Update cookies preferences

Unnamed Memory Vol 3; 8; Bagian 6

Bahkan saat ia jatuh berlutut, memegangi perut berdarahnya, mata Lanak berkilauan dengan ambisi. Tinasha menganga melihatnya, bingung. Dia (he) mengulurkan tangan pada kumparan sihir di udara yang telah ia summon. Massa beku perlahan-lahan mulai memasuki tubuhnya menuruti kehendaknya.

Luka di perutnya mulai pulih dengan cepat.

Saat semakin banyak kekuatan yang mengalir ke dalam dirinya, Lanak berseru penuh kemenangan, “Lihat, Aeterna! Aku lebih kuat darimu!”

Dia menaruh tangan berdarahnya di lantai, mendorong dirinya berdiri, dan kemudian menghadapi dua orang yang berani menentangnya. Menyipitkan satu mata dengan kejam, dia mengulurkan tangan ke arah Oscar. "Aku akan mulai denganmu... Biar kutunjukkan kepadamu seperti apa kekuatan raja itu."

Anak itu mengumpulkan sejumlah besar kekuatan sihir. Oscar mendecakkan lidah dan menahan Akashia, tetapi bingung ketika tidak ada mantra yang terbentuk di tangan Lanak.

Lanak sendiri sepertinya sama-sama menganggap tidak terduga, dan dia mengedipkan mata pada telapak tangan kosongnya. "Apa yang terjadi...?"

Sementara itu, semakin banyak sihir yang disummon dan diserap ke dalam tubuh Lanak. Tinasha memperhatikan bahwa mata Lanak memerah secara tidak wajar saat dia menatap tangannya, dan dia berteriak, “Tidak! Hentikan pemanggilannya!”

"Diam, kau bocah kecil!" Lanak meraung padanya, berusaha merapalkan mantra lebih keras.

Lagi-lagi, tidak ada yang terbentuk. Dia memiliki terlalu banyak sihir dan tidak bisa menggunakannya dengan baik.

Ada suara berderak yang tumbuh di dalam tubuh anak itu. Rasa yang sangat perih menusuk-nusuk dalam dirinya.

Pembuluh darah Lanak pecah menyembur ke segala tempat. Dia terkejut melihat lengannya berubah menjadi merah penuh bintik-bintik.

Dia tidak tahan lagi. Meskipun mencoba membatalkan rapalan, dia telah kehilangan kekuatan untuk bersuara. Gelombang sihir terus membanjiri dirinya.

Dekat sekali, dia mendengar suara sesuatu yang patah sebelum dunianya menjadi gelap.

________

Sihir terus mengalir ke wujud Lanak yang kesakitan, dan matanya berputar ke belakang.

“Oh tidak...,” kata Tinasha, melepaskan sihir ke arahnya untuk menghentikan summoning.

Saat dia melakukannya, Oscar berbalik dan menebas tiga mage berturut-turut. Genangan merah segar melumuri lantai situs sakral itu.

Ketakutan, Tinasha tersentak, “Tidak. Aku tidak bisa menghentikannya....”

Sihirnya tertolak sebelum sampai kepada Lanak. Kekuatan sihir yang menakutkan berputar-putar menjadi pusaran di sekeliling anak itu, yang bergoyang-goyang di tengah badai.

Tinasha berdiri tak bergerak ketika Oscar kembali padanya. Saat itulah tubuh Lanak tidak bisa lagi menahan sihir yang mengalir ke dalam dirinya dan akhirnya meledak dari dalam. Saat lubang besar terbuka di perutnya, potongan daging berserakan di lantai. Tinasha tersentak, dan Oscar menopang bahunya dari belakang. “Lanak...”

Kematiannya begitu mendadak dan terlalu tiba-tiba; dia bahkan tidak sempat berduka.

Sayangnya, bahkan kematian anak itu pun tidak bisa menghentikan kekuatan itu untuk terus berkumpul. Bahkan sihir yang menyembur semakin bertambah banyak, memakai darah dan daging Lanak yang tersebar sebagai perantara.

Dengan hilangnya sang inang, energi itu membeku dan dengan cepat berubah bentuk menjadi tornado raksasa.

“Tidak...,” gumam Tinasha, membeku di tempat.

"Uh hai. Tinasha, kita harus pergi,” kata Oscar, meletakkannya di bawah lengan, berbalik, dan melompat menuruni tangga.

Saat mereka berlari, tornado berputar, mencambuk apa pun yang ada di katedral dan mencabik-cabiknya. Penjaga bergegas masuk, disiagakan oleh keributan aneh itu.

Mereka terkejut melihat Tinasha dan badai di katedral.

“Lady Aeterna, apa-apaan itu...?”

“L-Lanak menggunakan dirinya sendiri sebagai katalis untuk memanggil sihir.....dan gagal mengendalikannya....,” dia menjelaskan, menguraikan apa yang dia lihat tetapi merasa suara yang keluar bukanlah suara miliknya.

Tinasha melihat kembali pusaran kekuatan yang terus meluas. “Jika kita tidak melakukan sesuatu, itu mungkin akan menghancurkan Tuldarr.”

Para prajurit memucat ketika mereka mendengarnya. Sementara itu, angin puting beliung menerobos langit-langit situs suci itu, merobek paving batu karena terus tumbuh semakin dan semakin besar.

“P-panggil Yang Mulia...,” seorang prajurit berseru.

“Beliau terbaring di tempat tidur! Ini terlalu berlebihan untuknya...,” balas prajurit lain.

Tidak dapat melakukan apa-apa, mereka menatap tontonan mengerikan itu dengan putus asa.

Apa yang mereka saksikan adalah awal dari kehancuran total.

Saat waktu seakan berhenti, ada seseorang yang mengambil tindakan. Oscar bergumam pada dirinya sendiri, “Sudah cukup.”

“Oscar?” kata Tinasha.

Apakah dia menyadari sesuatu? Menggunakan Akashia melawan tornado itu tidak akan ada gunanya. Bahkan jika dia menetralkan satu bagian dari kumpulan besar sihir kacau dan tidak terkendali itu, sisanya akan menelannya dalam sekejap.

Oscar menghela nafas dan menepuk bahu Tinasha. "Kau mampu melakukannya. Kendalikan itu.”

Dia menatapnya dengan kaget. “Aku tidak bisa! Kau juga melihat apa yang terjadi pada Lanak, bukan ?! ”

"Kamu bisa. Aku tahu kamu bisa," dia meyakinkannya. Tinasha menahan napas, menatap Oscar.

Dia memiliki keyakinan total dan penuh padanya. Sebuah keteguhan hati terpancar dari sorot matanya.

Itu adalah seseorang yang melihat ke depan, tidak pernah ragu. Tinasha merasa bahwa hanya berada di dekatnya juga bisa membuatnya lebih kuat.

Saat dia menatap bayangan dirinya di matanya, dia bertanya, "Sungguh...?"

"Ya. Ini adalah negaramu. Ini akan baik-baik saja. Kamu punya waktu. Aku akan melindungimu,” katanya, memegang tangannya dari belakang.

Tubuh rampingnya bersandar padanya untuk mendapat dukungan.

“Kita akan mengalahkannya. Bahkan tanpa close call. Aku punya kamu," bisiknya di telinganya.

Tinasha menarik napas dalam-dalam. Kehangatan tubuhnya terasa menenangkan.

Bahkan tanpa menutup matanya, dia bisa merasakan aliran sihir dengan cukup jelas. Apa yang dikatakan Oscar bergema di benaknya berulang kali.

Aku bisa melakukannya...

Dia mengambil keputusan dan menghela napas panjang dan tipis. "Aku akan pergi ke sana," dia memutuskan.

_____________

Meskipun dia telah hidup dalam kesendirian sepanjang hidupnya, dia tidak pernah menganggapnya sebagai nestapa.

Gadis itu diberkati, dan merasa bahwa mengungkapkan kekecewaan seperti itu merupakan sesuatu yang tidak sopan kepada orang-orang yang peduli padanya.

Terkadang, dia meremehkan kekuatannya.

Dia juga merindukan orang tua yang tidak pernah dia kenal. Kadang-kadang, dia memimpikan seperti apa hidup sebagai gadis normal.

Tapi sekarang, cukup sudah.

Kekuasaan tidak mengendalikan rakyat.

Rakyat memegang kekuasaan.

Itu tidak perlu diperselisihkan.

Dia akan menaklukkan setiap tetes terakhir kekuatannya.

____________

Tinasha bahkan tidak bisa berteriak pada tekanan mengerikan yang menekan seluruh tubuhnya.

Jika Oscar tidak ada di belakangnya, mengangkatnya, dia tidak akan bisa tetap berdiri.

Dia menarik sihir tak bertuan pada dirinya, menariknya ke dalam, membuat kendali, dan menjadikannya miliknya. Dia menelan massa yang tidak dapat dicerna itu. Saat proses itu berulang-ulang, rasa sakit yang menyiksa menguliti tubuh dan jiwanya.

Namun, setiap kali dia menggeliat kesakitan, pria itu mengencangkan cengkeraman di pergelangan tangannya. Tidak apa-apa, dia seolah-olah mengatakan itu, menghiburnya bahkan ketika dia hampir jatuh bertekuk.

Sihir mengamuk di dalam dan di luar dirinya, dan Tinasha menggertakkan gigi dengan keras agar tidak kehilangan dirinya sendiri. Berulang-kali, dia menghilangkan halusinasi bahwa dirinya kehabisan darah dan memenuhi ruangan.

Badai sepertinya tidak akan pernah berakhir. Saat gelombang ganas sihir itu akhirnya mereda, dia menyadari bahwa Oscar memeluknya dengan sangat erat. Kakinya gemetar sehingga dia tidak bisa berdiri, dan Oscar memeluk dirinya, praktis mengangkatnya ke dalam pelukan.

Tinasha mencoba meraih wajahnya, tetapi sedikit gerak jari, mengirimkan rasa sakit yang tajam menusuk dirinya.

Dia bahkan tidak bisa bicara, dan Oscar menempelkan pipi ke pipinya. "Ya, benar. Ini sudah selesai. Kamu melakukannya dengan baik."

Yang terbaik yang bisa dia lakukan adalah membalas dengan tersenyum.

Oscar mengangkatnya dan mendudukkannya di kursi di dinding yang berhasil selamat dari kekacauan. Sambil meletakkan tangan di sepanjang wajah pucatnya, dia mencium bibirnya yang masih muda dan polos —semburat merah terkecil mewarnai pipi cantiknya.

Dia mundur dan menatapnya dengan serius. “Tinasha, aku berakhir dengan berbohong padamu. Maafkan aku."

“Oscar...?”

“Aku datang ke sini untuk menyelamatkanmu. Jadi....aku tidak akan melihatmu lagi. Aku sudah melakukan overwrite.”

"Apa?" katanya, matanya membulat. Meskipun sakit, dia meletakkan tangan di kedua sisi wajahnya. "Mengapa…? Kamu hanya perlu kembali ke waktu aslimu, kan?”

Oscar menyeringai dan menggelengkan kepalanya. “Aku tidak lagi punya tempat untuk kembali. Tempat itu menghilang ketika aku datang ke saat ini. ”

"Hilang....?"

“Bahkan jika kamu mengulang masa lalu, dunia tidak akan bercabang menjadi beberapa garis waktu. Itulah yang selalu dilakukan oleh orb sihir itu. Itu alat yang membelokkan masa lalu dan meng-overwrite.”

Dalam cerita rakyat seorang pendekar pedang yang menyelamatkan ibunya, mengapa pria yang datang dari zamannya sendiri menghilang?

Itu karena dunia tidak memiliki banyak versi. Jika Kau mencoba mengubah masa lalu, dunia akan mulai menulis ulang waktu dari titik perubahan. Saat orb itu diaktifkan, dunia si perapal akan lenyap.

Dunia tempat Oscar berasal, penyihir wanita yang telah menjadi istrinya, dan semua yang dia pertaruhkan untuk melindungi hidupnya—tidak lagi ada yang tersisa. Dan tidak hanya itu—

“Jadi...selepas menyelesaikan tugasku, aku juga akan segera menghilang.”

Oscar tidak pernah ada di sini, jadi dia juga akan menghilang begitu masa lalu diperbaiki.

Dia mengerti bahwa begitu orb itu memancarkan cahaya putih. Cahaya itu membuatnya ingat, mengingatkannya untuk melakukan apa yang ingin dia lakukan.

Keinginan bawah sadar Oscar sangat sederhana. Dia ingin berada di sana untuk meraih tangan Tinasha ketika dia sangat dan paling menderita.

Keinginan sederhana itu, dikombinasikan dengan cinta kuatnya, telah mengirimnya ke era ini.

Jika sejak awal dia tahu kekuatan seperti apa yang dimiliki orb sihir itu, dia mungkin tidak akan memilih untuk mengubah masa lalu.

Itu berarti menyangkal jalan yang telah dilalui penyihir wanita itu selama ini.

Jalan hidup Tinasha, dan semangat kuat serta kegigihan yang telah membuatnya mampu melewatinya, adalah bagian dari apa yang membentuk istri tercinta Oscar—satu-satunya istri. Meskipun dia telah menyentuh bekas lukanya, dia tidak pernah ingin menghapusnya. Meskipun pahit, dia telah menerima itu semua seperti halnya dia memiliki tanda di punggungnya.

Keinginannya untuk menghapus semua penderitaan yang dia rasakan adalah kekanak-kanakan dan egois.

Tetap saja, dia sudah membuat keinginan.

Oscar, berhenti mencoba melakukan semuanya sendiri. Kau memiliki aku!

Pria itu mengernyit, merasa seolah-olah dia bisa mendengar Tinasha memarahinya dengan ekspresi putus asa di wajahnya.

Dia adalah penyihir wanita yang dia temui di menara yang berdiri tegak di tengah gurun. Dia telah hidup sangat lama. Dia adalah sosok yang cantik, kesepian, dan yang terpenting, amat baik.

Meskipun dengan luka yang tak terhitung jumlahnya, dia akan berdiri tanpa gentar.

Baginya, wajar jika dia menjauhkan diri dari manusia.

Keinginan Oscar lahir dari kecintaannya pada Tinasha. Dia ingin dia selalu tersenyum bahagia di sisinya.

Melihat ke belakang, waktu yang mereka habiskan bersama telah berlalu begitu cepat.

Sangat menyenangkan, itu seperti keajaiban; jadi konten itu seperti mimpi.

Hari-hari terasa jauh lebih memuaskan bersamanya. Bahkan di sela-sela pekerjaan, kehadiran dirinya terasa menentramkan.

Cinta polos yang dia berikan membuatnya sangat bahagia. Bahkan saat-saat yang paling damai pun terasa menyenangkan.

Dia telah menghargainya lebih dari dirinya sendiri... lebih dari negaranya.

Hasrat tak terkendali itu tidak cocok untuk seorang raja.

Jika Tinasha mengetahuinya, itu akan membuatnya sedih.

Jadi Oscar menyembunyikan emosi yang bergejolak di dalam dirinya dan hanya memberinya cinta yang jelas dan tenang.

Karena dia ingin dirinya, yang ada di sisinya, selalu tersenyum tanpa kesedihan.

Mereka bisa hidup bersama sampai ajal memisahkan mereka, sebagai raja dan ratu yang pada akhirnya akan tenggalam di antara catatan sejarah.

Itu akan menjadi kebahagiaan yang sempurna... dan sudah menjadi mimpi yang tidak pernah menjadi kenyataan.

Meski begitu, dia tidak menyesal bahwa itu adalah bagaimana semuanya akan berakhir.

“Oscar... Itu tidak benar... maksudku...,” kata Tinasha, air matanya berlinang saat menyadari apa yang dimaksud Oscar.

Dia mengusap wajahnya dan tersenyum padanya. “Jadilah ratu yang baik, Tinasha. Kamu pasti bisa."

Dia menggelengkan kepalanya seperti anak kecil yang mengamuk. Sambil tersenyum getir, Oscar menepuk kepalanya. “Meskipun sejarah telah berubah, fakta bahwa aku bertemu denganmu dan waktu yang kita habiskan bersama tidak akan hilang.”

Bahkan jika dia kembali memulai semua ini, dia yakin dia masih akan kembali ke sini, pada akhir yang sama.

Untuk memastikan dia bisa tersenyum tanpa kesedihan, dia akan memberinya masa depan dan kebahagiaan baru.

Meski semuanya berubah, Oscar tak mau menyesali perbuatannya. Itulah yang dia rasakan untuknya.

“Bahkan jika kamu lupa, bahkan jika aku lupa, bahkan jika kita tidak pernah bertemu—aku mencintaimu.”

Di hadapan gadis yang terisak di depannya, dia bisa melihat jejak senyum tersipu penyihir wanita itu.

Wanita yang sangat langka.

Penyihir wanita yang membuatnya jatuh cinta.

Kecintaannya pada gadis itu membuatnya buta. Dia ingin melindunginya, bahkan jika membuatnya kehilangan dirinya untuk selamanya.

Jadi ini adalah akhir yang tak terelakkan yang telah dia pilih.

_____________

Oscar mengulurkan tangan dan dengan lembut membawa gadis itu ke dalam pelukan. Dia berbicara dengan suara serak, "Oscar... Tunggu..."

"Tutup matamu," katanya, dan dia melakukannya. Air mata tumpah di pipinya. Dia mengerti apa yang terjadi, tetapi tidak bisa memahaminya. Rasanya terlalu mengerikan untuk diterima.

Dia tidak mungkin merasa siap secara mental. Segala sesuatu yang penting baginya mengalir melalui jari-jarinya.

Tinasha mencengkeram erat bahu Oscar. Tindakan sederhana itu mengirimkan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya, tapi dia mengabaikannya. Takut kehilangan membuatnya gemetar. “Jangan pergi...”

Hanya itu yang dia harapkan.

Tinasha bisa bertahan empat ratus tahun jika itu berarti bertemu dengannya lagi. Gadis itu tahu dia mampu bertahan seorang diri.

Membayangkan dia menunggunya di masa depan akan memungkinkan dirinya melewati kesulitan apa pun.

Itu sebabnya dia tidak ingin dia menghilang.

Tinasha membenamkan wajahnya di dada Oscar, menempel padanya. Panas tubuhnya menghangatkan tubuhnya yang menggigil.

Dia menarik napas.

Tidak ada yang terjadi.

Kali ini dia menarik napas lebih dalam dan kemudian membiarkannya mengalir keluar. Dia masih mengelus kepalanya.

Tidak apa-apa. Dia di sini bersamaku...

Namun saat kelegaan mulai meningkat, kehangatan yang menyelimuti Tinasha tiba-tiba menghilang. Perlahan, dia membuka matanya.

Sebuah katedral yang hancur dipenuhi dengan tentara yang menatapnya.

Hanya itu yang ada di hadapannya. Dia melihat sekeliling seperti anak kecil yang tersesat.

“Oscar?” gumamnya, tapi tidak akan ada yang menjawab.

Tertegun, dia menatap tangannya yang kosong.

"Ah..."

Tetesan besar dan segar terbentuk di sudut mata gadis muda itu, yang sekarang tampak seperti gerbang ke jurang kegelapan... Dia meraung kesakitan dan terisak-isak.

__________

Pengetahuan tentang kegilaan yang menimpa pangeran Tuldarr, calon raja, terkubur bersamanya.

Tahun berikutnya, seorang ratu muda dan cantik naik takhta.

Dia memiliki kecantikan luar biasa dan kekuatan yang maha kuasa. Sebagai seorang penguasa, dia bijaksana dan sangat berbelas kasih kepada rakyatnya. Tuldarr, negara yang sudah lama dicirikan dengan keterasingan dari dunia, mulai membuka diri terhadap negara lain.

Ini adalah kisah yang jauh di masa lalu, kini sekarang terkubur dalam di halaman sejarah.

END OF UNNAMED MEMORY ACT ONE

Post a Comment