Tinasha menangis sampai tertidur, dan Oscar membaringkannya di tempat tidur, lalu duduk di sebelahnya dan menghela nafas.
Ini terlalu berat untuknya. Dia terlalu tidak sabar. Meski pada akhirnya dia akan menyembuhkan kesepiannya, itu masih sangat lama. Memaksa gadis malang itu menunggu empat ratus tahun terasa sangat tidak masuk akal sehingga Oscar menundukkan kepalanya, sedih.
Selama ini juga ada sesuatu yang mengganggunya.
Jika ini adalah kenyataan, lalu kapan "sekarang"?
Apakah semua orang khawatir dan menunggu dirinya kembali ke waktu semula?
Sekarang setelah dia bertemu Tinasha dalam wujud gadis, masa lalunya tidak diragukan lagi telah berubah. Seiring berjalannya waktu dalam kenyataan ini, apakah itu masih mengarah ke dunia tempat dia(he) dilahirkan? Atau akankah itu bercabang menjadi dunia serupa tapi tak sama? Ini adalah masalah yang signifikan untuk dipertimbangkan.
“Tinasha,” gumamnya, bukan mengacu pada gadis yang tidur di sebelahnya tapi istrinya. Setelah menjadi ratu, dia menceritakan padanya sebuah cerita rakyat turun temurun di desa dekat benteng Minnedart. Itu memang sangat mirip dengan situasinya. Pada saat itu, Tinasha menertawakannya sebagai kisah yang dibuat-buat dan mustahil, tetapi Oscar adalah bukti nyata bahwa perjalanan lintas waktu lebih dari sekadar legenda. Yang berarti ceritanya juga— Paling sedikit, Oscar menatap gadis yang tidur di sebelahnya. “Wajar jika kamu merasa kesepian.”
Bagaimana tidak? Oscar memikirkan hal yang sama saat bertemu dengan penyihir wanitanya.
Merasa bahwa dia baru saja akan menghela nafas jika dia membuka mulutnya, Oscar tetap diam. Di luar jendela, bulan masih berkilauan perak.
___________
Tinasha bukan orang pagi, dan saat dia masih belia pun tak jauh berbeda.
Ketika dia bangun keesokan harinya, dia duduk di tempat tidur, menatap ke angkasa. Matanya masih sedikit bengkak saat dia berbalik untuk melihat Oscar, duduk di sofa dekat jendela.
Dia sedang memperdebatkan bagaimana menanggapinya ketika dia bergumam, “Maafkan aku.” Dengan canggung, tapi lebih mengkhawatirkan daripada apa pun, dia menatapnya. Ekspresinya sangat mirip dengan ekspresi istrinya. Senyum tersungging di bibirnya saat mengingatnya. "Tidak masalah. Aku tidak mengungkapkan apa yang aku katakan dengan baik. Aku tahu seberapa keras kamu berusaha.”
Tinasha bekerja lebih keras dari kebanyakan orang seusianya. Meskipun itu memang sesuatu yang diharapkan dari seseorang yang memiliki sihir luar biasa seperti dirinya, dia tetaplah seorang gadis berusia tiga belas tahun. Oscar berdiri dan berjalan ke tempat tidur. Dia menghapus jejak air mata di pipinya. “Karena aku di sini, mengapa kita tidak bersenang-senang di suatu tempat? Aku akan membawamu keluar.”
Dia telah mempertimbangkan ide itu selama berhari-hari. Bahkan jika Tinasha tidak tahu koordinat transportasi karena tidak pernah meninggalkan gedung itu, Nark bisa membawa mereka keluar dan membawanya kembali. Pergi ke luar kota mungkin akan menjadi pelipur lara dan pengalih perhatian baginya. Bahkan mungkin saja dia bisa mengunjungi orang tuanya.
Atas usulan Oscar, mata Tinasha terbelalak untuk sesaat. Sebuah kedipan yang tidak cukup harapan melintas di wajahnya.
Namun, segera setelah itu, dia menutup matanya dan tersenyum. "Terima kasih banyak. Tapi tidak apa-apa. Aku akan mendapat masalah jika mereka tahu aku pergi.”
"Aku selalu tertangkap basah karena itu, dan orang-orang selalu marah kepadaku," Oscar mengakui. Itu memang fakta, tetapi Tinasha menganggap itu lelucon dan tertawa terbahak-bahak.
Dia beranjak dari tempat tidur, meletakkan kakinya di sampingnya. “Saat ini, aku sedang bersenang-senang lebih dari cukup, jadi aku benar-benar baik-baik saja.”
"Kamu yakin?"
“Aku bisa mendengarmu, dan kamu akan mendengarku. Bukankah itu sudah menjadi sesuatu yang cukup beruntung?” katanya, berseri-seri. Oscar menatap matanya dengan hati-hati, tetapi seringainya tidak tampak seperti menunjukkan keberanian—gadis itu benar-benar merasa seperti itu.
"Kau mungkin melebih-lebihkan aku, dan aku tidak yakin bagaimana perasaanku tentang itu," aku Oscar.
“Yah, hal semacam ini tidak biasanya terjadi. Kau tahu, suamiku yang memproklamirkan diri datang menemuiku.”
“Memproklamirkan diri...”
Sakit rasanya mendengarnya lagi, tetapi fakta adalah fakta. Tinasha melihat ekspresi masam yang tidak biasa dari pria itu dan tertawa terbahak-bahak. Mungkin dia merasa sedikit lebih tenang sekarang setelah dia mengeluarkan segala sesuatu yang selama ini dia pendam.
Tinasha memeluk lutut ke dadanya. “Ngomong-ngomong, ceritakan tentang masa depan. Jika itu benar, itu berarti aku lebih tua darimu, kan?”
“Kenapa kamu berpikir begitu?” Oscar bertanya.
Dia mengatakan padanya bahwa mereka akan menikah di masa depan, tetapi dia melewatkan bagian tentang dirinya menjadi penyihir wanita. Jadi tentu saja dia tidak akan tahu tentang perbedaan usia mereka.
Tapi Tinasha menyeringai melihat reaksinya. “Karena, Oscar, kamu memberitahuku bahwa orb itu adalah pusaka ibumu, jadi belum ada di Farsas. Itu artinya kamu juga belum lahir.”
“Oh, benar.”
"Jadi aku lebih tua, kan?" dia menekankan, menyeringai nakal.
Oscar meringis. “Itu tidak pernah benar-benar terasa seperti dirimu, tapi kurasa itu benar.”
“Tetapi jika itu empat ratus tahun dari sekarang, apakah itu berarti orang-orang Tuldarr memiliki umur yang sangat panjang? Apakah akan ada inovasi besar dalam ilmu sihir?”
“Itu rahasia.”
“Hmph, sayang sekali. Tapi kurasa tidak baik mengetahui terlalu banyak hal tentang masa depan,” Tinasha menerima. Namun matanya masih berbinar dengan rasa ingin tahu.
"Dimana kita bertemu? Apa yang kamu pikirkan saat pertama kali kita bertemu?”
"Dengar, kau..."
Dia bertingkah seperti Lucrezia, menikmati cerita-cerita gosip. Namun, itu adalah hidupnya sendiri—dapat dimengerti bahwa dia ingin tahu tentang hal itu.
Dengan senyum tipis di bibir, Oscar mengingat menara penyihir wanita. “Aku datang untuk memintamu mematahkan kutukan yang dipasang padaku. Tapi kamu sangat cantik dan sama sekali tidak seperti yang aku perkirakan. Kamu terlihat seperti... seorang gadis biasa, yang kebetulan sangat cantik.”
Sekarang, itu terasa seperti sudah lama sekali. Di era ini, ketika menara belum ada, itu adalah kenangan yang berharga.
Tinasha mendengarkan Oscar dengan penuh perhatian, seperti anak kucing yang menemukan harta karun baru. Mata hitam besarnya terpaku padanya. “Lalu apa? Apa kau langsung menikah?”
“Aku tidak ingin terlalu memperlihatkan niatanku. Kau berulang-kali menolak lamaranku.”
"Apa? Aneh sekali," dia terkekeh. Sepertinya cerita ini tidak nyata baginya.
Itu sebabnya membicarakan apa yang telah dia lakukan adalah pertaruhan seperti itu.
“Tahun 527 berdasarkan kalender Farsas.”
"Hah? Apa yang sedang Kau bicarakan?"
“Itu tahun kami menikah. Sekitar empat abad dari sekarang.”
Tidak diragukan lagi itu jelas tampak terlalu jauh untuk dirasakan, tetapi Oscar berharap Tinasha muda dapat menemukan kenyamanan dalam kenyataan di hari-hari mendatang.
Jadi Oscar menatap istrinya dengan datar, yang belum menjadi penyihir wanita. “Aku akan menunggumu di sana. Dan aku berjanji akan membuatmu bahagia,” dia bersumpah, kata-katanya sarat dengan harapan.
Tinasha tercengang. Matanya bersinar, dan dia hampir menangis lagi....tapi kali ini, dia tersenyum bahagia.
____________
Sepekan kemudian, Lanak datang untuk mengizinkannya masuk ke gudang harta pusaka.
Namun, itu tidak berarti dia bisa melenggang masuk dan melihat-lihat dengan bebas. Dia akan pergi sebagai pelayan Lanak dan mencari alat sihir yang dia inginkan sambil menemaninya.
Sadar bahwa Oscar tidak terlalu memikirkan Lanak, Tinasha gelisah ketika dia menjelaskan hal ini kepadanya, tetapi dia hanya menjawab, “Semoga Kau menemukannya. Berhati-hatilah."
Lampu sihir memenuhi gudang pusaka.
“Wow...,” Tinasha menghela nafas, mengeluarkan teriakan keheranan pada gudang yang penuh dengan peralatan sihir. Lanak membimbingnya ke bawah ke tempat itu. Pemuda itu tampak terbiasa dengan pemandangan tersebut.
Dia tersenyum tipis melihat reaksi Tinasha. “Aku bertanya kepada ayahku, tetapi Kau tidak akan diizinkan untuk mengambil sesuatu. Maaf."
“Tidak, tidak apa-apa. Terima kasih," katanya sambil tersenyum padanya.
Tinasha mulai mencari orb itu, mencari ke sana-sini. Menurut Oscar, itu ada di dalam kotak batu putih kecil. Secara sistematis, dia melewati setiap tempat di mana wadah seperti itu dapat ditempatkan.
“Haruskah aku membantumu? Apa yang sedang Kau cari?" tanya Lanak.
“O-oh, terima kasih. Tapi aku tidak apa-apa. Aku bahkan tidak tahu apakah itu ada di sini..."
"Apa kamu yakin? Well, katakan sesuatu jika Kau membutuhkanku,” jawab Lanak sebelum bersandar ke dinding dan membaca.
Saat dia membuka-buka buku, Tinasha dengan cepat memperluas jangkauan pencariannya. Satu jam kemudian, dia mengulurkan tangan ke rak jauh di belakang. Menyingkirkan patung-patung dan paket di depan, dia melihat sesuatu yang hampir tersembunyi di belakang mereka. Dia berjinjit dan menariknya keluar dengan hati-hati.
Itu adalah sebuah kotak batu putih kecil.
Jantungnya berpacu, meskipun dia membuka tutupnya dengan sangat lembut. Sebuah orb biru seukuran telapak tangan berada di dalamnya. Permukaannya dihiasi dengan tanda.
“Benar-benar ada di sini...,” bisiknya dengan terkejut. Kemudian dia tersentak kembali tersadar ke dirinya sendiri dan memindahkannya ke bagian depan rak, di tempat yang akan mudah ditemukan.
Setelah memeriksa untuk memastikan Lanak tenggelam dalam membaca, dia mulai merapalkan mantra dengan pelan.
___________
“Oscar!” teriak Tinasha, melompat ke dalam ruangan.
Pria itu ada di dekat jendela. Dia hampir menabraknya, dan dia membuka kedua tangan untuk menangkapnya. Dia praktis melompat-lompat kegirangan, dan dia meletakkan tangan di kepalanya untuk menenangkannya. “Bagaimana?”
“Itu benar-benar ada!” serunya.
"Aku mengerti," katanya, menghela napas lega. Jika alat sihir ini menyebabkan teleportasi paksa, kemungkinan besar dia bisa kembali dengan menggunakannya lagi— dan terlebih lagi mengingat itu telah mengirimnya ke masa lalu dengan sendirinya untuk pertama kalinya. Awalnya, alat sihir ini pasti telah melakukan perjalanan bolak-balik, tetapi mage yang menggunakannya kemungkinan telah terpisah dari benda itu karena melakukan perjalanan lintas waktu yang terlalu jauh.
"Jadi apa yang harus kita lakukan?" tanyanya.
“Aku tidak bisa mengeluarkannya, jadi aku selundupkan itu dari gudang harta karun. Aku sudah atur dengan baik sehingga mantra pelarangan akses tanpa izin akan mati selama satu jam pada tengah malam. Beitulah..."
"Aku harus pergi? Oke. Gambarkan peta untukku,” kata Oscar.
"Apakah kamu akan baik-baik saja melakukan itu sendirian?" tanya Tinasha.
“Kau akan dapat masalah jika pergi dan tertangkap, kan? Aku akan baik-baik saja,” dia meyakinkannya.
Terlepas dari kekhawatirannya, Tinasha menggambar peta ke brankas harta pusaka dan diagram yang menunjukkan di mana kotak itu berada di gudang. Oscar memeriksa sebelum menyimpannya di jaket.
Tinasha menatapnya, merasa kesepian. Dia menyadari tatapannya dan meringis, tampak terpaku di tempat. "Jangan perlihatkan wajah seperti itu."
"Wajah apa?" dia bertanya.
"Oh, bukan main," jawabnya tidak jelas.
Gadis itu menggembungkan pipinya, cemberut, tetapi Oscar menariknya dengan lembut ke dalam pelukannya. Dia menghela nafas ke telinganya, "Sekarang aku akhirnya bisa melihatmu lagi..."
Cinta mengalir dalam suaranya, dan hati Tinasha berpacu menyakitkan.
Dia tidak mengacu pada gadis yang ada di depan matanya. Malam ini, dia akan pergi.
Ketika dia memikirkan itu, sedikit kesedihan muncul di dalam dirinya.
"Apakah aku benar-benar akan menikahimu?" tanyanya.
"Ya. Nantikan apa yang terjadi dalam empat ratus tahun.”
Dia tertawa terbahak-bahak melihat betapa meragukannya itu, tetapi dia juga merasa seperti tidak ingin menolak apa yang dia katakan. Dengan lembut, dia bersandar ke pelukannya.
__________
Sesaat sebelum tengah malam, Oscar menarik Akashia dan menempatkan Nark di bahunya. Dia melirik Tinasha yang mengenakan piyama, yang menatapnya dengan cemas.
Sekali lagi, dia kembali memperingatkan, “Aku telah menempatkan mantra tembus pandang padamu, tapi mantra itu akan terangkat begitu Kau pergi dari sini jika Kau berbicara. Hati-hati."
"Baiklah."
“Jika tidak berhasil, kembalilah padaku,” gadis itu menambahkan.
“Jangan bilang begitu.”
“Maksudku, apa yang terjadi jika kamu dikirim lebih jauh ke masa lalu...?” dia resah.
"Kalau memang begitu aku akan pergi dan melihat Lucrezia saja, kurasa," renungnya.
Tinasha mengerutkan alisnya pada nama yang tidak dia kenal.
Sambil menyeringai, Oscar menepuk kepalanya. "Aku akan baik-baik saja. Yang lebih penting... jangan terlalu banyak menghabiskan waktu bersama Lanak.”
"Apa-apaan kau, apa kau ayah yang pemaksa?" bentak Tinasha.
“Aku bukan ayahmu atau kakakmu. Aku lakimu,” katanya.
Ketika Tinasha mendengar itu, wajahnya memerah. Dia mendaratkan kecupan lembut di dahinya.
Dengan mata menyipit penuh kasih, dia meraih tangannya seolah belum ingin mengucapkan selamat tinggal. Dia menelusuri jari-jarinya, dan meremas tangannya. "Sampai jumpa," kata Oscar.
“Ya... Hati-hati.”
Tinasha mengawasinya pergi tanpa berkedip sekali pun.
Dia memiliki perasaan samar bahwa jika memalingkan muka, dia akan mulai menangis.
Post a Comment