Update cookies preferences

Unnamed Memory Vol 3; 6; Bagian 4

Koridor batu abu-abu.

Sepertinya itu akan berlangsung selamanya dan tampak identik dengan lorong yang ditemukan di kastil mana pun.

Maria, berpakaian seperti dayang, berjalan menyusuri koridor yang tidak biasa ini membawa kendi berisi air untuk raja.

Sekitar setengah tahun yang lalu, dia datang ke negara ini atas perintah tuannya, Leonora.

Pada suatu waktu, Maria pernah menjadi mage istana Cezar, tetapi dia bosan dengan kehidupan bebas masalah dan berhenti dari pekerjaannya untuk menjadi seorang pengelana. Ditengah perjalanannya, dia menjalin kontak dengan Leonora, salah satu dari lima penyihir wanita di seluruh negeri. Dia adalah bencana dalam wujud manusia. Kuat, cantik, angkuh... dan tidak bergantung pada siapa pun.

Penyihir wanita itu memang kejam, namun sensitif. Maria langsung tertarik padanya. Dia merasa bahwa Leonora bisa merobohkan segala sesuatu. Jadi dia memohon kepada penyihir wanita itu untuk membawanya.

Dan Leonora menyanggupinya, memberi Maria kehidupan yang dia harapkan.

Ini pertama kalinya Maria menyaksikan sebuah negara runtuh di depan matanya. Dia tersenyum saat dia melihat kastil perlahan kehilangan kilaunya. Dia membayangkan masa depan ketika semuanya akan tertutup api dan darah—

Tiba-tiba, bayangan hitam muncul di ujung lorong, tiba-tiba memangkas lamunan wanita itu. "Apa...?"

Saat dia berkedip, bertanya-tanya apakah pikirannya telah mempermainkannya, bayangan itu merayap mendekat.

Mata pun terwujud dari pecahan malam.

Seorang wanita yang begitu cantik sampai-sampai bisa menjadi perwujudan kecantikan sedang menatap Maria dari sangat dekat. Dia tiba-tiba datang, dan rambut onyx panjang serta pakaian penyihir wanita hitamnya memberikan kesan alam lain.

Tidak seperti tuannya, yang memikat segala sesuatu hanya untuk membakarnya, mata hitam wanita ini menarik sekelilingnya ke dalam jurang yang tak terbatas.

Wanita berbaju hitam itu tidak tersenyum saat dia mengulurkan tangan ke Maria. "Apakah kamu punya kata-kata terakhir?"

Maria tidak menyadari bahwa ini adalah saat-saat terakhirnya. Yang bisa dia pahami hanyalah bahwa makhluk di depannya adalah musuh.

Secara refleks, dia merapalkan mantra serangan. Dia mengangkat tinggi lengan kanannya untuk memukul wanita -“Ah! ”

Namun yang mengejutkannya, anggota badan itu sudah terputus sampai siku. Dagingnya hangus.

Saat wanita itu mengacungkan pedang yang menyala, dia memperingatkan Maria, "Jika kamu tidak memiliki apapun, kamu takan meninggalkan apapun."

Namun, pada saat dia mendengar pernyataan itu, penglihatannya menjadi hitam. Maria menghilang dari dunia tanpa meninggalkan setetes darah pun.

Setelah dengan rapi melenyapkan semua targetnya, Tinasha melirik kendi air yang sekarang dipegangnya dan kembali berteleportasi.

__________

Tidak banyak orang di kastil yang menyadari perubahan itu.

Jika mereka menyadarinya, mereka mengiranya sebagai transisi yang sudah mereka perkirakan. Istana Yarda telah menjadi aneh dan ganjil begitu lama sehingga banyak orang yang hanya berpikir waktu untuk gangguan yang diantisipasi telah tiba.

Hanya orang-orang dari lingkar dalam yang menyadari keanehan itu. Putra mahkota Savas adalah salah satunya. Dia berjalan menyusuri lorong kastil, kekesalannya terlihat jelas. “Apa yang sedang terjadi...? Ke mana semua orang?”

Sudah cukup lama, dia mencoba mengumpulkan jenderal dan penyihir wanitanya sehingga dia bisa menginstruksikan mereka tentang cara terbaik untuk menyerang Zisis. Namun, yang membuatnya marah, tidak ada yang menjawab panggilannya, tidak peduli berapa lama dia menunggu. Dia sudah menyerah dan pergi untuk mencari mereka sendiri tapi tidak dapat menemukan satu pun.

Savas sama sekali tidak tahu apa yang dilakukan para bawahannya ditengah waktu yang genting itu. Pada akhirnya, dia tidak bisa mengandalkan siapa pun selain Leonora —yang juga tidak berguna.

Savas sampai di kantor kepala penyihir kerajaan —salah satu sekutunya— dan membuka pintu. Penghuni ruangan itu berbalik. "Silahkan masuk."

Ketika Savas melihat dengan tepat orang yang telah berbicara, dia untuk sesaat kehilangan kekuatan bicara.

Sebagai pengganti kepala penyihir kerajaan, berdiri seorang wanita yang sangat cantik.

Rubah betina berambut hitam itu tersenyum dan menunjuk ke belakang Savas. "Tutup pintu."

“Eh, baiklah...,” ia setuju, langsung menurut. Sepenuhnya terkalahkan, dia berbalik menghadapnya. "Siapa kamu?"

"Kakakmu memintaku untuk datang," jawabnya.

"Apa....? Apakah kamu tahu di mana Nephelli berada ?!”

"Aku tahu. Tapi aku tidak akan memberitahumu, Yang Mulia,” katanya.

"Aku kakaknya!" dia memprotes.

"Ya sampai beberapa saat yang lalu, ya," balasnya pedas, dan Savas memerah. Dia ingin membela diri dengan alasan tetapi menggunakan harga dirinya yang sangat kecil untuk menahannya.

Wanita itu duduk di meja dan melipat kakinya. Kulit yang menyembul dari bawah pinggirannya sangat putih.

Mata gelapnya menatap ke arahnya. “Apakah kamu menginginkan tahta? Atau bahkan kekuatan yang lebih besar?”

“Tahta! Hak yang pantas aku dapatkan! Jika Zisis tidak berulah dan membuat semua masalah ini...”

"Kamu bisa membangun negara yang lebih baik?" dia bertanya.

"Tentu saja! Aku keluarga kerajaan,” tegasnya.

"Apakah kamu sudah melakukan pekerjaan untuk itu?" tanya wanita itu, menatapnya dengan dingin. Kata-kata manis yang tidak diketahui ini membuat kepalanya terasa panas. Sebelum Savas bisa mengatakan sesuatu, dia melanjutkan dengan nada tajam. “Negara bukanlah instrumen otoritas raja. Baik raja maupun negara adalah lembaga yang dibuat oleh rakyat untuk melindungi rakyat. Orang yang tidak mengerti akan hal itu tidak cocok atau tidak memenuhi syarat untuk menjalankan suatu negara.”

"Aku tahu itu!" Sava berseru.

"Aku harap Kau tau," jawabnya, menatapnya lekat-lekat sehingga mata hitam legamnya mengancam untuk mengintip ke dalam jiwanya. Getaran tidak nyaman menjalari tubuhnya.

Matanya memiliki kekuatan yang aneh. Dia menakutkan.

Savas takut jika dia menatapnya terlalu lama, dia akan mengungkapkan sesuatu yang tidak seharusnya dia ungkap.

Sayangnya, dia tidak akan membiarkannya berpaling. Mata dinginnya menatap matanya saat dia menghantamnya dengan tekanan. “Mungkin kamu harus melihat sekeliling dengan lebih baik. Orang-orang yang coba Kau bunuh dan orang-orang yang coba membunuhmu, merea semua adalah warga negaramu. Jika Kau tidak melindungi mereka, siapa lagi? Wanitamu hanya memandang mereka sebagai pion.”

"Leonora tidak melakukan kesalahan apa pun!" dia memprotes.

“Aku tidak bilang dia salah. Yang aku maksud adalah posisimu berbeda. Dia akan menggunakan setiap trik dalam buku. Kau pikir siapa yang akan Kau bunuh dengan meninggalkan apa yang harus Kau putuskan dan apa yang harus Kau lakukan pada orang lain?” tanya wanita itu, mencecar dengan pertanyaan langsung yang membuat Savas bungkam.

Sang pangeran tahu bahwa dia tidak pernah mengambil keputusan apa pun sendiri dan perang memperebutkan tahta akan segera pecah. Semua tragedi itu bermula dari kelemahan Savas sendiri.

"Kamu kira kamu sangat pintar... Apa yang kamu tahu?" gumamnya.

“Tentu saja tidak ada yang kutahu tentangmu. Tapi Kau bukan satu-satunya yang berutang pada negara,” jawab wanita itu dengan lugas. Kedengarannya seolah-olah dia berkewajiban untuk negaranya sendiri atau sangat dekat dengan seseorang seperti itu.

Merasa frustrasi, Savas mengepalkan tangan. Si cantik menatapnya, tatapannya tak terbaca. Jika dia bertemu mata itu, dia akan disedot ke dalam jurang. Itu memusingkan, seperti mengintip ke cermin ukuran penuh di sebuah ruangan di malam hari.

Salah satu tangan Savas meraih pedang di pinggulnya. “Pergi sekarang, kecuali jika kamu ingin kutebas.”

“Tentu saja tidak. Aku akan mendapatkan cukup banyak jika aku membunuhmu,” jawab wanita itu.

"Apa?" sang pangeran berkata dengan bodoh, tidak dapat segera memahami apa yang dia maksud. Tatapannya tetap datar.

Kemarahan dan ancaman tidak menyadarkannya; tidak ada yang sampai padanya. Itu seperti Savas tiba-tiba diadili.

Aura yang menyelimutinya merobek gertakannya. Wajahnya mulai menunjukkan tanda-tanda keragu-raguan yang selama ini dia sembunyikan.

Bukannya Savas tidak menyesal. Dia tidak mengabaikan ketidakmampuannya sendiri. Meski begitu, pria ini adalah seorang keluarga kerajaan. Dia mungkin orang yang bodoh, tetapi kekuasaannya adalah fakta.

Namun apakah hak istimewanya yang lahir secara alami membenarkan kematian massal?

Savas bangkit, dan ruangan menjadi sunyi.

Wanita itu tidak mengambil kesempatan tersebut untuk menyerang, meskipun Savas membeku dalam keraguan, dia juga tidak menawarkan kata-kata padanya. Yang dia lakukan hanyalah menghadapinya, menatap dengan mata yang tahu segalanya tetapi tampak tidak terkekang oleh apa pun. Wajar jika wanita itu diam. Dia bukan anggota kerajaan Yarda. Sama seperti Leonora, dia tidak memiliki kepentingan langsung dalam pertarungan ini.

Itulah sebabnya... Savas sendiri yang harus mengambil keputusan.

Tiba-tiba, dia layu. Dengan lembut, dia mengakui, “Tidak ada yang bisa kulakukan untuk menghentikannya sekarang...”

Dia melewati titik tidak bisa kembali dalam perseteruan melawan Zisis, dan pasukan akan segera menyerang. Jika Savas tidak menyerang, pihak lain yang akan melakukannya.

Mendengar itu, wanita itu tersenyum kecut. “Bahkan belum ada yang dimulai. Mundur tidaklah mustahil. Kau hanya perlu sedikit mengkesampingkan harga dirimu. Apakah kau bisa melakukan itu?"

Dia melompat turun dari meja dan berjalan ke Savas, mengulurkan tangan seputih gading dan menyentuh pipinya.

Jari-jarinya terasa hangat dan lembut.

Panas merembes ke dalam diri sang pangeran, dan dia merasa ingin menangis. Dia memikirkan wajah mendiang ibunya.

“Apakah aku bisa benar-benar berhasil tepat waktu?”

“Jika waktu yang Kau butuhkan, aku akan memberikan itu padamu,” jawab wanita itu, dan dia tersenyum. Suaranya lembut.

Post a Comment