Sementara benteng Ynureid di utara Farsas dalam keadaan siaga penuh, di istana Druza, Raja Rodion duduk jauh di belakang singgasananya saat dia menyimak laporan seorang mage.
Pengguna sihir tua itu berlutut di depan rajanya dengan seringai menakutkan di wajahnya yang keriput. “Pengerjaan kutukan terlarang berjalan lancar. Kami yakin itu akan siap digunakan dalam pertempuran dua hingga tiga hari lagi.”
"Apa itu benar-benar bisa mengalahkan Farsas?" tanya Raja Rodion.
"Tidak diragukan lagi. Hampir tidak mungkin untuk bertahan dari itu, bahkan untuk seorang penyihir wanita. Jika mereka memakai Akashia untuk melawannya, pendekar pedang itu akan mati,” jawab mage tua itu dengan percaya diri.
Rodion mengangguk, tidak bertanya lebih jauh.
Kutukan terlarang adalah nama yang diberikan untuk jenis sihir yang dianggap terlalu berbahaya, dibuat dengan cara yang tidak menyenangkan. Beberapa kutukan terlarang adalah mantra skala besar yang bisa digunakan dalam pertempuran. Ini membutuhkan banyak waktu dan tenaga untuk dikumpulkan, apalagi pengorbanan. Tidak ada negara biasa yang akan menggunakan hal mengerikan semacam itu.
Beberapa menyebarkan desas-desus bahwa ilmu tentang kutukan terlarang terkubur jauh di dalam Tuldarr atau dirahasiakan di antara tiga penyihir wanita. Namun, tidak ada yang bisa memastikan kebenarannya. Bahkan Molcado, yang melarikan diri dari Tuldarr empat abad yang lalu dan mewariskan teknik pemanggilan wyvern, adalah pengecualian di antara pengecualian. Sampai sekarang, keturunannya bersembunyi di bawah tanah, menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk merancang kutukan terlarang.
Dan sekarang saatnya untuk menunjukkan hasil kerja keras itu bagi mereka. Target mereka adalah Farsas, yang telah lama merusak pemandangan mereka.
Rodion terkekeh.
Membiarkan mage kutukan terlarang ini keluar duluan. Jika mereka gagal, dia puas untuk menghitung mereka di antara kerugian yang dapat diterima.
Jika mereka berhasil, itu akan menjadi awal sejarah baru.
___________________
Pada hari kedua belas setelah penobatan Oscar, sore yang cerah, gangguan dirasakan di barat laut benteng Ynureid di sepanjang penghalang sihir yang memisahkan Farsas dari Druza.
Benteng segera memberi tahu kastil tentang hal ini, dan para pemimpin Farsas berteleportasi ke Ynureid segera setelah mereka mendengarnya. Semuanya berjalan seperti yang direncanakan, tapi tidak ada yang bisa menyembunyikan kegugupan mereka.
Saat Oscar dan Kumu mengamati kesibukan aktivitas yang terorganisir dengan baik di halaman benteng, Oscar, "Berapa lama sampai mereka di sini?"
“Dilihat dari kecepatan gerakan musuh dan jangkauan kutukan, sekitar satu jam. Aku pikir kita akan berhasil tepat waktu,” jawab Kumu.
"Dimengerti."
“Hanya sekelompok kecil yang melintasi perbatasan—tujuh di antara mereka tampaknya adalah pengguna mantra. Selain itu, sekitar dua puluh ribu tentara bersiaga di Druza tepat di seberang perbatasan,” tambahnya.
“Itu tidak banyak. Entah pemimpin Druza yakin dengan kutukan itu, atau mereka tidak ingin terlalu terlibat dalam hal ini,” kata Oscar.
“Pertempuran yang berpusat di sekitar penggunaan sihir skala ini belum pernah terjadi sebelumnya... Mereka mungkin juga mengambil pendekatan wait and see ,” renung Kumu.
“Mungkin mereka berpikir jika tidak berhasil, mereka hanya akan menyingkirkan pengguna kutukan terlarang dan menyalahkan mereka,” kata Oscar.
Kedengarannya seperti sesuatu yang akan dilakukan rubah tua licik, pikirnya muram, mengacu pada Rodion. Raja muda itu meletakkan tangan di pinggangnya, di mana Akashia —kunci dari segala sesuatu dalam kekacauan ini—tergantung dengan aman.
“Lima tembakan, ya...? Yah, aku yakin kita akan berhasil dengan satu atau lain cara,” gumamnya.
Dia tidak menghela nafas. Perang dihadapan mereka.
__________
Empat belas penyusup yang telah menyeberang ke Farsas berhenti di sebuah hutan. Ynureid terlihat di kejauhan.
Di antara perbatasan Druzan dan benteng terbentang luas, dataran terbuka tanpa penutup apa pun, kecuali beberapa daerah berhutan. Kelompok itu mengawasi benteng dari satu tempat seperti itu.
Tidak ada kota atau desa di dekatnya. Ynureid adalah pondasi pertahanan Farsas di utara. Dengan kata lain, menerobos benteng ini akan memungkinkan untuk masuk tanpa hambatan ke ibukota.
Seorang pengintai kembali, dan seorang mage bertanya, “Bagaimana bentuk benteng itu?” “Aku tidak tahu. Terlihat sama seperti biasanya, tapi...,” jawab si pengintai.
"Oh? Apakah mereka tidak tahu? Aku pikir desas-desus akan bocor,” komentar mage lain.
“Bahkan jika rencana kita bocor, mereka tidak berdaya untuk menghentikannya,” kata mage tua, mengenakan jubah. Dia melirik bungkusan kain yang dipegang wanita di sebelahnya.
Dia memperhatikan tatapannya dan mengangguk dengan anggun. Saat itulah seorang pria mengulurkan tangan untuk mengambil benda tertutup itu darinya.
“Kau mendekati batasmu. Aku akan mengambilnya,” katanya.
Sihir tak menyenangkan terpancar dari bundel itu, yang berisi kristal sihir berbentuk bola seukuran kepala anak kecil yang membungkus kutukan terlarang. Itu adalah objek yang sangat berbahaya yang tidak dapat dihancurkan atau ditempatkan di mana pun.
Jika itu dengan sembarangan diletakkan di tanah, gelombang sihir dan miasma berbahaya akan segera menimbulkan korosi di sekelilingnya, mencemari segala sesuatu saat kutukan menyebar. Karena kristal ini sangat kuat, itu memiliki efek buruk pada orang yang membawanya. Tidak ada orang yang bertahan lama.
“Hanya sedikit lebih jauh, dan itu akan berada dalam jangkauan. Ayo cepat.”
Para penjaga mengangguk. Rombongan itu merayap maju dengan berjalan kaki dengan hati-hati, agar tidak mengundang kecurigaan.
Setelah beberapa waktu, kelompok itu mencapai semak-semak kecil sekitar sepuluh menit dari Ynureid. Terlihat melalui celah-celah di pepohonan, benteng itu tampak tidak berbeda dengan di masa damai. Tidak ada pasukan yang ditempatkan di sekitarnya juga.
“Sepertinya kita bisa melanjutkan tanpa halangan.”
“Terlalu sepi....”
“Jangan khawatirkan itu. Fokus pada apa yang harus kita lakukan di sini.”
Pria itu membuka bungkusnya, memperlihatkan bola yang gelap dan keruh. Gejolak kecemasan menjalari kelompok itu.
“Jangan memasang perisai. Kau akan tersembur.”
"Dimengerti."
Dengan krystal di tangan, pria itu pindah ke posisi di luar hutan di mana benteng berada di garis penglihatan langsungnya. Mage tua itu menghadap benteng, dengan bola kutukan di depannya, dan meletakkan tangan kurus kering di permukaan dinginnya. Dua mage lain berdiri di kedua sisi dan juga menyentuh kristal. Semua orang bertukar pandang, menarik napas gugup.
Dengan suara nyaring dan bergema, mage tua itu melantunkan mantra.
“Lenyapkan, hancurkan, remukkan, wahai jiwa-jiwa yang terpenjara! Dengan kekuatan ini, wahai kebencian, hancurkan itu berkeping-keping!”
Untuk sesaat, kristal itu bersinar dengan cahaya yang menyilaukan.
Kemudian, jeritan kebencian keluar dari dunia, bersama dengan aliran eboni raksasa yang ganas.
Menelan semua udara di dekatnya, ia terbang langsung ke benteng.
Rombongan itu menyaksikan dalam keheningan yang kaku ketika massa besar sihir melakukan kontak dengan benteng dengan kecepatan menakutkan, lalu menyelimuti semuanya sampai struktur itu menjadi bola gelap raksasa.
Sedetik kemudian, ledakan memekakkan telinga mengguncang seluruh wilayah. Secara naluriah, wanita di belakang penyihir tua itu menutup telinganya. Saat mereka menyaksikan, bola gelap itu perlahan-lahan menjadi terang warnanya.
Benteng itu hilang, bahkan tidak meninggalkan puing-puing atau sisa-sisa. Hanya ada petak tanah yang tercemar kutukan.
“I-itu berhasil! Kirim laporan ke Yang Mulia!” teriak para prajurit dengan penuh semangat.
Wanita itu menggunakan mantra untuk memberi tahu pasukan kerajaan tentang keberhasilan mereka. Setelah selesai, dia menyeringai dan mengangguk. "Pasukan akan memulai pawai mereka dan akan mencapai kita dalam waktu setengah jam."
"Kurasa kita akan menunggu di sini," kata seorang pemuda, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Dia mengambil waktu sesaat untuk mengatur napas. Empat ratus tahun terakhir yang dia habiskan untuk memenuhi perintah mengerjakan kutukan terlarang warisan Molcado akhirnya membuahkan hasil. Perbuatan mereka akan tercatat dalam sejarah. Semua orang menyeringai lega dan kegembiraan yang tak tertahankan.
Lima menit kemudian, mereka tiba-tiba mendengar sesuatu yang tajam mendesing di udara.
Mage yang berdiri di sebelah wanita itu sedikit berkedut dan perlahan-lahan merosot ke tanah.
Dia mengintip ke bawah padanya, mengerutkan kening, dan melihat panah bersarang dalam di tengkoraknya.
_________________
"Aku membunuh seorang mage."
“Tembakan bagus,” puji Oscar dengan sedikit seringai setelah mendengarnya.
Di sebelahnya, Als menatap kosong ke arah benteng itu berada. “Tidak ada jejak....”
"Itu dibangun kembali berulang-kali selama bertahun-tahun," kata Oscar.
Ettard, yang berdiri di seberang mereka, terdengar sedih ketika dia berkata, "Itu memiliki banyak sejarah... Tapi ku kira mengingat situasinya, kita harus melakukannya."
"Hanya empat tembakan tersisa," Oscar mengamati.
Mage musuh yang melintasi perbatasan menuju Farsas adalah isyarat bagi semua orang di benteng untuk mengosongkan bangunan itu. Benteng kosong itu kemudian menjadi umpan ketika para prajurit bersembunyi di hutan sekitarnya, menyaksikan segala permainan dari sana.
Salah satu hutan timur laut tersedot kutukan. Di situlah pemanah yang menembak para mage bersembunyi. Untungnya, dia tidak lagi di sana, setelah memakai portal transportasi untuk mundur.
Oscar mengangguk, tidak terpengaruh. “Tiga tembakan tersisa. Aku ingin tahu apakah kita bisa menarik mereka sedikit lebih dekat.”
Tidak lama setelah dia mengatakan itu, datang sebuah laporan bahwa salah satu panah gagal menembus target. Musuh melengkapi diri mereka dengan busur dan memasang penghalang. Alih-alih kehilangan kutukan tersisa, mereka ternyata telah menemukan metode serangan lain.
Dua puluh wyvern muncul di langit.
Makhluk-makhluk itu mengitari area itu untuk beberapa saat sebelum beberapa dari mereka merasakan sesuatu dan berbalik ke arah hutan yang berisi tentara Farsas.
"Itu tidak baik," kata Oscar, meskipun nadanya tetap kering dan tidak peduli saat dia mengeluarkan perintah kepada pasukannya.
Semua masih berjalan sesuai rencana.
Jauh di kejauhan, dia melihat pasukan kerajaan Druza yang sama sekali tidak menyadari mereka mulai terlihat.
___________________
Para mage jatuh kedalam kepanikan karena salah satu dari mereka tiba-tiba menghilang.
Namun, teriakan mage tua mengakhirinya. "Darimana itu datang?!"
“Ku—kurasa dari hutan di sana....,” jawab seorang prajurit, takut dengan ekspresi gemuruh pengguna sihir tua itu, menunjuk ke arah pepohonan di kejauhan.
Mage tua itu melontarkan tatapan berbisa, lalu menarik napas dalam-dalam dan menegakkan tubuh. Dia berbalik dan merapal mantra kutukan, setelah itu pusaran hitam lain meletus.
Gas yang menyesakkan dan berbahaya mengalir di udara, dan beberapa orang menutup mulut. Suhu turun—efek lanjutan yang tersisa.
Sama seperti benteng, bola gelap menyerap hutan. Sebagai gantinya, kabut hitam muncul di udara yang stagnan.
"Apakah berhasil?"
"Pasang penghalang!"
Tepat saat seorang mage menyelesaikan mantra, sebuah panah menghantam penghalang. Wajah semua orang jatuh pada suara lesatan tembakan lainnya. Kutukan terlarang yang mereka gunakan memiliki daya guna terbatas. Mereka tidak bisa menyia-nyiakannya.
“Sialan mereka...,” gerutu pria tua itu, menggertakkan giginya sebelum memulai mantra yang berbeda. Menanggapi kata-katanya, wyvern mulai muncul ke langit. Dia menenangkan napas paniknya dan meneriakkan perintah pada makhluk-makhluk itu. "Bakar sampai hangus tentara yang bersembunyi!"
Seperti yang diperintahkan, para wyvern berputar perlahan di langit sebelum menukik menuju sepetak hutan di barat laut. Sambil menyeringai, mage tua itu meletakkan tangan di atas kristal lagi.
Namun, seorang prajurit menyela dengan berteriak. “Yang Mulia ada di sini! Kita tidak bisa menembak sekarang!”
Pasukan Druzan yang terorganisir dengan baik telah berbaris tepat di belakang hutan yang akan menjadi target mage tua itu.
Saat itulah semua orang menyadari apa maksudnya itu—semua ini adalah rencana Farsas.
“Beritahu raja! Ini penyergapan!” teriak satu prajurit, dan wanita itu bergegas merapal mantra transmisi.
Namun, saat itulah pasukan Farsas muncul dari dalam pepohonan dan menembaki sayap pasukan Druzan.
Tertegun sejenak, wanita itu membiarkan mantranya menghilang. Orang sekelompoknya sama-sama tercengang dan tidak sadar.
Seolah diberi isyarat, Als dan sekelompok mage berteleportasi di belakang mereka.
___________
Menguasai gelombang kejut, Als menebas para penjaga Druzan di depannya dan kemudian menekan musuh. "Singkirkan semua perapal mantra."
Misi mereka adalah mendapatkan kristal, inti dari kutukan terlarang.
Tinasha sebelumnya telah memberi tahu mereka tentang jangkauan kutukan, inti-nya, dan bahayanya.
Rencana Oscar adalah tiga cabang. Tujuan pertama adalah membuat musuh membuang-buang sebanyak mungkin tembakan kutukan. Tujuan kedua adalah memancing tentara Druzan dan meninggalkan mereka tanpa alasan sementara pada saat yang sama menggunakan mereka sebagai perisai kutukan. Tujuan ketiga adalah mencuri inti kutukan.
“Kita tidak perlu menerima semua serangan kutukan,” sang raja baru berkata dengan lelah sebelum mengorbankan benteng kosong Ynureid.
Lalu ada Tinasha, yang mengirim pesan rahasia untuk mengatakan, “Aku tidak bisa berbuat apa-apa tentang inti dengan lima muatan penuh, tetapi ada cara untuk melucuti itu jika telah melepas beberapa tembakan. Setelah Kau mencuri intinya, serahkan kepadaku.”
Bahkan setelah pergi pun, dia menawarkan bantuan. Bagi Als, itu adalah kebaikan yang tidak pernah bisa Farsas balas; dia merasa bersalah sekaligus sangat tersentuh. Tinasha merahasiakan keterlibatannya dari Oscar, tetapi mungkin saja raja yang peka itu sudah menyadarinya dan tidak menyebutkannya secara langsung.
_________
Terperangkap penyergapan, para prajurit Druzan jatuh satu demi satu, bahkan tidak mampu memberi perlawanan.
Dari belakang, wajah pria tua itu berubah marah saat bola api muncul di kedua tangannya. Pengguna kutukan lainnya juga memulai mantra.
"Enyahlah, sampah Farsas!" teriak mage tua itu saat dia melepaskan mantra.
Namun sebelum mereka sempat menyerang Als, mereka menabrak penghalang dan menghilang.
Seketika itu, Kav mengatur tugas menyusun perisai sihir lainnya.
Als terus bergerak maju, mengayunkan pedangnya membentuk busur mematikan. Dua mage Druzan jatuh ke tangan prajurit Farsas dan tersungkur ke tanah, darah mereka membasahi permukaan tanah.
Di tengah kematian dan kekacauan, terdengar teriakan serak. "Lari!"
Tidak ada yang tahu suara siapa itu, akan tetapi Als menyaksikan pria yang memegang kristal dan wanita di sebelahnya menghilang ke udara.
Jenderal itu bersumpah dengan marah bahwa dia belum sepenuhnya menjalankan misinya. “Hubungi Master Kumu.”
Kav mengangguk. Als mengayunkan pedangnya hingga bersih dari darah. Di depan, dia menyaksikan kedua pasukan bentrok dengan sengit.
Di langit, para wyvern menyemburkan api tanpa pandang bulu, yang dilawan oleh para mage Farsas dengan penghalang pertahanan. Naga merah raja, yang dibekali dengan sihir perlindungan, terlibat dalam pertempuran udara melawan beberapa wyvern. Semburan api para wyvern hitam memiliki jangkauan sangat luas hingga bahkan para Druzan menderita korban juga. Ditambah dengan efek keterkejutan serangan mendadak, mereka hampir tidak bisa berdiri tegak.
Mungkin hanya masalah waktu sebelum musuh melarikan diri.
Setelah menyampaikan pesan, Kav mengangguk, dan Als mengamati medan perang.
Sosok-sosok kecil muncul di kejauhan.
Als menyipitkan mata untuk mencoba mengetahui siapa itu, lalu merasakan darahnya menggigil karena ketakutan.
____________
Dua orang yang telah berteleportasi ke sisi selatan dataran tidak bisa berkata-kata. Kekalahan Druzan terlihat jelas bahkan sejauh ini.
Sejak awal, mereka menari di atas tangan Farsas.
Mereka telah menghancurkan sebuah benteng, tetapi tampaknya itu juga merupakan bagian dari strategi musuh.
"Ayo pergi dari sini. Kita akan menunggu kesempatan lain dan kembali menyerang.”
"Kapan?! Master kita sudah mati, dan kita tidak lagi bisa membuat kutukan terlarang! Apakah Kau sadar berapa tahun waktu yang dibutuhkan untuk membuat kutukan yang satu ini?” teriak wanita itu dengan marah, merebut kristal dari pria itu.
Empat abad yang lalu, Molcado tiba di Druza. Butuh ratusan tahun untuk menyelesaikan kutukan terlarang ini, dan wanita itu tidak ingin semuanya terbuang sia-sia.
Tidak ada biaya yang dianggap mahal jika membuahkan hasil.
Kebencian merembes dari kristal, menyatu dengan kebencian wanita itu sendiri.
Matanya, berkobar penuh amarah, mengamati medan perang sampai mereka mendarat di tempat kedua pasukan bertemu. Dengan tatapan terpaku, dia menegakkan diri. Dia mengangkat kristal di satu tangan, lalu meletakkan telapak tangan satunya di atasnya.
Pria di sebelahnya memucat. "Apa yang kau...? Kau juga akan membunuh raja! Hentikan!"
"Diam! Kita selalu bisa mencari penguasa lain! Aku akan membumihanguskan Farsas!”
Kegilaan telah lama menguasai pikiran wanita itu, namun dia tersenyum, tidak menyadari seberapa jauh dia telah turun ke dalam lubang. Sihir berkumpul di genggamannya.
Pria itu melemparkan tatapan kaget padanya. Kemudian, setelah beberapa saat, dia menghela napas panjang. Tidak yakin apakah dia merasa bertekad atau hanya pasrah, dia mengulurkan tangan untuk menyentuh kristal itu. "Bagus. Ayo lakukan."
Senyum mengembang di wajah wanita itu. Mereka yang kehilangan kekuatan mereka sendiri akan menjadi kekuatan itu.
Dia sudah berhenti menjadi manusia dan sekarang hanya menjadi senjata mematikan.
_____________________
“Dua penyihir lolos membawa inti,” Kumu melapor.
"Sialan Als, aku harus mengomelinya," gumam Oscar. Dia berada di garis depan menggantikan Als, dan Kumu tepat di belakangnya, memberinya perlindungan.
Sering kali, api wyvern berkobar di seluruh area, tetapi tidak pernah mencapai mereka. Oscar melirik ke langit, memeriksa apakah Nark masih menghancurkan para wyvern.
Tentara Druzan melanjutkan perlawanan putus asa mereka, tetapi bahkan dalam pertarungan langsung, Farsas memiliki tentara lebih banyak. Jelas bahwa begitu ketegangan yang menyatukan mereka pecah, mereka akan berantakan.
Rodion berada di pusat tentara, dan Oscar ingin membunuhnya atau membawanya sebagai tawanan jika memungkinkan. Itu akan memastikan kekalahan Druza.
Tidak seperti Oscar, Rodion tidak mungkin mengambil risiko muncul di garis depan. Dia berada di suatu tempat jauh di dalam pasukanya, dilindungi oleh satuan penjaga. Saat Oscar menikam dan menebas dengan pedangnya, dia menjelajahi sekelilingnya.
Kemudian dia melihatnya.
Pada saat yang sama, Kumu memulai mantra. Raungan marah raja Farsas bergema di seluruh dataran, sangat keras hingga terdengar di telinga setiap orang.
"Mundur!"
Selusin mage di belakang buru-buru mulai membentuk mantra. Doan, yang ada di antara mereka, menjadi pucat ketika dia menyadari apa yang terjadi. Di kejauhan berdiri dua siluet kecil. Semacam jenis kekuatan sihir besar, hitam, dan jahat terbentuk di sekitar mereka.
Meskipun para prajurit bingung dengan perintah raja mereka, mereka mulai mundur. Saat itulah aliran kekuatan yang gelap dan ganas mengalir keluar dari dua sosok di kejauhan. Pusaran yang merupakan kutukan terlarang itu mengeluarkan jeritan memekakkan telinga saat berputar menuju medan perang. Menyadari adanya semacam perubahan, seorang jenderal Druzan yang menunggang kuda berbalik untuk memeriksa dan berkata dengan heran, "Apa-apaan itu?"
Sebelum dia sempat menjawab, sang jenderal dan pasukannya ditelan kutukan itu.
Aliran deras hitam melesat ke depan, menyapu sepertiga pasukan Druzan dan beberapa wyvern. Namun, sebelum bisa menerkam pasukan Farsas, itu berhenti.
Di sana Oscar berdiri, dengan ekspresi jijik di wajahnya, memegang Akashia melawan massa energi jahat.
______
Kutukan, yang mengenai pedang penetral sihir tepat sebelum sempat berubah menjadi bola hitam, hancur sedikit demi sedikit dengan decitan keras, suara mengertak. Sebuah penghalang besar yang dilepaskan oleh para mage yang bekerja bersama menahan kekuatan hitam yang menekan raja dari kedua sisi, mencoba melahapnya tanpa menyentuh pedang.
Dari titik di mana itu menyentuh Akashia, kutukan itu berubah menjadi kabut hitam dan tersebar.
Oscar menahan erangan kesakitan, matanya tetap fokus ke depan. Seluruh tubuhnya berada di bawah begitu banyak tekanan hingga mengancam akan menggilasnya sampai mati. Butuh seluruh kekuatannya hanya untuk bertahan melawan kutukan itu.
Dia tidak tahu berapa lama mage di belakangnya bisa mempertahankan penghalang.
Dengan susah payah, Oscar meletakkan tangan kirinya di bagian tengah pedang. Sambil mendorong Akashia keluar, dia sedikit memutarnya. Rasa sakit yang tajam menusuk lengannya, dan dia pikir dia mendengar suara tulang patah.
Tapi saat itu, pemandangan akhirnya terbuka, dan Oscar kembali bisa melihat cakrawala. Kutukan itu telah dihilangkan.
Raja memeriksa lengan kirinya yang patah. Keringat dingin mengalir di dahinya, tetapi dia merasa terlalu gembira karena pertempuran untuk menyadari perihnya rasa sakit. Menekan anggota tubuhnya yang patah, dia berbalik. "Apa kau bisa menyembuhkannya?"
“Secara darurat,” Kumu menjawab.
"Maka lakukanlah."
Kumu tampak pucat, tapi dia meletakkan tangannya di lengan Oscar dan merapal. Ketua mage itu masih gemetar setelah merasakan kekuatan kutukan terlarang yang luar biasa.
Pada akhirnya, penghalang mereka tidak bertahan melawan serangan itu.
Tepat di akhir, konfigurasi mantra berulir perak telah menyinari tubuh Oscar, menopang penghalang dari dalam.
Ini bukanlah sesuatu yang telah dipasangkan oleh salah satu dari mereka kepada sang raja. Dia pasti telah diberi sihir sebelumnya. Kumu merasa sangat berterima kasih atas bantuan yang diberikan oleh seseorang yang entah siapa.
“Aku sudah mengamankannya dan menerapkan obat penghilang rasa sakit. Jangan lakukan apa pun untuk memperburuknya..."
"Dimengerti. Ettard, pimpin sepertiga pasukan untuk mengejar pasukan Druzan. Kalahkan semua prajurit yang tersisa.”
Sebenarnya, Oscar ingin mengeluarkan pasukannya, tapi itu mungkin mengundang mereka yang memiliki kutukan terlarang untuk menembak lagi. Ettard, yang terlihat sangat mirip dengan Kumu, membungkuk.
Doan berteriak, "Ada satu yang datang!"
Sebuah sentakan mengalir melalui kekuatan yang terkumpul. Mereka mulai menggunakan sihir pelindung.
"Sisa dua...," gumam Oscar, meringis saat dia berbalik untuk menghadapi kutukan.
Pusaran hitam yang berputar-putar melesat lurus ke arahnya. Kuda Oscar menolak keras karena ketakutan. Dia menenangkannya dengan menggunakan satu tangan untuk membelai rambutnya bahkan saat dia kembali mengangkat Akashia tinggi-tinggi.
Sihir gelap mengaburkan pandangannya. Tekanan yang mencekik dan memualkan menyerang seluruh wujudnya.
Apakah aku mampu menahannya?
Keraguan terlintas di benaknya, tetapi dia tidak bisa membiarkan dirinya menghibur mereka.
Dalam sejarah kutukan terlarang belum pernah menentukan hasil perang. Selain itu, ini adalah Farsas, salah satu negara paling terkemuka di seluruh negeri, serta rumah Akashia. Jika mereka tidak bisa bertahan di sini, sejumlah negara mungkin mulai membuat kutukan terlarang mereka sendiri.
Perkembangan semacam itu dapat mempengaruhi masa depan. Tidak perlu ditanya apakah Oscar bisa melakukannya. Dia harus melakukannya.
“....”
Suara retakan terdengar dari tubuhnya.
Oscar nyaris tidak bisa menggerakkan lengan kirinya. Serangan balasan dari pembongkaran sihir mengejutkan kedalam tangan kanannya.
Gagang pedang akhirnya lepas dari genggaman eratnya.
Uh oh.
Sang Raja segera mencengkeram pedang itu.
Sayangnya, jari-jarinya hampir tidak mematuhinya lagi. Darah mengalir ke pedang.
Kekuatan sihir yang menyeramkan menjangkaunya.
Akhir sudah dekat.
_______
Namun dari belakang, Oscar merasakan seseorang muncul tanpa peringatan.
Tekanan yang melemahkan menghilang. Siapa pun yang bersandar di punggungnya; orang itu kemungkinan besar duduk di pelana di belakangnya. Kehangatan membanjiri, menyembuhkan daging dan tulang Oscar dalam sekejap mata.
Matanya membelalak kaget, tapi dia segera menyeringai sedih. Kutukan itu masih ada di depan matanya, tetapi rasa lega yang misterius menyapu dirinya. Dia memakai tangan kiri yang telah dipulihkan untuk kembali memegang Akashia.
Masih menatap lurus ke depan, Oscar berbicara kepada kehadiran familiar di belakangnya, "Kupikir kau membenciku sekarang."
"Memang. Dan aku juga tidak ingin melihat wajahmu, jadi jangan berbalik,” datang jawaban berduri dengan suara yang lantang dan indah. Dia harus menahan keinginan untuk tertawa terbahak-bahak.
Tubuh Oscar terasa ringan dan bebas. Dia membersihkan kutukan itu, membelah pusaran hitam dan mengubahnya menjadi debu.
Ada gumaman di belakangnya. Setelah memastikan bahwa tangan kanannya bebas dari cedera, dia memegang Akashia sekali lagi. "Kok bisa disini?"
Dengan nada kesal, Tinasha menjawab, “Aku sudah terbiasa dengan kepribadianmu itu.”
Dia terdiam beberapa saat.
Ketika dia berbicara setelahnya, nadanya berbeda, seolah-olah dia sedang membuat proklamasi atau mungkin sedang berdoa. “Bahkan jika kamu lupa, bahkan jika aku lupa, bahkan jika sejarah berubah, dan kita mengulang banyak hal berulang kali—aku adalah pelindungmu. Itu tidak akan pernah berubah.”
Kata-kata itu meresap jauh ke dalam hati Oscar, seperti air murni. Dadanya sedikit sakit melihat betapa sederhananya itu. Dia membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi dia memotong. “Ronde selanjutnya hampir tiba.” Oscar mengangguk. Dia bisa melihat massa hitam terbentuk di kejauhan.
"Ngomong-ngomong, apakah kamu bisa melihat mantra sihir?" dia bertanya.
“Aku tidak bisa.”
“Hmm.... Kalau begitu, kali ini aku akan meminjamkan penglihatanku padamu,” jawabnya. Seketika itu, penglihatan Oscar berubah, membuatnya terkejut.
Pemandangan di depannya tampak sama pada awalnya, namun di sana-sini, dia melihat garis-garis aneh dan cahaya yang bersinar. Dia menghela nafas berat saat melihat lima cincin hitam yang terdiri dari kutukan terlarang, serta kecerahan cahaya putih yang menyelimutinya. Dengan lembut, dia bertanya, "Apa kau bisa melihat cincin itu?"
"Ya."
"Dan garis yang terhubung dengannya?"
"Ya. Aku harus menebasnya?”
Tinasha terkikik, yang Oscar tafsirkan sebagai persetujuan dan menarik Akashia. Dia membidik kutukan terlarang saat kutukan itu menuju ke arahnya.
Raja itu tidak gentar sedikit pun. Dengan hembusan napas kasar, dia memotong mantra hitam itu.
Konfigurasi rumit yang terjalin tersebar dalam sekejap.
Tanpa kerangka mantranya, kutukan itu menghilang seperti semacam penampakan.
Dibandingkan dua kutukan sebelumnya, rasanya hampir antiklimaks. Oscar ingin mengeluh tentang betapa dia telah menderita sebelum menggunakan metode yang berbeda.
Oscar hendak mengatakan sesuatu kepada wanita di belakangnya, tetapi dia sadar bahwa dia telah menghilang. Dia berbalik hanya untuk melihat Kumu balas menatapnya dengan mata lebar.
"Di mana Tinasha?" Oscar bertanya.
"Maaf?"
"Dia baru saja di sini, bukan?"
“T-tidak, tidak ada orang di sana,” Kumu menjawab.
Mata Oscar melebar. Dia memutar ulang apa yang baru saja terjadi, bertanya-tanya apakah dirinya hanya membayangkannya.
Namun, tidak mungkin. Dia tak akan bisa menghancurkan kutukan terlarang itu dengan mudah tanpanya.
Menatap tubuhnya yang sama sekali tidak terluka, Oscar tertawa terbahak-bahak.
_________________
Mencengkeram orb itu, miasma gelapnya sekarang menipis, wanita itu berdiri terpaku di tempat.
Dia tidak pernah menduga seseorang bisa bertahan melawan tiga tembakan kutukan. Kekuatan di tangannya itu seharusnya mutlak, dan sekarang setelah kekuatan itu hilang, dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menatap ke kejauhan dengan linglung.
Tiba-tiba, pria itu menepuk pundaknya. "Kita harus pergi. Mereka datang."
Als dan prajuritnya, orang yang sama yang telah membunuh mage tua itu, berlari ke arah mereka dengan menunggang kuda.
Sambil menggertakkan giginya, wanita itu menatap musuh. Dia mengangkat orb itu tinggi-tinggi, menyentuhkan tangan ke permukaan dinginnya.
Menebak niatnya, wajah pria itu menjadi pucat pasi. Dia mengulurkan tangan untuk menghentikannya. “Jangan! Melepaskan sihir tidak berbentuk akan membawa petaka!”
"Diam!" dia berteriak, mengguncangnya.
"Pergilah... Lahap mereka!"
Sebuah noda hitam keluar dari kristal, menanggapi sihir yang dia alirkan ke dalamnya. Tidak seperti sebelumnya, itu tidak memiliki bentuk yang jelas dan keluar dari mana-mana. Di mana noda menyentuh, rumput layu, dan bau tak sedap tercium.
Pria itu terdiam. Jika mereka tidak melarikan diri, mereka juga akan dalam bahaya.
Dia coba memanggil mantra teleportasi tetapi kemudian melihat noda itu melayang ke satu titik di udara. Tempat itu menyedot miasma kebencian yang kental dan mengalihkannya.
Saat keduanya menyaksikan, terpana oleh pemandangan yang tidak dapat dipahami, hampir seluruh noda menghilang. Kemudian seorang wanita muncul.
Dia memiliki rambut panjang segelap malam—dan kulit seperti porselen. Melayang-layang di udara seperti dirinya, keberadaannya yang terlihat seperti sosok yang indah.
Matanya tertutup, dan perlahan terbuka untuk mengungkapkan iris gelap.
Dia tersenyum menyihir pada dua orang yang ada di tanah. “Aku senang berkenalan dengan kalian.... Aku adalah penguasa kedua belas Tuldarr, Tinasha As Meyer Ur Aeterna Tuldarr. Apakah asumsiku benar bahwa kalian telah mewarisi keahlian mantra dan kejahatan buronan Molcado?”
Tatapannya terasa menarik —itu membuat kedua mage itu bosan, menarik mereka mendekati kedalaman jurang.
Mereka ketakutan mendengar namanya.
"Ra-Ratu Pembunuh Penyihir Wanita..."
“Di sini didepan mata kita...?”
Ratu itu mengulurkan tangan ke arah mereka. Saat mereka menyaksikan sihir membeku di dalam sosoknya yang mempesona, keraguan apa pun yang dimiliki mereka berdua tentang identitas wanita itu memudar.
Suaranya bergema di udara, tidak berbeda dengan suara seruling yang ramping. “Jika kalian tidak keberatan dengan fakta itu, maka bersiaplah menerima hukuman kalian. Inilah sudah berakhir."
Mage wanita itu telah kehilangan segalanya, dan dia menutup matanya dalam menghadapi kekalahan pahitnya. Cahaya putih membakar kelopak matanya.
Dan kemudian dia tidak lagi ada.
________
Raja Rodion dari Druza, yang berhasil lolos dari pertempuran bebas, berkuda bersama beberapa tentara kembali ke perbatasan.
Hasil percobaan eksperimentalnya adalah kekalahan yang luar biasa besar. Dia mengutuk para mage. “Sialan mereka! Omong besar! Tidak dapat memenuhi apa yang mereka klaim! Tidak hanya Farsas yang pulang tanpa cedera, pasukan kita sendiri juga terseret!”
Merenungkan balas dendamnya, Rodion menggertakkan giginya. Kudanya tiba-tiba berhenti, dan dia sedikit maju. Dia berhasil memegang kekang dan tidak terlempar.
Pengawalnya juga berhenti.
"Apa yang sedang terjadi?! Jalan!" dia memerintahkan, menendang kudanya. Namun tetap tidak mau bergerak. Memeriksa belakangnya, Rodion melihat terdapat batalion Farsas mengejar mereka.
“Sialan! Jalan, sialan kalian!” seru Rodion, menghunus pedangnya. Tapi ledakan rasa sakit hebat menusuk lenganya. Secara naluriah, dia menjatuhkan pedangnya.
Saat jatuh ke tanah, dia mendengar suara geli seorang gadis, meskipun tidak ada seorang pun di sekitarnya. "Ratu berkata dia akan membiarkanmu pergi, jika kamu tidak menggunakan kutukan terlarang."
"Siapa itu?!"
Tidak ada yang menjawab. Suara cekikikan itu telah berhenti.
Dengan pedang terhunus, regu pengejar Farsas menyerangnya dari belakang.
__________________
“Sepertinya Farsas menang. Yang tersisa hanyalah mereka untuk dibersihkan,” cemooh gadis roh mistik itu.
“Itu karena tentara Farsas jauh lebih kuat. Jika bukan karena kutukan terlarang, itu bahkan tidak akan perlu lagi dipertanyakan,” jawab mage yang merupakan permata mahkota Tuldarr.
Keduanya melayang-layang di atas medan perang, dengan malas menyaksikan segala sesuatu yang dimainkan dan mengeluarkan pikiran mereka.
Wanita itu mengamati area yang diselimuti kabut hitam dan menghela nafas.
“Mari kita alihkan kabut dari dua tempat itu sebelum kita pulang.”
“Kita bisa membiarkannya begitu saja, kau tahu. Kau sangat teliti, Lady Tinasha,” kata gadis roh itu.
“Aku tidak bisa membiarkannya di sana...,” kata Tinasha, menyapukan jarinya ke atas dan ke belakang melalui rambutnya. Pertama, dia berteleportasi di atas bekas situs Ynureid. Setelah mantra yang panjang selama beberapa menit, dia menyingkirkan sihir yang menempel di tempat itu.
“Tinggal satu lagi...,” gumam Tinasha, terdengar terganggu, dan dia berbelok ke posisi di mana tanah masih tebal dengan sisa-sisa hitam.
___________________
Tentara berkumpul kembali, membawa laporan dari setiap sudut. Tercampur di antara mereka adalah kabar bahwa Raja Rodion dari Druza telah terbunuh. Oscar tidak hanya mengangkat alis setelah mendengar kematian tiba-tiba penguasa musuh; dia hanya mengangguk.
Als datang terakhir untuk memberikan penjelasannya, turun dari kudanya dan membungkuk kepada Oscar. "Kedua penyihir yang menggunakan kutukan terlarang sudah mati."
"Apakah kamu membunuh mereka?" Oscar bertanya.
Als meringis. Sambil menggaruk kepalanya, dia menjawab, "Tidak, dia (she)..."
Dia meninggalkannya samar-samar, tapi Oscar mengerti. Raja melihat sekeliling, lalu memiringkan kepalanya sambil berpikir.
“Paduka?” Als bertanya.
"Tidak. Kumpulkan pasukan dan buatlah setengah kamp di sini. Kirim sisanya kembali ke kastil,” perintah Oscar.
“Ya, Paduka,” jawab Als.
Untuk mengantisipasi kehancuran benteng, sebuah perkemahan didirikan tidak jauh dari sana. Tentara akan ditempatkan di sana mulai sekarang saat mereka menunggu pembangunan ulang Ynureid.
Setelah memberikan arahan lain untuk pembersihan pasca-pertempuran, Oscar pergi dengan berkuda. Nark terbang kembali ke bahunya, seolah-olah telah menunggunya. Doan dan beberapa prajurit mengikuti raja, bingung dengan kepergian mendadaknya.
Oscar menghentikan kudanya di dekat sepetak hutan yang dimusnahkan oleh kutukan dan melihat ke langit.
Tidak ada apa-apa di sana. Doan mengerutkan kening, bingung.
“Tinasha! Aku tahu kau ada di sana. Turun," teriak Oscar.
Sebelum Doan mengerti apa yang terjadi, jejak kabut hitam yang tertinggal menghilang dari tempat itu. Melihat lagi, dia memperhatikan bahwa tidak ada lagi lengkungan di atas bekas lokasi benteng.
Suara seorang wanita menggema dari langit. Dia terdengar sangat tidak senang. “Bagaimana kamu bisa tahu? Aku mencoba untuk tidak terlihat.” "Intuisi," jawab Oscar.
“Aku benar-benar tidak menyukaimu...,” gerutu suara tak berbentuk sebelum muncul di langit. Dia perlahan turun, rambut hitamnya yang halus berkibar tertiup angin.
Begitu dia sejajar dengan Oscar, seringai sarkastik memutar wajahnya saat dia memiringkan kepalanya ke satu sisi. "Bukankah aku sudah memberitahumu bahwa aku tidak ingin melihat wajahmu?"
"Sepertinya aku ingat pernah mendengarnya," goda Oscar, senyum masam di bibirnya saat mengkonfirmasi bahwa sebenarnya memang dia yang ada dibelakangnya dan bukan semacam hantu.
Tinasha, di sisi lain, menyilangkan tangan dan cemberut. Oscar, yang belum pernah benar-benar melihatnya seperti itu sebelumnya, merasa terpesona.
“Yah, terserahlah... Kecil kemungkinannya kamu akan mengubah perilakumu karena aku menyuruhmu. Dan aku juga tidak berharap untuk beberapa perbaikan sihir. Lakukan apa yang kamu inginkan."
"Aku melakukan apa yang aku inginkan, kalau dipikir-pikir," kata Oscar, memberi isyarat kepada Tinasha untuk mendekat. Wajahnya melotot, Tinasha tetap beringsut lebih dekat. Dia menangkupkan wajahnya di tangannya dan menatap matanya yang gelap. “Kamu menyelamatkan kami. Terima kasih."
Keterkejutan melintas di tatapannya. Jelas, dia tidak memperkirakan dia mengatakan itu. Karena malu, Tinasha membuang muka dan bergumam, “Kamu tidak perlu berterima kasih padaku. Aku hanya ikut campur.”
“Aku ingin mengucapkan terima kasih, jadi aku melakukannya. Dan juga... Maaf. Tentang sebelumnya,” dia mengaku.
"Tidak apa-apa. Aku lengket. Tentu saja, itu mematikanmu,” gumam Tinasha.
"Aku tidak berpikir itu persis apa yang aku katakan ..."
"Dan sebagai catatan, aku juga tidak pernah memaksamu untuk menikahiku!" dia bersikeras.
"Apakah kamu ingin menikahiku?" Oscar bertanya.
"Kamu tidak berniat melakukannya, jadi jangan tanyakan hal semacam itu padaku," Tinasha mendengus, menyentakkan kepalanya ke satu sisi dengan cemberut yang jelas.
Sambil menyeringai, Oscar menariknya ke dalam pelukan dan mendudukkannya di hadapannya di pelana. Dia menyodok ringan ke wajah cemberutnya. “Hmm... Bukan gayaku meminta seseorang menyelamatkanku. Terlalu sepihak. Aku akan menyelamatkanmu, seperti kau sudah menyelamatkanku. Jadi jangan ragu bertindak sesukamu. Aku telah meninggalkan kamarmu di kastil seperti semula.”
Kepala Tinasha muncul untuk mengejutkan raja. Tapi segera, pipinya menggembung dan alisnya berkedut. “Apakah kamu pikir aku akan memaafkanmu apa pun yang terjadi? Apakah aku seharusnya dengan senang hati berlari kembali kepadamu?”
“Aku sama sekali tidak berpikir begitu. Lagi pula, Kau tidak ingin melihat wajahku.” Oscar tertawa terbahak-bahak.
Suasana hatinya telah melonjak. Tidak masalah bahwa Tinasha akan pergi pada akhirnya.
Ini tidak berarti dia ingin memilikinya untuk dirinya sendiri. Dia baru saja menyukainya.
Oscar menganggap Tinasha menghibur dan berharap dia menjadi dirinya sendiri. Dia ingin melihatnya terbang bebas.
Itu saja sekarang, dan dia berharap dia akan baik-baik saja dengan itu.
Tinasha menatapnya dengan muak saat dia tertawa. Tapi kemudian dia menghela nafas kecil dan tersenyum. Dia bersandar padanya, memastikan dia tidak bisa melihat wajahnya, dan kemudian berlesung pipit bahagia. "Bagus. Aku tau betul bahwa aku akan berakhir sebagai mainanmu. Aku akan tetap berada dalam jangkauanmu.”
“Hmm, tapi kaulah yang menjadikanku mainanmu sejak lama,” Oscar membalas dengan acuh tak acuh.
"Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan," Tinasha mendengus, mendecakkan lidahnya dengan kesal.
_______________
Meski lingkup pertempurannya relatif kecil, penggunaan kutukan terlarang Druza mengirim riak ke negara lain. Ini akan menjadi tanda yang tak terhapuskan dalam sejarah.
Druza, yang ditinggalkan tanpa ahli waris, terbelah menjadi dua. Sisi barat, yang berbatasan dengan Tuldarr, menjadi wilayah dependensi Kekaisaran Sihir.
Kekuatan utama benua menandatangani perjanjian yang setuju untuk melarang penggunaan kutukan terlarang dalam pertempuran.
________
Tidak ada catatan yang menyebutkan seorang mage dari Tuldarr berdiri di belakang raja Farsas saat menghancurkan kutukan terlarang.
Hanya sedikit orang di pertempuran yang mengetahui kebenaran itu, dan dengan cepat terdegradasi ke bayang-bayang sejarah.
Post a Comment