Update cookies preferences

Eighty Six Vol 10; Chapter 7; HARI-HARI SEDERHANA TAG TRIASE HITAM

“—Fido, tidak apa-apa. Robek saja.”

Mengetukkan tangan ke kanopi Juggernaut yang bengkok, Shin berbicara saat dia mengintip ke dalam lubang menganga di armor bengkok unit itu. Rekan satu regu yang duduk di dalam unit ini sudah tidak bisa diselamatkan.

Setelah diperintahkan untuk tetap siaga, Kujo menyadari nasibnya saat dia melihat pemandangan itu melalui layar optik Juggernaut miliknya. Sejak awal, ketika membahas Juggernaut, Prosesor tidak akan pernah bertahan mengatasi kekuatan penuh ke sayap dari Grauwolf. Dari semua kemungkinan cacat, kegagalan unit kebanggan Republik, Juggernaut, memiliki kokpit yang terhubung secara longgar ke rangka, yang membuat batang tubuh unit terbelah dua secara horizontal ketika diserang secara langsung.

Kujo telah melihat pemandangan mengerikan rekan-rekan yang bagian atas mereka robek bersama dengan rangka rig mereka cukup lama sampai terbiasa.

Scavenger model lama yang dinamai Fido menggunakan pembakar dan lengan derek untuk melepas kanopi. Shin membungkuk di atas kokpit yang terbuka. Rangka besar Fido menyembunyikan isi kokpit dari pandangan, mencegah Prosesor lain melihat bagian dalam.

Pasukan utama Legiun sudah mundur, tetapi beberapa ranjau self-propelled yang lambat—senjata mirip manusia yang tidak sedap dipandang, tubuh mereka penuh dengan bahan peledak tinggi dan pecahan peluru terarah—bisa saja masih berliaran di medan perang. Meninggalkan unit mereka setelah pertempuran akan menjadi tindakan bunuh diri.

Shin, bagaimanapun juga, bahkan tampaknya tidak berhati-hati. Dia memiliki pistol otomatis 9 mm di satu tangan, dan dia tidak mengeluarkannya dengan niat untuk bunuh diri juga.

Dia mengulurkan tangan ke sesuatu yang hancur di dalam, menyentuhnya. Setelah bangun, dia sepertinya tidak mengangkat pistolnya.

Aaah, pikir Kujo sambil memejamkan mata. Tidak perlu menembaknya. Dia sudah mati.

Dia beruntung.Sistem saraf dan peredaran darah, yang penting untuk kelangsungan hidup, terletak di kepala dan dada. Sebaliknya, luka di perut tidak menyebabkan kematian instan. Paling buruk, orang yang terluka bisa menghabiskan hari-hari yang panjang dalam penderitaan, tidak bisa mati. Jadi dalam hal itu, dia beruntung.

Dia akan mati, jadi dia cukup beruntung untuk mati tanpa rasa sakit.

Penamaan triase: hitam—seseorang yang masih hidup tetapi akan segera mati. Orang yang berada di ambang kematian dan tidak memerlukan perhatian medis. Dan Eighty-Six yang diusir ke medan perang semuanya secara merata sejak awal merupakan bagian dari kategori itu. Mereka semua berbagi pendapat tentang kematian.

Tetap saja, dia tidak diberi hak istimewa untuk mati selagi mengabaikan rasa sakit dari tubuhnya yang dihancurkan atau saat kematiannya.

-Seseorang, tolong aku.

Ingatan akan suara lemah itu, yang tidak ditujukan pada siapa pun secara khusus, mencapai telinganya melalui Sensor Resonasi sekali lagi muncul dalam ingatan Kujo. Dia berharap dia bisa melindunginya. Medan perang bahkan tidak mengizinkannya untuk tinggal di sisinya dan merawatnya. Rekannya yang berharga, yang seperti adik perempuan baginya. Yang telah berjuang di sisinya selama bertahun-tahun bahkan sebelum mereka ditugaskan ke skuadron Spearhead.

Maafkan aku, Mina. Pada akhirnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa untukmu.

Kujo membuat Tanda salib, berdoa agar jiwanya beristirahat dengan tenang. Itu adalah gestur yang tidak dilakukan orang lain di peleton. Eighty-Six terus-menerus dihadapkan pada absurditas dan penderitaan tak terhindarkan, sehingga mereka menolak untuk percaya pada Tuhan yang tidak akan menyelamatkan mereka. Lebih-lebih di skuadron ini. Mereka memiliki Reaper, yang memberikan prosesor satu-satunya kedamaian kematian yang sebenarnya dan menyelamatkan mereka dari kemungkinan terburuk.

Dia akan membawa Mina, dan Matthew, yang merupakan anggota pertama dari skuadron ini yang mati...dan ketika Kujo mati, dia juga... Dia akan membawa mereka ke tempat mereka seharusnya berada. Reaper mereka, bukan Tuhan imajiner.

Melihat melalui layar optik, Kujo bisa melihatnya. Berdiri di samping jenazah rekan mereka, dengan laba-laba berkaki empat yang menjadi tunggangannya. Dan di sampingnya, pelayan Scavenger yang setia. Dia berdiri, sesuai dengan monikernya, dewa kematian kesayangan mereka yang tak menyenangkan... yang cantik.

_____________

Tapi itu artinya, menghabiskan hari seseorang dengan memikirkan sesuatu hanya kematian akan masuk akal.

“Seratus tiga puluh dua hari sampai aku mengakhiri pengabdianku! Hidup skuadron Spearhead sialan!”

Berdiri di belakang hanggar seperti yang dilakukannya setiap pagi, Kujo memperbarui hitungan mundur hariannya yang penuh warna. Dia berjalan pergi, menepuk tangan untuk menyeka kapur dari telapak tangannya. Dia memiliki kulit hitam, dan rambut dan mata Meridiana, etnis langka bahkan dengan Eighty-Six, yang merupakan etnis minoritas Republik. Dia berdiri tegak, tubuhnya kokoh, rambutnya diikat menjadi tiga kepang ketat yang mencapai lehernya.

Menikmati hidup sepenuhnya dan menertawakan kesulitan dan nasib pahit adalah cara terbaik bagi seseorang untuk melawan penganiayaan mereka.

Memasuki ruang makan barak, Kujo mendapati sarapan sedang disiapkan. Di sisi lain konter, Anju sedang mengaduk panci besar dengan sendok kayu. Memakai penggorengan yang sangat besar sampai-sampai bisa menjadi senjata tumpul, Raiden memasak omelet yang cukup untuk dimakan beberapa orang.

Theo dan Kurena sedang menyiapkan peralatan makan di konter, sementara Kaie memberi makan kucing yang dipungut Daiya beberapa waktu lalu. Anggota lain dan awak meintenance duduk di meja dan mengobrol, sementara Shin duduk paling jauh, membaca buku dan menjaga jarak dari kelompok seperti biasa.

Kujo menyipitkan mata saat ingatan lama muncul di benaknya. Dulu ketika dia masih kecil...ibunya akan sibuk membuat sarapan di dapur di rumah, sementara saudara-saudaranya akan berteriak-teriak di sekitar meja. Ayahnya akan bersantai di sofa ruang tamu, membaca koran...

Kujo tidak mengungkapkannya dengan kata-kata. Jika dia memanggil Shin ayah regu dan Raiden ibu regu, dia mungkin bisa mengharapkan gula dalam jumlah yang memuakkan akan dijejalkan ke kopinya. Dia tahu dari pengalaman—Kino benar-benar pernah melakukannya dan akhirnya tersedak saat minum.

Melepaskan bandana yang menahan rambutnya, Anju mencondongkan tubuh ke konter.

“Sudah siap; ayo cepat ambil. Oh, tapi cuci tanganmu dulu, Kujo. Itu masih tertutup kapur.”

“Oh, ups.”

Meninggalkan suara gemerincing semua orang yang bangkit dari tempat duduk mereka (kursinya goyah, dengan beberapa kaki mereka sedikit lebih tinggi dari lantai), Kujo meninggalkan ruang makan untuk mencuci tangannya. Ketika dia kembali, dia menemukan seseorang telah meninggalkan porsi makanannya, dan dia mengucapkan "Terima kasih!" dan mengambil tempat duduk.

Sarapan mereka pagi itu adalah roti kaleng yang dipanaskan, sup daging kelinci, dan telur dadar sayur. Untuk hidangan penutup, mereka memiliki buah beri, jeruk, dan kopi pengganti yang terbuat dari dandelion. Semua itu diperoleh dari kota kosong terdekat, hutan sebelah, atau dibesarkan di belakang barak mereka.

Tentu saja, mereka tidak punya cara untuk mengumpulkan lebih banyak lagi, jadi itu adalah makanan sederhana, tapi karena mereka terbiasa dengan pabrik produksi yang mengerikan...atau lebih tepatnya, makanan sintesis yang hambar, sarapan semacam ini adalah sebuah kemewahan.

Tapi saat Kujo mendekati meja, dia mengerjap kaget. Ada kursi kosong di meja sarapan. Melihat tatapannya, yang lain juga melihat ke arah yang sama. Kesadaran menyebar ke seluruh ruang makan, dan semua orang segera tersadar.

Itu adalah kursi Mina. Tapi dia meninggal sehari yang lalu.

Keheningan berat menyelimuti ruangan itu. Prosesor terbiasa melihat rekan mereka mati setiap hari, yang membuat mereka cepat memproses kematian. Dalam kebanyakan kasus, mereka akan menghabiskan siang atau malam itu segera setelah berkabung atas siapa pun yang meninggal, dan keesokan harinya, mereka—setidaknya secara lahiriah—kembali normal.

Tapi versi kematian di medan perang ini sangat biasa, jelas, dan karena itu, sangat kejam. Sesekali, sesuatu yang tidak mereka duga akan mengingatkan mereka akan luasnya kehilangan itu.

Normalnya, mereka bisa melupakan dan terus tersenyum sambil mengabaikan pengingat suram tentang masa depan mengerikan di depan mereka.

Keheningan melankolis menyelimuti ruang makan, yang sebaliknya didominasi oleh sinar matahari pagi yang cerah dan aroma harum sarapan mereka. Kujo mengepalkan kedua tangan.

Jika Kamu tidak tersenyum, Kamu kalah. Jika Kamu tidak bersenang-senang, Kamu tertinggal.

Menyerah pada keputusasaan berarti menyerah pada babi putih yang melemparkan mereka ke medan perang ini. Itu berarti kalah dari mereka.

Dan persetan kami akan kalah dari mereka.

"Hai teman-teman! Ada bulan purnama dalam tiga hari. Yo kita melihat bulan!”

Apakah Kamu tahu tentang ini, Kujo? Mereka bilang ada kelinci di bulan.

Kuharap aku bisa melihatnya. Kuharap aku bisa pergi jauh ke bulan.

Terkejut oleh panggilannya yang tiba-tiba dan celetukan yang terlalu absurd, semua orang mengalihkan pandangan terkejut ke arah Kujo. Dia melanjutkan, tidak terganggu oleh tatapan mereka.

“Rupanya, ini adalah festival yang mereka rayakan di timur benua. Ayo kita coba! Ini mungkin sangat mirip dengan melihat bunga yang kita lihat sebelumnya. Benar kan, Kaie?!”

Kaie mengangguk dengan tergesa-gesa, sedikit terkejut karena pertanyaan itu ditujukan padanya. Kuncir kudanya yang berwarna gagak, warna unik untuk rambut Orienta, melambai ke depan dan ke belakang seperti yang dilakukannya.

“Ah, ya, kurasa begitu. Maksudku, aku tidak terlalu tahu semua itu, tapi mungkin!”

“Kalau begitu ayo kita minum minuman keras dan bersenang-senang sambil melihat bulan! Tapi bukan berarti kita bisa minum!”

Semua Prosesor, termasuk Kujo, tidak minum alkohol. Mabuk berarti kamu tidak bisa bertempur, dan tidak bisa bertempur hanya akan membuat mereka terbunuh jika Legiun menyerang. Harga diri mereka tidak akan membiarkan mereka mati seperti itu.

“Yah, kenapa tidak?” Raiden menyeringai, menyadari ide di balik saran Kujo. “Kita punya waktu luang, dan itu akan membuat pergantian suasana yang bagus.”

Wakil kapten menyatakan persetujuannya. Kujo melirik penghuni tertua pangkalan, kepala awak meintenance, yang hanya tersenyum paksa. Rekan seregu dan awak meintenance lain tampaknya juga tidak menentang gagasan itu.

Yang berarti satu-satunya yang tersisa adalah persetujuan kapten regu. Shin sendiri tampaknya tidak bereaksi terhadap ketidakhadiran Mina, matanya masih tertuju pada buku.

“Jadi tidak apa-apa, ya, Shin?!”

“...”

Diamnya Shin bisa berarti persetujuan, penolakan, atau pengakuan bahwa dia tidak mendengarkan karena tidak tertarik. Dalam kebanyakan kasus, itu adalah pilihan ketiga. Jadi Kujo mengatakannya lagi.

“Ayo kita lihat bulan tiga hari dari sekarang, saat purnama! Oke?!"

"Baiklah. Ya kenapa tidak?"

Pada titik ini, tidak ada yang repot-repot bertanya kepadanya mengapa dia tidak mengatakan apa-apa jika dia menyimak. Sambil menutup buku yang sedang dia baca, Shin mengalihkan pandangan ke arah Kujo. Judul di sampulnya adalah Second Variety, novel fiksi ilmiah lama.

Shin adalah kutu buku dan juga pembaca tak tentu, jadi tidak ada konsistensi dalam literatur apa yang dia pilih. Sebelumnya, dia membaca antologi puisi anti perang yang ditulis oleh semacam penyair wanita timur. Sebelumnya, dia membaca buku propaganda diktator yang kecanduan narkoba. Raiden, yang merupakan rekan lamanya, selalu mengkritik Shin karena selera bukunya yang aneh, dan Kujo cenderung sependapat.

Tapi Kujo samar-samar menyadari mengapa Shin harus bertindak seperti ini, dan untuk itu, dia tidak bisa membenci pemuda ini, yang tiga tahun lebih muda darinya, karena sikapnya yang bisa dibilang kasar.

Selama dia membaca dan memiliki sesuatu untuk mengalihkan perhatian... dia bisa mengalihkan pikirannya dari hal-hal lain. Itu meringankan ketegangan di pikirannya.

“Tapi bukankah itu kebiasaan musim gugur? Dan kita tidak bisa mendapatkan apa pun yang mereka gunakan saat melihat bulan.”

“Itu tidak terlalu penting. Aku hanya ingin alasan untuk bersenang-senang; kita semua tidak ada yang tahu bagaimana melakukannya.”

Cukup luar biasa, ekspresi Shin berubah sedikit tidak senang.

“Jadi itu sebabnya kita menyeruput segelas air saat melihat bunga,” dia bergumam.

“Oh, benar, kamu memiliki ekspresi aneh di wajahmu saat itu,” kata Kaie ragu. “Apakah itu benar-benar buruk? Menuangkan air bukannya minuman keras?”

Mereka tidak akan minum, tetapi setidaknya mereka ingin mendapatkan suasana yang tepat. Jadi mereka menggunakan sebotol air mineral kelas atas yang langka dan cangkir timur yang mereka temukan di toserba yang hancur.

"Lupakan." Shin menghela nafas lelah.

________________________

Tiga hari kemudian, badai datang.

“Astaga...! Bulan sialan! Badai bodoh...!” Kujo merengek, jatuh tertelungkup di atas meja.

"Ayolah, kita bisa melakukannya bulan depan," kata Theo, duduk di seberang dan meletakkan pipi di telapak tangan. “Selain itu, jangan terlalu tertekan karenanya. Itu hanya ide yang kita dapatkan saat itu juga.”

Sulit untuk mengatakan apakah Theo berusaha menghiburnya atau menabur garam.

"Penjaga bar, ambilkan aku minum!" Kujo menggerutu.

"Tentu saja, ingin aku menumpahkannya ke atas kepalamu?"

Melihat Theo meraih secangkir air, Kujo memutuskan untuk berhenti bermain-main dan bangkit. Untuk betapa imutnya dia, Theo bisa sangat cepat marah dan kejam.

Melipat tangan di belakang kepala, Kujo menyandarkan tubuh di sandaran.

“Ah, sialan semuanya. Ya, aku datang dengan itu di tempat, tetapi aku benar-benar menantikannya.”

Itu membuat Kujo teringat.

Apakah Kamu tahu tentang ini, Kujo? Mereka bilang ada kelinci di bulan.

Aku berharap aku bisa melihatnya. Aku berharap aku bisa pergi jauh ke bulan.

Atau mungkin kita juga bisa melihatnya dari bawah sini. Bulan purnama bisa sangat cerah, jadi mungkin hanya sekali?

Mina, saat pertama kali bertemu dengannya. Dengan senyum polosnya. Dia tidak pernah menemukan kelinci di bulan. Jadi dia berharap dia bisa mencarinya menggantikannya.

“Kita semua menantikannya. Tapi bagaimanapun juga, hari ini tidak boleh," kata Theo sambil melirik ke arah hanggar. Biasanya, jam setelah makan malam seperti ini, awak meintenance berada di waktu luang, tetapi hari ini, hanggar masih berdengung dengan suara mesin.

Juggernaut rapuh dan mudah aus karena pertempuran, belum lagi terus-menerus kekurangan suku cadang untuk memperbaikinya. Pasokan suku cadang Republik hari ini datang, dan pesawat terlambat mendarat karena pilotnya mabuk. Ini tentu saja berarti bahwa meintenance harus ditunda, dan awaknya baru bisa bekerja sekarang, setelah makan malam yang terburu-buru.

Daiya kembali dari rehat kopi dan duduk di sebelah Theo.

"Mereka bilang mereka akan berhasil sebelum lampu padam," katanya.

Kujo menghela napas panjang dari hidungnya. Awak meintenance memiliki harga diri mereka sendiri. Merekalah yang merawat dan menjaga garis hidup Prosesor, Juggernaut mereka, dalam kondisi sempurna. Karena itu, mereka tidak membiarkan Prosesor, yang tidak memiliki teknik perawatan yang dibutuhkan, menyentuh rig mereka saat mereka bekerja. Dan terlebih...

“Kuharap kita bisa menemukan cara untuk membantu mereka...,” kata Kujo.

“Shin sudah bertanya pada mereka, tapi mereka bilang mereka tidak butuh bantuan dan menjaga anak nakal seperti kita hanya akan mengalihkan perhatian mereka. Tapi mereka juga meminta maaf atas ketidaknyamanan ini.”

Pangkalan garis depan yang hanya memiliki Eighty-Six—yang tidak dianggap sebagai manusia—hanya disuplai listrik dalam jumlah minimal. Dan dengan peralatan meintenance yang menghabiskan sebagian besar listrik, barak-barak itu hampir tidak memiliki daya untuk digunakan kapan pun mereka bekerja.

Inilah mengapa para Prosesor lain, termasuk Daiya, saat ini berada di ruang makan bukannya di tempat biasa pada malam hari seperti ini. Tidak ada cukup daya untuk menyalakan lampu di kamar mereka.

Tetap saja, pemandangan dan suara melengking enam gadis—dua kali lipat dari biasanya—di ruang makan membuat Kujo tersenyum lebar. Kujo hanya sekolah selama beberapa tahun, tapi mungkin seperti inilah malam perjalanan sekolah. Suasana yang tidak biasa ini membuatnya merasa gembira, dan semua orang hanya berdiam diri dan melakukan segala sesuatu yang mereka inginkan.

Shin kembali, mengambil tempat duduknya yang biasa di belakang ruangan, dan membuka buku hardcover. Kucing kecil, yang tampaknya takut akan badai pertama yang pernah dialaminya, buru-buru melompat dan menempel di dada seragam lapangannya.

"Baca apa?" Kujo bertanya padanya.

"The Mist," jawab Shin singkat.

Cerita horor lingkaran tertutup yang ditulis oleh novelis terkenal. Tidak berbeda dengan bagaimana pangkalan ini yang saat ini terisolasi, bagaimana dengan badai, Legiun, dan ladang ranjau babi putih.

“Aaah, ya... Tapi sayangnya, kali ini tidak ada kabut—hanya badai...”

Embusan angin yang kuat dan menderu menyapu dasar. Itu tidak hanya mengguncang kaca jendela; itu menyebabkan seluruh barak berderit. Itu membuat Kaie dan Kurena tersentak, dan bahkan Shin harus mengalihkan pandangannya dari buku.

Angin bergemuruh untuk sesaat, mengguncang dan menggetarkan barak, akhirnya berubah menjadi peluit musim dingin yang tidak menyenangkan. Suara keras dari hujan deras yang melanda pangkalan hampir terdengar seperti baku tembak.

“...”

Pada saat seperti ini, semua orang akan melihat ke langit-langit dalam diam untuk beberapa alasan.

“Kalau dipikir-pikir, atap barak ini tidak bocor,” kata Kurena, mengingat betapa bocor gedung-gedung di pangkalan garis depan lain.

"Maksudku, ini pangkalan garis depan di garis pertahanan kritis," jawab Raiden.

“Ayo, Raiden, pangkalan lain juga melindungi tempat-tempat penting,” kata Kujo dengan ekspresi pahit yang berlebihan. “Semoga berhasil menemukan pangkalan tanpa kebocoran. Terakhir aku masuk, drainase meluber, dan semua personel pangkalan harus mengeluarkan setiap tetes air dengan estafet ember.”

"Ah..."

Semua orang (kecuali Shin, yang tidak mendengarkan) mengernyitkan wajah mereka secara tidak wajar. Mereka semua memiliki pengalaman serupa di masa lalu.

“Tapi ya, ember adalah teman kita! Benar? Begitu juga palu, papan, dan paku!”

“Aku memang tidak suka hujan, tapi salju lebih buruk. Ada apa, dua tahun lalu? Kita tertutup salju tebal.”

"Oh ya, dan Shin memerintahkan Fido untuk membersihkan salju sebagai lelucon, dan itu benar-benar pergi dan melakukannya."

“Tidak, yang terburuk pasti angin kencang... Pangkalan sebelum pangkalan ini membeku, dan saat itu juga musim dingin. Kita semua masuk angin bergantian dan terbaring sakit di tempat tidur.”

“Oh ya, pangkalan seperti itu benar-benar menyebalkan. Dan aku berada di satu pangkalan di mana hujan es melubangi langit-langit hanggar...”

Saat Prosesor menceritakan kisah tentang pangkalan yang mereka masuki dan kengerian cuaca di sana, bola lampu tiba-tiba padam dengan suara retak yang aneh. Semua orang terdiam seketika saat kegelapan dan kesunyian menyelimuti ruang makan.

"Hah? Pemadaman listrik?” Kata Theo, menatap bola lampu.

"Yah. Kabel listrik bawah tanah; angin tidak akan memutuskannya.”

"Hei, apa menurutmu mungkin Republik hancur ?!"

“Uh, Kurena, kamu terdengar sangat senang saat mengatakan itu, tapi jika itu terjadi, kita juga akan hancur.”

Daiya membalas ucapan Kurena, tapi dia juga terdengar sangat geli. Mereka telah memaksa mereka ke kamp konsentrasi ketika mereka masih kecil, dan hari-hari pertempuran yang berulang dan monoton membuat Prosesor mendambakan kegembiraan. Jadi badai dan pemadaman listrik adalah peristiwa yang cukup besar untuk memicu itu, jika hanya karena jarang terjadi.

Semua orang mulai berspekulasi tentang penyebab pemadaman listrik, baik itu fenomena supernatural, Legiun tipe baru, atau serangan alien. Tapi kehadiran diam berdiri, tidak membuat langkah kaki, dan sesaat kemudian, lampu tiba-tiba berkedip kembali.

"Oh."

"Ah."

Beberapa suara memanggil dengan kekecewaan atau kelegaan, dan tak lama kemudian, Shin dalam diam berjalan kembali ke ruang makan.

"Pemutus."

“Apa, itu saja? Membosankan."

Tetapi dengan kata terakhir itu, lampu padam lagi dengan dengungan keras.

“...”

Semua orang menatap bola lampu yang kembali padam. Kali ini, Shin tidak bergerak. Tiba-tiba, terminal informasi yang dilemparkan ke sudut meja menyala, dan suara seorang pemuda neurotik berbicara darinya, dengan kata-kata Audio hanyaberkedip-kedip di monitornya.

“Handler One ke Skuadron Spearhead. Berhenti mengkonsumsi listrik secara tidak perlu. Kami tidak dapat melakukan meintenance pada unit medis.”

Itu adalah suara komandan mereka dari delapan puluh lima Sektor Republik di seberang Gran Mur. Betapa dibesar-besarkannya gelarnya dan betapa sombong sikapnya, dia hanyalah penggembala ternak. Komandan yang tidak berguna dalam nama saja.

Kujo mengerutkan kening. Jadi inilah mengapa pemutusnya terbalik.Unit medis adalah mesin yang dipasang di setiap pangkalan menggantikan dokter militer. Ini secara otomatis mendiagnosis cedera dan penyakit dan meresepkan perawatan yang tepat. Babi putih pasti akan menyebutnya sebagai sistem medis mutakhir.

Omong-omong, standar sistem triasenya terus terang berbatasan dengan orang gila. Itu hanya mengobati cedera yang memungkinkan Prosesor untuk segera kembali ke garis depan. Jika mengobati cedera akan membuat Prosesor tidak dapat bergerak untuk sementara waktu, bahkan jika itu adalah luka yang dapat dipulihkan secara wajar dari perawatan yang diberikan, itu akan menandai mereka dengan Tanda hitam dan membiarkan nasib mereka.

Nilai-nilai Republik berarti mereka tidak akan memberi makan Prosesor yang tidak berguna di medan perang, dan mesin ini adalah representasi terang-terangan dari itu. Tak perlu dikatakan, semua Prosesor membenci perangkat yang dingin, tanpa emosi, dan tidak berguna ini.

Shin menghela nafas dan kemudian membuka mulutnya untuk berbicara. Kaptenlah yang biasanya menangani komunikasi dengan Handler.

“Handler One. Karena keterlambatan pasokan sore ini, layanan perbaikan Juggernauts kami belum selesai. Meintenance unit medis adalah prioritas rendah. Mohon ditunda.”

"Peduli setan. Percepat. Aku gk bisa pulang sampai jadwal maintenance selesai.”

Semua orang menghela nafas pelan. Memprioritaskan meintenance unit medis yang tidak berguna daripada meintenance Juggernaut itu tidak masuk akal. Dan tak perlu dikatakan, mereka tidak mau tau tentang Handler ini yang harus bertahan dengan lembur.

“Aku mendengarnya, babi. Perlakukan komandan kalian dengan hormat.”

Bukannya mereka akan menghormati orang bodoh yang mengira dia bisa membuat babi bersikap sopan. Mengetahui dengan baik bahwa dia diabaikan, Handler itu dengan marah menyembur.

“Dasar noda kotor... Bah, tidak masalah. Ini terakhir kalinya aku harus menghadapi kalian Eighty-Six barbar.”

“Ah,” Shin mengeluarkan seruan acuh tak acuh ini. “Benar, kamu berhenti, bukan? Dengar-dengar Kamu bergabung dengan militer karena Kamu tidak punya tempat lain untuk bekerja. Apakah kamu menemukan pekerjaan baru?”

Sang Handler terdiam sejenak.

"Siapa yang memberitahumu?"

Kamu mengoceh ketika mabuk, tolol.

Varian dari pemikiran itu melewati semua pikiran Prosesor, tetapi tidak satupun dari mereka mengatakan sesuatu. Nada bicara Handler menjadi jijik.

“Tidak bisa menurunkan kewaspadaanku selama satu detik di sekitarmu, ya, Reaper...? Dasar orang aneh kerasukan hantu.”

Ekspresi Kurena berubah menjadi marah, sementara Theo menyipitkan mata dengan dingin. Shin tampaknya tidak keberatan dengan komentar itu. Akhirnya, Handler itu yang memecah kesunyian.

“Apa, bukankah kalian babi pemalas yang kotor dan ingin tahu tentang Handler kalian selanjutnya?”

"Tidak juga," jawab Shin datar.

Sang Handler rupanya gagal mendengarnya, karena dia terus berbicara dengan angkuh.

“Dia sendiri belum mendengarnya, tapi rupanya, itu cewek kaya. Mantan bangsawan dan elit yang loncat nilai untuk lulus dari universitasnya lebih dini. Yah, bukan berarti siapa pun mengharapkan seorang putri terlindung untuk mengkomandani seseorang dengan benar. Yang paling mungkin dia akan lakukan adalah menggembalakan babi sampai kematian memalukan kalian... Akhir yang pas untuk kalian Eighty-Six. Berbaktilah.”

“...”

Melihat Shin merespon dengan diam, Kujo mengira Shin hanya bisa menahan lidah karena sejujurnya dia tidak peduli. Prosesor biasanya tidak mempercayai Handler mereka. Apakah Handler ada di sana atau tidak, tidak masalah... Faktanya, mereka lebih baik tidak hadir. Ada sedikit teriakan sia-sia yang mengotori jalur komunikasi. Jadi Prosesor benar-benar tidak peduli.

Bahkan pemikiran bahwa ini adalah fakta yang menyedihkan dan tidak menguntungkan telah disingkirkan sejak lama.

Shin mengabaikan masalah Handler berikutnya dan membawa percakapan kembali ke jalur.

"Jika Kamu berhenti, mengapa Kamu tidak melupakan jadwal dan pulang?"

Suaranya seolah memancarkan sikap yang berteriak, Minggat saja.

“Jangan bodoh; melanggar perintah hanya akan menjadi pukulan bagi ratingku. Aku sudah dalam masalah karena salah satu dari kalian terbunuh tanpa alasan, jadi jika reputasiku memburuk—”

Shin dengan keras mendecakkan lidah. Ini membuat Handler tersentak.

“N-Ngomong-ngomong, ini perintah. Jika pekerjaan masih berlangsung di hanggar, setidaknya matikan listrik ke barak. Paham? Tugas kalian adalah mati menggantikan warga negara Republik, bukan main-main di tengah malam.”

Dengan mengatakan itu, Handler memutuskan koneksi, seolah mencoba kabur melarikan diri. Mereka semua, termasuk Shin, menghela napas panjang.

__________

Mereka benci mematuhi perkataan si bodoh itu, tapi para Juggernaut adalah penyelamat mereka, dan mereka tidak bisa menunda meintenance. Jadi mereka mematikan lampu ruang makan.

Sebagai gantinya, mereka memasang lilin kimia yang mereka temukan di pangkalan terbengkalai, menerangi ruangan, yang sepertinya membuat suasana bertambah hidup. Seberani itulah para prosessor.

Dan dengan demikian, tanpa memperhatikan kesibukan pekerjaan meintenance, rintik-rintik hujan deras, dan deru angin yang melengking, mereka bermain-main. Mereka menyusun menara potongan kayu dalam kegelapan, menceritakan kisah hantu, dan bergiliran meneguk kaleng berisi minuman kaleng.

Shin menyerah untuk mencoba membaca dalam gelap dan malah keluar dengan Raiden, yang membawa satu set catur.

“Handler wanita, ya? Tumben.”

Raiden tiba-tiba mengatakan itu sambil mengangkat queen di tangannya, memutar-mutarnya di antara jari-jarinya saat dia mempertimbangkan ke mana harus memindahkannya.

Meskipun membanggakan diri sebagai negara kesetaraan yang progresif, sebagian besar militernya—seperti yang cenderung dilakukan tentara—lebih-lebih laki-laki. Selain itu, itu juga merupakan tempat pembuangan bagi pengangguran yang tidak dapat menemukan pekerjaan di tempat lain. Seorang wanita muda dari keluarga yang bagus, dan lulusan baru dari pendidikan tinggi, biasanya tidak akan berusaha keras untuk bekerja di sana.

“Dan anak orang kaya juga. Belum pernah dengar ada orang seperti itu di kemiliteran,” kata Daiya, lalu dia tersedak cairan yang berwarna sangat aneh sehingga, bahkan dalam kegelapan, jelas itu tidak dimaksudkan untuk konsumsi manusia. Dia kemudian memberikan gelas itu ke Haruto, yang sedikit pucat, dan melanjutkan:

“Bertanya-tanya seperti apa dia. Dia pasti sangat cantik! Seperti seorang tuan puteri!"

Nada suaranya jelas bergurau, dan teman-temannya langsung menangkap dan menjawab dengan nada jahat.

“Tentu saja dia... Putri babi yang gemuk dan cantik.”

“Pastinya jago merendahkan. Maksudku, bagaimanapun juga, dia babi gemuk.”

"Jelas sekali. Dia babi putih.”

Theo, yang piawai menggambar, mulai mencoret-coret dugaan kemiripannya di buku sketsanya. Teman-temannya berkerumun di sekelilingnya dan segera mulai ribut. Theo kemudian menyerahkan buku sketsa itu kepada Kujo, yang tertawa terbahak-bahak. Seorang putri babi-putih, mengenakan gaun berenda dan dengan rambut keriting, mengedipkan mata ke arah penonton.

"Whoa, sepertinya tipe yang membawa mawar merah muda bersamanya."

“Maksudku, dia mungkin salah satunya. Tipe untuk mengakhiri kalimatnya dengan tuan yang baikdan merujuk pada dirinya sendiri di kerajaan kitaatau sesuatu. Pasti."

"Lalu dia pasti menyapa orang dengan hari yang baikdan mengatakan pritheesaat dia meminta sesuatu... Aku berani bertaruh bahkan Shin akan membentaknya dalam tiga hari."

(prithee; mungkin bahasa inggris lama kek semacem please tapi konotasinya merendahkan)

"Kalau begitu Theo akan kehilangan kesabaran di hari pertama."

“Apa maksudmu, Haruto? Kalimat pertama yang dia katakan mungkin akan membuatnya pingsan.”

“Ah, kamu tidak pernah tahu. Mungkin dia gadis yang sakit-sakitan dan penyendiri yang tidak pernah memegang sesuatu yang lebih berat dari jarum.”

"Tipe yang akan mati jika terkena hujan deras atau terik sinar matahari, ya?"

"Eh, dan dia menjadi tentara?"

“Oh, jadi dia akan berbicara dengan suara malu-malu, bergumam, tidak percaya diri ini, ya...? Itu bahkan lebih menyebalkan.”

“Tenang, Tuan-tuan. Tetap tenang. Dia mungkin maid tua jelek yang tidak ingin dinikahi siapa pun, dan mereka memaksakan pekerjaan ini padanya. Pasti itu yang terjadi.”

“Tidak, kita sedang membicarakan seorang dewi. Seorang dewi! Penjelmaan Dewa yang dikirim ke dunia kotor ini untuk menyelamatkan kita Eighty-Six yang menyedihkan dengan belas kasihnya... Itulah tipe Handler yang kita butuhkan.”

Saat teman-temannya melanjutkan game tebak-tebakan, memikirkan teori seperti apa Handler mereka selanjutnya...Kujo menyipitkan mata.

“Ya, setuju.”

Bahkan jika dia bukan dewi. Bahkan jika dia bukan putri yang baik hati.

"Aku harap dia orang yang baik."

Jika mereka tidak diizinkan untuk setidaknya bermimpi sejauh itu... Jika mereka tidak bisa mendapatkan keselamatan sekecil itu, bagaimana mereka bisa melanjutkan? Bagaimana mereka bisa bertempur di medan perang ini, di mana orang-orang yang paling ingin mereka lindungi telah tiada?

Kujo memusatkan perhatian pada Shin, yang tersenyum sinis sambil memegang buku sketsa dengan satu tangan. Dari sudut pandang Prosesor, Handler yang baik hati adalah Handler yang tidak kompeten. Sebenarnya, jika mereka tidak kompeten, itu akan menjadi berkah. Tipe orang "baik hati" yang mencoba membawa etika masa damai ke medan perang hanya menciptakan banyak kerugian yang tidak perlu. Mereka lebih buruk daripada tidak berguna; mereka secara aktif berbahaya.

Konsensus di antara Prosesor adalah bahwa tipe Handler terbaik adalah para idiot yang mengabaikan pekerjaan dan melimpahkan semua pekerjaan pada mereka. Pikiran itu membuat Kujo mengerutkan kening. Bukannya dia tidak setuju, tapi rasanya kadang-kadang kamu tidak bisa sereduksi ini tentang banyak hal—

Tiba-tiba, suasana di sekitar Shin menjadi dingin. Dia mengangkat kepalanya, seperti anjing pemburu yang mendengar lolongan di kejauhan, dan mengalihkan pandangannya ke timur—ke arah wilayah Legiun.

Semua orang tahu apa artinya dan mengawasinya dengan menahan napas. Setelah beberapa saat, mata merahnya yang dingin berkilau seperti pedang, yang membuat Raiden menyipitkan matanya sendiri dengan pahit.

“Apa kita akan ikutan menyerang?”

"Ya. Ini bukan jumlah yang bisa dihandle skuadron kedua.”

Pada dasarnya, pertempuran di malam hari adalah tanggung jawab unit pertahanan kedua hingga keempat di kawasan pertama. Namun, dalam situasi di mana mereka mengeluarkan permintaan bantuan, skuadron pertama, Spearhead, juga harus melakukan serangan.

Komunikasi antara skuadron yang berbeda sangat dilarang, jadi Handlerlah yang harus mengajukan permintaan. Ini membuat penyergapan malam, setelah Handler pulang, terutama penyergapan yang mematikan.

Theo menutup buku sketsanya dan berdiri. Mereka yang berada di bawah komando Shin di skuadron sebelumnya terbiasa dengan ini dan bereaksi dengan cepat.

“Aku akan memberi tahu tim meintenance. Berapa lama waktu kita?”

"Tiga jam paling lama," jawab Shin. “Kita akan melakukan serangan segera setelah kita siap, bahkan tanpa diminta.”

"Dimengerti."

Theo berlari ke dalam kegelapan, seperti kucing dengan penglihatan malam yang tajam. Tanpa melirik ke arahnya, Shin melihat ke sekeliling anggota yang tersisa. Mereka balas menatapnya, semua senyum dan ocehan hilang, mata mereka berkilat tegang dan semangat juang.

“Semuanya, tidurlah selagi bisa. Bergantung pada bagaimana keadaannya, kita mungkin akan bertempur semalaman. Ingatlah bahwa kita tidak akan punya waktu untuk istirahat setelah operasi dimulai.”

“Roger.”

Tapi mata merah darah Shin tidak menunjukkan tekad atau semangat juang. Hanya ketenangan berebeda. Melihat itu membuat Kujo merinding.

Shin tidak takut. Tidak takut dengan pertempuran hebat melawan Legiun atau kematian yang menunggu semua orang—dan mungkin bahkan dirinya sendiri. Dia hanya tetap berkepala dingin dan tenang.

Dan keanehan itu membuat Kujo merinding.

“Kita tidak bisa bergerak sampai Juggernaut siap. Kita mungkin akan menerima beberapa kerugian, tetapi fokuslah untuk memusnahkan Legiun... Jangan naif dan berpikir untuk menyelamatkan seseorang di luar sana.”

“Semua skuadron. Aku memanggil menggantikan Handler kalian, yang saat ini tidak ada. Skuadron keempat sektor kalian telah mengeluarkan permintaan bantuan. Beri mereka dukungan.”

“Dimengerti... Terima kasih atas permintaanmu.”

______________________

Seperti yang Shin prediksi, skuadron yang keluar untuk mengintersep Legiun gagal menghentikan serangan musuh. Reruntuhan kota terbengkalai yang membentuk medan perang kali ini, memang, penuh dengan mayat dan puing-puing Juggernaut yang mengotori beton.

Barisan Legiun sekarang sedang dicabik-cabik oleh skuadron Spearhead, yang telah meluncurkan serangan dan mengenai musuh dari sisi terbuka mereka. Di sekitar reruntuhan kota, masing-masing unit Legiun dipancing dan dilumpuhkan.

Melihat Juggernaut dengan Personal Mark kerangka tanpa kepala, yang memimpin serangan, Kujo menyipitkan mata dalam kekaguman sesaat.

Undertaker. unit Shin.

Shin kuat.

Sangat kuat. Kinerja Legiun jauh melebihi Juggernaut dalam segala hal, namun dengan keterampilan dan intuisi, Shin berhasil menandingi mereka dengan keterampilan tempurnya yang tak tertandingi.

Dia mengambil peran paling berbahaya dari semuanya, barisan depan, dan Undertaker dioptimalkan untuk pertempuran jarak dekat. Tapi tidak ada satu pun peluru musuh, tidak ada satu pun tebasan yang mendarat padanya saat dia menebas monster mekanis mengerikan ini. Pemandangan dia berlari didalam medan perang malam hari yang gelap, unitnya diterangi oleh hujan dan nyala api, adalah monster mitologis yang mengerikan.

Ya, Shin kuat.

Dan bukan hanya dalam pertempuran. Bahkan hanya dari segi kekuatan mental, Kujo menganggap Shin kuat. Shin tidak pernah tersenyum, tapi dia juga tidak pernah menyerah pada kesulitan. Dia tidak pernah bermimpi, tetapi dia juga tidak pernah menyerah pada keputusasaan.

Meskipun berdiri paling dekat dengan kematian...dia tidak pernah bertindak seperti rekan-rekannya. Dia tidak mengandalkan gertakan dan keberanian. Saat teror maut menimpanya, dia tidak tersenyum palsu seperti yang Kujo lakukan. Dia selalu berpegang pada siapa dirinya.

Bahkan jika semua orang di sekitarnya mati, Shin mungkin akan terus berjuang seorang diri sampai akhir pahit. Dan meskipun Kujo tidak iri sedikit pun padanya, dia memang berpikir itu adalah cara hidup yang sangat sepi.

Itu bukan cara hidup seseorang, tetapi cara hidup sedingin es. Sebuah pedang yang ditajamkan dan diasah untuk memotong, hanya hancur setelah menyelesaikan tujuan. Itu tidak bernama kecuali satu hal yang ditebas.

Rasanya sangat kesepian. Jadi jika tidak ada yang lain, Kujo berharap Shin bisa menemukan sesuatu, seseorang, siapa saja untuk mengisi lubang di hatinya. Siapapun itu, sungguh. Andai saja ada orang semacam itu...

Tapi Kujo tahu ini hanya harapan semu, terlalu rapuh untuk disebut fantasi. Mereka terkurung di medan perang ujung dunia, dan satu-satunya orang baru yang bisa mereka temui adalah Handler mereka. Dan kebanyakan dari mereka tidak berguna. Tidak ada seorang pun di medan perang ini yang bisa menemukan keselamatan.

Oh, tapi Handler barusan terdengar seperti dia lebih baik dari Handler lain.

Kujo mengingat gadis yang menghubungi mereka sebelum pertempuran dimulai. Dia melengkungkan bibir menjadi senyum saat dia mengingat suaranya, yang terngiang di telinganya seperti denting lonceng perak. Dia adalah Handler skuadron lain, yang menghubungi untuk meminta dukungan bagi skuadron yang bahkan tidak berada di bawah komandonya.

Karena mereka tidak berada di pengaturan Para-RAID-nya, dia memakai radio pangkalan. Dan karena semua kapten dan wakil kapten sedang rapat strategi, Kujo yang mengangkat panggilan. Percakapan mereka adalah pertukaran informasi yang singkat dan praktis, tetapi dia bisa mendengar kebaikan tulus dalam kata-katanya. Nada suaranya yang jernih dan lembut.

Kalau saja mereka memiliki seseorang sepertinya, mungkin...

Tapi kemudian suara melengking menarik Kujo dari lamunannya.

“Apa yang kau lakukan, Kujo?! Kamu akan mati jika tidak terus bergerak!” Kapten regunya, Kaie, memarahinya,

“M-maaf, Kaie!”

Kujo dengan cepat menoleh, rekaman sensor optiknya meluncur di atas tanah di bawah unitnya. Puing-puing yang terbakar. Kaki dan kanopi Juggernaut yang hancur. Dan di sebelah mereka, kerangka raksasa Grauwolf yang tampaknya telah dihabisi bersama dengan unit ini—

Dan kemudian sensor audionya menangkap suara samar.

"Tolong aku."

Kujo tersentak dan berbalik. Di antara hujan deras dan nyala api yang berkelap-kelip, dia bisa melihat siluet yang mengenakan setelan lapangan mengulurkan tangan ke arahnya.

Seorang yang selamat! Aku harus membantunya!

Memori kematian Mina terlintas di benaknya. Dia tidak melihat sendiri saat-saat terakhir teman dekatnya itu, tetapi untungnya, dia cukup beruntung untuk mendapatkan kematian yang cepat tanpa penderitaan yang tidak perlu. Tetapi jika dia meninggalkan Prosesor ini pada nasib mereka, mereka pasti akan mati. Dan tidak seperti Mina, yang tidak bisa dia bantu...dia bisa menyelamatkan yang ini!

Dia meraih tuas pembuka kanopinya. Juggernaut tidak memiliki manipulator yang bisa memegang sesuatu, jadi jika dia ingin menarik orang ini keluar dari reruntuhan, dia harus melakukan itu dengan tangannya sendiri.

Tiba-tiba, entah kenapa, peringatan Shin sebelum misi ini terlintas di benaknya.

Jangan naif dan berpikir untuk menyelamatkan seseorang di luar sana.

Sambil menggelengkan kepala, dia menarik tuas. Udara bertekanan keluar dari kokpit, dan kanopi muncul, bersama dengan laras senapan unit. Hujan deras mengguyur tubuhnya.

“Hei, apakah kamu baik-baik saja ?!” tanya Kujo.

Lalu...

___________________

Gadis Handler yang tetap tinggal di kantor umum untuk menyelesaikan pekerjaan mengangkat kepalanya karena terkejut saat pintu dibanting menutup.

“Sial, kenapa yang ini secepat ini...?! Ratingku akan sangat jatuh...!”

Dia melihat rekannya dengan takjub tercengang saat dia berjalan pergi, bergumam kesal. Ini secara teknis adalah tempat kerja, ruang publik. Ledakan emosional semacam itu, apalagi bahasanya, tidak pantas.

Wajahnya yang ramping membuatnya merasa agak familiar. Itu adalah Handler yang sama yang tidak hadir sebelumnya. Dia menemukan terminalnya, berkedip-kedip dengan permintaan dukungan, dan meneleponnya untuknya. Rupanya, dia minum meskipun jam kerja, dan memanggilnya kembali ke kantor adalah usaha yang cukup keras.

Informasi yang merinci nama Handler yang mengelola skuadron atau kawasan tertentu tidak diungkapkan kepada Handler lain, jadi dia tidak tahu skuadron mana yang dia komandani. Tapi berdasarkan reaksinya...pertempuran tidak berakhir dengan baik.

Namun hal pertama yang harus dia katakan tentang itu adalah meratapi ratingnya sebagai Handler. Ini bukan hal baru, tentu saja, tetapi keadaan warga Republik, fakta bahwa mereka tidak dapat menganggap sesama manusia seperti mereka, membuat ekspresi gadis itu mendung.

Dia memikirkan kembali Prosesor yang dia ajak bertukar kata. Prosesor dari unit pertahanan yang tidak dia kenal, di lingkungan yang tidak dia kenal. Dia memiliki suara seorang pria muda yang sedikit lebih tua darinya. Nada suaranya terlihat sedikit sedih tetapi sebaliknya ramah dan bersahabat.

Itu adalah jenis orang yang diklaim Republik bukan manusia? Konyol.

Dengan pemikiran itu, gadis itu—perwira komando dan kontrol untuk unit pertahanan ketiga kawasan kesembilan, Vladilena MilizĂ©—memejamkan matanya dalam doa untuk jiwa yang hilang itu, yang pasti telah tewas di medan perang yang jauh atas nama negara yang tidak akan pernah berduka untuk mereka.

Post a Comment