, bukan oleh penyihir pelindungnya tapi oleh Miralys, si dayang. Oscar berterima kasih padanya dan mengambil cangkirnya. "Di mana Tinasha?"
“Saya yakin ada di kamarnya. Sibuk… menganalisis? Atau sesuatu semacam itu.”
Padahal sebelumnya, Oscar tidak tahu apakah Tinasha sedang mengerjakan analisis kutukan atau tidak, segalanya tampak berjalan lebih lancar sejak lelucon jahat Lucrezia. Mungkin Tinasha mendapat bantuan. Belakangan ini, dia sering mengurung diri di kamar, hanya fokus pada tugasnya. Oscar tahu itu demi dirinya tetapi masih menyesap tehnya dengan perasaan kecewa. Untungnya, rasanya persis sama dengan teh yang akan diseduh penyihir wanita itu, dan dia tidak mengeluh.
Lazar masuk dengan membawa beberapa berkas. Oscar tidak bergumam pada siapa pun secara khusus, “Lagi? Aku ingin bergegas dan menyelesaikan ini jadi aku bisa segera mengganggu Tinasha."
“Hentikan itu, Yang Mulia. Jika kamu bertindak terlalu jauh, dia akan marah padamu. "
“Meski begitu, kontrak kami sudah habis masa berlakunya. Aku ingin melakukan apa yang aku bisa sebelum kehabisan.”
Setelah Tinasha pergi, Oscar bisa saja menaiki menara itu lagi, tapi dia mungkin akan marah padanya karenanya.
Kemudian, Lazar menepuk tangannya seolah baru saja mengingat sesuatu. "Itu benar, Yang Mulia memanggil Nona Tinasha sebelumnya, jadi dia tidak ada di kamarnya sekarang."
“Ayah? Mengapa dia memanggilnya? "
“Aku tidak yakin…”
Biasanya, ayah Oscar tidak tertarik pada penyihir wanita itu. Bisnis apa yang dia miliki dengannya? Bahkan jika itu ada hubungannya dengan tamu mereka tempo hari, aneh dia akan langsung mendatanginya tanpa sama sekali melibatkan Oscar.
Pangeran itu meredam pikirannya sebelum mulai berputar terlalu lama dan bangkit. “Di ruang apa mereka? Aku juga akan pergi.”
"Apa? Tidak, menurutku…,” Lazar mulai berkata, tapi dia tidak diberi kesempatan untuk menyelesaikannya.
Oscar melangkah keluar dari ruang kerja, dan Lazar mengikutinya dengan panik. Dengan tercengang, Miralys memperhatikan mereka berdua pergi.
Mengabaikan prajurit yang ditempatkan di pintu, Oscar mendekati pintu masuk ke aula jauh di dalam kastil. Di dalamnya ada raja, anggota dewan kerajaan, Kepala Mage Kumu, dan Jenderal Als —semua pemain kunci di Farsas. Masing-masing pandangan mereka tertuju pada penyihir wanita, yang berdiri di tengah. Tinasha menoleh untuk melihat Oscar, dan matanya melebar.
Dengan wajah batu, Oscar berjalan ke ruangan itu dan berdiri di depannya dengan protektif.
“Ayah, ada urusan apa dengan pelindungku?” tanyanya, suaranya agak tertekan.
Raja Kevin ternganga sesaat tetapi segera tersenyum tegang. “Aku memang ada urusan dengannya, tapi itu bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku hanya mengharapkan beberapa saran."
"Saran?" Oscar bertanya, bingung.
“Tentang calon pengantinmu.”
Ketika Oscar mendengar kata pengantin, yang terpikir olehnya hanyalah Tinasha. Tidak ada orang lain yang terlintas dalam pikirannya, dan dia tidak ingin mempertimbangkan orang lain.
Seolah mengantisipasi pemikiran seperti itu, raja melanjutkan, “Wanita yang akan menjadi ratumu harus memiliki ketahanan sihir yang kuat, kan? Itulah mengapa kamu mengganggu penyihir wanita itu."
"Aku tidak mengganggunya," protes Oscar.
"Yah," tambah Tinasha datar. Oscar tenggelam dalam keinginan untuk berbalik dan mencubitnya. Tindakan seperti itu hanya akan menggagalkan lebih jauh, jadi dia menahan diri.
Raja melanjutkan. “Lalu bagaimana menurutmu jika ada orang lain yang memiliki ketahanan seperti itu? Kau hanya perlu menjadikannya ratumu. Aku meminta Nona Tinasha untuk memastikan apakah gadis tersebut memiliki kekuatan yang dibutuhkan."
“Dan siapa gadis misterius itu…?” Oscar bertanya.
Jelas Raja Kevin mengacu pada seseorang selain Tinasha.
Oscar mengerutkan kening dalam kebingungan, dan Tinasha menjawab, “Dia hampir tidak cukup, tapi aku pikir dia punya kesempatan. Dia pasti berhasil selama dia ditunjang dengan sedikit sihir. Sepertinya dia tidak bisa menggunakan sihir sendiri, jadi begitu aku bebas, aku akan merumuskan mantra penunjang dan meneruskannya ke Kumu. Tolong sihir dia dengan itu setelah dia hamil."
“Tinasha?” Oscar memotong, penasaran. Percakapan itu tentang dirinya, tapi dia satu-satunya yang bukan bagian dari pembicaraan yang sebenarnya. Oscar berbalik untuk melihat Tinasha menatapnya, tenang seperti biasa.
Dia tidak melihat sedikit pun jawaban di mata penyihir wanita itu, tapi langsung menyimpulkan identitas sang kandidat.
“Miralys?”
"Benar," tegas Tinasha.
Kerabat jauh Ettard. Meskipun dia datang ke kastil untuk mempelajari etiket, sangat tidak biasa baginya untuk tiba-tiba ditugaskan sebagai dayang putra mahkota. Pada kenyataannya, sejak awal dia telah ditempatkan di dekatnya sebagai calon ratu masa depan. Oscar adalah satu-satunya yang tidak pernah tahu.
Tiba-tiba, Miralys muncul di pojok ruang kerjanya menunggu perintah dengan sabar. Oscar tidak terlalu memikirkannya. Terkejut, dia bertanya pada Tinasha, "Apa kau tau tentang ini?"
“Aku baru diberitahu tentang itu sekarang. Aku tahu dia memiliki kekuatan sihir yang disegel. Dalam hal sihir murni, dia memiliki lebih dari mage istana, jadi aku punya firasat dia adalah calon pengantin untukmu. Rupanya, dia dari garis keturunan keluarga yang mewariskan sihir melalui garis keturunan mereka dengan cara yang tidak biasa. Begitu generasi terdahulu meninggal, generasi berikutnya mewarisi sihirnya... Ettard pasti tahu tentang itu dan membawanya ke kastil."
Dengan terungkapnya trik itu, Oscar akhirnya mengerti. Namun, menerimanya adalah masalah lain. Dia sedikit melotot kearah pelindungnya. “Kenapa kamu tidak memberitahuku?”
"Karena aku tahu kamu akan membuat ekspresi macam itu jika aku memberitahumu."
"Tapi aku membuatnya sekarang meskipun kamu tidak memberitahuku."
"ya kurasa...," kata Tinasha, meletakkan tangannya di dagunya sambil berpikir, seolah dia baru menyadarinya untuk pertama kalinya.
Oscar ingin terus berdebat, tetapi ayahnya menyela. "Cukup. Setiap orang hanya melakukan apa yang mereka harus lakukan demi dirimu. Kau pikir, bagaimana menurutmu sikap itu akan membawamu? Mengapa Kau begitu sombong sehingga berpikir Kau bisa menyelesaikan semua ini sendirian?"
“Aku tidak berniat menyelesaikannya sendiri. Hanya saja…,” Oscar mencoba memprotes.
“Kamu masih punya banyak waktu. Jangan langsung menolak. Kenali dia dengan baik. ”
Raja berdiri, menandakan percakapan sudah selesai. Dia jelas tidak akan keberatan, karena dia meninggalkan ruangan dengan cepat. Oscar mempertimbangkan untuk mengejarnya tetapi mendengar suara klik kunci dan menyadari bahwa Tinasha juga telah menghilang. Dia berbalik menghadap Lazar, yang tampaknya tidak tahu apa-apa.
"Apa mereka tak bisa menunggu sedetik saja ?!" Oscar berteriak.
"Yang Mulia ... aku mengerti bagaimana perasaan anda, tapi tolong hentikan itu ...," gumam Lazar patuh, dengan mata berkaca-kaca meskipun bahunya gemetar karena marah.
xxx
Post a Comment