Update cookies preferences

Eighty Six Vol 8; Chapter 3; INTO THE STORM


Karena terbiasa dengan kamar barak kecil dan tempat tidur sempit supercarrier, baginya ruangan ini luas. Berada di darat membuatnya gelisah, bahkan, tidak bisa tertidur. Sebagai putra pemimpin klan Laut Terbuka—“anak” panglima armada, Ismail telah menghabiskan hidupnya di atas geladak kapal sejak masa mudanya. Berdiri di tanah kokoh yang tidak goyah di bawah kakinya terasa sangat aneh baginya.

Jadi ketika alarm terminal komunikasinya berdering bahkan sebelum pagi, dia merespon dengan grogi, setengah terjaga.

“Ya,” dia menjawab panggilan itu dengan suara serak.

"Kakak. Aku minta maaf karena meneleponmu pagi-pagi sekali.”

________________

“Ester.”

Di Armada Orphan, komandan armada dipandang sebagai ibu atau ayah bagi armada lainnya. Para kapten kapal saling memandang satu sama lain sebagai saudara kandung, dan beberapa ribu awak kapal memandang satu sama lain sebagai adik.

Di klan Laut Terbuka, semua orang memandang senior keluarga sebagai orang tua, dengan anak-anak yang baru lahir sebagai anak kolektif klan. Setiap keluarga, setiap kota memiliki kapal tersendiri, membentuk satu klan di armada Laut Terbuka. Kebiasaan itu telah diturunkan ke Armada Orphan, membentuk jalan hidup yang aneh dan khas untuk menyebut para perwira ini.

Ismail berasal dari klan Laut Terbuka yang berbeda dari Ester, jadi sebenarnya, mereka bukan "saudara". Tapi karena masing-masing dari mereka kehilangan klan dan memilih untuk menambal Armada Orphan, dia masih bisa memanggilnya kakak.

Seorang kapten yang kehilangan seluruh klan kecuali supercarrier, dan seorang letnan yang kehilangan kapal dan sebagian besar klannya.

Banyak dari “adik-adik” yang melayani mereka memiliki keadaan yang hampir sama. Armada Orphan terdiri dari orang-orang terakhir yang selamat dari sebelas klan Laut Terbuka, terdiri dari tempat kelahiran, klan, dan bahkan kapal yang campur baur. Mereka masing-masing membawa nestapa dan kesedihan, jadi mereka membentuk perlindungan dan saling bergantung bersama-sama.

Tambal sulam, armada orphan.

Komandan armada berbagi nasib dengan setiap anggota awak. Dan mungkin, sebagai seorang ayah, dia mengorbankan hidup demi membiarkan bawahannya melarikan diri. Itulah alasan mengapa Armada Orphan tidak memiliki Komandan armada. Kapten kapal induk dan supercarrier dipandang sebagai kakak tertua dan pewaris terakhir Komandan armada yang tersisa. Itulah haknya dalam mewarisi peran Komandan armada.

Tapi itu tidak cocok dengan Ismail, apapun alasannya.

“Akhirnya. Badai mendekat."

"Ya."

Memang, akhirnya.

Di tengah malam, supercarrier Stella Maris bertolak dari pelabuhannya.

Untungnya, itu adalah bulan baru, dan tak ada sesuatu yang menerangi malam kecuali cahaya bintang, kegelapan menyelimuti segalanya. Maka ia berlayar, tersembunyi di dalam badai. Keberangkatan rahasia. Keheningan radio diberlakukan, dan lampu kapal dipadamkan.

Meskipun gelap, beberapa Eighty-Six masih naik ke geladak untuk melihat-lihat. Semua awak Stella Maris sibuk, memenuhi tugas yang mereka tetapkan sekarang setelah kapal meninggalkan pelabuhan. Dengan demikian, Prosesor — yang bisa saja, jika seseorang mengambil logika cukup jauh, dianggap sebagai barang kiriman— tidak ada hubungannya.

Mereka tidak diperbolehkan membawa lampu apapun, dan mereka diperingatkan oleh awak untuk menjauh dari sisi kapal, karena bisa jatuh ke laut. Beberapa dari Eighty-Six membuat jarak antara diri mereka dan geladak, melihat kembali ke pantai yang semakin jauh.

Keberangkatan larut malam, waktu dimana normalnya manusia terlelap. Tapi saat garis pantai berbatu memudar, orang-orang dari kota pelabuhan berdiri berkumpul di sana. Mereka tidak membawa lampu demi menghindari deteksi. Dan itu bukan hanya orang dewasa; anak-anak pun di sana, dipegang dengan tangan atau digendong orang tua mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa, hanya melambai pada mereka.

Keberangkatan rahasia. Klakson Stella Maris tidak berbunyi. Namun meski begitu, orang-orang berkumpul, melambaikan tangan saat mereka menyaksikan. Pemandangan itu meninggalkan kesan yang aneh, namun jelas.

__________________

Karena malam yang singkat di daerah garis lintang tinggi selama musim panas, kapal Armada Orphan harus meninggalkan pelabuhan masing-masing pada malam sebelumnya jika mereka ingin mendekati target di balik kegelapan.

Mereka tidak menuju barat laut, menuju Mirage Spire, melainkan ke lokasi berkumpul di kepulauan Flightfeather, yang berada tepat di utara mereka. Itu adalah kawasan pulau-pulau kecil berbatu yang hanya bisa ditinggali oleh burung laut. Mereka bersembunyi di antara bebatuan bergerigi, yang telah digerogoti oleh air laut, selama sehari sambil menunggu operasi dimulai.

Berdiri di lantai atas jembatan Stella Maris, yang disebut jembatan sinyal, Lena melihat sekeliling dengan rasa penasaran. Mereka akan memulai hari penantian. Mereka harus tetap sesenyap mungkin untuk menghindari deteksi, tapi ia sudah terbiasa dengan itu, jadi itu bukanlah masalah.

Supercarrier dibangun untuk perjalanan yang bisa berlangsung selama enam bulan, dan memiliki kapel dan perpustakaan. Ismail mengatakan mereka bebas memakainya sambil menunggu, serta melihat-lihat jembatan sinyal.

Mendengar sepasang kaki dengan gesit menaiki tangga, Lena berbalik, hanya untuk menemukan Esther mengintip ke arahnya.

“Kolonel MilizĂ©, apakah anda ingin turun ke geladak? Anda akan dapat melihat sesuatu yang cukup menarik di sana.”

“Geladak? Tidak aku...."

Dia merasa tidak nyaman menolak tawaran Esther dan awak lainnya, tetapi dia memutuskan untuk tidak melihat laut sampai perang berakhir. Tetapi ketika dia melihat ke bawah, dia tiba-tiba menyadari ketika dia melihat cahaya biru gelap. Lagipula ia ingin melihat laut. Rasa penasarannya menggelitik hatinya.

Dengan paksa berbalik, dia mengangkat kepalanya. Bagaimanapun juga, mereka telah berjanji akan melihatnya bersama-sama setelah perang berakhir.

___________________

Atas isyarat awak, Anju dan Dustin naik ke geladak, tetapi setelah melihatnya, mereka tersentak tak percaya. Laut yang gelap bersinar seperti cahaya bintang, seolah memantulkan langit hitam di atas.

"Wow...."

“Ombaknya... berkilau...”

Perairan beludru gelap mengeluarkan bintik-bintik cahaya biru redup, seolah-olah debu bintang atau sekawanan kunang-kunang telah tersebar di atas laut. Terutama ombak yang bergelombang dan menerjang tanpa suara. Setiap kali ombak menghantam bebatuan atau kapal, itu meninggalkan jejak samar, biru, bercahaya.

Anggota awak yang membawa mereka mengatakan ini adalah ulah noctilucas—hewan berpendar. Mereka berdua tanpa kata-kata menyaksikan sinar cahaya biru yang tidak panas. Ada sosok lain yang berjalan di antara dek terbang. Rupanya, awak kapal memanggil beberapa Prosesor lainnya.

"Indah... Indah sekali, aku hampir merasa tidak enak aku tidak bisa meninggikan suara untuk memujinya."

“Bagaimanapun juga, kita berada di medan perang... Aku ingin datang dan melihatnya lagi setelah perang berakhir.”

Mendengar kata-kata itu, Anju menegang. Tentu saja, Dustin tidak tahu tentang informasi yang Zelene berikan kepada mereka. Dia hanya mengatakannya sebagai bagian dari keinginan yang tidak berdasar dan tidak jelas. Sebuah keinginan akan akhir perang, sehingga mereka bisa hidup dalam damai.

“Dustin, apakah....?”

Dia masih belum bisa membayangkan seperti apa jadinya. Tapi bagaimana dengan Dustin? Dipenuhi dengan amarah atas tindakan Republik, dia meninggalkan Republik untuk menebus dosa-dosanya. Apa yang akan dia lakukan jika medan perang itu menghilang?

"Apakah kamu akan kembali ke Republik setelah perang berakhir?"

"Mungkin. Mereka membutuhkan seseorang untuk membantu upaya rekonstruksi. Kecuali..."

Anju memperhatikan wajahnya yang berkonflik. Jika Kau menentangnya, aku tidak akan kembali. Dustin tidak yakin apakah dia harus menyelesaikan kalimat itu. Dan dia juga tidak yakin apakah menunjukkan bahwa dia menyadari ketidakpastiannya adalah hal yang benar untuk dilakukan. Dia tidak yakin bagaimana dia akan menjawab jika dia bertanya padanya, tetapi apakah ini sesuatu yang bisa dia olok-olok...?

Dia berdiri di sisi Dustin. Tidak sedekat dia berdiri dengan Daiya, tapi....tentu saja lebih dekat daripada dia berdiri di sisi Dustin pada awalnya. Maka Anju diliputi oleh perasaan jarak yang aneh —jenis yang canggung, namun entah bagaimana menghibur dengan caranya sendiri.

_________________

Dek terbang, dimaksudkan untuk lepas landas dan mendarat pesawat kapal, tidak diatur dengan pembatas atau pagar. Duduk di sektor kapal itu, yang tidak menghalangi pandangannya, adalah Theo. Di sebelahnya ada Kurena, yang mencondongkan tubuh ke depan seperti anak kucing yang penasaran.

“Yah, kurasa itu laut biru dengan caranya sendiri.”

"Ya....!"

Laut selatan. Ayo pergi ke sana bersama-sama saat perang berakhir.

Setahun yang lalu, pertama kali mereka menyerbu menerobos garis musuh untuk memburu Morpho, Kurena mengucapkan kata-kata itu. Dan sekarang matanya berkilauan saat dia melihat cahaya biru di atas air.

Seperti debu bintang di atas mereka, menyilaukan namun tidak benar-benar menembus kegelapan. Itu hanya cahaya biru ilusi. Seperti gelembung cahaya redup, nyaris di bawah gelombang bergelombang. Kegelapan malam tidak menyamarkannya, malah membuatnya lebih mencolok.

Melihat air memenuhi Theo dengan rasa takut, seperti sesuatu akan muncul dari kedalaman yang gelap itu, dan kata-kata itu keluar dari bibirnya sebelum dia bisa menghentikan dirinya sendiri.

"Kita akhirnya benar-benar berhasil... ke laut."

“Akhirnya berhasil?” Kata Kurena sambil tersenyum. "Kau membuatnya terdengar seperti kau tidak ingin kesini."

“Mm... Rasanya.... terlalu cepat.”

Dia tidak ingin memberitahu Shin, Raiden, atau Lena. Ini adalah sesuatu yang hanya bisa dia katakan karena dia sedang berbicara dengan Kurena.

"Kupikir kita akan datang melihatnya setelah semuanya berakhir," lanjut Theo. "Ketika aku menemukan apa yang aku inginkan... ke mana aku ingin pergi..."

“Tidak perlu terburu-buru untuk memikirkan hal-hal itu. Jangan memaksakan diri,” kata Kurena.

Bertentangan dengan kata-katanya, dia memeluk lutut seperti anak kecil kesepian.

“Kita berteman. Kita rekan. Dan itu tidak akan pernah berubah... Letnan Esther mengatakan itu padaku. Jadi kita akan baik-baik saja.”

Tidak peduli apa yang terjadi, ikatan satu jalan hidup bersama Eighty-Six tidak akan pernah putus.

"Menurutmu?"

Esther, Ismail....keturunan dari klan Laut Terbuka yang mereka temui di negeri ini. Mereka mirip dengan mereka. Mereka kehilangan tanah air dan keluarga karena kerusakan akibat perang tetapi masih memilih untuk menjalani hidup dengan bangga.

"Ya. Mungkin itu benar.”

Ia senang bisa bertemu dengan mereka. Dia senang dia datang ke negara ini. Dia bisa bertemu orang-orang yang telah kehilangan segalanya dan, ketika tidak punya apa-apa selain harga diri mereka, memilih untuk menghadapi hari esok dengan tersenyum. Selama mereka memiliki solidaritas, mereka akan selalu menemukan alasan untuk hidup.

Dan jika mereka bisa melakukannya, maka Eighty-Six pun bisa.

“Aku pikir aku sedikit stres tentang segala macam hal, tapi... Ya, Kau benar. Kita akan baik-baik saja.”

_____________________

Di atasnya adalah langit malam, dilapisi dengan debu bintang. Sama seperti Sektor Eighty-Six, dengan malam-malamnya kehilangan cahaya buatan. Dan di bawahnya ada laut, dipenuhi kunang-kunang biru.

Kembali ke Sektor Eighty-Six, dia menatap bintang-bintang itu tanpa sedikit pun emosi. Tapi sekarang, dua tahun berselang, mereka membuatnya merasa sedikit sedih. Baik Sektor Eighty-Six maupun lautan luas ini, yang terpisah dari daratan, bukanlah bagian dari dunia manusia. Dan anehnya, perasaan sedih itu saat ini membebani hatinya.

Dia tidak bisa melihat sekilas rambut keperakan Lena yang panjang di dek penerbangan yang luasnya tiga ratus meter ini. Dia mempertimbangkan untuk mengundangnya, tapi Vika mengatakan kepadanya bahwa dia memutuskan untuk tidak melihat laut sampai perang berakhir. Di satu sisi, itu adalah jawaban dari tawaran yang dulu dia ajukan untuk menunjukkan laut padanya.

Dia tidak senang tentang itu... Tapi dia sangat ingin tahu jawaban laindarinya.

Saat itu, dia sekilas melihat punggung Ismail di dekat haluan kapal. Dia berlutut di geladak, tampaknya tidak menyadari Shin. Dia sepertinya sedang...mencium dek terbang, dengan rasa hormat dan terima kasih karena mencium ibu yang sudah berusia lanjut.

“....?”

Rasa ingin tahu kecil, mirip dengan keraguan, menyapu Shin. Apa yang Ismail lakukan?

Tapi setelah mendengar Frederica memanggil namanya, Shin berbalik dan segera melupakannya.


Post a Comment