Update cookies preferences

Unnamed Memory Vol 3; 2; 2

Selepas bekerja dan berganti pakaian di ruangannya, Oscar mendengar ketukan ringan di pintu balkon. Seketika, dia menyeringai. Ketika dia menjawab oke, penyihir wanita itu masuk.

Oscar berbalik dan segera menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam diri Tinasha, meskipun dia tidak bisa menebaknya dengan tepat.

Dia tampak sedikit terguncang.

"Apakah ada yang terjadi?" Dia bertanya.

Tinasha memiringkan kepalanya, bingung. “Tidak, tidak ada apa-apa. Ini, ini hadiah untukmu.”

Dia menyerahkan sesuatu pada Oscar. Dia menggulung benda itu di telapak tangannya, memeriksanya. Itu tampak seperti bola kristal, tetapi terdapat sebuah pemandangan yang terekam di dalamnya. Langit dengan warna yang sama dengan matanya membentang di bagian atas bola dunia kecil itu. Oscar membawa bola itu ke wajahnya untuk melihatnya dengan lebih baik.

“Itu hanya wujud penghargaan sederhana. Langit sangat indah hari ini,” Tinasha menjelaskan.

“Kamu yang membuatnya?!” seru Oscar.

"Iya."

“Kau tidak pernah gagal untuk mengejutkanku, betapa banyak hal menarik yang berbeda yang dapat kau lakukan.... Terima kasih,” jawabnya. Setelah dengan hati-hati menutup telapak tangan di sekeliling perhiasan itu, dia meletakkannya di meja nakas. Tinasha duduk di tempat tidur di sebelahnya.

Saat dia menarik rambutnya, dia bertanya, "Jadi, apa terjadi sesutu?"

"Apa? Tidak, tidak ada. Kenapa kamu menanyakannya?”

“Kau tampak sedikit down.”

“Aku baik-baik saja,” jawab Tinasha, tersenyum cerah, tapi dia mengayunkan tangan kanannya ke belakang. Secara refleks, Oscar menangkapnya.

Tinasha tampak terkejut. “A-apa?”

“Kau baru saja merapalkan mantra, bukan? Apa itu?"

“Aku tidak yakin kau benar-benar manusia,” gumam penyihir wanita itu dengan jijik. Menyerah, dia mengangkat anggota tubuhnya yang tertangkap. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya berpikir aku akan mencoba sihir psikologis.”

"Aku tidak begitu mengerti, tapi lain kali, katakan dulu padaku sebelum mencobanya."

Jika ini adalah sesama penyihir wanita seperti Tinasha, Lucrezia, itu akan menjadi lelucon yang buruk. Namun, karena itu adalah Tinasha, Oscar percaya dia punya alasan yang baik.

Dia terdengar sangat tenang tentang hal itu sehingga Tinasha tersenyum lemah saat dia mengangguk. Mungkin itu hanya imajinasi Oscar, tapi mata gelapnya terlihat lebih tidak bisa diandalkan dari biasanya.

Di awal waktu mereka bersama, tatapannya terkadang menunjukkan semacam kesepian —seolah-olah dia sedang mencari sesuatu. Setelah dia mengalihkan danau sihir, ketidaksabaran itu menghilang, hanya untuk digantikan oleh kilatan kecemasan tak berdaya. Tentu saja, Tinasha bukanlah seseorang yang mengejar keinginan egois. Sekarang setelah tujuan hidup penyihir wanita itu hilang, dia seperti sedang berada dalam keadaan terlupakan.

Oscar menelusuri ujung jari di sepanjang pipi cantiknya. Dia hampir mengatakan sesuatu yang terlintas dalam pikiran, tetapi memutuskan untuk tidak menyuarakannya dengan keras. Sebaliknya, Oscar mendekatkan wajah ke wajahnya. Dia menutup matanya dan menerima kecupan itu, tetapi ketika dia menarik kembali, pipinya ditaburi dengan warna merah muda. “Kamu mestinya tidak melakukan hal semacam itu terlalu sering....”

"Aku akan mempertimbangkannya," jawab Oscar, menjelaskan bahwa dia tidak berniat mematuhi saran itu.

Tinasha memelototinya, lalu mengangkat tangannya dan meregangkan tubuhnya tinggi-tinggi. “A-aku khawatir…”

"Tentang?"

“Banyak hal.... seperti kehidupan.”

Oscar telah memperkirakan tanggapan seperti itu. Dengan wajah lurus, dia langsung menjawab, "Aku pikir Kau harus menikah denganku."

"Aku tidak akan melakukannya."

“Keras kepala sekali....”

Tinasha menyilangkan kedua tangan di depan matanya. Perasaan tidak stabil terpancar dari tubuh mungilnya, membuatnya tampak rapuh.

Oscar menatapnya. "Kamu harus menikah denganku dan berhenti menjadi penyihir wanita."

"Apa? Berhenti bagaimana?” dia menekan.

“Menua secara normal, seperti dulu.” Oscar telah berencan untuk membicarakan masalah ini dengannya pada suatu saat —menanyakan apakah dia ingin hidup dan mati bersamanya di kastil ini.

Dia bersikukuh seperti batu dan sangat serius.

Tinasha, di sisi lain, membiarkan lengannya jatuh dan balas menatapnya dengan mata bulat yang lebar. "Menua....?"

Kesampingkan semua pembicaraan tentang pernikahan, bahkan dia telah mempertimbangkan untuk memulihkan penuaan tubuhnya. Secara fisik dia kira-kira berusia sembilan belas tahun. Begitu dia bukan lagi pelindung Oscar, dia akan mencairkan waktu untuk dirinya sendiri, mengosongkan menara, dan menjalani sisa hari-hari dengan tertutup dari orang lain. Mengakhiri sesuatu seperti itu memiliki semacam daya tarik.

Oscar mengulurkan tangan dan menyentuh pipinya lagi. “Waktumu tinggal belasan tahun lagi, kan? Itu banyak. Berikan itu padaku.”

Dia tampak begitu tulus sehingga Tinasha ingin tertawa terbahak-bahak. Dia berpikir untuk memprotes bahwa dia bukan satu-satunya yang keras kepala. "Kamu benar-benar memiliki selera yang aneh pada wanita."

"Diam. Kau sangat penting bagiku. Jangan merendahkan dirimu," kata Oscar dengan cemberut, lalu dia menciumnya lagi.

Dengan mata tertutup, dia tersenyum kecut. "Kau cepat melupakan apa yang baru saja kukatakan."

“Aku hanya setuju untuk mempertimbangkan. Jika kamu tidak menyukainya, katakan saja,” balas Oscar terus terang.

Perlahan, Tinasha membuka matanya, bulu matanya berkibar. Sebelum dia benar-benar mempertimbangkan apa yang dia katakan, kata-kata itu telah keluar dari bibirnya. “Kurasa itu artinya sesuatu yang membuatku terbiasa kau sentuh seperti ini. Aku pikir Kau pasti... istimewa bagiku.”

Tinasha hanya menyatakan kebenaran, tetapi begitu dia mengakuinya dengan lantang, dia merasa pengungkapan itu memiliki bobot dan kejujuran yang aneh.

Penyihir wanita itu sudah lama menyadari bahwa pria keras kepala dan kepala batu ini adalah seseorang yang penting baginya. Itu telah membuatnya tidak sadar. Tidak peduli siapa yang bertanya padanya, dia pasti akan menjawab hal yang sama.

Mendongak, Tinasha melihat keterkejutan di wajah Oscar.

Dia tidak mengerti mengapa dia akan terlihat begitu terkejut, dan mengulurkan tangan untuk mengusap punggung jarinya di sepanjang pipinya. "Apakah ada masalah?"

"Tidak...."

Oscar tidak bisa memberikan jawaban lebih dari itu. Dia mengulurkan tangan dan menarik Tinasha. Dia mengintip ke arahnya dengan polos, dan dia menghujani kecupan di dahi, pipi, bibirnya.

Kehangatan berkobar di setiap tempat yang dia sentuh.

Jiwa mereka terhubung, hanya dipisahkan oleh kulit.

Itu sangat berharga dan menyedihkan dimana mereka bukan orang yang sama.

__________________________

Terperangkap dalam pelukannya, Tinasha terkejut tapi diyakinkan oleh kehangatan ini pada saat yang sama. Panas tubuhnya mengalir ke jantungnya yang masih goyah.

Rasanya seperti dia sangat memanjakannya.

Dan dia tidak ingin tenggelam di dalamnya.

Kehangatan lembut Oscar secara bertahap merembes ke lubuk hatinya, bersinar di sana. Panas yang mematikan pikiran perlahan menggenang dalam diri Tinasha.

Ciumannya mendarat di telinga, leher, dadanya.

Jika dia membiarkan pikirannya mengembara, dia akan menyerah sepenuhnya. Dengan embusan napas yang gemetar, dia berhasil, “Oscar.... Kita tidak bisa.”

"Mengapa?" dia bertanya, tidak melihat ke atas.

Setiap tempat yang disentuhnya adalah titik panas, menyebar ke seluruh tubuh Tinasha. Dia tidak tahu apakah dia menahan diri. Merasa pusing, dia merosot lemas di pelukannya. Oscar membaringkannya di tempat tidur.

Dia mengulurkan tangan seolah menyentuh mata biru yang menatapnya.

"'Mengapa'? Apa maksudmu,'Mengapa?'" tanya Tinasha.

"Pikirkan sendiri," jawab Oscar tanpa minat, tetapi itu adalah kebenaran.

Tinasha harus mempertimbangkan jawabannya sendiri. Tidak ada apa pun di luar untuk dilihat. Itu akan ada di dalam dirinya.

Dia telah hidup untuk waktu yang sangat lama. Tidak pernah sekali pun dia mencintai atau membenci seseorang.

Tampaknya, membuka diri kepada seseorang akan membuat dirinya lemah —dia tidak akan bisa terus bertahan.

Aku harus memikirkannya.

Tinasha mengulurkan tangan, menginginkan sesuatu. Ujung jarinya menyerempet rambut Oscar.

Aku harus memikirkannya....

Namun, sensasi jari-jari dan bibirnya mencuri pikirannya sebelum bisa terbentuk. Dia jatuh tertelungkup ke dalam panas.

Kami tetap tidak bisa....

Penyihir wanita itu menggelengkan kepalanya dengan teliti, meskipun dia tetap diam. Dia tidak memiliki pegangan pada apa pun dan merasa pingsan.

Tanpa memahami apa pun, dia sadar dia menyerahkan dirinya kepadanya.

____________________________

Setiap tempat yang Oscar sentuh di kulit seputih salju terlarangnya begitu lembut hingga bisa meleleh di bawah belaiannya.

Ketika dia mencium kelopak matanya, dia mengeluarkan erangan serak. Setiap suara kecilnya sarat dengan emosi. Dia ingin menghargai semuanya—semua tentang dirinya.

Dia harus belajar bahwa orang-orang dapat menjalani hari-hari mereka dengan damai tanpa mengejar tujuan utama dengan gila-gilaan. Dia harus hidup bahagia bersama orang lain, bersama dengannya.

Dia duduk dan menatapnya. Dia melihat balik padanya, matanya berkedip-kedip dalam kegelapan. “Oscar....?”

Suaranya terdengar sangat rendah dan menggoda sehingga dia merinding. Dia mengulurkan tangan untuk memohon, dan dia menangkap tangannya dan menempelkan bibirnya ke telapak tangannya. Tubuhnya, masih tersembunyi dari pandangannya, seperti api yang membara. Oscar menyeret jari-jarinya di sepanjang titik-titik terlembutnya, membenamkan wajahnya di lehernya—tapi saat itu, dia mendengar suara gesekan di luar pintunya.

Seketika itu, ada pukulan keras.

"Apa itu...?"

Oscar melihat bahwa suara kurang ajar itu telah membuat penyihir wanita itu kembali ke dirinya semula dalam sekejap dan merasa seperti mengerang. Dia ingin memeluknya dengan sangat erat, tetapi dia menyelinap pergi seperti kucing dan menghilang.

Mengutuk pelan betapa sial dirinya, Oscar menuju pintu. Dia membukanya dan menemukan Lazar di sana.

“Kau tidak boleh mengeluh bahkan jika aku membunuhmu...,” geram Oscar.

“A-apa…? Tidak, Yang Mulia, kita punya masalah! Roh-roh iblis masuk ke dalam kastil... Roh-roh yang bernapas api!”

"Apa apaan itu?!" Oscar berseru dengan sangat tidak senang, pada awalnya tidak sepenuhnya mengerti.

________

Dia secara otomatis memindahkan dirinya kembali ke kamarnya.

Di ruangan gelap itu, Tinasha menatap tangannya dengan kaget. "Aku—aku tidak bertindak benar!"

Dia tidak biasa ragu-ragu. Memang dia merasa cemas, meskipun itu tidak bisa menjelaskan semua hal. Dan dia tidak membenci sentuhannya.

Perasaan berbeda bahwa dia tenggelam jauh ke dalam sesuatu telah menguasai wanita itu sebelum dia tahu apa yang terjadi. Pikiran dan tubuhnya mulai tenggelam.

Tinasha menekankan tangan ke pipinya yang memerah—

"Hah?"

Sensasi aneh menusuknya, seperti setetes darah di lautan luas.

Tinasha melihat ke luar jendela dan melihat pita merah tua terpotong di langit malam. Api menerangi kecoklatan, dan bayangan besar beterbangan di udara. Itu jauh lebih besar daripada burung —tidak diragukan lagi, semacam roh iblis.

“Penghalang.....”

Ada sesuatu yang secara diam-diam membuka celah di penghalang kastil. Itulah sumber sensasi aneh itu.

Seketika, Tinasha berganti pakaian. Ketenangan seorang penyihir wanita menggantikan rasa insecure yang kekanak-kanakannya.

Sebuah cemberut merusak paras cantiknya saat dia menyesuaikan kembali korsetnya yang acak-acakan dan terangkat dari tanah untuk berteleportasi.

Post a Comment