Dia berdiri seorang diri di ruangan yang gelap.
Dia masih muda, dan dia tidak bisa melihat dengan baik di dalam ruangan itu. Cahaya yang masuk dari pintu di belakangnya hanya samar-samar menerangi bagian atas tempat tidur.
Itu tertutup dengan darah merah. Tangan putih seseorang jatuh di genangan merah itu.
Dia melihatnya tetapi tidak bisa memahaminya. Tidak dapat melakukan sesuatu, dia hanya berdiri diam.
Dari suatu tempat yang jauh, dia mendengar seorang wanita berbicara.
“Kamu tidak akan pernah lagi memiliki anak. Keluarga kerajaan Farsas mati bersamamu.”
Penyihir wanita itu terdengar acuh tak acuh saat dia membuat pernyataan.
Dia mendengarkannya dengan agak sedih dan akhirnya berbalik.
Kuat..... Aku harus bertambah kuat.
Lebih kuat dari seorang penyihir wanita. Begitulah tanggung jawab seseorang yang memikul beban bangsa di pundak mereka.
Jadi dia sama sekali tidak bisa bersikap lunak pada dirinya sendiri. Dia harus berlatih, belajar, dan memperoleh kekuatan yang dia butuhkan sesegera mungkin secara manusiawi.
Itulah beban yang dia pikul sejak lahir.
Dia melihat tangannya. Saat ini, dia tidak memegang apa pun. Tetapi di masa depan, dia harus menggunakannya untuk memikul setiap kesulitan yang mungkin terjadi.
Dia tidak punya waktu untuk berdiri diam. Dia harus memanfaatkan semua yang dia miliki dan tidak menyia-nyiakannya.
Maka dia memunggungi genangan darah dan melangkah pergi untuk memenuhi tugasnya.
Setelah bangkit, dia tidak sepenuhnya yakin di mana dia berada untuk sesaat. Dia duduk di tempat tidur dan melihat ke satu sisi. Ratunya terlelap di sana, penyihir wanitanya. Tinasha beristirahat dengan nyenyak, meringkuk di sampingnya. Dia tampak sangat tenang seperti kucing. Oscar tersenyum dan membelai kepala istrinya. “Aku sudah memimpikannya sejak lama.” Sebagai seorang anak kecil, dia sering menyaksikan penglihatan itu.
Penggalan ingatan akan masa saat dia belum memahami situasi ekstrim dari kutukannya sekarang tampak seperti sesuatu dari kehidupan lain.
Ketika dia masih muda, Oscar percaya dia harus tumbuh cukup kuat untuk membunuh seorang penyihir wanita. Namun pada akhirnya, takdir berkehendak lain. Penyihir wanita terkuat menjadi pelindung, mematahkan kutukan, dan menikahi dirinya.
Tiba-tiba terpikir olehnya bahwa sejak bertemu Tinasha, dia hampir sama sekali tidak memikirkan Penyihir wanita Keheningan. Ada saat ketika dia tampak seperti musuh bebuyutannya. Mungkin bebas dari kutukan telah membebaskannya dari pemikiran-pemikiran yang membebani seperti itu.
Itu sebabnya dia merasa sangat beruntung karena dia bisa menghabiskan sisa hidupnya bersama Tinasha.
Oscar menangkap seikat rambut hitam mengkilap dan menciumnya.
"Tinasha, bisakah kamu bangun?" dia bertanya, tetapi dia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bergerak. Masih sangat pagi sehingga langit baru saja mulai terang. Jika dia memaksanya bangun sekarang, dia hanya akan melihat kucing yang tidur di ruang kerjanya nanti.
Dia menarik selimut sampai ke bahu pualam dan membelai rambutnya lagi saat dia bangun untuk bersiap-siap memulai hari.
___________________
Sebagai raja, Oscar memulai pekerjaannya saat fajar menyingsing. Ratunya, bagaimanapun juga, tidak memulai sampai mendekati tengah hari—dan itu adalah hari yang baik.
Ketika akhirnya dia bangun, banyak orang di kota kastil Farsas pergi untuk makan siang. Kerumunan kecil berkumpul di sekitar satu rumah kecil. Mereka mencoba mengintip melalui bingkai jendela batu dan melihat sekilas penyihir wanita cantik yang menikahi raja mereka setengah tahun yang lalu. Kabar dia datang ke rumah ini untuk memeriksa anak yang sakit telah menyebar seperti kobaran api ke seluruh lingkungan.
Di tengah kebisingan dari luar, Tinasha tersenyum saat dia meletakkan sederet botol ramuan di atas meja kecil. "Aku minta maaf karena datang begitu tiba-tiba."
"Ti-tidak apa-apa," jawab sang ibu, menundukkan kepala dengan rendah hati. Di sebelahnya ada seorang anak kecil yang tidak mungkin lebih tua dari empat tahun, menatap kosong pada tamu aneh ini.
Tinasha menoleh padanya dan menunjukkan padanya sebotol cairan merah muda. “Minum di malam hari sebelum tidur, setiap hari sampai hilang.”
“Apakah itu obat? Apakah itu enak?” tanya anak laki-laki itu.
“Aku sudah membuatnya manis. Aku yakin kamu akan menyukainya,” dia meyakinkannya sambil tersenyum, lalu berbalik ke pintu depan. Dia melontarkan senyum cerah pada kerumunan orang yang berkumpul di luar jendela, melakukan kontak mata dengan mereka. Tatapan penasaran dan memuja mereka semakin intens.
Tinasha menggaruk dahi, sedikit tidak yakin bagaimana harus bereaksi. “Aku sedang menunggu seseorang dari kastil untuk membawakanku satu botol lagi...”
Setelah melihat salah satu permintaan yang datang ke kastil adalah anak yang menderita sakit kaki yang tidak diketahui asalnya, Tinasha membawa beberapa obat yang bisa menyembuhkan. Tapi sekarang setelah memeriksanya secara langsung, dia memutuskan bahwa dia memerlukan racikan yang berbeda. Dia telah memerintahkan seseorang untuk mengambil obat yang diperlukan dari kastil, tetapi meminta roh mungkin lebih cepat. Namun, dia ingin menghindari makhluk non-manusia dalam mengambil sesuatu dari persediaan kastil.
Tinasha menyesap teh yang ditawarkan keluarga itu padanya. Tepat ketika dia mempertimbangkan untuk pergi dan kembali lagi nanti, ada ketukan di pintu, dan seorang pria muda berpakaian seperti seorang tentara masuk.
Matanya melebar, dan dia membungkuk padanya sebelum meletakkan botol di atas meja. "Apakah ini yang anda minta, Yang Mulia?"
"Memang, tapi...," katanya, berhenti. Lalu dia tiba-tiba mencubit pipi pria itu. “Kenapa kamu menyelinap keluar dari kastil, Oscar? Aku akan marah.”
“Karena aku mendengar kamu melakukannya. Aku keluar untuk bermain,” jawab raja yang menyamar, menyeringai. Dia mencium pipi penyihir wanita itu.
________________
“Kenapa kamu melakukan sesuatu seperti ini?! Apa kau tidak sadar siapa dirimu?” dia memarahi saat mereka berjalan di jalan utama kota.
“Ya, itu sebabnya aku mengganti pakaianku. Tidak ada yang sadar,” kata suami Tinasha.
Dia menembaknya dengan tatapan dingin. “Kau pikir apa yang kamu katakan? Cukup banyak yang memperhatikan. Mereka hanya berpura-pura tidak sadar.”
"Apakah kamu yakin itu bukan hanya karena aku menonjol saat bersamamu?" dia membalas.
“Itu tidak ada hubungannya dengan itu! Ayo, kita pulang sekarang,” Tinasha bersikeras, menarik tangan suaminya dengan cepat. Dia lebih suka untuk pulang dengan cara memindahkan mereka, tetapi Oscar berpendapat, "Mumpung kita di luar bersama, jadi mari kita menikmati perjalanan pulang."
Saat mereka berjalan di jalan, tidak ada penjaga yang mengikuti di belakang, orang yang lewat tersenyum dan melihat mereka pergi. Itu adalah pemandangan yang kerap kali disaksikan oleh warga kota, yang tahu betul seberapa dekat raja dan ratu.
Oscar menunjuk ke toko penjahit di sepanjang jalan. "Mumpung kita di sini, bagaimana kalau aku membelikanmu pakaian?" Oscar menyarankan.
"Aku sudah cukup," Tinasha menyembur.
“Aku ingin memilihkan pakaian untukmu. Menyenangkan,” sang raja membalas.
“Aku tidak peduli! Baiklah! Tapi hanya tiga pakaian!” Tinasha cemberut, pipinya menggembung, saat Oscar menariknya. Saat dia berdiri di sebelahnya, Oscar mulai memilih ansambel dari barisan etalase. Dengan sangat teliti, ia memilih berbagai macam, mulai dari gaun malam berwarna cerah hingga kostum yang mungkin dikenakan oleh seorang musisi di negara asing.
Tinasha menatapnya dengan putus asa. “Yang ada, aku lebih suka membuatmu berganti pakaian. Dari mana kamu mendapatkan seragam itu?”
“Ruang cuci. Mereka mencuci banyak seragam seperti itu, dan aku mengambil satu," Oscar mengakui dengan berani.
"Aku akan membuat penghalang yang mencegahmu masuk ke ruang cuci lagi," kata penyihir wanita itu tanpa ampun.
Oscar tampak seperti ingin memprotes tetapi memutuskan bahwa dia sedang tidak beruntung dan tetap diam. Sebagai gantinya, dia mengeluarkan pakaian yang seluruhnya berwarna putih. "Ini bagus. Desain yang tidak biasa, tetapi seharusnya terlihat bagus untukmu.”
Seluruh permukaan pakaian itu disulam dengan benang putih, dan meskipun pola pakaiannya tampak antik, itu dibuat dengan sangat halus. Mata Tinasha melebar saat dia mengambil gaun panjang itu. “Ini adalah gaun pernikahan. Orang-orang di daerah pegunungan di sebelah timur memakai ini dalam pernikahan mereka. Sekitar seratus tahun yang lalu, metode tenun pakaian seperti ini hilang. Ini sekarang cukup langka. ”
"Wow benarkah? Itu sempurna, kalau begitu. Ayo kita menikah,” katanya.
“Kita sudah menikah!” protes Tinasha.
“Apa pendapatmu tentang memperbarui sering-sering sumpah kita? Aku ingin membuatmu memakai segala macam busana nikah.”
“Apa-apaan itu...?” Tinasha sungguh, benar-benar lelah. Oscar tertawa terbahak-bahak. Ekspresi ketidakpercayaan pada kejenakaan suaminya dengan cepat berubah menjadi senyum, karena kegembiraan menular. Dia berdiri berjinjit untuk berbisik kepadanya dengan jubah di tangan, “Aku sudah sangat bahagia. Mari kita tetap seperti kita.”
Oscar menyeringai lebar.
Setelah begitu banyak cobaan bersama, hari-hari yang tenang seperti itu sekarang menjadi hal biasa bagi mereka.
_____________
Langit bersinar cerah hari itu.
Oscar menghela nafas saat dia menatap pemandangan dari jendela ruang kerjanya. Dia menandatangani dokumen terakhir dan meletakkan pena. Untungnya, dia bisa mengakhiri pekerjaannya sampai situ untuk hari itu; dia telah menyelesaikan semua yang perlu dia kerjakan.
Lazar sedang membuat teh, dan Oscar bertanya kepadanya, "Di mana Tinasha?"
“Dia pergi ke menaranya hari ini. Aku rasa dia sedang mengatur peralatan sihirnya,” jawab Lazar.
“Menara...,” Oscar merenung. Kata itu terdengar sangat nostalgia sekarang. Setengah tahun setelah pernikahan mereka, istrinya, sang penyihir wanita, menghabiskan sebagian besar waktunya di Farsas. Dia hampir tidak pernah kembali ke rumahnya yang dulu.
Saat dia mengingat kembali saat dia sebagai seorang suami, senyum secara alami muncul di bibir Oscar. Dia memeriksa waktu dan melihat bahwa itu belum mendekati malam.
“Baiklah, aku juga akan pergi ke menara. Jika sesuatu terjadi, hubungi salah satu roh,” kata Oscar.
"Ya, Yang Mulia," jawab Lazar.
Oscar kembali ke kamar, membangunkan Nark, meletakkan naga itu di bahunya, dan kemudian menginjak transportasi array yang digambar di sudut ruangan.
Mantra yang ditandai di lantai yang dulunya merupakan kamar penyihir wanita sekarang mengarah ke lantai pertama menaranya, sementara mantra ini, yang digambar setelah pernikahan, terhubung langsung ke tingkat atas puncak menara.
Lingkungan sekitarnya berubah dalam sekejap, dan Oscar melihat sekeliling. Kamar penyihir wanita itu memiliki lebih sedikit barang di dalamnya daripada ketika dia pertama kali berkunjung, tetapi masih cukup berantakan dan kacau. Dia menemukan istrinya di tengah tumpukan alat sihir dan berseru, "Kamu baik-baik saja di sana?"
“Urgh... Ini tidak kunjung berakhir,” jawabnya sambil mengangkat kepala. Rambut panjangnya diikat ke belakang dengan kuncir kuda. Gosip di Farsas dan sekitarnya menganggap Tinasha sebagai ratu yang paling cantik. Saat ini, dia mengenakan pakaian penyihir wanita biasa karena dia berada di menara.
Oscar mengamati tumpukan pernak-pernik sihir yang diletakkan di sekelilingnya.
“Kau punya terlalu banyak. Coba singkirkan beberapa.”
“Tapi sudah banyak yang ku hancurkan...,” protesnya.
Berbagai benda sihir ditumpuk menggunung di dinding. Segala sesuatu yang dikumpulkan di gundukan itu tidak diketahui asalnya atau terlalu kuat untuk dibawa ke gudang harta pusaka Farsas.
Tidak dapat secara fisik melepaskan diri dari barang-barang yang menguburnya, Tinasha menggunakan teleportasi jarak pendek untuk meluncur ke sisi Oscar.
Dia mengacak-acak rambutnya dengan mesra. " Hari ini pekerjaanku sudah selesai, jadi aku akan membantu."
“Maaf merepotkan... aku akan membuatkan teh,” kata Tinasha.
"Tentu."
"Oh, gunakan ini," dia menambahkan, mengulurkan apa yang tampak seperti sepasang sarung tangan kulit biasa. “Itu tahan terhadap sihir, meski tidak sampai setingkat Akashi. Beberapa dari benda-benda itu tidak boleh dipegang dengan tangan kosong.”
"Oke. Terimakasih,” jawab Oscar.
“Aku yang harusnya berterima kasih,” Tinasha mengoreksi, melayang untuk mencium pipi suaminya. Kemudian dia menghilang ke area dapur untuk membuat teh. Mengenakan sarung tangan, Oscar kembali menghadap gunung alat sihir. Nark menguap kecil dari bahunya.
Dimulai dengan benda-benda terdekat, Oscar mengurutkan benda-benda itu berdasarkan jenis. Dia meletakkan sebuah wadah kecil berisi ornamen dan perhiasan ke dalam keranjang yang telah disisihkan Tinasha.
Saat ia bekerja melalui tumpukan, ia melihat sebuah kotak kayu kecil ramping menuju bagian bawah tumpukan. Itu biasa, tetapi yang menarik perhatiannya adalah noda hitam jari seorang anak kecil.
Dia menariknya keluar, dan tumpukan itu sedikit runtuh. Dia memeriksa kotak itu dengan seksama. "Apakah ini darah?"
Setelah diperiksa lebih dekat, jejak hitam itu tampaknya berasal dari semacam luka kuno. Dengan hati-hati membuka tutupnya, Oscar menemukan kalung antik yang terbuat dari perak. Itu menghitam dan lecet, dan ada lebih banyak darah yang menempel di sana.
Membalikkan benda yang tampak terkutuk itu, dia menemukan bahwa bagian belakang liontin yang tergantung dari rantai itu terukir dalam tulisan Old Tuldarr. Dia mendekatkan wajahnya dan membaca, “Untuk Aeti.”
"Ah..."
Itu adalah nama masa kecil istrinya. Itu adalah nama yang dia gunakan hanya dalam kurun waktu tiga belas tahun pertama hidupnya.
Setelah itu, dia menjadi penyihir wanita. Meskipun sekarang Tinasha bahagia, dia telah melewati penderitaan yang tak terbayangkan untuk sampai ke hari ini. Hati Oscar sakit memikirkan masa lalunya. Dia tidak tahan dengan membayangkan penderitaan menyakitkan yang dia alami saat berada di luar jangkauannya.
Dengan menghela napas panjang, dia menutup kotak itu dan meletakkannya di keranjang. Ketika dia meraih item berikutnya, sebuah wadah batu putih kecil jatuh dari puncak tumpukan. Oscar membuat tumpukan itu tidak seimbang dengan menarik sesuatu dari bawahnya. “Ups. Sial...”
Sebuah permata biru meluncur keluar dari paket dan ke lantai. Itu terlihat seperti kristal, dan kira-kira seukuran telapak tangan. Tanda-tanda rumit menghiasi permukaan. Oscar mengambilnya, merasakan déjà vu yang aneh. “Aku merasa seperti pernah melihat ini sebelumnya di suatu tempat...”
Bukan di menara. Mungkin... di dalam Kastil Farsas. Tiba-tiba, rasa sakit yang tajam menembus kepalanya.
Kuku putih Merah darah (Red of blood White nails)
Wajahnya mengerut, Oscar menahan sakit kepala. Wajah istrinya melintas di benaknya.
“Ugh, apa ini....?”
Rasa sakit yang disebabkan oleh mantra, mungkin? Pasti banyak sihir yang mengelilinginya.
Dia mulai dengan mencoba memasukkan kembali orb itu ke dalam kotaknya, tetapi Oscar menyadari tanda-tanda pada orb biru itu bersinar putih redup. Cahaya samar berkobar sampai seluruh dunia bersinar.
Uh oh. Aku harus meletakkannya.
Meskipun sangat ingin, Oscar mendapati dirinya tidak mampu bergerak.
Nark mengeluarkan teriakan tajam dari bahunya.
Tertarik oleh teriakan atau cahaya, Tinasha bergegas kembali. “Oscar?!”
Seketika itu, dia menyadari apa yang sedang terjadi dan meraihnya sembari berteriak. Sihir terkumpul di tangannya.
Sayangnya, sedetik sebelum dia bisa mantranya gagal, Oscar ditelan oleh cahaya pucat yang meluap.
______________
Post a Comment