“Perdana Menteri Zisis dan Putra Mahkota Savas kurang lebih seperti yang
Kau katakan, Putri Tinasha.”
Tiga hari telah berlalu sejak percobaan peracunan, dan Eneas masih belum ditemukan. Renart pergi ke Yarda atas perintah Tinasha dan saat ini sedang menyampaikan ringkasan laporan.
Awalnya, Renart bekerja untuk Legis, tetapi akhir-akhir ini, dia lebih sering menjalankan perintah Tinasha. Keduanya berada di kamar Tinasha di Farsas, menyeruput teh sambil membaca laporan.
“Ketika Savas mulai berusaha keras membantu urusan publik, dia menolak proposal reformasi perdana menteri dan saran lainnya dengan alasan bahwa mereka 'terlalu tidak konvensional.' Pada saat yang sama, ia menunjuk kerabatnya ke berbagai posisi dan melucuti kekuasaan Zisis. Raja jatuh sakit tak lama kemudian.”
"Seperti apa kerabat yang dia tunjuk ini?" tanya Tinasha.
“Hanya keluarga kerajaan yang mereka miliki, sepertinya. Yang mereka lakukan hanyalah membuang-buang uang untuk hal sembrono.”
“Hmm... Menyelamatkan keluarga kerajaan tidak terdengar seperti menyelamatkan Yarda.”
“Mungkin begitu. Tapi mungkin saja keluarga kerajaan menganggap diri mereka sebagai negara itu sendiri,” kata Renart.
Tinasha sangat bimbang, tapi dia hanya ingin membantu Oscar, bukan Yarda. Dia tidak perlu menyibukkan diri dengan etika atau konsekuensi situasi di masa depan.
Saat itu, terdengar ketukan ringan di pintu. Renart menjawabnya dan membawa tamu itu. Mata Tinasha melebar pada pengunjung tak terduga ini.
"Kau..."
"Namaku Valt, Yang Mulia."
Mage itu tersenyum cerah dan membungkuk. Dia adalah salah satu pengawal Nephelli; Tinasha pernah melihatnya sekilas di tempat latihan.
Dia menatap tajam padanya. “Kau menekan sihirmu. Sebenarnya, kamu lebih dari sekadar ketua mage suatu negara, bukan? ”
“Oh, tentu tidak sejauh itu. Hanya saja sebagian besar sihir itu diperoleh, dan aku merasa orang lain tidak perlu mengetahuinya, jadi aku menyembunyikannya,” jawabnya.
Tinasha mengangguk. Bagaimana tepatnya seseorang memiliki lebih dari kapasitas kekuatan sihir alami mereka adalah masalah pribadi, sering kali menyangkut situasi khusus. Tinasha sendiri pun demikian, jadi dia tidak menekan masalah itu lebih jauh. Sebaliknya, dia bertanya, “Mengapa kamu datang menemuiku? Apa Kau tahu siapa pembunuhnya?”
“Tidak, tidak ada hubungannya dengan itu...,” dia mengakui, terlihat tidak nyaman saat dia menunjukkan buku sihir yang dia pegang padanya. “Aku punya pertanyaan tentang mantra. Maaf mengganggumu jam segini.”
Tinasha terkejut akan hal ini tetapi segera tersenyum. Tuldarr menarik minat dan kekaguman para mage negara lain. Menyetujui pemuda ini yang tidak merahasiakan semangat belajarnya, bahkan dalam kondisi seperti itu, Tinasha menawarinya tempat duduk.
“Tanyakan saja. Semoga ada yang bisa aku jawab. Apa pun yang aku tidak bisa, Renart bisa.”
“Putri Tinasha, aku tidak yakin ini...
"Aku akan melakukannya, terima kasih," kata Valt.
Duduk disekitar meja, mereka bertiga memperdebatkan berbagai topik yang berhubungan dengan sihir. Itu adalah istirahat luar biasa bagi Tinasha, yang telah menghabiskan seluruh waktu dan energinya untuk menganalisis kutukan dan persiapan penobatan akhir-akhir ini.
Setelah cangkir teh ketiga mereka, Valt bangkit. Bersinar, dia mengatakan, "Terima kasih banyak. Sekarang aku akan bebas untuk kembali mengawal Putri Nephelli. Kami juga telah mendapatkan kerja sama dari raja Farsas, jadi pertunangan mereka akan datang kapan saja sekarang.” "Apa?" Tinasha menjawab dengan kosong.
Valt melanjutkan, tanpa basa-basi. “Itulah niat Yarda, mengingat dia telah merawat Yang Mulia. Ini kesempatan yang sempurna, mengingat pasangan ini sudah lama saling mengenal. Aku yakin mereka akan menjadi pasangan yang penuh kasih.” Setelah jeda, dia menambahkan, "Putri Tinasha, pria itu akan sangat bahagia tidak peduli siapa yang dia nikahi."
Valt berhenti di sana, menatap Tinasha dengan tatapan yang sangat serius. "Jadi, kamu juga harus membebaskan dirimu sendiri."
Dia tersenyum masam padanya, seolah bersimpati padanya.
Apa yang Valt maksud dengan itu? Saat Tinasha terlalu terkejut untuk berbicara, Renart berkata, “Kau pikir apa yang sedang kamu lakukan? Dia-"
“Aku tahu betul dia adalah putri Tuldarr. Tolong jaga dirimu baik-baik. Terima kasih telah memanjakanku.”
Sebelum Tinasha sempat mengeluarkan sepatah kata, Valt membungkuk dengan halus dan pergi.
Tinasha merasakan sensasi yang berbeda karena ditinggalkan. Dia melirik ke meja, di mana cangkir penuh teh dingin duduk.
“Membebaskan diriku…?”
Valt menatapnya dengan mata orang yang bisa melihat kebenaran dari hampir semua yang dia dengar. Mungkin itu menjelaskan rasa kehilangan yang dirasakan Tinasha. Dia menekan tangan ke hatinya yang perih.
“Aku tidak memiliki urusan dengan siapa dia menikah.”
Farsas bukanlah rumahnya, dia dan Oscar juga bukan warga negara biasa.
Sedih atau tidak, dia tidak boleh terbawa perasaan. Tidak ada pilihan lain. Dia hanya akan menjalani sisa hidupnya dengan panas yang membara didalam dirinya yang tak akan ada habis-habisnya.
Tinasha memikirkan hari ketika dia akan meninggalkan Farsas. Penobatannya kurang dari tiga pekan.
_______________
Sepekan lagi berlalu, tetapi pelayan yang hilang masih belum muncul. Malam itu, Nephelli yang putus asa dengan enggan meninggalkan kamarnya atas undangan pribadi Oscar. Dia berjalan ke aula besar, dikelilingi oleh tentara pengawal dan dayang. Karpet biru tua terhampar di lantai ruangan berlangit-langit kaca itu; semangkuk buah dan hidangan matang diletakkan di atasnya.
Dari dalam, raja kastil bertanya padanya, "Bagaimana perasaanmu?"
"Aku sangat menyesal telah membuatmu melewati semua masalah ini..."
“Ini tidak merepotkan. Aku harus meminta maaf karena pencarian kami belum mengalami kemajuan,” kata Oscar, duduk langsung di atas karpet dan mendorong Nephelli dan pelayannya untuk mengambil potongan hidangan. Rombongan pengawal sang putri terdiri dari dua perwira militer bernama Nino dan Lucanos, serta Valt sang mage. Di pihak Oscar adalah Als, Kumu, Doan, dan Sylvia. Seluruh rombongan duduk melingkar.
Nephelli, yang duduk di sebelah Oscar, secara bertahap mulai tersenyum ketika dia mendesak makanan dan anggur untuknya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa saat, dia mulai merasa lega.
Setengah jam setelah perjamuan sederhana dimulai, sepasang mage muncul di pintu masuk aula. Salah satunya adalah ratu Tuldarr berikutnya, dan yang satunya adalah pelayannya.
Saat Tinasha menyisir rambut hitam panjangnya ke belakang, dia mengamati para tamu dan kemudian melambai kepada raja.
"Maaf mengganggu, tapi aku akan kembali ke Tuldarr sebentar." "Dimengerti. Apa ini mendesak?" Oscar bertanya.
"Tidak terlalu," jawabnya, tersenyum tipis.
Silvia tersenyum. “Putri Tinasha, maukah kamu minum sebelum pergi?”
"Aku akan dimarahi jika aku minum di Farsas."
"Itu benar. Oh, kalau begitu nyanyikan sebuah lagu untuk kami, jika masalahmu tidak mendesak. Mumpung semua sudah disini,” kata Oscar.
"Lagu?" Tinasha mengulangi, bersikap sedikit ragu-ragu, tetapi akhirnya, dia menyetujui permintaannya.
Dia duduk di antara Sylvia dan Doan dan men-summon kecapi kecil ke tangannya. Setelah memetiknya sekali untuk memeriksa semua senar, dia mulai bernyanyi dengan suara lantang.
“Kau menginginkan yang gaib, dan yang gaib adalah hal yang berbeda.
Tidak peduli seberapa terang sinar matahari menyinari bumi, beberapa hal tidak akan pernah terungkap.
Wajahnya terlupakan, tetapi lagunya terus berlanjut.
Kenangan yang terfragmentasi berseliweran seperti jejak mimpi yang sudah lama berlalu.”
Suara bergemanya memiliki kekuatan untuk tenggelam jauh di bawah kulit.
Mata para tamu terpejam secara alami saat mereka mendengarkan dengan bergairah. Liriknya mengingatkan pada adegan-adegan sejarah kuno.
Lagu Tinasha melebur ke udara malam saat dia kembali menyanyikan bait-bait itu, dengan lesu, sebelum berakhir. Namun, para pendengarnya tetap terpesona, seolah-olah mereka telah sampai pada akhir dari sebuah cerita panjang dan tidak dapat segera melepaskan diri darinya. Menyimpan gema yang tersisa dari lagu itu, keheningan menyelimuti aula.
Tinasha berdiri dan kembali ke ambang pintu, di mana Renart sudah menunggu. Dia tersenyum. "Kalau begitu, aku akan pergi." "Oke. Berhati-hatilah saat kembali,” jawab Oscar.
“Putri Nephelli, tolong jaga dirimu baik-baik juga,” Tinasha menambahkan.
“Baiklah...,” gumam Nephelli.
Tinasha merentangkan tangannya lebar-lebar dan merapal mantra transportasi array. Dia membuka portal yang cukup besar untuk mencakup Renart juga. Saat dia melihat mereka mengedipkan mata dari pandangan, Nephelli kembali menghela nafas panjang.
________
Menyadari rendahnya semangat Nephelli, Oscar mengambil kesempatan di akhir jamuan untuk mengundangnya pergi ke luar kastil bersamanya pada hari berikutnya. Ada sebuah danau kecil di selatan kota, dan mereka bisa berburu saat mereka keluar.
Nephelli enggan menerimanya, tetapi karena itu adalah undangan khusus darinya, dan keamanan akan diperketat, dia setuju.
Keesokan paginya, dia bangun pagi-pagi dan mulai memilih pakaian untuk hari itu. Masih ada banyak waktu sebelum mereka bertemu. Setelah sekian keragu-raguan, dia memilih gaun putih, karena Oscar tampaknya menyukainya.
Sudah sangat lama sejak dia menikmati sesuatu yang dinanti-nantikan seperti ini. Dia meminjam seekor kuda dan pergi ke gerbang kastil, di mana dia menunggunya. Setelah cukup dekat, dia tersenyum padanya.
Setelah menatap Nephelli, Oscar memberi perintah kepada dayang di belakangnya. Dia lari, kembali dengan cepat dengan kerudung pendek.
"Kau mungkin akan terbakar sinar matahari," Oscar menjelaskan.
“Te-terima kasih....,” gumam Nephelli, tidak menyadari bagaimana pipinya memerah saat dia mengenakan kerudung.
Perhatian tajam seperti itu disambut baik. Membuatnya merasa hangat dan dihargai.
Oscar dan Nephelli melewati transportasi array bersama dengan rombongan dua puluh pengawal. Itu membawa mereka ke tempat terbuka tepat di depan hutan kecil. Pada pemeriksaan lebih dekat, sebuah jalan setapak mengarah jauh ke tengah hutan. Tampaknya bercabang di sepanjang jalan.
“Hutannya tidak cukup lebat untuk membuat seseorang tersesat— tapi jangan pergi jauh dariku. Danaunya ada di seberang hutan ini,” kata Oscar, dan Nephelli mengangguk dan dengan hati-hati mendesak kudanya untuk mengikutinya. Tepat di belakangnya adalah Gait dan Valt, serta Nino dan Lucanos, para perwira Yardan. Prajurit Farsas berkuda di depan dan belakang rombongan, sementara para mage masuk disela-sela mereka. Itu lebih dari cukup untuk melakukan pertahanan jika diserang.
Saat dia memimpin kudanya dengan satu tangan di kekang, Oscar berbalik ke Nephelli. “Sebaiknya kamu sering-sering mencari udara segar di luar.” "Terima kasih sudah perhatian padaku," jawabnya, tersenyum padanya.
Meskipun sang putri tahu masih ada jarak emosional antara keduanya, ini memberinya harapan untuk menutupnya.
Saat rombongan berkelok-kelok melewati hutan, mereka melewati sekian pertigaan di jalan.
Tiba-tiba, cahaya menjadi redup. Melihat ke atas, Nephelli melihat bahwa awan terbentuk di atas kepala. Mereka mengalir dengan cepat, menunjukkan angin kencang di langit.
Oscar berbalik untuk menatap Nephelli. Dia menarik napas tajam, merasakan kilatan tajam di matanya yang berwarna senja. Dia membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu.
Namun, Nephelli dengan cepat membisu saat kabut aneh masuk. Kabut itu semakin padat dengan kecepatan yang tidak wajar sampai dia tidak bisa melihat apa-apa.
"Apa...?" dia tersentak, hampir berteriak ketakutan, akan tetapi tangan seorang pria terulur dari kabut untuk menenangkannya.
____________
Ketika dia tiba-tiba tidak bisa melihat di depannya, Gait dengan panik mendorong kudanya ke depan menuju lady-nya.
“Putri Nephelli!”
Kabutnya sangat tebal sehingga dia tidak bisa melihat tangannya sendiri. Dengan putus asa, dia meraba-raba di udara.
Tangannya mendarat di tubuh yang empuk.
"Gait?" tanya suara yang jelas dan familiar. Itu adalah lady-nya. Saat kelegaan menghampiri pria itu, kabut menipis secara tiba-tiba seperti saat kemunculannya. Lingkungan menjadi kembali terlihat, dan cahaya mengalir dari atas.
Sekarang Gait bisa melihat, dia terperanjat saat menyadari ada sesuatu yang sangat keliru. Melirik ke belakangnya, dia melihat Valt dan kedua pelayan itu menatap sekeliling, sama tercengangnya.
Pada titik tertentu, setiap orang dari Farsas—termasuk raja—telah menghilang.
"A-apa-apaan ini...?"
Ketiga pria itu saling bertukar pandang dan tetap waspada, akan tetapi tidak ada tanda-tanda kehadiran yang mencurigakan. Sayangnya, tidak ada yang menunjukkan bahwa orang-orang dari Farsas juga berada di sekitar.
Giat berbalik dan berkata kepada Nephelli yang tampak terguncang, “Putri, mari kita kembali ke kastil untuk saat ini. Aku akan membuka transportasi array. ”
"Tapi..."
“Kau adalah prioritas utama kami. Setelah membawamu ke tempat yang aman, kami bisa mengkhawatirkan yang lain.”
Nephelli ragu-ragu cukup lama sebelum akhirnya mengangguk lemah. Dengan izin lady-nya, Gait memulai mantra. Namun, dia tidak bisa membawa mereka langsung ke dalam kastil negara asing; dia hanya bisa membawa mereka keluar dari gerbang depan.
Tepat saat portal terbuka, sesuatu mendesing ke arah rombongan itu dari pepohonan.
Itu adalah panah yang mengarah langsung ke Nephelli. Untungnya, itu menabrak penghalang yang didirikan Valt, dan kemudian jatuh. Rombongan itu hanya terkejut sesaat sebelum hujan proyektil menghujani dari segala arah.
“Pembunuh!”
Kedua perwira itu menarik pedang mereka. Panah datang dari sisi kiri, jauh di dalam dedaunan. Lucano berteriak, “Ke sana—dan cepatlah!”
Di arah yang dia tunjuk, sesuatu berkilauan di celah di antara pepohonan—danau. Semua orang berhasil, dengan Nino yang memimpin.
Sesaat sebelum tiba di tepi danau, Nino menyentak keras kekang kudanya. Kira-kira tiga puluh pria berkuda menghadang jalan. Sekilas pada pakaian beraneka ragam mereka mengungkapkan bahwa mereka bukan tentara, tetapi semacam kawanan bandit. Dengan senjata terhunus, mereka menyeringai pada wanita di tengah kelompok lima orang mereka.
“Itu gadisnya. Jangan sampai dia lolos.”
Ketika Gait mendengar itu, dia langsung beraksi. Jika ini semua adalah bagian dari plot, maka dia harus memastikan Nephelli melarikan diri, setidaknya.
Dia merapal mantra teleportasi dan menjangkau wanita di depannya.
___________
Namun, saat dia melakukannya, hal yang tak terpikirkan terjadi.
Di belakang Nephelli, Lucanos perlahan mengangkat pedang untuk menghunjamkannya ke putri.
Giat sejenak tercengang oleh tatapan dingin pria lain yang tertuju pada Nephelli.
“Putri Nephelli!” dia berteriak, terlambat.
Saat Gait gemetar ketakutan karena dia telah kehilangan kesempatan, Lucanos menyeringai, yakin dia akan memenuhi tugasnya.
Anehnya, harapan mereka berdua pupus.
Nephelli menarik pedangnya sendiri entah dari mana dan menangkis tebasan Lucanos.
Calon pembunuh itu menatap pedangnya dengan konyol, yang bersinar ungu samar.
Merasa geli, dia tertawa. “Jadi kamu?” Dia merobek kerudungnya.
Di bawahnya terdapat wajah mage cantik Tuldarr yang sangat menawan.
____________
"Konyol! Kapan kalian berganti posisi?!”
“Sebelumnya, jelas. Kamu sangat lelet,” ejek Tinasha, terus menatap Lucanos saat dia membalikkan kudanya. Senyum kejam membelah bibir merahnya.
Di sebelahnya, Gait terkejut. “Tidak mungkin.... Bagaimana aku bisa salah mengira tuan putri? Dimana dia...?"
“Dia bersama Oscar. Mereka baik-baik saja. Lagu kutukanku membuatmu mencampuradukkan kami. Tadi malam, aku mengubah kesadaranmu, meski itu jelas tidak berhasil pada semua orang,” dia mengaku, sambil menatap Valt. Dia tersenyum bersalah.
Gait, di sisi lain, tidak mengerti sedikit pun; rahangnya terbuka. Dia tahu tentang lagu kutukan akan tetapi tidak pernah menyangka akan ada seseorang yang mampu menggunakannya.
Lucanos, yang mengungkapkan diri sebagai pembunuh, tampak bingung saat dia memundurkan kudanya. Tinasha mengarahkan senyum memikat padanya. “Apakah kau yang membunuh pelayan yang hilang itu? Dia dekat dengan dayang, jadi dia tahu tentang pencicipan racun. Dugaanku penyerang sebenarnya membunuhnya untuk mengulur waktu. Jadi yang tersisa hanyalah membawa siapa pun yang tetap tinggal di tempat terbuka.”
Tinasha menyiapkan pedangnya, seringai provokatif di wajahnya. “Kamu tidak bisa mundur sekarang. Kau sudah menyerangku; itu tidak bisa disangkal lagi. Sekarang Tuldarr yang akan berurusan denganmu.”
“Sialan kau...,” gerutu Lucanos, kesal atas kegagalannya. Tinasha menendang kudanya dan melaju ke arah pria itu, mengayunkan pedang tipisnya ke arahnya. Dia bertahan dengan pedangnya sendiri dan menyerang balik.
Saat dia menghindari serangannya, Tinasha berteriak kepada tiga pria terakhir, “Valt, siapkan penghalang! Kalian berdua, awasi bagian belakang!”
"Ya," jawab Valt segera. Giat dan Nino mematuhinya dengan baik.
Para bandit berlari kencang ke arah mereka di jalan sempit melewati hutan. Meskipun gugup, Gait menyusun mantra yang ditujukan pada mereka. Tujuh pedang cahaya meledak dan menghantam pusat rombongan yang mendekat.
Benda-benda sihir itu terbang di udara dan menebas sepuluh penunggang pertama, yang jatuh lemas dari kuda mereka, memuntahkan darah.
Namun musuh hanya bingung sesaat; bandit lain mengobarkan teriakan perang dan melanjutkan serangan. Suara mengerikan dari kaki kuda mereka yang menginjak-injak rekan mereka yang jatuh memenuhi hutan.
Nino berkuda di depan Gait dan menebas para bandit. Dia menarik napas dengan tajam, dan serangan pedang berikutnya membawa kematian pada salah satu bedebah.
Perbedaan permainan pedang antara pelayan istana dan bandit sangat mencolok, tetapi musuh menang jumlah.
Untungnya, saat Yardan kehilangan harapan, tentara Farsas muncul di belakang kawanan bandit.
Als memimpin mereka dari barisan depan. “kalian bisa membunuh mereka semua. Jangan biarkan mereka lolos!”
Teriakan terdengar. Dalam sekejap, hutan berubah menjadi medan perang.
___________
Tinasha tetap memegang kekang kudanya bahkan saat dia menangkis tebasan kuat Lucanos.
Ini pertama kalinya dia menggunakan pedang dalam duel mati-matian. Dia telah menduga bahwa Lucanos mungkin akan melarikan diri begitu dia mengungkapkan siapa dirinya yang sebenarnya, tapi dia sepertinya berniat membunuhnya. Mungkin dia terlalu fokus untuk menyadari keputusan rasional. Tinasha menghadapi serangannya, meski sarafnya berdarah ke dalam gerakannya.
Lucano menyeringai. “Tidak terbiasa dengan pertarungan nyata, ya? Kalau saja Kau tidak terseret dalam urusan negara lain. Kau bisa menjalani kehidupan yang nyaman.”
“Aku sudah terbiasa bertarung. Aku hanya tidak terbiasa dengan pedang,” tegas Tinasha. Meski begitu, dia harus mengatasi ini. Demikianlah apa yang dimaksud dengan penguasa.
Lucanos mengarahkan pedangnya yang berat ke arahnya dari depan, memanfaatkan perbedaan ketinggian di antara mereka.
Tinasha menjentikkannya dengan jentikan pergelangan tangannya, yang terasa sakit. Mengencangkan jarinya di sekitar gagang senjatanya, dia menebas leher Lucanos. Dia bisa melihat dia menarik pedangnya kembali dengan ringan dan bergerak untuk mengarahkannya ke sisi kirinya.
Tapi dia tidak goyah. Dia benar-benar harus berdiri tegak.
Tinasha menahan napas.
Untuk sesaat, dia mendengar seseorang memarahinya dari belakang pikirannya: Gunakan sihir!
Namun, Tinasha menolak dengan senyum berani.
Dia tidak akan merapal mantra. Sebaliknya, dia mengangkat siku kirinya untuk menghentikan serangan lawan.
Aku lebih cepat.
Yakin akan hal itu, Tinasha menusukkan pedangnya ke lehernya.
Tangannya kesemutan dengan perasaan tumpul dan berat. Semburan darah keluar, dan wajah Lucanos berubah.
Pada saat yang sama, ujung pedangnya menggigit sikunya.
“Ugh.... Ah!”
Pikiran Tinasha menjadi kosong karena rasa sakit, akan tetapi dia mendorongnya dengan kekuatan tekad. Dia menarik pedangnya. Lucanos terjatuh, lengannya terkulai lemas. Dia terhuyung-huyung di atas kudanya, dan Tinasha menatapnya, terengah-engah.
“Katakan padaku siapa orang yang mengirimmu.”
Kepalanya tertunduk, tenggorokannya tertebas, namun dia masih di atas kudanya. Sesuai rencana, Tinasha tidak membunuhnya. Dia akan menyembuhkan Lucanos dan membuatnya menceritakan semua yang dia tahu. Setelah itu, negara-negara yang terlibat bisa menentukan nasibnya.
Sayangnya, saat Tinasha berbicara dan menurunkan senjata, sebuah serangan datang ke arahnya dengan kecepatan mengerikan.
"Apa-?"
Serangan itu datang pada saat yang tidak dijaga. Lucanos seharusnya berada di ambang kematian, tapi dia masih memiliki kekuatan untuk mengacungkan pedangnya. Tinasha menyusun mantra pertahanan. Penghalang yang dilemparkannya dengan tergesa-gesa menangkis serangan pada ayunannya yang menurun... tapi itu menghancurkan tengkorak kuda yang dia tunggangi. Kekuatan benturan melemparkan Tinasha dari pelana, dan dia menabrak tanah dengan keras.
“Guh...”
Dampaknya membuat wanita muda itu kehabisan napas. Rasa sakit membuat kesadarannya kabur. Sosok hitam tiba-tiba muncul di atasnya. Dengan pandangan kabur, dia melihat pedang pria itu jatuh menimpanya lagi.
Untuk sesaat, Tinasha mengingat belati yang hampir menusuknya ketika dia masih kecil, sudah lama sekali.
Seperti itu, pedang ini tidak sampai padanya. Pedang lain memasuki medan pertempuran untuk menangkis serangan Lucanos.
“Kenapa kamu tidak menggunakan sihir? Apakah kamu bodoh?!” seseorang menegur dengan keras.
Tinasha terkesiap. Secara tidak sengaja, namanya terlontar dari mulutnya.
“Oscar....”
Pedang kerajaan bermata dua berkilau seperti cermin. Saat dia menatap pria yang menggunakannya... Tinasha merasakan sesuatu yang panas di tenggorokannya.
Post a Comment